• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Albumin Serum Dan Outcome Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kadar Albumin Serum Dan Outcome Penderita Stroke Iskemik Dengan Dan Tanpa Diabetes"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN SERUM DAN OUTCOME

FUNGSIONAL PENDERITA STROKE ISKEMIK DENGAN DAN

TANPA DIABETES

TESIS

OLEH

ROBERTHUS BANGUN

Nomor Register CHS : 15431

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2008

(2)

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN SERUM DAN OUTCOME

FUNGSIONAL PENDERITA STROKE ISKEMIK DENGAN DAN

TANPA DIABETES

TESIS

Untuk memperoleh gelar spesialis dalam program studi Ilmu Penyakit Saraf pada

Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan

OLEH

ROBERTHUS BANGUN

Nomor Register CHS : 15431

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2008

Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR ALBUMIN SERUM DAN OUTCOME FUNGSIONAL PENDERITA STROKE ISKEMIK DENGAN DAN TANPA DIABETES

Nama : ROBERTHUS BANGUN Nomor register CHS : 15431

Program studi : Ilmu Penyakit Saraf

(3)

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Kiking Ritarwan, Sp.S, MKT Prof.Dr. Darulkutni Nasution,Sp.S (K) NIP. 132 161 243 NIP. 130 535 847

Mengetahui/Mengesahkan

Ketua Program Studi Ketua Departemen Neurologi Departemen Neurologi FK – USU/ FK – USU/

RSUP. H. Adam Malik Medan RSUP. H. Adam Malik Medan

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, SpS (K) NIP. 131 124 054 NIP. 130 702 008

Tanggal lulus :

Telah diuji pada

Tanggal 27 Mei 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof.DR.Dr. Hasan Sjahrir, SpS(K)

2. Prof.Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K)

3. Dr. Darlan Djali, SpS

4. Dr. Yuneldi Anwar, SpS(K)

(4)

6. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, SpS

7. Dr. Aldy S. Rambe, SpS

8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS

9. Dr. Khairul P. Surbakti, SpS

10. Dr. Cut Aria Arina, SpS

(5)

ABSTRAK

Latar Belakang : Diabetes merupakan salah satu faktor resiko yang paling penting untuk stroke iskemik dan berpengaruh pada outcome yang lebih buruk dari pada mereka yang bukan hiperglikemia dan diabetes. Diabetes juga dapat menurunkan sintesa albumin yang berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada orang dewasa. Walaupun konsentrasi albumin serum kelihatannya berhubungan dengan survival dan outcome, masih belum jelas apakah berhubungan dengan gangguan fungsional khususnya keterbatasan fungsional pada penderita diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar albumin serum pada penderita stroke iskemik yang menderita penyakit diabetes dan yang tidak menderita diabetes terhadap outcome fungsional yang dinilai dengan Bartel index (BI) dan Modified Rankin Scale (MRS).

Metodologi : Penelitian ini merupakan studi prospektif terhadap 30 orang penderita stroke iskemik dengan diabetes dan 30 orang penderita stroke iskemik tanpa diabetes yang dirawat di bangsal neurologi FK USU/RSUP H. Adam malik Medan periode Nopember 2007 sampai April 2008. Kadar albumin diperiksa pada hari ke-3 setelah masuk rumah sakit dan dinilai BI dan MRS pada hari ke-7 dan 14.

Hasil : Sebanyak 30 orang penderita stroke iskemik akut dengan diabetes (15 laki-laki, umur rata-rata 61,37 tahun, kadar gula darah puasa rata-rata-rata-rata 199,2 mg/dL, kadar albumin serum rata-rata-rata-rata 3,156 g/dL) memperoleh rata-rata skor BI hari ke-7 dan 14 berturut-turut 73 dan 81,5 dan skor MRS < 4 hari ke-7 dan 14 berturut-turut didapati pada 23 pasien (76,7%) dan 24 pasien (80%) sementara 30 orang penderita stroke iskemik akut tanpa diabetes (23 laki-laki, umur rata-rata 58,67 tahun, kadar gula darah puasa rata-rata 93,37 mg/dL, kadar albumin serum rata-rata 3,402 g/dL) memperoleh rata-rata skor BI hari ke-7 dan 14 berturut-turut 60,5 dan 69,8 dan skor MRS < 4 hari ke-7 dan 14 berturut-turut didapati pada 17 pasien (56,7%) dan 19 pasien (63,3%).

Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara kadar serum albumin dan outcome fungsional penderita stroke iskemik dengan dan tanpa diabetes.

Kata kunci : Albumin, outcome fungsional, stroke iskemik, diabetes

(6)

ABSTRACT

Background : Diabetes mellitus is one of the major risk factor for ischemic stroke and can cause

worse outcome compared to those without hyperglycemia and diabetes. Diabetes mellitus can also decrease albumin synthesis which is related to mortality and morbidity in adult. Although serum albumin level seems to be related to survival and outcome, it is not yet clear whether it is correlated to functional outcome disturbance, especially in diabetic patients. The objective of this study was to determine the influence of serum albumin level on ischemic stroke patients with diabetes and without diabetes toward functional outcome assessed with Bartel index (BI) and Modified Rankin Scale(MRS).

Methods : This was a prospective study toward 30 ischemic stroke patients with diabetes and 30

ischemic stroke patients without diabetes in neurology ward at Haji Adam Malik hospital between the periode of November 2007 – April 2008. Serum albumin level was examined on the 3rd day after admission and BI and MRS were evaluated on day 7 and 14.

Result : There were 30 ischemic stroke patient with diabetes (15 male, mean age 61.37 years,

mean fasting glucose level 199.2 mg/dL, mean serum albumin level 3.156 g/dL) had mean BI score 73 and 81.5 respectively on day 7 and 14 and MRS score < 4 in 23 patients (76,7%) and 24 patients (80%) respectively on day 7 and 14 while 30 ischemic stroke patient without diabetes (23 male, mean age 58,67 years, mean fasting glucose level 93.37 mg/dL, mean serum albumin level 3,402 g/dL) had had BI score 60.5 and 69.8 respectively on day 7 and 14 and MRS score < 4 in 17 patient (56.7%) and 19 patients (63.3%) .

Conclusion : There were no relation between serum albumin level and functional outcome of

ischemic stroke patients with and without diabetes.

Keyword : Albumin, functional outcome , ischemic stroke, diabetes

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha kuasa atas segala berkat,

rahmat dan kasihNya yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir

dalam Program Pendidikan spesialisasi di Bidang Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara / Rumah sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini

masih dijumpai banyak kekurangannya, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis

mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan

datang.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya, kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis,

DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. Dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K), (Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai peserta PPDS I ) yang telah

memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi peserta Program Pendidikan Dokter

Spesialis di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, Dekan Fakultas Kedokteran

yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis Saraf

di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Prof. Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K), (Ketua Departemen Neurologi FK –

USU Saat penulis diterima sebagai PPDS) yang telah memberikan kesempatan pada penulis

untuk menjadi peserta didik serta memberi bimbingan selama mengikuti program pendidikan

spesialis ini.

Yang terhormat Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Sumatera Utara Prof.

DR. Dr. Hasan Sjahrir, SpS(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, arahan serta

dorongan semangat yang tak ternilai selama penulis mengikuti program pendidikan spesialis ini.

(8)

Yang terhormat Dr. H. Hasanuddin Rambe, SpS(K), (Ketua Program Studi saat penulis

diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia menerima penulis menjadi peserta didik serta

banyak memberi bimbingan dalam menjalankan proses pendidikan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran

Universitas umatera Utara, Dr. H. Rusli Dhanu, SpS(K) yang telah memberikan kesempatan,

bimbingan dan arahan serta dorongan semangat dalam menjalani pendidikan spesialis ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr.

Kiking Ritarwan, SpS, MKT dan Prof. Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K) selaku pembimbing penulis

yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengkoreksi dan mengarahkan

penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Kepada guru-guru saya, Dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K), almarhum., Dr. Ahmad

Syukri Batubara, Sp.S(K) almarhum., Dr. LBM Sitorus, Sp.S., Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S., Dr.

Yuneldi Anwar, SP.S(K)., Dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S., Dr. Dadan Hamdani, Sp.S., Dr. Aldy S

Rambe, Sp.S., Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S., Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S dan Dr. Cut Aria

Arina, Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen

Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP H. Adam Malik

Medan, terimakasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan

yang telah penulis terima.

Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak

membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam pembuatan tesis ini, penulis

mengucapkan terimaksih sebesar-besarnya.

Kepada Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit Umum

Tembakau Deli Medan, Rumah Sakit Kesdam I Bukit Barisan, Rumah Sakit Sri Pamela PTP N III

Tebing Tinggi, dan Rumah Sakit Umum F.L Tobing Sibolga yang telah memberikan kesempatan,

fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini

sampai selesai.

Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat PPDS-I Departemen

Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, atas bantuan dan kerja sama yang terjalin baik

serta dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi.

(9)

Ucapan terima kasih kepada Bapak Amran Sitorus, Sukirman Aribowo, dan seluruh

perawat di Departemen Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan yang membantu penulis dalam

pelayanan pasien sehari-hari.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua saya, Andar

Antonius Bangun, BA dan Lucia Tarsim Br Ginting yang telah membesarkan saya dengan penuh

kasih sayang, membekali saya dengan pendidikan, kebiasaan hidup disiplin, jujur, kerja keras dan

bertanggung jawab, memberikan bimbingan, dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang

tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak dan Ibu mertua saya,

Lettu. A. Hutabarat almarhum dan H. Br Siburian yang terus memberikan dorongan, nasehat serta

doa yang tulus hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini.

Teristimewa kepada istriku tercinta Dra. Nurhayati Magdalena Br Hutabarat dan ananda

Oktomayer Primonta Bangun, Tictano Enryco Bangun dan Daniel Dacosta Bangun yang dengan

sabar dan penuh pengertian, mendampingi dalam suka dan duka, saya ucapkan terima kasih yang

setulus-tulusnya.

Kepada semua rekan dan sahabat yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu yang

telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini

masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis

mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan

datang. Akhirnya penulis mengaharapkan semoga penelitaian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, 27 Mei 2008

Dr. Roberthus Bangun

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dr. Roberthus Bangun Tempat/tanggal lahir : Medan, 04 Nopember 1968

Agama : Katholik

Pekerjaan : -

Nama Ayah : Andar Antonius Bangun, BA Nama Ibu : Lucia Tarsim Br Ginting

Nama Istri : Dra. Nurhayati Magdalena Br Hutabarat Nama Anak : 1. Oktomayer Primonta Bangun

2. Tictano Enryco Bangun 3. Daniel Dacosta Bangun

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD Gloria Medan, tamat tahun 1981.

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Putri Cahaya Medan, tamat tahun 1984. 3. Sekolah Menengah Atas di SMA Santo Thomas Yogyakarta, tamat tahun 1987. 4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 1995.

Riwayat Pekerjaan

1. Dokter PTT Puskesmas Binanga, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, tahun 1996 sampai tahun 1997.

2. Kepala Puskesmas Binanga, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, tahun 1997 sampai tahun 1999.

3. Dokter RSU Sari Mutiara Medan, tahun 1999 sampai 2003. 4. Dokter RSU Sembiring Deli Tua, tahun 2000 sampai tahun 2007.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK ………... i

ABTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ………... iii - vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... viii

DAFTAR ISI ………... ix - xi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ………... xii - xiii

DAFTAR TABEL ………... xiv – xv

DAFTAR GRAFIK ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ………..………... 1 - 7

I.1. Latar belakang……… 1 - 7

I.2. Perumusan masalah ... 8

I.3. Tujuan Penelitian ………... 8 - 9

I.3.1. Tujuan Umum ……….. 8

I.3.2. Tujuan khusus ………. 8

I.4. Hipotesis ... 9

I.5. Manfaat Penelitian ………. 9 - 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 11 - 58

II.1. Definisi………... 11

II.2. Epidemiologi....……….…………. 11 - 14

II.3. Klasifikasi………..………. 15 - 23

II.4 Faktor Resiko ....………... 23 - 31

II.5. Patofisiologi………... 31 - 51

II.6. Peranan Brain Imaging ..……….... 51 - 53

II.7. Penatalaksanaan………..………... 53 - 55

II.8. Outcome Fungsional Stroke ……….. 55 - 57

(12)

BAB III. METODE PENELITIAN .………... 59 - 70

(13)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 128 - 129

V.1. KESIMPULAN ……….... 132 - 134

V.2. SARAN ……….... 134

KEPUSTAKAAN ………... 135 – 146

LAMPIRAN ………. 147 - 161

(14)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

AACE : American Association of Clincal Endocrinologists ACE : American College of Endocrinology

ADA : American Diabetes Association ADL : Activity Daily Living

ALIAS : Albumin in Acute Stroke AODM : Adult Onset Diabetes Mellitus

ASNA : ASEAN(Association of South East Asian Nations) Neurological Association

(15)

judgement) SD : Sekolah Dasar

SKG : Skala Koma Glasgow

SGA : Subjective Global Assessment SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama TACI : Total Anterior Circulation Infarct TIA : Transient Ischemic Attack TNF : Tumour Necrosis Factor WHO : World Health Organization

Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah ditentukan = 1,96

Zβ : Nilai baku normal berdasarkan nilai β yang telah ditentukan = 1,282

% : Persen

≥ : lebih besar atau sama dengan

≤ : lebih kecil atau sama dengan

< : lebih kecil dari

> : lebih besar dari

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Clinical Features, Anatomy, Pathology, Aetiology and Prognosis of the four Clinical Stroke Syndrome.

Tabel 2. Kriteria Klasifikasi Glukometabolik berdasarkan WHO dan ADA.

Tabel 3. Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus

Tabel 4. Kriteria Diagnostik Prediabetes

Tabel 5. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Tabel 6. Prevalence of Vascular Risk Factors in 244 patients with a First – Ever - in – a Lifetime Ischemic Stroke (Cerebral Infarction) in the Oxfordshire Community Stroke Project.

Tabel 7. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

Tabel-8. Riwayat penyakit, merokok dan pemakaian alkohol pada subjek stroke iskemik dengan diabetes dibanding tanpa diabetes

Tabel-11. Hasil pemeriksaan CT scan kepala subjek stroke iskemik dengan diabetes dibanding tanpa diabetes

Tabel-12. Hasil pemeriksaan gangguan motorik subjek stroke iskemik dengan diabetes dibanding tanpa diabetes

Tabel-13. Distribusi kadar albumin serum subjek stroke iskemik dengan diabetes dibanding tanpa diabetes menurut umur dan jenis kelamin

Tabel-14. Hasil pemeriksaan rata-rata kadar albumin serum dan kadar gula darah subjek stroke iskemik dengan diabetes dibanding tanpa diabetes

Tabel-15. Distribusi skor Barthel Index hari ke-7 pada subjek stroke iskemik dengan dan tanpa diabetes menurut status demografi

(17)

Tabel-20. Distribusi skor BI hari ke-14 pada subjek stroke iskemik dengan dan tanpa diabetes menurut CT scan kepala

Tabel-21. Distribusi skor MRS hari ke-7 dan 14 pada subjek stroke iskemik dengan diabetes menurut CT scan kepala

Tabel-22. Distribusi skor MRS hari ke-7 dan 14 pada subjek stroke iskemik tanpa diabetes menurut CT scan kepala

Tabel-23. Distribusi gambaran CT scan kepala pada subjek stroke iskemik dengan dan tanpa diabetes menurut kadar albumin serum

Tabel-24. Distribusi skor BI dan MRS hari ke-7 dan 14 pada subjek stroke iskemik dengan dan tanpa diabetes menurut kadar albumin serum

(18)

DAFTAR GRAFIK

Grafik-1. Distribusi kadar albumin serum kelompok diabetes dan tanpa diabetes

Grafik-2. Distribusi kadar gula darah kelompok diabetes dan tanpa diabetes

Grafik-3. Distribusi skor BI hari ke-7 dan 14 pada kelompok diabetes dan tanpa diabetes

Grafik-4. Distribusi skor BI hari ke-7 dan 14 pada kelompok diabetes dan tanpa diabetes

Grafik-5. Hubungan kadar albumin serum dan skor BI hari ke-7 pada kelompok diabetes dan Non Diabetes

Grafik-6. Hubungan kadar albumin serum dan skor BI hari ke-14 pada kelompok diabetes dan Non Diabetes

Grafik-7. Hubungan kadar albumin serum dan skor MRS hari ke-7 pada kelompok diabetes dan Non Diabetes

Grafik-8. Hubungan kadar albumin serum dan skor MRS hari ke-14 pada kelompok diabetes dan Non Diabetes

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Persetujuan Ikut Dalam Penelitian

2. Lembar Pengumpulan Data Penelitian

3. National Institute of Health Stroke Scale

4. Index Barthel

5. Modified Rankin Scale

6. Data pasien stroke iskemik dengan diabetes

7. Data pasien stroke iskemik tanlpa diabetes

8. Lembar Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

9. Rangkuman pertanyaan dan jawaban

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Stroke adalah penyebab kematian terbanyak ketiga di Amerika Serikat demikian juga

di seluruh dunia setelah penyakit jantung dan kanker dan setiap tahunnya 700.000 orang

mengalami stroke baru atau berulang. Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan

200.000 merupakan serangan ulang. Rata-rata, setiap 45 detik seseorang di Amerika Serikat akan

mengalami stroke (Machfoed, 2003; Hacke dkk, 2003; William, 2001; Manji, 2007; Fitzsimmons,

2007; Air and Kissela, 2007; Rosamond dkk, 2007).

