• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERAN WORLD WIDE FUND FOR NATURE (WWF)

C. Peran WWF Dalam Membangun Jaringan Bisnis Hijau

Jaringan Bisnis Hijau atau the Green Business Network adalah pintu gerbang solusi lingkungan bagi perusahaan bisnis yang beroperasi di kawasan HoB. Ada tiga solusi WWF untuk bisnis hijau di HoB, yaitu industri kehutanan yang berkelanjutan, industri kelapa sawit yang berkelanjutan, dan industri pertambangan yang bertanggungjawab.

1. Industri Kehutanan yang Berkelanjutan

Global Forest Trade Network (GFTN) atau jaringan hutan dan

perdagangan global merupakan skema untuk mendorong peningkatan manajemen kepada para pengelola hutan dengan lestari melalui proses sertifikasi dan juga sebagai upaya mengurangi terjadinya pembalakan liar.170 Program GFTN diinisiasi oleh WWF pada 2003 dengan nama lokal “Nusa Hijau” atau “Green

Archipelago.”171

Dalam program ini WWF tidak memberikan sertifikasi untuk mengunakan logo atau label pada produk, melainkan WWF memberikan dukungan kepada anggota GFTN berupa panduan sertifikasi dan jaringan pasar.172

170 The European External Action Service (EEAS), “Press Relase: More Than 300 SMEs toward SLVLK Certification in Three Years,” EEAS , March 11th, 2013, [dokumentasi on-line]; tersedia di http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/documents/press_corner/20130311_02_en.pdf; Internet; diakses pada Januari 02, 2015.

171 Luca Tacconi, Krystof Obidzinski dan Ferdinandus Agung, Proses Pembelajaran (Learning Lessons)

Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia, (CIFOR, 2004), 24.

172 Tentangkayu.com , “Sertifikasi Produk Kayu,” Tentangkayu.com [database on-line]; tersedia di http://www.tentangkayu.com/2011/06/sertifikasi-produk-kayu.html; Internet; diakses pada Januari 02, 2015.

GFTN berfungsi sebagai “payung” dari jaringan perdagangan kayu atau forest and

trade networks (FTNs) yang beroperasi di beberapa negara.173

Program yang telah diupayakan WWF dalam skema GFTN di wilayah HoB dari tahun 2012 sampai 2013 dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Mendukung skema Voluntary Partnership Agreement (VPA) diantara Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa

Destinasi pasar dari hasil produksi kayu Indonesia sebagian besar diekspor ke wilayah Eropa. Demi terjaminnya legalitas kayu yang diimpor dari Indonesia, pada 2011, Indonesia dan Uni Eropa telah mencapai kesepakatan untuk memberantas perdagangan kayu illegal yang dinamai Voluntary Partnership

Agreement (VPA) atau Kesepakatan Kemitraan Sukarela. Keuntungan dalam

kerjasama VPA adalah untuk memudahkan akses pasar hasil kayu dari Indonesia ke Uni Eropa dengan jaminan semua produk kayu bersertifikat asal Indonesia secara otomatis dianggap legal, tidak perlu menjalani proses verifikasi tambahan.174

Dalam mewujudkan jaringan bisnis kehutanan yang berkelanjutan serta tercapainya kerjasama VPA, pada 15 sampai 19 Oktober 2012, WWF program GFTN bekerjasama dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan dengan dukungan dari Uni Eropa membuat Training of Trainer (ToT) bagi 22

173 Luca Tacconi, et al., Proses Pembelajaran (Learning Lessons) Promosi Sertifikasi Hutan dan

Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia, 23.

174The European External Action Service (EEAS), “Siaran pers: PHPL dan Legalitas Kayu Untuk Akses

Pasar Ekspor,” EEAS, 15 Oktober 2012, [dokumentasi on-line]; tersedia di

http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/documents/press_corner/20121015_01_id.pdf; Internet; diakses pada Januari 02, 2015.

peserta.175 Peserta terdiri dari para pengelola hutan dan pihak terkait dari sektor bisnis kehutanan mengenai pengelolaan hutan lestari di provinsi bagian wilayah HoB yaitu di Kalimantan Barat. Beberapa hal yang ditekankan pada pelatihan dan diskusi tersebut mengenai pembagian pasar produk kayu dan sistem sertifikasi hutan diantaranya Forest Stewardship Council (FSC), Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).176 Sistem serifikasi tersebut merupakan persyaratan wajib yang dimiliki para eksportir produk kayu dan turunannya, termasuk industri pulp dan kertas, dan berlaku untuk semua skala baik besar, menengah dan kecil (UKM).177

