5. Kebijakan Redistribusi Pendapatan
5.1. Peran Sektor Agroindustri Dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah,Tenaga Kerja dan Modal
Dari analisis pengganda SNSE dapat diketahui peran sektor agroindustri dalam
perekonomian nasional. Angka pengganda yang dibahas difokuskan pada pengganda
output, nilai tambah, tenaga kerja, modal, peran terhadap sektor.dan pendapatan rumah
tangga. Makna dari nilai pengganda sektor agroindustri adalah sebagai berikut. Apabila
diberikan stimulus ekonomi sebesar 1 milyar rupiah ke sektor agroindustri, akan
meningkatkan total output, nilai tambah, tenaga kerja, penerimaan sektor lain secara
nasional dan pendapatan rumah tangga sebesar masing-masing nilai penggandanya
dengan satuan yang sama.
Tabel 6 menyajikan nilai pengganda output, nilai tambah, dan tenaga kerja
agroindustri dibandingkan dengan sektor pertanian primer dan industri ringan dan industri
berat serta rata-rata sektor lainnya. Sedangkan nilai pengganda masing-masing sektor
secara rinci disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis menunjukkan rata-rata pengganda
output dan nilai tambah sektor agroindustri non makanan tahun 2003 lebih tinggi
dibandingkan rata-rata pengganda sektor-sektor lain maupun sektor pertanian primer,
namun sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan industri ringan. Sedangkan dalam
hal penyerapan tenaga kerja, agroindustri makanan memiliki peran yang paling besar.
Apabila upah tenaga diasumsikan merupakan suatu konstanta yang bersifat konstan dalam
satu titik waktu, maka nilai tambah tenaga kerja dapat dijadikan sebagai proxy penyerapan
tenaga kerja nasional. Dengan demikian dapat diartikan sektor agroindustri makanan
memiliki peran yang lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja sedangkan agroindustri
non makanan lebih berperan dalam peningkatan output dan PDB nasional. Besaran
OUTPUT NILAI TAMBAH TENAGA KERJA MODAL
SEKTOR
1998 2003 1998 2003 1998 2003 1998 2003
Pertanian Primer
Pertanian tan pangan 6.07 6.05 1.86 2.86 0.60 2.06 0.90 0.80
Peternakan dan hasilnya 6.38 6.74 1.99 2.67 0.54 1.72 1.03 0.95
Perikanan 7.19 1.63 2.01 0.33 0.43 0.19 1.13 0.14
Kehutanan & perburuan 5.57 4.98 2.13 2.11 0.28 1.23 1.32 0.88
Pertanian tan. Lainnya 6.31 6.34 2.10 2.79 0.39 1.87 1.22 0.92
Agroindustri Makanan
Ind mak sekt. Peternakan 4.16 6.09 1.49 2.31 0.22 1.53 0.90 0.79
Ind mak sekt. tan pangan 4.80 6.24 1.64 2.41 0.25 1.58 1.00 0.82
Ind mak sekt. Perikanan 5.05 6.34 1.84 2.39 0.27 1.55 1.12 0.84
Ind mak sekt. perkebunan 4.01 5.96 1.43 2.24 0.20 1.46 0.88 0.79
Industri minuman 4.96 6.22 1.95 2.47 0.26 1.67 1.21 0.80
Industri rokok 5.60 6.34 1.42 2.64 0.30 1.85 0.80 0.79
Agroindustri Non Makanan
Industri kapuk 3.47 6.57 0.91 2.38 0.15 1.44 0.54 0.94
Ind kulit samakan, olahan 3.27 6.66 0.62 2.50 0.16 1.42 0.33 1.08
Ind kayu lapis, brng dr kayu,
bambu dan rotan 4.60 7.02 0.94 2.69 0.24 1.56 0.50 1.13
Ind bubur kertas 3.56 6.78 0.69 2.47 0.17 1.41 0.37 1.06
Ind karet remah & asap 2.79 6.67 0.42 2.83 0.10 1.85 0.23 0.98
Industri ringan & lainnya 2.39 6.82 0.36 2.61 0.08 1.53 0.20 1.09
Industri berat 2.35 6.54 0.36 2.45 0.08 1.40 0.20 1.04
Agroindustri makanan 4.76 6.20 1.63 2.41 0.25 1.61 0.99 0.81
Agroindustri non makanan 3.54 6.74 0.72 2.57 0.17 1.53 0.39 1.04
Sektor Primer 6.30 5.15 2.02 2.15 0.45 1.41 1.12 0.74
Sektor Lainnya 6.05 5.51 1.54 2.51 0.44 1.13 0.87 0.94
Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar) Pengganda sektor-sektor lainnya secara rinci disajikan pada Lampiran 5.
1
3
diberikan stimulus ekonomi ke sektor agroindustri sebesar satu milyar rupiah, akan
meningkatkan pendapatan (PDB) nasional sebesar 2.57 milyar rupiah.