Dari data penderita yang rawat inap di bangsal neurologi Rumah Sakit H. Adam Malik

Medan pada tahun 2006 diperoleh bahwa dari 598 orang yang opname, 203 (33%) orang

merupakan stroke iskemik dan 41(7%) orang merupakan stroke hemoragik (Departemen

Neurologi, 2006).

Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh Survei ASNA

(ASEAN Neurological Association) di 28 Rumah Sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan

pada penderita stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study). Penderita laki-laki

lebih banyak dari perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun yaitu 11,8%, usia 45 – 64 tahun

berjumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5% (Misbach, 2007).

Resiko stroke akan meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya faktor resiko.

Resiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah 30% dan populasi yang pernah menderita

stroke memiliki kemungkinan serangan ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal.

Tekanan darah tinggi dan diabetes masih merupakan faktor resiko jangka panjang yang penting.

Kira-kira 40% - 60% pasien diebetes terkomplikasi dengan hipertensi yang mana merupakan

faktor resiko yang paling kuat untuk stroke. Apabila diebetes dan hipertensi terjadi bersamaan,

resiko untuk stroke semakin meningkat secara drastis (Gilroy, 2000; Eguchi dkk, 2003; Kelompok

Studi Serebrovaskuler Perdossi, 2004; Hu dkk, 2005; Harmsen dkk, 2006; Goldstein dkk, 2006).

Diabetes jelas merupakan salah satu faktor resiko yang paling penting untuk stroke

iskemik, khususnya pasien-pasien yang berumur kurang dari 65 tahun tetapi data pada stroke

(21)

hemoragik masih kontroversial walaupun laporan terbaru dari studi Framingham diduga terjadi

peningkatan resiko stroke hemorhagik pada diabetes tipe 2. Kira-kira 30% pasien dengan

aterosklerosis otak terbukti adalah diabetes melitus dan insidens stroke dua kali lipat lebih tinggi

pada pasien diabetes dari pada non diabetes (Gilroy, 2000; Hankey dan Lees, 2001; Ryden dkk,

2007).

Penyakit serebrovaskuler merupakan komplikasi vaskuler jangka panjang dari diabetes

tipe 1 dan tipe 2 disamping penyakit jantung iskemik dan penyakit arteri perifer. Pada penelitian

prospektif di Finlandia dengan follow up selama 15 tahun, diabetes adalah faktor resiko tunggal

yang paling kuat untuk stroke (relative risk untuk laki-laki 3,4 dan untuk wanita 4,9 ) Diperkirakan

20,8 juta penduduk Amerika menderita diabetes dan sebanyak 37 – 42 % dari semua stroke

iskemik di Amerika disebabkan oleh efek diabetes sendiri atau kombinasi dengan hipertensi

(Kissela dkk, 2005; Marshall dan Flyvbjerg, 2006; Rodbard dkk, 2007; Ryden dkk, 2007).

Komponen sindroma metabolik dengan hubungan yang paling kuat dengan stroke

iskemik dan Transient Ischemic Attack (TIA) adalah hipertensi dan gangguan glukosa puasa.

Walaupun sindroma metabolik tanpa diabetes adalah faktor resiko yang kurang kuat untuk stroke

iskemik dan TIA dari pada dengan diabetes (Koren-Morag dkk, 2005).

Kenaikan kadar glukosa darah ditemukan pada 43% penderita stroke akut, dan 25%

diantaranya adalah penderita diabetes dan dalam jumlah yang sama (25%) ditemukan kenaikan

Hemoglobin A1c pada serum. Setengahnya lagi (50%) yaitu penderita nondiabetes dengan respon

hiperglikemia akibat stroke (Misbach, 1999).

Diabetes secara nyata meningkatkan resiko aterosklerosis di pembuluh koroner,

serebral dan perifer dengan konsekuensi klinis berupa infark miokard, stroke, iskemia ekstremitas

dan kematian (Luscher dkk, 2003). Pada penderita diabetes tipe 2, resiko untuk terjadinya infark

miokard atau stroke meningkat 2 – 3 kali lipat dan resiko kematian meningkat 2 kali lipat (Almdal

dkk, 2004). Pada populasi stroke yang berumur kurang dari 55 tahun, diabetes meningkatkan

resiko stroke lebih dari 10 kali lipat (Beckman dkk, 2002). Perkiraan resiko stroke pada populasi

diabetes tipe 2 dibandingkan dengan populasi tanpa diabetes paling tinggi terjadi pada wanita

muda, walaupun resiko ini menurun dengan bertambahnya usia. Pasien-pasien yang berumur

(22)

lebih dari 75 tahun masih berada pada resiko yang paling tinggi. Resiko stroke juga berhubungan

dengan lamanya menderita diabetes tipe 2 (Mulnier dkk, 2006; Janghorbani dkk, 2007).

Meskipun patogenesis stroke pada pasien-pasien dengan diabetes belum jelas,

hiperglikemia dan diabetes berpengaruh pada outcome yang lebih buruk dari pada mereka yang

bukan hiperglikemia dan diabetes (Kagansky dkk, 2001; Beckman dkk, 2002; Air dan Kissela,

2007). Candelise dkk, menemukan bahwa hiperglikemia sebagai petanda dari stroke yang lebih

berat. Sehingga outcome yang buruk diantara pasien-pasien dengan hiperglikemia dapat

merupakan sebagian dari gambaran keseriusan yang terjadi pada pembuluh darah itu sendiri

(Adam dkk, 2007).

Diabetes berhubungan dengan meningkatnya resiko stroke iskemik dan meningkatnya

mortalitas pasien-pasien dengan stroke. Resiko yang tinggi ini telah dihubungkan dengan

perubahan patofisiologi yang dilihat pada pembuluh darah otak pasien dengan diabetes (Caplan,

2000; Sacco dan Boden-Albala, 2001; Magherbi dkk, 2003; Air dan Kissela, 2007 ). Beberapa

penelitian secara umum telah menemukan peningkatan angka mortalitas 30 hari dan 1 tahun

diantara pasien-pasien hiperglikemia walaupun peningkatan angka mortalitas ini tidak ditemukan

pada penelitian lain. Morbiditas yang ditetapkan sebagai perbaikan outcome fungsional dan

neurologis, juga mengalami perburukan dalam kasus-kasus dengan hiperglikemia dan diabetes

(Air dan Kissela, 2007).

Konsentrasi albumin dalam serum telah lama diketahui sebagai indikator kasar keadaan

kesehatan umum seorang individu. Konsentrasi albumin dalam serum sedang sampai sangat

rendah berhubungan dengan morbiditas dan semua penyebab mortalitas pada orang dewasa.

Walaupun konsentrasi albumin serum kelihatannya berhubungan dengan survival dan outcome,

tetapi masih belum jelas apakah berhubungan dengan gangguan fungsional khususnya

keterbatasan fungsional yang ditemukan pada penyakit diabetes mellitus. Castaneda dkk pada

penelitiannya mendapatkan bahwa konsentrasi serum albumin yang rendah berhubungan dengan

diabetes dan rendahnya midupper arm muscular area dan disabilitas pada activities of daily living

(ADL) (Castaneda dkk, 2000).

Diabetes mellitus menyebabkan penurunan sintesa albumin dan mRNA albumin.

Konsentrasi mRNA diperlukan untuk aksi pada ribosom adalah faktor penting untuk mengontrol

(23)

kecepatan sintesa albumin. Trauma dan proses penyakit akan mempengaruhi mRNA.