Kemudian, dalam menyikapi terwujudkan VPA di Indonesia, pada Maret 2013, WWF dengan Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) didukung oleh Uni Eropa bekerjasama dalam tema “Promosi penerapan FLEGT License sebagai langkah utama menuju produksi dan konsumsi yang lestari pada industri pengolahan kayu Indonesia”.178 FLEGT adalah singkatan dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade yang didirikan Uni Eropa pada tahun 2003. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pembalakan liar dengan memperkuat pengelolaan hutan lestari dan hukum, meningkatkan tata

175EU ACTIVE, “EU ACTIVE Newsletter Vol. 2/Desember 2012,” EU ACTIVE, Desember 2012, tersedia di http://awsassets.wwf.or.id/downloads/eu_active_newsletter_vol2___latest.pdf; Internet; diakses pada Januari 02, 2015.

176The European External Action Service (EEAS), “Siaran pers: PHPL dan Legalitas Kayu Untuk Akses

Pasar Ekspor,” EEAS, 15 Oktober 2012.

177Berita Satu, “Incar Pasar Eropa, Ratusan UKM Ajukan Sertifikasi Kayu Legal,” Berita Satu, 11 Maret 2013, [artikel on-line]; tersedia di http://www.beritasatu.com/industri-perdagangan/101363-incar-pasar-eropa-ratusan-ukm-ajukan-sertifikasi-kayu-legal.html; Internet; diakses pada Januari 02, 2014.

178 The European External Action Service (EEAS), “Press Relase: More Than 300 SMEs toward SLVLK Certification in Three Years,”EEAS , March 11th, 2013.

kelola dan mempromosikan perdagangan kayu yang diproduksi secara legal.179 Tujuan kerjasama pada bulan Maret tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas lebih dari 300 UKM di Kalimantan, Pulau Jawa, dan Sumatra mengenai SVLK selama tiga tahun ke depan, serta mempromosikan kebijakan pembelian praduk-produk hijau bersertifikat SVLK atau green pracurement policy dalam negeri.180

Upaya memfasilitasi UKM di Indonesia memang harus menjadi perhatian karena kalangan industri mebel memang berada di garis depan dalam mata rantai perdagangan, mereka berhadapan langsung dengan konsumen-konsumen dunia. Selain itu, upaya memfasilitasi sertifikasi UKM dinilai sebagai upaya perlindungan terhadap lingkungan, sesuai yang dikatakan oleh Dita Ramadhani dari program GFTN WWF mengatakan bahwa, “... Industri UKM merupakan pemain penting dalam sertifikasi kayu yang pada akhirnya, jika tidak dikelola lestari bisa berdampak terhadap hutan Indonesia.”181

Kemudian, upaya memfasilitasi UKM adalah bentuk dari perubahan demi terwujudkan kayu lestari dan pemberantasan illegal logging dalam skema VPA. Hal tersebut sesuai dengan perkataan Collin Crooks, Wakil Duta Besar Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, bahwa:

“I pay tribute to everyone in the industry, civil society, and the government in Indonesia who have worked so hard to get Indonesia timber producers ready for this change. It is particularly good to see that small producers have been able to work in cooperatives to get group certification under SVLK. Some of the best craftmanship comes from tiny operation accross Indonesia and it is great that

179EU FLEGT, “About FLEGT,” EU FLEGT, [database on-line]; tersedia di http://www.euflegt.efi.int/about-flegt; Internet; diakses pada Januari 02, 2014.

180 The European External Action Service (EEAS), “Press Relase: More Than 300 SMEs toward SLVLK Certification in Three Years,”EEAS , March 11th, 2013.

181 Gloria Samantha, “Mengantar Kayu Legal Indonesia ke Pasar Global (1),” National Geographic Indonesia, 23 Januari 2014, [artikel on-line]; tersedia di http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/01/mengantar-kayu-legal-indonesia-ke-pasar-global-1; Internet; diakses pada Januari 02, 2015.

this operators too can continue to access the EU market and the European consumers can continue to enjoy their beautifull products for years to come.”