Mengingat dasar perhitungan nilai tambah berasal dari faktor produksi tenaga kerja
dan modal, maka apabila dirinci lebih lanjut terlihat bahwa peran sektor agroindustri
makanan maupun non makanan dalam meningkatkan PDB nasional lebih banyak berasal
dari nilai tambah tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa sektor agroindustri lebih
bersifat padat tenaga kerja. Namun apabila dibandingkan antara keduanya, agroindustri
makanan menghasilkan nilai tambah tenaga kerja lebih besar dibanding agroindustri non
makanan, sementara agroindustri non makanan menghasilkan nilai tambah modal yang
lebih tinggi dibandingkan dengan agroindustri makanan. Hal ini sesuai dengan fenomena,
dimana industri-industri yang tergolong ke dalam agroindustri non makanan, terutama
industri kayu lapis dan industri bubur kertas adalah industri yang memerlukan modal
tinggi dalam proses produksi. Industri ringan dan industri berat sebagai pembanding,
memiliki kesamaan pola dengan agroindustri non makanan, yaitu peran dalam penyerapan
tenaga kerja lebih kecil dibandingkan sektor agroindustri makanan. Hal yang sama untuk
nilai tambah terhadap modal dimana pengganda modal untuk industri ringan dan industri
berat lebih besar dibandingkan sektor agroindustri makanan. Artinya industri ringan dan
industri berat pada umumnya lebih padat modal dibandingkan agroindustri makanan.
Sedangkan untuk sektor pertanian primer, dimana sektor ini merupakan sektor penyedia
bahan baku bagi proses produksi agroindustri, peran dalam meningkatkan pertumbuhan
output maupun PDB dilihat dari indikator pengganda output dan nilai tambah tenaga kerja
dan modal, lebih rendah dibandingkan dengan sektor agroindustri.
Perkembangan tahun 1998 ke tahun 2003 menunjukkan terjadinya peningkatan
peran sektor agroindustri dalam perekonomian, pengganda output agroindustri makanan
meningkat dari 4.77 pada tahun 1998 menjadi 6.20. Agroindustri non makanan meningkat
dan industri berat, pada saat terjadi krisisi ekonomi tahun 1998 industri-industri tersebut
hanya mampu menghasilkan nilai pengganda sebesar 2.39 untuk industri ringan, namun
pada kondisi normal yaitu kondisi tahun 2003 nilai pengganda output meningkat menjadi
6.82. Sebaliknya sektor pertanian primer pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998
memiliki peran yang paling besar dalam meningkatkan pertumbuhan output dibanding
sektor-sektor lainnya sementara untuk tahun 2003 peran tersebut lebih rendah dari sektor
agroindustri maupun sektor-sektor lainnya
Hasil analisis ini mendukung fenomena kejatuhan sektor industri pada saat terjadi
krisis ekonomi. Hampir seluruh industri pada saat krisis ekonomi mengalami pertumbuhan
output yang negatif. Industri yang paling terpukul pada saat terjadi krisis ekonomi adalah
industri ringan dan industri berat yang ditunjukkan melalui nilai pengganda hanya sebesar
2.39 dan 2.35. Sedangkan sektor agroindustri, terutama agroindustri makanan relatif lebih
tahan terhadap goncangan sehingga mampu menghasilkan nilai pengganda yang lebih
besar. Sedangkan sektor pertanian primer merupakan sektor yang paling tangguh terhadap
goncangan sehingga pada saat krisis ekonomi terjadi masih mampu menghasilkan
pengganda output sebesar 6.30, paling tinggi dibanding pengganda output agroindustri
secara keseluruhan maupun industri berat dan industri ringan. Hasil di atas berimplikasi
bahwa dalam kondisi perekonomian normal (pasca atau masa pemulihan krisis ekonomi)
sektor agroindustri memiliki peran yang lebih besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi
nasional dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, meskipun perbedaannya tidak
terlampau besar. Namun dalam kondisi tidak normal (kondisi krisis ekonomi) sektor
pertanian primer memiliki peran jauh lebih besar dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini memperkuat alasan perlunya mengembangkan industri yang didukung
oleh sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku yang tahan terhadap goncangan.
Untuk pengganda nilai tambah, besaran pengganda nilai tambah agroindustri
agroindustri non makanan sebesar 2.57. Artinya apabila permintaan akhir agroindustri
makanan meningkat 1 milyar rupiah, maka PDB nasional secara agregat diperkirakan akan
meningkat sebesar 2.41 milyar. Nilai tersebut berasal dari penerimaan tenaga kerja 1.61
milyar selebihnya dari penerimaan modal.
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa strategi ADLI, melalui pengembangan
sektor agroindustri, mampu menghasilkan output, penyerapan tenaga kerja serta nilai
tambah modal yang lebih besar dibandingkan dengan strategi pengembangan sektor
pertanian primer dan industri berat. Pada kondisi krisis ekonomi tahun 1998 pengembangan
sektor pertanian primer memiliki peran paling besar dalam meningkatkan perekonomian
nasional.