Pengurangan konsentrasi mRNA albumin yang disebabkan oleh berkurangnya transkripsi gen

dapat dilihat pada reaksi fase akut yang diperantarai oleh cytokine terutama interleukin-6 (IL-6)

dan tumour necrosis factor α (TNF-α). Lingkungan hormonal juga dapat mempengaruhi

konsentrasi mRNA. Insulin dibutuhkan untuk sintesa albumin yang cukup. Penderita diabetes

mengalami penururnan sintesa, yang dapat diperbaiki dengan pemberian infus insulin (Wanke dan

Wong, 1991; Nicholson dkk, 2000).

Serum albumin manusia adalah protein multifungsi yang unik yang berkhasiat sebagai

neuroprotektif. Penelitian eksperimental pada binatang dengan stroke akut memperlihatkan bahwa

terapi albumin pada dasarnya memperbaiki fungsi neurologis, yang ditandai dengan berkurangnya

volume infark serebral, berkurangnya pembengkakan otak dan penumpukan natrium, bahkan

walaupun diberikan setelah lebih dari 2 jam onset iskemia. (Dziedzic dkk, 2004; Gum dkk, 2004).

Pada Albumin in acute stroke (ALIAS) Pilot Trial, albumin manusia 25% dalam rentang

dosis diatas 2,05 g/kg dapat ditoleransi oleh pasien-pasien dengan stroke iskemik akut tanpa

komplikasi berat yang dibatasi oleh dosis. Hanya 13% yang mengalami edema pulmonal ringan

sampai sedang yang segera dapat diatasi dengan pemberian diuretik (Ginsberg dkk, 2006).

Subjek yang menjalani terapi tPA yang menerima albumin dosis tinggi tiga kali memperoleh

outcome yang baik dibandingkan dengan subjek yang menerima dosis rendah albumin, menduga

bahwa ada efek sinergistik positif antara albumin dengan tPA (Palesch dkk, 2006).

Walaupun pada beberapa penelitian memperlihatkan manfaat yang bermakna serum

albumin manusia pada pengobatan stroke, mekanisme neuroproteksinya belum diketahui.

Sejumlah mekanisme yang mungkin telah diuji termasuk pengaruh serum albumin manusia pada

perfusi lokal serebral, kerusakan blood-brain barrier, respon asam lemak sistemik dan patensi

pembuluh darah kecil. Sementara kebanyakan dari mekanisme ini kemungkinan memberikan

kontribusi, belum ada mekanisme yang cukup kuat dilaporkan mempunyai efek neuroprotektif

besar (Belayev, 2002; Gum dkk, 2004).

Outcome fungsional pasien-pasien stroke iskemik yang diukur 3 bulan setelah onset

stroke dengan menggunakan modified Rankin Scale (mRS) memperlihatkan bahwa pada

(24)

pasien stroke akut dengan kadar albumin serum yang relatif tinggi menurunkan resiko outcome

yang buruk(Dziedzic dkk, 2004).

I.2. Perumusan Masalah

I.2.1. Bagaimana hubungan antara kadar albumin serum dan outcome fungsional penderita stroke

iskemik dengan dan tanpa diabetes.

I.2.2. Bagaimana hubungan karakteristik demografi (umur, sex, suku, tingkat

pendidikan) dengan kadar albumin serum dan outcome fungsional penderita stroke iskemik

dengan dan tanpa diabetes.

I.3. Tujuan Penelitian

I.3.1. Tujuan umum:

Untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin serum dan outcome fungsional

penderita stroke iskemik dengan dan tanpa diabetes

I.3.2. Tujuan khusus:

I.3.2.1. Untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin serum dengan outcome fungsional

penderita stroke iskemik tanpa diabetes.

I.3.2.2. Untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin serum dengan outcome fungsional

penderita stroke iskemik dengan diabetes

I.3.2.3. Untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin serum dengan luas lesi pada gambaran

CT scan kepala penderita stroke iskemik tanpa diabetes.

I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin serum dengan luas lesi pada gambaran

CT scan kepala penderita stroke iskemik dengan diabetes.

I.3.2.5. Untuk mengetahui outcome fungsional penderita stroke iskemik dengan diabetes dan

tanpa diabetes.

I.3.2.6. Untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi (umur, sex, suku, tingkat pendidikan)

dengan kadar albumin serum dan outcome fungsional pada penderita stroke iskemik

dengan diabetes dan tanpa diabetes.

(25)

I.4. Hipotesis

Ada hubungan antara kadar albumin serum dengan outcome fungsional penderita stroke

iskemik dengan dan tanpa diabetes.

I.5. Manfaat Penelitian

I.5.1. Dengan mengetaui hubungan antara kadar albumin serum dengan outcome fungsional

penderita stroke iskemik dengan atau tanpa diabetes maka dapat dilakukan

penatalaksanan terhadap hipoalbuminemia, hiperglikemia dan diabetes yang terjadi pada

penderita stroke akut sehingga diperoleh outcome fungsional yang lebih baik.

I.5.2. Dengan mengetaui hubungan antara kadar albumin serum dengan outcome fungsional

penderita stroke iskemik dengan atau tanpa diabetes maka dapat dilakukan strategi

pencegahan terjadinya hipoalbuminemia dan diabetes pada orang-orang yang beresiko

tinggi terjadinya stroke.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Stroke (WHO, 1986) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan

fungsi otak (fokal atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih

atau menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok

Studi Serebrovaskuler & Neurogeriatri Perdossi, 1999).

Stroke iskemik adalah suatu defisit neurologis yang berlangsung secara tiba-tiba yang

disebabkan oleh oklusi pembuluh darah fokal yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen

dan glukosa ke otak dan selanjutnya terjadi kegagalan proses metabolisme di daerah yang terlibat

(Hacke dkk, 2003).

II.2. Epidemiologi

Stroke adalah penyebab kematian terbanyak ketiga di Amerika Serikat demikian juga di

seluruh dunia setelah penyakit jantung dan kanker dan setiap tahunnya 700.000 orang akan

mengalami stroke baru atau berulang. Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan

200.000 merupakan serangan ulang. Rata-rata, setiap 45 detik seseorang di Amerika Serikat akan

mengalami stroke (Machfoed, 2003; Hacke dkk, 2003; William, 2001; Manji, 2007 ; Fitzsimmons,

2007; Air dan Kissela, 2007; Rosamond dkk, 2007).

Diantara penduduk asli Amerika, Indian/Alaska yang berumur 18 tahun dan lebih, 5,1%

mengalami stroke. Diantara orang Amerika yang berkulit hitam atau Afrika angkanya 3,2%, pada

mereka yang berkulit putih 2,5%, dan pada orang-orang Asia 2,4%. Prevalensi silent infark serebri

diantara umur 55 – 64 tahun kira-kira 11%. Prevalensi ini meningkat menjadi 22% diantara umur

65 – 69, 28% diantara umur 70 – 74 tahun, 32% diantara umur 75 – 79 tahun, 40% diantara umur

80 – 85 tahun dan 43% pada umur diatas 85 tahun. Bila angka ini digunakan pada tahun 1998

(27)

pada perkiraan papulasi di Amerika maka diperkirakan 13 juta penduduk mengalami silent stroke

(Rosamond dkk, 2007).

Di Amerika Serikat stroke bertanggung jawab terhadap 1 dalam setiap 15 kematian

pada tahun 2001 dan 1 dalam setiap 16 kematian pada tahun 2004 dan rata-rata setiap 3 menit

seseorang meninggal karena stroke. Kira-kira 50% kematian karena stroke pada tahun 2003

terjadi diluar rumah sakit (Machfoed, 2003; De Freitas dkk, 2005; Rosamond dkk, 2007).

Stroke juga merupakan menyebabkan pengeluaran yang banyak untuk perawatan

kesehatan di Amerika; rata-rata biaya selama hidup pada seorang penderita stroke iskemik

diperkirakan 140.000 dolar dan secara nasional terjadi peningkatan dimana pada tahun 1999,

beban ekonomi stroke pada masyarakat diperkirakan 45 milyar dolar, terdiri dari 29 milyar dolar

untuk pembayaran langsung (rumah sakit, dokter, farmasi dan lain-lain) dan pembayaran tidak

langsung seperti kehilangan produktifitas dengan nilai 16 milyar dolar diperkirakan menjadi 62,7

milyar dolar pada tahun 2007 (Rosamond dkk, 2007). Di Amerika serikat sendiri, dijumpai lebih

dari 4 juta penderita stroke yang masih bertahan hidup dan lebih dari 750.000 penderita stroke

baru setiap tahunnya.(Fitzsimmons, 2007).