“Kami menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada kelompok industri, masyarakat madani dan pemerintah Indonesia atas usaha dan kerja keras dalam mewujudkan perubahan ini. Terutama bagaimana para produsen skala kecil dapat bekerjasama untuk mendapatkan sertifikasi SVLK secara kolektif. Beberapa keahlian kayu terbaik berasal dari usaha kecil yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan berbekal SVLK, maka produsen tersebut tetap dapat memasuki pasar Uni Eropa dan konsumen dari negara- negara di Eropa juga dapat terus menikmati

produk kayu asal Indonesia.”182

b. Melatih Perusahaan dengan Operasional Ramah Lingkungan

Dari tahun 2007 hingga 2011, keberadaan gajah borneo perkiraan 20 sampai 80 individu yang tersisa di wilayah utara di perbatasan HoB anatara Indonesia dengan Malaysia.183 Dalam melestarikan keberadaan gajah tersebut WWF melatih perusahaan hutan yang beroperasi di wilayah populasi gajah tersebut. PT Adimitra Lestari adalah contoh dari perusahaan anggota GFTN yang beroperasi di daerah pupulasi gajah Kalimantan, tepatnya di wilayah HoB perbatasan Nunukan dan Sabah.

Pada tanggal 20 sampai 25 September 2012, WWF program GFTN dan PT Adimitra Lestari mengadakan pelatihan dan sosialisasi Sistem Pengelolaan Hutan Lestari (PHPL), FSC dan strategi umum implementasi aspek produksi yan berkaitan erat dengan ekologi dan sosial. Pelatihan ini diperlukan karena PT Adimitra Lestari sebagai perusahaan yang memiliki ijin mengelola suatu kawasan hutan memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian hutan tersebut. Peserta pelatihan tersebut adalah staff PT Adimitra Lestari yang didampingi oleh

182 The European External Action Service (EEAS), “Press Relase: More Than 300 SMEs toward SLVLK Certification in Three Years,”EEAS , March 11th, 2013.

183Ichwan Susanto, “Alih Fungsi Hutan Desak Populasi Gajah Kerdil Borneo,” Kompas, 18 April 2012, [artikel on-line]; tersedia di http://sains.kompas.com/read/2012/04/18/14431296/twitter.com; Internet; diakses pada Januari 02, 2015.

GFTN.184 Partisipasi sektor bisnis dalam pengelolaan habitat satwa dilindungi adalah kunci keberhasilan untuk perlindungan dan pelestarian satwa tersebut, yang tidak menganggap satwa adalah hama lingkungan. Hal ini merupakan implementasi dari ekonomi bisnis hijau, bahwasanya para pembisnis beroperasi tanpa merugikan populasi spesies yang terancam punah.

2. Industri Kelapa Sawit yang Berkelanjutan

Industri kelapa sawit terus menjadi salah satu kontributor yang signifikan bagi pendapatan masyarakat pedesaan dan menjadi sumber devisa negara,185 tetapi tidak sedikit terjadi kerusakan lingkungan akibat pengelolaan yang kurang insentif, oleh karena itu penting untuk mengupayakan industri kelapa sawit yang berkelanjutan demi kelangsungan lingkungan yang lestari. Strategi WWF dalam industri kelapa sawit yang berkelanjutan di HoB adalah program Roundtable on

Sustainable Palm Oil (RSPO). Pada tahun 2004, RSPO didirikan atas inisiatif dan

fasilitasi WWF dan para pemangku kepentingan lainya.186 RSPO dibentuk sebagai tanggapan atas desakan dan tekanan permintaan global akan minyak sawit yang dihasilkan secara berkelanjutan, menerapkan dan menegakan standar konsisten dengan hukum hak asasi manusia internasional dan menghormati hak masyarakat adat.187

184EU ACTIVE, “EU ACTIVE Newsletter Vol. 2/Desember 2012,” EU ACTIVE, Desember 2012,

185 World Growth, Laporan: Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia, (World Growth, Februari

2011), 4, [dokumentasi on-line] tersedia di http://worldgrowth.org/site/wp-content/uploads/2012/06/WG_Indonesian_Palm_Oil_Benefits_Bahasa_Report-2_11.pdf; diakses pada Januari 03, 2015.

186 Asril Darussamin, Murdwi Astuti, et al., Buku Panduan Pelatihan Fasilitator Prinsip dan Kriteria

Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan RSPO untuk Petani, (Jakarta: Indonesian Smallhorders Working Group [INA-SWG], 2011), 2.

