TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur dan Norma Masyarakat Aceh
2.3 Otoritas Kharismatik
Masyarakat Aceh traditional religius pedesaan sangat didominasi oleh pengaruh Ulama sebagai pemimpin kharismatik. mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini, pengetahuan sebagai faktor penyebab Karena kurangnya seorang pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supranatural power), sehingga para santri yang belajar pada satu Teungku Dayah (Ulama) sangat enggan melawan ulama karena dikhawatirkan akan “Teumeurka” atau laknat Ulama yang berakibat tidak diberkahi Ilmu yang telah diberikan serta permasalahan ini tidak hanya berlaku dalam lingkngan pesantren saja namun juga dalam masyarakat umumnya. Dalam tradisi masyarakat Dayah Aceh, ulama senantiasa memiliki kekuatan tersebut perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan profil pendidikan dan sebagainya. Tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin karismatis atau Teungku Keuramat (Ulama kramat).
Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin sebagai seorang pribadi. Istilah kharisma ditujukan kepada mereka yang dalam pengertian luas untuk menunjukkan daya tarik pribadi yang ada seseorang sebagai pemimpin. Weber
mengatakan dalam hal ini meliputi karakteristik-karakteristik pribadi yang memberikan inspirasi kepada mereka yang bakal jadi pengikut. Istilah yang digunakan oleh Weber
dalam menggambarkan para pemimpin-pemimpin agama yang berkarismatik dimana dasar pemikiran mereka adalah bahwa mereka memiliki suatu hubungan khusus dengan Ilahi.
Istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu yang terdapat pada seseorang, yang kiranya ia terpisah dari orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi dengan kekuasaan atau mutu yang bersifat adduniawi, luar biasa atau sekurangnya kekacauan dalam bidang tertentu, mutu seperti ini menarik para pengikut yang setia kepada pemimpin kharismatik tersebut secara pribadi dan memiliki komitmen terhadap keteraturan normatif atau moral yang digambarkan. Menurut hal ini kepatuhan yang dimiliki para pengikut tergantung baik pada identifikasi emosional dengan pemimpin sebagai seorang pribadi maupun komitmen terhadap nilai-nilai absolut yang diajarkannya. (Douley 1994 hal 230). Dalam gaya kepemimpinan kharismatik para pengikut membuat atribusi (penghubungan) dari kemampuan kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mereka mengamati prilaku- prilaku tertentu.
Ikatan evaluatif yang bersifat kepemimpinan ditentukan oleh keberhasilan pemimpin memenuhi harapan sosial terhadap peranannya. Ada dua harapan yang dikepada pemimpin yaitu:
1. Kemampuan untuk memimpin kearah tercapainya situasi yang dicitakan komunitasnya.
2. Kemampuan fungsinya dalam mempertahankan komunitas.
Namun demikian mungkin yang paling mempegaruhi kepemimpinan yang berlandaskan nilai keagamaan yang berhubungan dengan pertangung jawaban transendental, diharapkan Tidak hanya dalam hal bersifat keakhiratkan namun ulama senantiasa berperan sebagai tokoh. Hal ini karena harapan akan kesejahtraan rohani masyarakat yang apabila nasihat- nasihat ulama diemban dan dilaksanakan maka kebahagian hidup di dunia dan di akhirat akan tercapai. Apabila dalam suatu kampung tidak adanya ulama yang senantiasa memberi petuah maka kampung tersebut akan jauh dari keselamatan yang hakiki (Rahmatan lilalami) disini ulama diharapkan dapat mempertahankan komunitas Pedesaan. keterluluhan pribadi kedalam keharusan moral agama. (Taufik, 199 hal 64).
Sejauh ini peran ulama dayah dalam mengimplementasi syaria’at Islam masih dipertanyakan karena dalam hal ini kapasitas ulama sebagai pembuat qanun (perda). Sampai saat ini qanun masih dirancang oleh para ulama yang duduk di MPU. Ulama dayah tidak memiliki kapasitas dalam hal ini namun campur tangan ulama dayah masih exsis dan tidak jarang qanun yang dirancang terlebih dahulu didiskusikan antara MPU dan ulama dayah secara nonformal. Adapun tahap pemberlakuan qanun pertama di rancang oleh MPU seterusnya dibahas dalam sidang DPRD NAD setelah disahkan kemudian diundangkan. Setelah rancangan qanun tersebut diundangkan dalam perda kemudian dilimpahkan kepada dinas syari’at Islam untuk selanjutnya dijalankan sebagai fungsi eksekutif.
Kepemimpinan ulama dayah yang informal kharismatik dapat dilihat Pada saat konflik GAM- TNI keterlibatan penyelesaian yang melibatkan juga ulama, karena secara lebih rasional ulama adalah sosok yang masih dipercaya oleh pihak pihak yang bertikai. Selain itu, keterlibatan mereka adalah untuk memberikan nuansa moral dan kultur ke-Acehan Pada waktu UU Otsus 18/2001 dan CoHA, peran ulama dayah yang dimotori oleh RTA dan HUDA justru tidak terlalu menonjol Keduanya juga terlibat aktif dalam proses memberikan masukan. Ulama HUDA misalkan membuat forum di Lhokseumawe yang juga dihadiri oleh MPU Ada kalanya mereka melakukan mediasi informal dan ada kalanya mereka juga harus tampil didepan secara formal. Ada kalanya juga mereka tampil atas nama pribadi untuk menghindari efek yang lebih buruk bagi organisasi yang dipimpinnya, tapi juga sering kita lihat mereka tampil atas nama lembaga. Akan tetapi intinya mereka sangatlah berperan dalam proses rekonsiliasi konflik di Aceh. Peran mereka bisa memberikan pendekatan kultural dan moral ke-Acehan dalam nuansa berbeda. Peran mereka yang semacam ini terkadang tidak langsung terasa dalam waktu dekat, tapi sangat dirasakan efektifitasnya.(Aceh institude 14-05-2008)
Tipe otoritas ini didasarkan kepada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekuasaan tradisi-tradisi zaman dahulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimiliki. Jadi alasan penting orang taat kepada struktur otoritas ini adalah kepercayaan mereka bahwa hal ini selalu ada. Mereka menggunakan otoritas tersebut pada satu kelompok status yang traditional menggunakan otoritas atau mereka dipilih sesuai peraturan yang dihormati sepanjang tahun.
Hubungan antara tokoh yang memiliki otoritas dari bawahannya pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Sebenarnya kunci untuk memahami dinamika sistem
otoritas traditional adalah dengan melihat sebagai perpanjangan dari hubungan keluarga. Mereka yang patut memiliki rasa setia pribadi kepada pemimpinnya yang sebaliknya memiliki kewajiban tertentu untuk memperhatikan mereka kepada pemimipinnya yang sebaliknya memiliki kewajiban tertentu untuk memperhatikan mereka. Walaupun pemimpin dan bawahannya terikat kepada peraraturan traditional, namun masih ada keleluasaan bagi atasannya secara pribadi dalam menggunakan otoritasnya dan dalam keadaan seperti itu bawahan terpaksa taat.