Meskipun dapat mengenai semua usia, insidens stroke meningkat dengan

bertambahnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita pada usia yang lebih muda tetapi tidak

pada usia yang lebih tua. Perbandingan insidens pria dan wanita pada umur 55 – 64 tahun adalah

1,25, pada umur 65 – 74 tahun adalah 1,50, pada umur 75 – 84 tahun adalah 1,07, dan pada umur

≥ 85 tahun adalah 0,76 (Rosamond dkk, 2007).

Stroke merupakan penyebab kecacatan utama diantara semua orang dewasa dan

kecacatan yang memerlukan fasilitas perawatan jangka panjang diantara populasi usia dan

merupakan penyebab utama gangguan fungsional, dengan 20% penderita yang masih bertahan

hidup membutuhkan perawatan institusi setelah 3 bulan dan 15% sampai 30% menjadi cacat

permanen. Stroke juga merupakan kejadian yang dapat merubah kehidupan yang tidak hanya

mengenai seseorang yang dapat menjadi cacat tetapi juga seluruh keluarga dan pengasuh yang

lain (Johnson dan Kubal, 1999; Ropper dan Brown, 2005; Gilroy, 2000; Hacke, 2003; Goldstein

dkk, 2006).

(28)

Meskipun data studi epidemiologi stroke secara komprehensif dan akurat belum ada di

Indonesia, dengan meningkatnya harapan hidup orang Indonesia, terdapat tendensi peningkatan

kasus stroke pada masa yang akan datang. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di

Indonesia dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai tahun 1986

meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita

pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Sedangkan prevalensi stroke pada

tahun 1986 adalah 35,6 per 100.000 penduduk (Sjahrir, 2003).

Penelitian oleh Machfoed di beberapa Rumah Sakit di Surabaya diperoleh bahwa dari

1397 pasien yang didiagnosa stroke, 808 adalah pria dan 589 adalah wanita. Sebanyak 1001

(71,73%) pasien adalah stroke iskemik dan 396 (28,27%) adalah stroke hemoragik. Umur

rata-rata pasien stroke adalah 76,32 tahun dan umur rata-rata-rata-rata pasien stroke iskemik adalah 77,43

tahun dan 75,21 tahun untuk stroke hemoragik (Machfoed, 2003).

Penelitian yang bersekala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh Survei ASNA di 28

Rumah Sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut yang

dirawat di Rumah Sakit (hospital based study). Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan

dan profil usia dibawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45 – 64 tahun berjumlah 54,2%

dan diatas usia 65 tahun 33,5% (Misbach, 2007).

II.3. KLASIFIKASI

Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara

pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,

1999)

I. Bedasarkan patologi anatomi dan penyebabnya

1. Stroke Iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Trombosis serebri

c. Emboli serebri

2. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral

(29)

II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu (Soertidewi, 2007):

1. Partial Anterior Ciculation Infark (PACI)

2. Total Anterior Circulation Infark (TACI)

3. Lacunar Infarct (LACI)

4. Posterior Circulation Infark (POCI)

Tabel-1. Clinical features, anatomy, pathology, aetiology and prognosis of the four clinical stroke syndromes.

(30)

Dikutip dari: Hankey, G.J., Lees, K.R. 2001. Stroke Management in Practice. Mosby International Limited. London. Sindroma ini memberikan informasi yang berharga mengenai lokasi anatomi pembuluh

darah, etiologi dan prognosis stroke. Kira-kira 1% pasien stroke tidak cocok dengan salah satu

sindrom ini (Hankey dan Lees, 2001).

Diabetes bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi sekelompok gangguan yang

heterogen yang berhubungan satu dengan yang lainnya hanya karena manifestasi primer mereka

yaitu hiperglikemia dan komplikasi vaskuler yang dihasilkannya. Pada masa yang lalu, ketika

pengertian dasar mekanisme patofisiologi masih kurang jelas, klasifikasi diabetes didasarkan pada

kelompok umur yang terkena atau pada paradigma pengobatan konvensional. Contohnya,

diagnosa diabetes mellitus tipe 1 yang ada saat ini adalah “juvenile-onset diabetes mellitus

(JODM)” atau “insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM)” , sementara diabetes mellitus tipe 2

adalah “adult-onset diabetes mellitus (AODM)” atau “non-insulin-dependent diabetes mellitus

(NIDDM)” (Inzucchi, 2005).

Diabetes tipe 1 mencakup sebagian besar pasien-paien dengan destruksi sel beta islet

pankreas dan cenderung menjadi ketoasidosis. Bentuk ini termasuk pasien-pasien dimana

destruksi sel beta disebabkan oleh proses autoimun dan pasien-pasien yang tidak diketahui

etiologinya. Dalam hal ini tidak termasuk destruksi sel beta atau kegagalan oleh penyebab

nonautoimun spesifik (cystic fibrosis). Sementara kebanyakan diabetes tipe 1 ditandai dengan

adanya autoantibodi yang merupakan identifikasi proses autoimun yang menyebabkan destruksi

sel beta walaupun pada beberapa subjek dapat dijumpai tidak ada bukti proses autoimun; kasus

ini diklasifikasikan sebagai diabetes mellitus tipe 1 idiopatik. Diabetes melitus tipe 2 adalah bentuk

diabetes yang paling sering dan disebabkan oleh resistensi insulin dengan gangguan sekresi

insulin. Walaupun penyebab pasti resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin belum

sepenuhnya diketahui, keduanya dapat ditentukan secara genetik dan kerusakan sel beta tidak

disebabkan oleh proses autoimun (Naik dkk, 2005).

Diagnosa diabetes pada awalnya adalah berdasarkan pada gejala-gejala yang

disebabkan oleh hiperglikemia, tetapi selama dekade terakhir banyak penekanan yang telah

dilakukan untuk mengidentifikasi diabetes dan bentuk lain abnormalitas glukosa pada subjek yang

asimptomatik. Diabetes mellitus berhubungan dengan berkembangnya kerusakan organ jangka

(31)

nephropathy dengan resiko berkembang menjadi gagal ginjal, neuropathy dengan resiko luka

pada kaki, amputasi, dan Charcot joints dan disfungsi otonom seperti gangguan seksual.

Pasien-pasien diabetes merupakan resiko tinggi untuk penyakit kadiovaskuler, cerebrovaskuler, dan arteri

perifer. Sejak penyatuan pertama klasifikasi diabetes oleh the National Diabetes Data Group pada

tahun 1979 dan the World Health Organization (WHO) pada tahun 1980, beberapa modifikasi

telah diperkenalkan oleh WHO dan the American Diabetes Association (ADA) (Tabel 2) (Ryden

dkk, 2007)

Tabel-2. Kriteria klasifikasi glukometabolik berdasarkan WHO dan ADA

Dikutip dari: Ryden, L., Standl, E., Bartnik, M., Van den Barghe, G., Beteridge, J., de Boer,

M., et al. 2007. Guideline on Diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular disease. Eropean Heart Journal Supplement 9:3 – 74.

Sementara itu American College of Endocrinology/American Association of Clincal

Endocrinologists (ACE/AACE) mendukung kriteria diagnostik untuk diabetes mellitus dan

Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) seperti yang ditetapkan oleh WHO yang terlihat pada tabel 3

dan mendukung kriteria diagnostik untuk prediabetes mellitus seperti yang ditetapkan oleh ADA

seperti yang terlihat pada tabel 4 serta klasifikasi diabetes mellitus seperti yang terlihat pada tabel

5 (Rodbard dkk, 2007).

(32)

Tabel-3. Kriteria diagnostik diabetes mellitus

Dikutip dari: Rodbard, H.W., Braitwaite, S.S., Blonde, L., Brett, E.M., Cobin, R.H., Handelsman, Y., et al. 2007. American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guideline for Clinical Practice for the Management of Diabetes Mellitus. Endocrine Practice. 13(Suppl 1):1 – 68.

Tabel-4. Kriteria diagnostik prediabetes

Dikutip dari: Rodbard, H.W., Braitwaite, S.S., Blonde, L., Brett, E.M., Cobin, R.H., Handelsman, Y., et al. 2007. American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guideline for Clinical Practice for the Management of Diabetes Mellitus. Endocrine Practice. 13(Suppl 1):1 – 68.