187 Forest Peoples Programme (FPP), “Palm oil & RSPO Minyak Sawit dan Hak Masyarakat Hutan,” FPP, [database on-line]; tersedia di http://www.forestpeoples.org/id/topics/responsible-finance/private-sector/palm-oil-rspo; Internet; diakses pada Januari 03, 2015.

Industri kelapa sawit di Indonesia terbagi menjadi dua jenis kepemilikan yaitu perusahaan inti atau besar dan smallholder atau petani kelapa sawit. Perusahaan inti dimiliki oleh publik atau swasta adalah perusahaan yang beroperasi di wilayah seluas 10.000 ha atau lebih, sedangkan smallholder atau petani kelapa sawit adalah petani yang mengembangkan kebun kelapa sawit di bawah 10 ha. Smallholder dibagi menjadi dua yaitu scheme smallholder dan

independet smallholder. Scheme smallholder atau dikenal dengan petani plasma

adalah petani yang pengelolaan kebunnya terkait dengan perusahaan, sedangkan

independent smallholder atau dikenal dengan petani kelapa sawit swadaya adalah

petani yang mengelola dan mendanai kebunnya sendiri atau mandiri dan tidak terikat kontrak dengan perusahaan atau asosiasi manapun.188

Secara mandiri petani kelapa sawit swadaya mengelolah perkebunanya sendiri, tanpa adanya dukungan dari pihak lain. Hal tersebut, banyak masalah yang dihadapi oleh petani, seperti manajemen kebun yang tidak teratur, bibit yang tidak jelas asal usulnya dan yang paling krusial adalah kurangnya pemahaman tentang pengelolaan aspek lingkungan, oleh karena itu program RSPO WWF membantu para petani swadaya yang sangat membutuhkan dukungan untuk mengelola kelapa sawit secara lestari.189

Adapun program yang telah dilakukan WWF dari tahun 2012 sampai 2013 di area HoB, diantaranya:

188WWF Indonesia, “FASDA dan Membangun Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Lestari,” WWF Indonesia

21 Juni 2013, [artikel on-line]; tersedia di

http://www.wwf.or.id/program/wilayah_kerja_kami/kalimantan/heart_of_borneo/?28601/FASDA-dan-Membangun-Perkebunan-Kelapa-Sawit-Rakyat-Lestari; Internet; diakses pada Oktober 07, 2014.

a. Membuat Pelatihan Mengenai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT)

Pada Juni 2012, WWF bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, dan Pokja HoB Kalimantan Timur, untuk membuat pelatihan bagi 40 petani kelapa sawit mengenai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT). Peserta pelatihan berasal dari daerah HoB, yaitu Nunukan, Malinau, Kutai Barat, Bulungan, Berau, Kutai Kartanegara, dan Kutai Timur. KBKT sendiri sudah ditetapkan sebagai salah satu instrumen yang wajib dilakukan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomer 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia. KBKT tidak hanya diterapkan untuk perusahaan, tetapi juga direncanakan untuk perkebunan skala kecil yang dikelola petani kelapa sawit.190

b. Membuat Forum Dialog Pembangunan Komunitas Perkebunan Kelapa Sawit Lestari.

Di sisi lain pada Mei 2013, WWF bekerjasama dengan Forum Fasilitator Daerah (FASDA) Kelapa Sawit, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang dan pihak swasta lain, melakukan forum dialog mengenai pembangunan komunitas perkebunan kelapa sawit lestari. Forum tersebut dihadiri oleh 50 petani kelapa sawit swadaya di tujuh desa kabupaten Sintang191 Forum tersebut merupakan program untuk menyelaraskan agenda pemerintah Indonesia mendorong kebijakan produksi kelapa sawit lestari yang

190 WWF Indonesia, “Langkah penting menuju perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Kalimantan Timur,”

WWF Indonesia, 28 Juni 2012, [artikel on-line]; tersedia di http://www.wwf.or.id/program/wilayah_kerja_kami/kalimantan/heart_of_borneo/?25480/Langkah-penting-menuju-perkebunan-kelapa-sawit-berkelanjutan-di-Kalimantan-Timur; Internet; diakses pada September 29, 2014.

dibangun seiring pelestarian alam dan kehidupan sosial masyarakat, khususnya petani swadaya.

