• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

II. Modifiable risk factors

II.5.2. Peranan Albumin pada Stroke Akut

Serum albumin manusia adalah satu molekul yang unik yang merupakan protein utama dalam plasma manusia (3,4 – 4,7 g/dL) dan membentuk kira-kira 60% dari protein plasma total. Kira-kira 40% albumin dijumpai didalam plasma dan 60% yang lain dijumpai di ruang ekstraseluler. Hati menghasilkan kira-kira 12 g albumin per hari yang merupakan kira-kira 25% dari total sintesa protein hati. Ia mempertahankan tekanan osmotok koloid dalam pembuluh darah dan mempunyai sejumlah fungsi penting yang lain (Gum dkk, 2004; Murray, 2006). Albumin melarutkan dan menghantar banyak molekul-molekul kecil dalam darah (contohnya bilirubin, kalsium, progesteron dan obat-obatan), merupakan tempat penyimpanan protein, dan merupakan partikel utama yang menentukan tekanan onkotik plasma, supaya cairan tidak dapat secara bebas melintas antara ruang intra dan extravascular (Rose, 2002).

Sintesi albumin membutuhkan: mRNA untuk translasi; suplai yang cukup asam amino yang diaktivasi dengan berikatan dengan tRNA; ribosom untuk pembentukan dan; energi dalam bentuk ATP. Sintesa albumin dimulai di dalam nukleus, dimana gen ditranskripsikan kedalam messenger ribonucleic acid (mRNA). Kemudian mRNA disekresikan kedalam sitoplasma, dimana ia berikatan dengan ribosom, membentuk polysomes yang mensintesa preproalbumin. Preproalbumin adalah molekul albumin dengan 24 asam amino yang disambung pada terminal N. Sambungan asam amino memberi isyarat penempatan preproalbumin kedalam membran retikulum endoplasma. Setelah berada di dalam lumen retikulum andoplasma, 18 asam amino akan memecah, menyisakan proalbumin ( albumin dengan 6 asam amino yang tersisa). Proalbumin adalah bentuk intraseluler yang utama dari albumin. Proalbumin kemudian dikirim ke Golgi apparatus, dimana 6 sambungan asam amino dipindahkan sebelum albumin disekresi oleh hepatosit (Nicholson dkk, 2000; Parelta dkk, 2006)

Penurunan konsentrasi albumin serum dapat terjadi melalui dua cara: albumin hilang dari tubuh dalam jumlah besar (perdarahan, renal, gastrointestinal, eksudasi kulit yang berat), atau terjadi penurunan produksi albumin (hepatic insufficiency, malnutrisi). Penyebab lain rendahnya albumin termasuk hypoadrenocorticism dan hyperglobulinemia (kerena multiple myeloma). Pada kebanyakan kasus, hypoalbuminemia yang bermakna dapat disebabkan oleh tiga penyebab utama yaitu: hepatic insufficiency, renal loss (protein-losing nephropathy), dan gastrointestinal loss

(protein-losing enteropathy). Walaupun rentang nilai rujukan bervariasi, secara umum, albumin serum kurang dari 2,5 mg/dL disebut abnormal, dan konsentrasi kurang dari 1,5 mg/dL dapat menyebabkan tanda klinis yang bermakna, seperti pembentukan asites dan edema (Rose, 2002).

Malnutrisi sering kurang mendapat perhatian pada penderita stroke akut, walaupun hal tersebut berhubungan dengan peningkatan prevalensi komplikasi, gangguan fungsi imunologis, dan tingginya mortalitas diantara pasien-pasien yang opname di rumah sakit. Respon stres yang terjadi pada penderita stroke akut dapat menyebabkan malnutrisi karena proses katabolisme yang berlebihan dan konsumsi visceral yang sering terjadi pada minggu pertama disamping tingginya frekuensi infeksi pernafasan, saluran kemih dan bedsore. Keadaan stres dan malnutrisi tersebut dapat memperburuk outcome dan mortalitas yang lebih tinggi serta memperlama tinggal di rumah sakit. Sehingga malnutrisi merupakan prediktor yang penting dari buruknya prognosis (Davalos dkk, 1996).