(33)

Tabel-5. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Dikutip dari:Rodbard, H.W., Braitwaite, S.S., Blonde, L., Brett, E.M., Cobin, R.H.,

Handelsman, Y., et al. 2007. American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guideline for Clinical Practice for the Management of Diabetes Mellitus. Endocrine Practice. 13(Suppl 1):1 – 68.

American Diabetes Association (ADA) dan World Health Organization (WHO)

merekomendasikan penggunaan pemeriksaan gula darah puasa (whole blood atau plasma)

dengan atau tanpa pemeriksaan 2 jam setelah pemberian glukosa oral 75 gr untuk mendiagnosa

diabetes mellitus. Bagaimanapun juga, kriteria ini menganggap bahwa tes dilakukan ketika

individu dalam keadaan baik dan secara klinis stabil. Respon stres katabolik terhadap stroke akan

meningkatkan konsentrasi gula darah sehingga membuat penggunaan glukosa plasma [dan oleh

sebab itu penggunaan oral glucose tolerance test (OGTT) dan intravenous glucose tolerance test]

tidak dapat dipercaya untuk mendiagnosa diabetes mellitus dan impaired glucose tolerance (IGT)

dalam situasi klinis seperti ini. Sehingga pasien-pasien yang dirawat dengan stroke akut biasanya

(34)

sangat penting untuk mengundurkan penyelidikan definitif untuk mendiagnosa diabetes mellitus

sampai lewat fase akut jika diduga hasil pengukuran glukosa plasma puasa yang meningkat

tersebut disebabkan oleh stres karena penyakit akut (Bravata dkk, 2003; Gray dkk, 2004).

Beberapa penelitian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa hiperglikemia setelah

stroke akut berhubungan dengan outcome yang buruk termasuk meningkatnya mortalitas setelah

stroke. Walaupun demikian belum ada batas nilai glukosa yang spesifik yang ditetapkan untuk

menentukan hiperglikemia demikian juga batas nilai yang digunakan secara konsisten pada

penelitian sebelumnya. American Diabetes Association tidak menetapkan nilai glukosa spesifik

untuk keadaan hiperglikemia, tetapi telah menetapkan keadaan normal sebagai konsentrasi

glukosa puasa < 110 mg/dl (6,1 mmol/l), atau pengukuran glukosa < 140 mg/dl (7,8 mmol/l)

selama 2 jam oral glucose tolerance test. American Diabetes Association juga telah menetapkan

diabetes sebagai glukosa puasa ≥ 126 mg/dl (7 mmol/l), atau pengukuran glukosa ≥ 200 mg/dl

(11,1 mmol/l) selama 2 jam oral glucose tolerance test, atau setiap pengukuran glukosa ≥ 200

mg/dl (11,1 mmol/l) dengan gejala-gejala diabetes (Bravata dkk, 2003).

II.4. Faktor Resiko

Resiko stroke akan meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya faktor resiko.

Data epidemiologi menyebutkan resiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah 30% dan

populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan ulang adalah 9 kali

dibandingkan populasi normal. Tekanan darah tinggi dan diabetes masih merupakan faktor resiko

jangka panjang yang penting. Kira-kira 40% - 60% pasien diabetes terkomplikasi dengan

hipertensi yang mana merupakan faktor resiko yang paling kuat untuk stroke. Apabila diabetes

dan hipertensi terjadi bersamaan, resiko untuk stroke semakin meningkat secara drastis (Gilroy,

2000; Eguchi dkk, 2003; Kelompok Studi Serebrovaskuler Perdossi, 2004; Hu dkk, 2005; Harmsen

dkk, 2006; Goldstein, 2006).

(35)

Faktor resiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat diklasifikasikan berdasarkan

pada kemungkinannya untuk dimodifikasi (nonmodifiable, modifiable, or potentially modifiable) dan

bukti yang kuat (well documented or less well documented) (Goldstein, 2006).

I. Nonmodifiable risk factors:

1. Age

2. Sex

3. Low birth weight

4. Race/Ethnicity

5. Genetic

II. Modifiable risk factors

A. Well-documented and modifiable risk factor

1. Hypertension

2. Exposure to cigarette smoke

3. Diabetes

4. Atrial fibrillation and certain other cardiac conditions

5. Dyslipidemia

6. Caroted artery stenosis

7. Sickle cell disease

8. Postmenopausal hormone therapy

9. Poor diet

10. Physical inactivity

11. Obesity and body fat distribution

B. Less well- documented and modifiable risk factor

1. Metabolic syndrome

2. Alcohol abuse

3. Oral contraceptive use

4. Sleep-disordered breathing

(36)

5. Migraine headache

6. Hyperhomocysteinemia

7. Elevated lipoprotein(a)

8. Elevated lipoprotein-associated phospholipase

9. Hhypercoagulability

10. Inflamation

11. Infection

Efek faktor resiko pada insidens stroke biasanya bertambah atau berlipat ganda,

sehingga dengan adanya beberapa faktor resiko akan menempatkan seseorang pada resiko

tinggi. Pada tabel 2 diperlihatkan frekuensi relatif faktor resiko infark serebral pada satu

community-based population pasien dengan stroke iskemik pertama(Hankey dan Lees, 2001).

Tabel-6. Prevalence of vascular risk factors in 244 patients with a first- ever- in – a - lifetime ischaemic stroke (cerebral infarction) in the Oxfordshire Community Stroke Project.

n %

Hypertension (BP > 160/90 mmHg on 2 occassions pre-stroke) 123 52

Angina and/or myocardial infarction 92 38

Current smoker 66 27

Claudication and/or absent foot pulses 60 25

Major cardiac embolic source 50 20

Transient ischaemic attack 35 14

Cervical arterian bruit 33 14

Diabetes mellitus 24 10

Any of the above 196 80

Dikutip dari: Hankey, G.J., Lees, K.R. 2001. Stroke Management in Practice. Mosby International Limited. London.

Penyakit serebrovaskuler merupakan komplikasi vaskuler jangka panjang dari diabetes

tipe 1 dan tipe 2 disamping penyakit jantung iskemik dan penyakit arteri perifer. Diabetes adalah

salah satu faktor resiko yang paling penting untuk stroke iskemik, khususnya pada pasien-pasien

dengan umur kurang dari 65 tahun. Diperkirakan bahwa 37 – 42 % dari semua stroke iskemik di

(37)

2005; Marshall dan Flyvbjerg, 2006; Ryden dkk, 2007). Mayoritas penderita stroke akut mengalami

gangguan metabolisme glukosa, dan pada kebanyakan kasus keadaan ini tidak diketahui. Karena

diabetes akan memperburuk outcome stroke akut, maka setelah selesai fase akut stroke,

pemeriksaan oral glucose tolerance test harus direkomendasikan pada semua pasien stroke tanpa

riwayat diabetes sebelumnya (Matz dkk, 2006).

Diabetes militus adalah faktor resiko untuk stroke iskemik pada penyakit pembuluh

darah besar intrakranial dan ekstrakranial dan penetrating artery tetapi masih menjadi pertanyaan

penting pada penyakit pembuluh darah kecil. Atheroma pada percabangan arteri intrakranial

terutama pada paramedian pontine penetrating arteries, anterior choroidal arteries, dan anterior

inferior cerebellar arteries khususnya sering terjadi pada pasien-pasien diabetes. Kira-kira 30%

pasien dengan aterosklerosis otak terbukti adalah diabetes mellitus dan insidens stroke dua kali

lipat lebih tinggi pada pasien diabetes dari pada nondiabetes (Caplan, 2000; Gilroy, 2000; Hankey

dan Lees, 2001).

Diseluruh dunia kelihatannya terjadi peningkatan yang luar biasa pada diabetes tipe 2,

dari yang ditaksir 124 juta kasus pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 221 juta kasus pada tahun

2010, dengan hanya 3% dari semua kasus adalah diabetes tipe 1 (Sacco dan Boden-Albala,

2001). Pada tahun 2001, 11,1 juta orang Amerika didiagnosa diabetes oleh dokter, dan

diperkirakan tambahan 5,1 juta yang tidak terdiagnosa (Goldstein, 2006). Pada pasien-pasien

dengan diabetes tipe 2, resiko komplikasi diabetes sangat kuat berhubungan dengan keadaan

hiperglikemia sebelumnya dan setiap pengurangan HbA1c akan mengurangi resiko komplikasi

dengan resiko yang paling kecil adalah pada mereka dengan nilai HbA1c dalam rentang normal (<

6,0%) (Stratton dkk, 2000).