Hasil tersebut konsisten dengan kajian yang dilakukan oleh Bautista et al. (1999) yang menganalisis alternatif jalur pembangunan industri di Indonesia. Dengan
menggunakan kerangka SAM Indonesia tahun 1995 dan CGE, Bautista menyimpulkan
bahwa pembangunan sektor pertanian primer menghasilkan peningkatan PDB yang lebih
besar dibandingkan strategi pembangunan industri pengolahan dan industri ringan.
Apabila dibuat ranking atau urutan tertinggi berdasarkan besaran nilai pengganda
output maupun nilai tambah pada dua titik waktu tersebut (Tabel 7), terlihat bahwa untuk
tahun 2003 empat dari 11 agroindustri, yang kesemuanya industri non makanan, yaitu
industri kulit, kayu, bubur kertas dan karet berada pada ranking sepuluh teratas pengganda
output. Padahal pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 pengganda output
industri-industri tersebut berada pada ranking terbawah. Demikian pula untuk industri-industri ringan dan
industri berat. Sebaliknya untuk sektor pertanian primer hampir seluruh subsektor berada
pada urutan sepuluh teratas pada saat krisis ekonomi, namun pada kondisi normal tahun
2003 sektor perikanan satu-satunya sektor yang berada pada urutan sepuluh teratas. Untuk
pengganda nilai tambah, ada tiga industri yang pada tahun 2003 berada pada ranking
Output Nilai Tambah Tenaga Kerja Modal
SEKTOR
1998 2003 1998 2003 1998 2003 1998 2003
Pertanian Primer
Pertanian tan pangan 10 22 7 3 3 1 14 23
Peternakan dan hasilnya 7 7 5 9 4 7 7 12
Perikanan 3 28 4 28 9 28 4 28
Kehutanan & perburuan 14 26 1 26 14 26 1 17
Pertanian tan. Lainnya 8 17 3 6 10 3 2 15
Agroindustri Makanan
Ind mak sekt. Peternakan 21 21 17 24 21 19 13 25
Ind mak sekt. tan pangan 19 19 14 20 19 12 8 21
Ind mak sekt. Perikanan 17 18 8 22 16 16 5 19
Ind mak sekt. perkebunan 22 24 19 25 22 20 15 26
Industri minuman 18 20 6 17 18 11 3 22
Industri rokok 13 16 20 10 13 4 18 24
Agroindustri Non Makanan
Industri kapuk 24 11 23 23 25 18 22 14
Ind kulit samakan, olahan 25 10 25 15 24 21 25 5
Ind kayu lapis, brng dr kayu, bambu
dan rotan 20 2 22 8 20 22 23 3
Ind bubur kertas 23 6 24 18 23 15 24 6
Ind karet remah & asap 26 9 26 4 26 23 26 11
Industri ringan & lainnya 27 4 28 11 27 5 28 4
Industri berat 28 12 27 19 28 24 27 8
Catatan: Nilai ranking terkecil menunjukkan ranking teratas (nilai pengganda terbesar) Ranking sektor lainnya disajikan pada Lampiran 5
1
3
remah dan asap sementara pada kondisi krisis ekonomi tahun 1998, industri-industri
tersebut berada pada ranking terbawah.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa dengan mengelompokkan sektor-sektor
ekonomi berdasarkan kelompok industri (industri ringan dan berat yang tergolong padat
dalam penggunaan input impor dan agroindustri yang relatif sedikit menggunakan input
impor), sektor pertanian primer dan sektor lainnya, dapat menjelaskan fenomena kejatuhan
sektor industri pada masa krisis ekonomi.
Perubahan ranking sektor yang termasuk ke dalam urutan sepuluh teratas selama
dua titik waktu tersebut menunjukkan pola yang sama dimana pada kondisi krisis ekonomi
tahun 1998, sektor pertanian primer dominan berada pada urutan sepuluh teratas dan sektor
agroindustri maupun industri ringan dan berat berada pada urutan terbawah. Sebaliknya
pada kondisi paska krisis, yaitu tahun 2003, sektor agroindustri agroindustri pada
umumnya dan industri ringan berada pada urutan teratas. Rincian ranking untuk
sektor-sektor lainnya disajikan pada Lampiran 5. Oleh karena itu apabila dilihat korelasi ranking
pengganda output sektor secara keseluruhan antara tahun 1998 dan 2003, menunjukkan
koefisien korelasi yang bertanda negatif sebesar –0.2671. Demikian pula untuk sektor
agroindustri sebesar -0.5883. Ranking pengganda nilai tambah juga berkorelasi negatif
antar dua titik waktu. Namun untuk ranking pengganda tenaga kerja menunjukkan korelasi
positif, yaitu 0.4280 untuk seluruh sektor dan 0.7777 untuk sektor agroindustri.
Keterkaitan struktur output dan PDB pada dua titik waktu tahun 1998 dan 2003
mengalami perubahan sedangkan struktur tenaga kerja relatif stabil. Perubahan keterkaitan
struktur output antar dua periode tersebut, menurut Daryanto (1992) dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya karena: (1) perubahan komposisi produk, (2) perubahan
agregasi input-output dalam industri, dan (3) perubahan harga relatif input-output, yaitu
biaya input sektor industri menjadi sangat mahal saat krisis karena kandungan input impor