3. Industri Pertambangan Yang Bertanggungjawab

Industri pertambangan telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan ekonomi kawasan HoB, memberikan pendapatan ekspor, pekerjaan, dan sumber daya untuk pembangkit listrik. Namun, tidak sedikit dampak negatif lingkungan yang dihasilkan dari pertambangan yang tidak dikelola secara lestari dan tanggungjawab. Permasalahan umum di daerah HoB adalah jenis pertambangan terbuka, umumnya batubara di daerah sungai. Hal ini berakibat pada hilangnya habitat satwa, kerusakan daerah aliran sungai, degradasi tanah, erosi, isu-isu sosial, degradasi kualitas air, serta adanya limbah-limbah berbahaya yang berkaitan dengan pertambangan.192 Industri pertambangan yang bertanggungjawab adalah solusi yang ditawarkan oleh WWF Indonesia dalam mengelola lingkungan dengan melibatkan perusahaan pertambangan yang berada di kawasan HoB untuk menggunakan prinsip-prinsip pertambangan yang berkelanjutan.193

Dalam skema industri pertambangan lestari, WWF membuat beberapa rekomendasi untuk para perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan HoB. Kegiatan penambangan harus menghindari pembangunan yang berdampak di Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT). Kemudian perusahaan

192HoB Green Economy, “Bisnis & Heart of Borneo,” HoB Green Economy [database on-line]; tersedia di http://www.hobgreeneconomy.org/id/bisnis-heart-of-borneo; Internet; diakses pada Januari 03, 2015.

193 WWF Global, “Business solutions,“ WWF Global, [database on-line];tersedia di http://wwf.panda.org/what_we_do/where_we_work/borneo_forests/borneo_rainforest_conservation/greenbusi nessnetwork/businesssolutions/; Internet; diakses pada Oktober 01, 2014.

pertambang harus membuat “koridor” satwa liar untuk menghubungkan hutan “terfragmentasi” akibat pembukaan lahan kegiatan pertambangan.194

WWF mendorong perusahaan pertambangan untuk menggunakan mekanisme Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (EIA) atau yang dikenal AMDAL di Indonesia. AMDAL adalah mekanisme yang digunakan untuk mengidentifikasi potensi lingkungan dan sosial yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan perusahaan besar ataupun kecil. AMDAL dijadikan sebagai persyaratan hukum dan wajib sebelum memulai operasi petambangan.195 Mekanisme AMDAL secara resmi tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.196

Selanjutnya, dalam hal pengurangan penggunaan air raksa atau merkuri, WWF bekerjasama dengan pihak lain, yaitu inisiatif PBB tentang the Global

Mercury Project dan LSM nasional dalam memberi sosialisasi kepada penambang

skala kecil dan besar untuk mengurangi dampak penggunaan air raksa karena berdampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu inisiatif yang dipimpin PBB, the Global Mercury Project, memberikan teknologi daur ulang air raksa bagi para penambang.197

Kemudian, WWF mendorong perusahaan pertambang, khususnya yang didanai oleh bank komersial multi-nasional, diwajibkan oleh penyandang dananya

194 WWF Indonesia and WWF Malaysia, WWF Bussines Report HoB NI 2011: Business Solutions:

Delivering The Heart of Borneo Declaration Focus On Forestry, Palm Oil And Mining, (Indonesia-Malaysia: WWF and WWF-Malaysia, 2011), 72.

195 Ibid, 73.

196 Kementrian Lingkungan Hidup, “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan,” [dokumentasi on-line]; tersedia di http://www.menlh.go.id/DATA/PP-Nomor-27-Tahun-2012.pdf; Internet; diakses pada Januari 03, 2015.

197 WWF Indonesia and WWF Malaysia, WWF Bussines Report HoB NI 2011: Business Solutions:

Delivering The Heart of Borneo Declaration Focus On Forestry, Palm Oil And Mining, (Indonesia-Malaysia: WWF and WWF-Malaysia, 2011), 76.