Diperkirakan 20,8 juta penduduk Amerika menderita diabetes. Kira-kira 14,6 juta

penduduk telah didiagnosa sebagai diabetes dan 6,2 juta masih belum terdiagnosa. Data terakhir

(2005) dari Centers for Disease Control and Prevention memperlihatkan terjadi peningkatan yang

dramatis prevalensi diabetes mellitus di United State; lebih tinggi pada populasi etnik tertentu.

Misalnya non-Hispanic black dan Mexican American berturut-turut 1,8 kali dan 1,7 kali lebih sering

menderita diabetes dari pada non-Hispanic white (Rodbard dkk, 2007)

(38)

Diabetes diperkirakan mengenai 8% populasi dewasa. Data yang mendukung diabetes

sebagai faktor resiko stroke berulang lebih jarang. Frekuensi diabetes diantara pasien-pasien

stroke adalah 3 kali lebih sering dibanding kontrol. Resiko stroke meningkat 150% - 400% pada

pasien-pasien dengan diabetes, dan buruknya kontrol gula darah berhubungan langsung dengan

resiko stroke (Sacco dkk, 2006; Beckman dkk, 2002).

Proporsi yang tinggi pasien-pasien yang mengalami stres akut seperti stroke atau infark

miokard dapat berkembang hiperglikemia, bahkan pada keadaan dimana sebelumnya tidak ada

diagnosis diabetes. Penelitian-penelitian yang dilakukan pada manusia dan binatang diduga

bahwa hal ini bukan peristiwa yang tidak berbahaya dan bahwa hiperglikemia yang di induksi stres

berhubungan dengan tingginya mortalitas setelah stroke dan infark miokard. Lebih lanjut, bukti

terbaru bahwa kadar glukosa yang diturunkan dengan insulin mengurangi kerusakan otak yang

mengalami iskemik pada stroke dengan model binatang, diduga bahwa hiperglikemia yang

diinduksi stres adalah faktor resiko yang dapat dimodifikasi untuk kerusakan otak (Capes dkk,

2001).

Penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa sindroma metabolik yaitu peninggian

glukosa puasa, tekanan darah dan trigliserida, rendahnya high density lipoprotein cholesterol

(HDL), dan obesitas abdominal berhubungan dengan peningkatan yang bermakna resiko

morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Komponen sindroma metabolik dengan

hubungan yang paling kuat dengan stroke iskemik dan Transient Ischemic Attack (TIA) adalah

hipertensi dan gangguan glukosa puasa. Walaupun sindroma metabolik tanpa diabetes adalah

faktor resiko yang kurang kuat untuk stroke iskemik dan TIA dari pada diabetes (Koren-Morag dkk,

2005).

Diabetes secara nyata meningkatkan resiko aterosklerosis di pembuluh koroner,

serebral dan perifer dengan konsekuensi klinis berupa infark miokard, stroke, iskemia ekstremitas

dan kematian (Luscher dkk, 2003). Pada penderita diabetes tipe 2, resiko untuk terjadinya infark

miokard atau stroke meningkat 2 – 3 kali lipat dan resiko kematian meningkat 2 kali lipat (Almdal

dkk, 2004). Perkiraan resiko stroke pada populasi diabetes tipe 2 dibandingkan dengan populasi

tanpa diabetes paling tinggi terladi pada wanita muda, walaupun resiko ini menurun dengan

bertambahnya usia dan pasien-pasien yang berumur lebih dari 75 tahun masih berada pada resiko

(39)

yang tinggi (Mulnier dkk, 2006). Peningkatan resiko stroke iskemik terjadi pada wanita baik

dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan bahwa diabetes tipe 1 berhubungan dengan resiko stroke

hemoragik yang berlebihan. Resiko stroke juga berhubungan dengan lamanya menderita diabetes

tipe 2 (Janghorbani dkk, 2007)

Meskipun patogenesis stroke pada pasien-pasien dengan diabetes belum jelas,

hiperglikemia dan diabetes berpengaruh pada outcome yang lebih buruk dari pada mereka yang

bukan hiperglikemia dan diabetes (Kagansky dkk, 2001; Beckman dkk, 2002; Air dan Kissela,

2007). Candelise dkk, menemukan bahwa hiperglikemia sebagai petanda dari stroke yang lebih

berat. Sehingga outcome yang buruk diantara pasien-pasien dengan hiperglikemia dapat

merupakan sebagian dari gambaran keseriusan yang terjadi pada pembuluh darah itu

sendiri.(Adam dkk, 2007)

Diabetes berhubungan dengan meningkatnya resiko stroke iskemik dan meningkatnya

mortalitas pasien-pasien dengan stroke. Resiko yang tinggi ini telah dihubungkan dengan

perubahan patofisiologi yang dilihat pada pembuluh darah otak pasien dengan diabetes. (Caplan,

2000; Sacco dan Boden-Albala, 2001; Magherbi dkk, 2003; Air dan Kissela, 2007 ). Beberapa

penelitian secara umum telah menemukan peningkatan angka mortalitas 30 hari dan 1 tahun

diantara pasien-pasien hiperglikemia walaupun peningkatan angka mortalitas ini tidak ditemukan

pada penelitian lain. Morbiditas yang ditetapkan sebagai perbaikan outcome fungsional dan

neurologis, juga mengalami perburukan dalam kasus-kasus dengan hiperglikemia dan diabetes

(Air dan Kissela, 2007).

Stroke hamoragik relatif lebih sedikit pada individu dengan diabetes dari pada yang

bukan diabetes. Glukosa darah yang tinggi pada saat masuk meramalkan peningkatan angka

kasus fatal 28 hari pada pasien perdarahan intrakranial baik yang nondiabetes maupun yang

diabetes. Peningkatan resiko stroke dijumpai pada pasien diabetes yang tergantung insulin dan

yang tidak tergantung insulin dan tidak menurun dengan meningkatnya umur dan jenis kelamin

(Caplan, 2000; Broderick dkk, 2007).

(40)

II.5. Patofisiologi

Kemajuan yang pesat dan kompleks di bidang patofisiologi stroke sangat

mempengaruhi strategi menejemen stroke. Keadaan ini berhubungan dengan intervensi terapeutik

yang didasarkan pada proses patofisiologi yang jelas. Sehingga pengobatan diharapkan akan

memperbaiki proses yang menyebabkan kematian sel-sel saraf akibat iskemia global maupun

fokal. Oleh karena itu setiap terobosan dan pengetahuan baru tentang patofisiologi stroke akan

mempengaruhi pengobatan. Sehubungan dengan itu pengetahuan mengenai patofisiologi stroke

merupakan hal dasar yang harus diketahui oleh dokter supaya dapat mengerti sasaran penyakit

yang dilakukan serta keterbatasannya (Misbach, 1999).

Otak hanya terdiri dari 2% dari masa tubuh, namun untuk memenuhi kebutuhan

metaboliknya yang besar, ia membutuhkan hingga 20% dari output jantung dan tergantung pada

suplai oksigen dan glukosa yang terus menerus. Otak secara unik rentan terhadap injury iskemik.

Jika perfusi ke otak terhenti atau berkurang secara kritis, terjadi keterbatasan kemampuan untuk

mengkompensasi dan meminimalkan ketersediaan energi (Ahmed-Fisher, 2001).

Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia

daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang berakhir dengan kematian

sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya (Misbach, 2007). Neuron yang iskemik menjadi

terdepolarisasi oleh karena kurangnya ATP dan sistim transport ion pada membran menjadi gagal,

terjadi influks kalsium yang menyebabkan pelepasan sejumlah neurotransmiter, termasuk

sejumlah besar glutamat yang mengaktivasi N-methy-D-aspartate (NMDA) dan reseptor eksitatori

lainnya pada neuron-neuron yang lain. Influks kalsium yang banyak ini juga mengaktivasi berbagai

enzim perusak yang menyebabkan destruksi membran sel dan struktur neuron penting lainnya

(Sacco, 2000).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan

tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu

singkat jika tidak ada reperfusi. Diluar daerah core iskemik terdapat darah penumbra iskemik.

Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya

dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan.

Daerah penumbra iskemik, diluarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya

(41)

aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi

sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali.

Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat

berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2007)

Iskemia otak akan mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap

sebagai berikut (Sjahrir, 2003):

Tahap 1.

