• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI HASIL DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Profil Wilayah

4.6.7. Teungku Zarkasyi

Teungku Zarkasyi adalah seorang Teungku muda yang saat ini aktif mengisi pengajian di mesjid Al- Ikhlas teupin punti. Teungku Zarkasyi merupakan masyarakat pendatang dan khusus tinggal di wilayah kemukiman krueng pasee hanya ingin mengabdi ilmu agama yang diembannya. Sebelum aktif megajat pada berbagai majelis ta’lim teugku Zarkasyi belajar ilmu agama di pondok dayah Abi pulo gadeng yang saat ini menjabat sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Ulama kabupaten Aceh Utara. Dari sekilas pembicaraan teugku Zarkasyi sangat sinis dalam mamandang implementasi syari’at Islam dan ketika ditanyai justru peran Teungku dayah juga tidak diuntungkan. 4.7. Interpretasi Data

Tidak dapat dipungkiri bahwa formalisasi SI telah mendorong proses recentering

peran, posisi dan status kelompok ulama dalam masyarakat Aceh. Jika selama masa Orde Baru kelompok ulama mengalami peminggiran oleh proses birokratisasi dan modernisasi (terutama dalam bidang pendidikan). Pemberian status otonomi khusus Aceh memungkinkan kedudukan ulama dikembalikan ke tempat semula, yakni di pusat relasi antara rakyat dan Negara. Sebagian besar Ulama Dayah masa kini nasibnya terabaikan khususnya dalam berperan disektor birokrasi pemerintah atau pendidikan. Seharusnya ada lembaga-lembaga tertentu yang dapat menampung ulama dayah dalam proses partisipasi pembangunan sehingga diyakini para santri dapat dengan konsisten belajar didayah karena mengharapkan masa depan yang cerah.

Dayah-dayah yang jumlahnya sebanyak 1015 ( Organisasi Rabithah Taliban: 2007) ini mempunyai fungsi mendidik dan mengarahkan baik santri maupun masyarakat dalam proses perkembangan agama, setidaknya dalam proses sosialisasi anggota masayarakat, terutama masyarakat pedesaan yang terbelakang, terpencil, atau masyarakat yang berada jauh dari lingkungan pesantren dimana mereka tinggal tetapi memiliki komunikasi dan berada dibawah pengaruh Dayah-dayah besar. Jika kita bergaul dengan komunitas ulama dayah maka kenyataan yang kita jumpai adalah bahwa mereka tetap memiliki akses kelangsungan luar baik informasi maupun teknologi mungkin hal ini yang mempengaruhi Dayah tetap bertahan ditengah kemajuan IPTEK. Namun demikian yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah adanya kepemimpinan kerohanian yang di emban oleh Ulama dalam masyarakat pertanian untuk menjaga keharmonisan yang selalu didambakan dilingkungan ini. (Raharjo, 1988 hal 5). Untuk lebih jelas melihat peran

ulama dalam implementasi syariat Islam di Aceh Sebagai bahan pertimbangan berikut akan ditampilkan deskripsi dan hasil wawancara langsung dengan beberapa informan. 4.7.1. Peran Ulama dalam sosialisasi syaria'at Islam

Penanaman nilai- nilai syari'at Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an dan Hadits sudah menjadi kelaziman di berikan oleh para alim ulama dan cerdik pandai kepada masyarakat umum. Demikian juga di Aceh persoalan tersebut sudah sejak zaman dahulu hingga sekarang masih berlaku. Terkait implementasi syari'at Islam di Aceh penanaman nilai dan sosialisasi tersebut semakain di intensifkan tanpa adanya instruksi dari manapun. karena bagi orang yang beriman memberi Ilmu kepada orang lain sudah menjadi suatu Ibadah khususnya sadakah jariyah yang tak pernah habisnya menjadi tuntunan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai mana yang dikatakan oleh Saudara Mansur sebagai berikut:

“Pengetahuan akan syari’at Islam secara menyeluruh mulai dari yang mendasar hingga yang rumit saya dapatkan dari teugku dimana saya mengaji ketika saya masih anak- anak. Dulu waktu saya mengaji didayah kami senantiasa masuk sore hari sampai keesokan harinya. Selama masa pengajian tersebut kami selalu dibimbing dalam hal syari’at serta pelatihan secara kecil- kecilan, misalnya ganjaran bagi yang melanggar aturan atau tidak shalat maka akan di kenakan cambuk oleh teungku menggunakan rotan. Karena dalam islam sejak usia 7 tahun harus diingatkan dan dipaksa agar anak dapat melakukan shalat dan jika lebih dari 10 tahun maka wajib di pukuli. Disamping itu juga teungku bilang masih untung kita hidup di Aceh coba saja jika di Arab maka bagi yang tidak taat aturan maka akan dicambuk menggunakan cambuk asli, bagi yang mencuri akan dipotong tangan”. (Wawancara 28 Juli 2009)

Masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan senantiasa mengimbangi antara pendidikan agama dan pendidikan sekolah secara bersamaan. Seperti dikatakan oleh saudara Mansur misalnya sejak masa pendidikan sekolah dasar (SD) mereka telah ditempa dengan dengan pendidikan agama dan ini menjadi kewajiban bagi setiap orang

tua untuk menitipkan anak- anak mereka pada teugku Dayah. Sejak itu pula sosialisasi ajaran syariat Islam telah terbentuk sehingga menjadikan seseorang menjadi insan yang bukan hanya beragama islam namun juga memahami ritual keagamaan. Sejak anak- anak mereka telah terlatih dengan pola pendidikan dayah yang juga berlaku system reward and punishman. Sosialisasi primer di peroleh dari keluarga dan sosialisasi sekunder selain diperoleh dari sekolah juga di dapat dari dayah-dayah oleh Teungku. Karena itulah prilaku masyarakat aceh sangat fanatik terhadap Islam dimana walaupun sebagian dari masyarakat aceh ada yang berperilaku tidak sesuai dengan ajaran Islam dan pada dasarnya mereka tahu akan hal tersebut dan semua itu hanya didapat dari lembaga dayah tradisional yang dipimpin oleh Teungku.

Lain halnya ketika disahkan pemberlakuan syari’at Islam maka disana telah tersusun seperangkat aturan atau norma agama yang dipadukan dengan norma hukum. Dalam pelaksanaan syari’at Islam tidaklah mengubah sama sekali esensi yang berlaku sesuai dengan ajaran Islam, hanya saja disana telah dilengkapi dengan sanksi- sanki apabila terjadi pelanggaran. Sosialisasi tersebut dilakukan melalui pamplet di sepanjang jalan, dikecamatan dengan memanggil para perangkat desa yang akhirnya disampaikan kepada masyarakat baik oleh Geuhik maupun oleh Teungku Imuem.

Secara umum rencana program pemberlakuan syari’at sebenarnya cukup baik namun ketika dilapangan maka semuanya harus di kaji kembali karena adanya persoalan diluar dugaan yang akan menghambat baik system maupun struktur perangkat desa. Perangkat desa/ gampong juga harus dibenahi sebelum membenahi masyarakat. Persoalan ini terindikasi bahwa masih adanya oknum perangkat desa yang terpilih diluar dari criteria yang telah ditetapkan sehingga untuk mengayomi masyarakat sangat sulit.

Seperti yang disampaikan oleh geuchik gampong teungoh bahwa masih adanya aparat desa yang tidak kompeten, berikut wawancara Geuchik Anwar:

“Untuk menyelenggarakan syari’at sesuai dengan yang diharapkan maka terlebih dahulu para perangkat desa harus memahami syari’at karena saya melihat masih ada rekan kami Geuchik (tidak disibutkan nama) belum, saya ulangi masih belum memahami apa itu syari’at hal ini karena panitia ketika pemilihan Geuchik tidak ketat dalam menentukan kriteria. Dan itu juga telah saya usulkan kepada pemerintah dan aparat syari’at agar kedepan lebih ketat dalam menyeleksi calon geuchik”,(wawancara 28 Juli 2009)

Oleh karena itu hal ini merupakan suatu temuan penting yang harus kita resapi bersama jika syari’at Islam ingin ditegakkan di tanah serambi mekah. Selain faktor kesadaran juga masalah pendanaan serta masalah rekruitmen dari pada perangkat desa. Dalam wawancara tersebut Geuchik Anwar bukan mengatakan para perangkat desa tidak memahami ajaran syari’at namun sosialisasi yang diberikan oleh para pejabat syari’at yang kurang efekti. Artinya ada sebagian komponen syari’at yang diberlakukan secara hukum pidana Islam disamping sebagian lainnya masih dalam tahap proses penyesuaian dan perancangan qanun. Sehingga seharusnya pemerintah (dinas syari’at) memberi berupa pelatihan atau Diklat agar perangkat desa selaku pimpinan gampong dapat membuat kebijakan sesuai dengan yang diharapkan.