Frekuensi malnutrisi yang terjadi setelah stroke bervariasi dari 8% - 34% tergantung penelitian. Dalam praktek klinis yang rutin, tidak mudah untuk menilai status nutrisi pasien stroke karena beberapa alasan: anamnese mengenai diet dan berat badan tidak bisa dilakukan jika pasien mempunyai masalah komunikasi; sumber informasi yang lain tidak dapat diperoleh jika pasien hidup sendiri; pemeriksaan sederhana dengan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk menentukan body mass index mungkin sulit dilakukan atau tidak mungkin pada pasien stroke yang tidak bisa bergerak; peralatan khusus seperti tempat tidur dengan alat pengukur yang dapat mengangkat kursi roda mungkin tidak tersedia di unit stroke. Dari penelitian Feed Or Ordinary Diet (FOOD) diperolah bukti yang dapat dipercaya bahwa status nutrisi dini setelah stroke berhubungan dengan outcome jangka panjang (FOOD Trial Collaboration, 2003).

Beberapa penelitian mengandalkan albumin serum sebagai penanda status nutrisi. Hal ini dapat merupakan pengukuran yang berguna dimana perubahan yang akut pada nutrisi perlu diperiksa dalam waktu kurang dari 1 bulan. Walaupun demikian, kadang-kadang sulit untuk membedakan antara perubahan serum albumin yang disebabkan oleh gangguan nutrisi dengan proses penyakit yang mendasari. Davis dkk yang menggunakan subjective global assessment (SGA), suatu metode pemeriksaan nutrisi yang tervalidasi untuk menilai pengaruh nutrisi yang tidak normal sebelumnya pada outcome stroke menemukan bahwa nutrisi yang tidak normal

sebelumnya dapat meningkatkan resiko outcome yang buruk pada 1 bulan setelah stroke. Disamping itu strategi yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan nutrisi yang tidak normal pada populasi yang beresiko untuk stroke dapat memperbaiki outcome setelah stroke (Davis dkk, 2004).

Serum albumin manusia adalah protein multifungsi yang unik yang berkhasiat sebagai neuroprotektif. Penelitian eksperimental pada binatang dengan stroke akut memperlihatkan bahwa terapi albumin pada dasarnya memperbaiki fungsi neurologis, yang ditandai dengan berkurangnya volume infark serebral, berkurangnya pembengkakan otak dan penumpukan natrium, bahkan walaupun diberikan setelah lebih dari 2 jam onset iskemia. (Dziedzic dkk, 2004; Gum dkk, 2004). Walaupun pada beberapa penelitian, albumin manusia memperlihatkan manfaat yang bermakna pada pengobatan stroke iskemik dan hematoma intrakortikal akut, mekanisme neuroproteksinya belum diketahui. Sejumlah mekanisme yang telah diuji termasuk pengaruh albumin manusia pada perfusi lokal serebral, kerusakan blood-brain barrier, respon asam lemak sistemik dan patensi pembuluh darah kecil. Kebanyakan dari mekanisme ini kemungkinan memberikan kontribusi tetapi belum ada mekanisme yang cukup kuat dilaporkan mempunyai efek neuroprotektif besar (Belayev, 2002; Gum dkk, 2004; Belayev, 2005)

Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa dosis albumin 1,25 – 2,5 g/kg berat badan jelas merupakan neuroprotektif, dapat mengurangi volume infark pada iskemia fokal 60% - 65% dan jelas mengurangi perluasan pembengkakan otak dengan jendela terapi sampai 4 jam (Ginsberg, 2003). Sementara pada Albumin in acute stroke (ALIAS) Pilot Trial, albumin manusia 25% dalam rentang dosis diatas 2,05 g/kg dapat ditoleransi oleh pasien-pasien dengan stroke iskemik akut tanpa komplikasi berat yang dibatasi oleh dosis. Hanya 13% yang mengalami edema pulmonal ringan sampai sedang yang segera dapat diatasi dengan pemberian diuretik (Ginsberg dkk, 2006 ). Subjek yang menjalani terapi tPA yang menerima albumin dosis tinggi tiga kali memperoleh outcome yang baik dibandingkan dengan subjek yang menerima dosis rendah albumin, menduga bahwa ada efek sinergistik positif antara albumin dengan tPA (Palesch, 2006)

Penelitian lain menyebutkan bahwa dosis rendah albumin memberikan neuroproteksi yang kuat pada satu model iskemia serebral fokal. Hal ini menguntungkan secara klinis karena dapat mengurangi kejadian acute intravascular volume overload dan congestive heart failure pada

pasien-pasien dengan gangguan fungsi kardiovascular yang diterapi dengan albumin dosis tinggi (Belayev, 2005).

Dokumen terkait