untuk menunjukkan manajemen yang tepat terhadap dampak lingkungan dan sosial berdasarkan “Equator Principles”. “Equator Principle” adalah standar de

facto di sektor keuangan untuk menentukan, menilai dan mengelola risiko sosial

dan lingkungan dalam pembiayaan suatu proyek..198

Hasil rekomendasi yang dilakukan WWF kepada para perusahaan pertambangan dapat dilihat di gambar di bawah. Gambar IV.1. di bawah adalah hasil survey dan wawancara tim WWF kepada 15 perusahaan perusahaan pertambangan yang beroperasi di HoB mengenai manfaat dari praktik lingkungan dan sosial yang baik. Manfaat dari kegiatan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab mengasilkan 82% mengenai manajemen risiko lingkungan dan sosial yang baik dan 82% juga berpendapat bahwa perusahaan mereka mendapat manfaat dari citra publik yang baik. Selain itu, ada 73% perusahaan menilai bahwa kegiatan keberlanjutan meningkatkan hubungan mereka dengan pemerintah, LSM dan kelompok masyarakat. Di sisi lain, lebih dari setengah (55%) dari perusahaan tambang menganggap bahwa kegiatan keberlanjutan meningkatkan profitabilitas jangka panjang bagi perusahaan mereka.199

198 Ibid, 77. 199 Ibid, 79.

Gambar IV.1. Manfaat Dari Praktik Lingkungan Dan Sosial Yang Baik Yang Dilaporkan Oleh Perusahaan Pertambangan Di Borneo

WWF Indonesia and WWF Malaysia, WWF Bussines Report HoB NI 2011: Business Solutions: Delivering The Heart of Borneo Declaration Focus On Forestry, Palm Oil And Mining,

79.

Dalam implementasi program pertambangan bertanggungjawab di tahun 2012, analisa digunakan dari data yang diambil dari salah satu perusahaan pertambangan besar di wilayah HoB, yaitu PT. Berau Coal Sambarata, di kabupaten Berau. Rekomendasi WWF kepada industri pertambangan batubara, termasuk PT. Bearu Coal Sambarata, memiliki kewajiban dalam pelaksanaa pertambangan bertanggungjawab. Dalam kegiatan operasi penambangan PT. Berau Coal Site Sambarata, beroperasi berdasarkan dokumen AMDAL dari pemerintah Indonesia dan dokumen perizinan lingkungan lainnya meliputi izin pembuangan air limbah dan izin Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).200

200 Kementrian Lingkungan Hidup, Laporan Hasil Verifikasi Lapangan–Proper 2013

PT. Berau Coal Site Sambarata Kabupaten Berau– Provinsi Kalimantan Timur, (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2013) [dokumentasi on-line]; tersedia di

Pengelolaan pertambangan yang bertanggungjawab dan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di Indonesia, dapat membangun citra perusahaan yang baik. Rekomendasi WWF mengenai pertambangan bertanggungjawab menjadi salah satu kontributor dalam membangun citra perusahaan yang baik. Dengan pengelolaan perusahaan tambang ramah lingkungan, PT. Berau Coal Site Sambarata memperoleh penghargaan Penilaian Peringkat Kinerja Penaatan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER) dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan peringkat “hijau” pada periode 2011-2012, peringkat “hijau” PROPER Pertambangan Batubara Kalimantan Timur periode 2011-2012, penghargaan lingkungan hidup peringkat “utama” pada tahun 2011 dan 2012 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.201

Program pertambangan bertanggungjawab mempunyai posisi yang berbeda dengan program kehutanan dan pertanian kelapa sawit yang berkelanjutan. Tambang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sekali cadangan sumber daya habis ditambang maka selesai kegiatan pertambangan tersebut. Kerusakan lingkungan akibat operasi pertambangan sangatlah krusial, oleh karena itu WWF merekomendasikan solusi yang telah diuraikan diatas supaya industri pertambangan harus dilakukan lebih bijak pada tahapan kegiatan pertambangan, mulai dari eksplorasi, proses produksi, hingga ke rehabilitasi dan penutupan tambang.

Industri kehutanan, kelapa sawit dan pertambangan adalah bagian dari pertumbuhan ekonomi di kawasan HoB, oleh karena itu peran WWF dalam upaya

pembangunan berkelanjutan dalam program inisiatif HoB tidak bisa terlepas dari keterlibatan sektor industri tersebut. WWF mengajak dan mendorong para perusahaan kehutanan, kelapa sawit dan pertambangan untuk menerapkan kaidah lestari yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan cara menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan “fungsi informasi” dari organisasi internasional yang dikemukakan oleh Harold K. Jacobson, bahwasanya “fungsi informasi” dari sebuah organisasi internasional yaitu dengan menyediakan informasi, mengumpulkan, menganalisa dan mempublikasi data, serta menyebarkan informasi yang dibutuhkan dalam perannya.202

WWF dalam menjalankan “fungsi informasinya” menggunakan “strategi

Dokumen terkait