4.7.2. Peran Ulama dalam proses menjembatani perancangan hingga pelaksanaan

qanun

Tahapan proses pembuatan qanun di Aceh meliputi Perencanaan, Penyiapan, Penyampaian, Pembahasan, Pengesahan, Perundangan dan Penyebarluasan. Masyarakat

dapat terlibat pada tahap penyiapan dan pembahasan. Masukan yang diberikan oleh masyarakat melalui ruang-ruang partisipasi paling lama 7 (tujuh) hari sejak dilakukan penyebarluasan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penyempurnaan materi. Rancangan qanun dapat diusulkan oleh DPRA/ DPRK (legislatif) dan Pemerintah Aceh/ Kabupaten/ Kota (eksekutif) melalui hak usul inisiatif (prakarsa). Kemudian Pemerintah Geubernur/ Bupati/ Wali kota menunjuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dan hasil persiapan diserahkan kepada sekretaris daerah untuk disampaikan kepada Geubernur. Geubernur/ Bupati/ dan Wali kota dapat menyusun asistensi untuk pembahasan qanun yang terdiri dari Sekda sebagai ketua, kepala biro/ bagian hukum sebagai sekretaris, unsur SKPD terkait sebagai anggota, unsur MPU sebagai anggota, unsur tenaga ahli sebagai anggota, dan unsur masyarakat yang terkena dampak langsung sebagai anggota.

Skema pembuatan qanun

(Sumber: Majelis Permusyawaratan Ulama Kec. Syamtalira Aron 2008)

Ada sebagian besar anggota masyarakat dan para tokoh masyarakat sekalipun tidak mengatahui akan qanun kendati mereka sebenarnya memahami akan syariat Islam secara kaffah. Mereka adalah para teungku dayah yang sebahagian besar dalam kesehariannya hanya sebagai petani sementara dimalam hari mengajar para santri di

Dayah. Mereka yang mendirikan dayah ataupun balai pengajian yang berkembang dimasyarakat namun tidak tersentuh oleh dinas syari’at seperti yang dikatakan oleh Tgk. Abdurrahman pimpinan dayah Nurul Islam sebagai berikut:

“Saya hanya mengetahui implementasi syari’at Islam hanya melalui media masa seperti Koran, tabloid mingguan dan belum pernah ada undangan dari dinas maupun pemerintah terkait syari’at Islam kendati saya seorang Imuem mesjid dan pimpinan dayah”. (wawancara 27 Juli 2009).

Sejauh data yang kami peroleh dari lokasi penelitian belum adanya kerja sama terhadap teugku dayah terkait perancangan qanun. Dimana ulama yang terlibat aktif dalam perancangan qanun hanya sampai pada ulama MPU. Terkecuali apabila diantara mereka memiliki peran yang rangkap sebagai teungku dayah juga sebagai anggota MPU kecamatan. Seperti yang di ungkapkan oleh Teungku Hasballah sebagai berikut:

“Karena saya sebagai anggota MPU kecamatan yang diminta dari MPU Kabupaten terkait aspirasi masukan perancangan qanun. Saya melihat keterkaitan kawan- kawan dayah untuk merancang qanun hanya sebatas apabila diantara kawan- kawan teungku dayah yang memiliki jabatan sebagai MPU. Dan yang harus diketahui bahwa setiap anggota MPU kecamatan mereka juga memiliki atau memimpin dayah masing- masing. (wawancara 27 Juli 2009).

Wawancara tersebut memang demikian adanya walaupun anggota MPU tersebut juga sebagai pimpinan dayah tapi mereka hanya 10% dari seluruh pimpinan dayah yang tersebar di kecamatan Syamtalira Aron. Ada sedikitnya 20 orang anggota MPU yang mewakili kecamatan Syamtalira Aron. Sementara dayah yang ada di Mukim krueng pasee saja mencapai 20 dayah dan keseluruhan Mukim yang terdapat dikecamatan syamtalira Aron sebanyak 4 mukim. Jika dirata- ratakan setidaknya terdapat 80 teungku dayah di kecamatan Syamtalira Aron. (sumber, MPU kecamatan Samudera 2009)

Dokumen terkait