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan hemostasis ion

Tahap 2.

a. Eksitoksitas dan kegagalan hemostasis ion

b. Spreading dapression

Tahap 3. Inflamasi

Tahap 4. Apoptosis

II.5.1. Peranan Diabetes dan Hiperglikemia pada Stroke Akut

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolik dengan banyak penyebab yang ditandai

dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang

disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kombinasi keduanya (Ryden dkk,

2007).

Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes mellitus meliputi terjadinya

imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel

mesangial , keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespon terhadap

berbagai substansi vasoaktif dalam darah terutama angiotensin II. Di pihak lain adanya

hiperinsulinemia seperti yang tampak pada diabetes tipe 2 ataupun juga pemberian insulin

eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang

terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot pembuluh darah maupun sel mesangial. Jelas

(42)

baik faktor hormonal maupun faktor metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan

vaskular diabetes (Waspadji, 2006).

Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap terjadinya

komplikasi kronik diabetes (jaringan saraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa)

mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar tanpa harus

memerlukan insulin (insulin independent), agar dengan demikian jaringan yang sangat penting

tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut dipakai

untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi dalam

keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistim transportasi glukosa

yang non-insulin dependent ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan

yang disebut sebagai hiperglisolia. Selanjutnya keadaan hiperglisolia krinik ini akan mengubah

homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemuadian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar

terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur

reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleotropik protein kinase C dan

terbentuknya spesien glikosilasi lanjut intraseluler. Proses-proses lain yang juga berperan dalam

dalam pembentukan komplikasi kronik diabetes adalah proses patobiologik seperti proses

inflamasi, peran peptida vasoaktif, prokoagulasi dan sistim renin angiotensin (Waspadji, 2006).

Diabetes berhubungan dengan peningkatan resiko stroke, dengan relative risk berkisar

antara 1,5 dan 6,0 tergantung pada studi populasi dan tipe dan beratnya diabetes. Kontrol gula

darah yang ketat tidak terbukti mengurangi resiko stroke pada pasien diabetes, walaupun kontrol

hiperglikemia yang agresif dapat mengurangi komplikasi mikrovaskular yang lain, seperti diabetic

nephropathy, retinopathy dan peripheral neuropathy. Pasien dengan diabetes sering berkembang

penyakit yang lain yaitu hipertensi dan penyakit jantung yang mana akan meningkatkan resiko

stroke. Hipertensi dijumpai 40 – 60% pada penderita DM tipe 2 dewasa dan beberapa penelitian

telah menunjukkan adanya pengurangan komplikasi kardiovaskuler dan stroke dengan

pengurangan tekanan darah secara agresif pada pasien-pasien ini (Fitzsimmons, 2007).

Hiperglikemia setelah puasa dan peningkatan yang berlebihan konsentrasi glukosa

setelah pemberian glukosa oral merupakan kriteria untuk diagnosa Diabetes Mellitus tipe 2. Pada

kedua keadaan ini dijumpai tiga kerusakan penting yang telah dilihat pada subjek dengan diabetes

(43)

mellitus tipe 2 yaitu: (1) kerusakan sekresi insulin dalam keadaan basal dan stimulasi, (2)

peningkatan kecepatan pelepasan glukosa endogen hati, dan (3) penggunaan glukosa jaringan

perifer yang tidak efisien. Lingkaran umpan balik yang terdiri dari islet pankreas, hati, dan jaringan

perifer secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap pengaturan glukosa plasma (Khan dan

Porte, 2005).

Penyebab utama kematian dan besarnya persentasi morbiditas pada pasien-pasien

dengan diabetes (tipe 1 atau tipe 2) adalah penyakit pembuluh darah. Diabetes tipe 2 mengenai

pembuluh darah kecil (microangipathy) atau pembuluh darah besar (macroangiopathy). Penyakit

pembuluh darah kecil ditandai dengan retinopathy, neuropathy, dan nephropathy, sementara

macroangiopathy pada diabetes dimanifestasikan dengan kecepatan terjadinya atherosclerosis,

yang mengenai organ-organ vital (jantung dan otak). Atherosclerosis pada pasien-pasien dengan

diabetes tipe 2 adalah multifaktor dan meliputi intereaksi yang sangat kompleks antara

hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif, pertambahan umur, hiperinsulinemia, dan/atau

hiperproinsulinemia, dan perubahan dalam koagulasi dan fibrinolisis (Calles-Escandon dan

Cipolla, 2001).

Keadaan metabolik yang abnormal yang menyertai diabetes menyebabkan disfungsi

arteri. Faktor-faktor ini menyebabkan arteri mudah mengalami atherosklerosis. Diabetes merubah

banyak tipe sel, termasuk endothelium, smooth muscle cells, dan platelets, yang mengindikasikan

luasnya kerusakan pada penyakit ini (Beckman dkk, 2002).

Disfungsi endothel dapat dijumpai pada pasen-pasien dengan diabetes tipe 2 dan juga

pada individu dengan diabetes tipe 1 khususnya jika secara klinis dijumpai mikroalbuminuria.

Disfungsi endothel dapat juga dijumpai pada individu yang mengalami resistensi insulin, atau pada

mereka dengan resiko tinggi terjadinya diabetes tipe 2 (impaired glucose tolerance, metabolic

syndrome), dan pada pasien-pasien yang sebelumnya adalah diabetes gestasional

(Calles-Escandon dan Cipolla, 2001). Penderita dengan diabetes dan impaired glucose tolerance

mengalami gangguan vasodilatasi pembuluh darah akibat kerusakan endothel yang disebabkan

oleh berkurangnya produksi nitric oxide atau kerusakan metabolisme nitric oxide. Nitric oxide

dalam keadaan normal mempunyai efek proteksi terhadap agregasi platelet dan memainkan

peranan penting dalam respon terhadap keadaan iskemia otak (Air dan Kissela, 2007).

(44)

Telah diperlihatkan sebelumnya pada model binatang bahwa selama iskemia fokal dan

global akut, terapi insulin mengurangi kerusakan otak yang iskemik dan dapat bersifat

neuroprotektif dimana insulin menurunkan kadar glukosa sehingga mengurangi efek merusak dari

glukosa tersebut (Garg dkk, 2006). Pada keadaan iskemia fokal, glukosa darah harus dinormalkan

dengan insulin, tetapi tetap menghindari terjadinya hipoglikemia, untuk memperkecil daerah infark

otak. Batas kadar gula darah yang dianggap masih aman pada fase akut stroke iskemik non

lakuner adalah 100 – 200 mg%. Batas tertinggi kadar gula darah paling optimal dengan keluaran

terbaik pada fase akut stroke non lakunar adalah 150 mg% (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf

Indonesia, 2004).

Kadar glukosa darah yang sebenarnya yang membutuhkan intervensi segera tidak

diketahui. Satu pendekatan yang beralasan adalah memulai pengobatan pasien-pasien dengan

kadar gula darah > 200 mg/dL. Secara umum, kadar glukosa darah yang diinginkan adalah

berkisar antara 80 sampai 140 mg/dL. Sering memonitor kadar glukosa darah dan penyesuaian

dengan dosis insulin adalah dibutuhkan. Beberapa studi mengenai hal ini telah memperlihatakan

pengurangan angka kematian dan komplikasi penting, meliputi infeksi dan gagal ginjal, dengan

penatalaksananan agresif hiperglikemia (Adam dkk, 2007).

Gangguan metabolik yang timbul pada fase akut stroke dapat memperburuk keadaan

penderita stroke terutama stroke berat. Keadaan ini harus segera diatasi karena akan

mempengaruhi prognosis dan kembalinya fungsi neurologis. Salah satu gangguan metabolik

tersebut adalah hiperglikemia dan hipoglikemia dimana kenaikan kadar glukosa darah ditemukan

pada 43% penderita stroke akut dimana kebanyakan pasien mengalami peningkatan kadar

glukosa yang sedang dan 25% diantaranya adalah penderita diabetes dan jumlah yang sama

(25%) ditemukan kenaikan Hemoglobin A1c pada serum. Setengahnya lagi (50%) yaitu penderita

nondiabetes dengan respon hiperglikemia akibat stroke. Riwayat menderita diabetes melitus juga

berhubungan dengan outcome yang lebih buruk setelah stroke (Misbach, 1999; Adam dkk, 2007).

Hiperglikemia selama fase akut stroke terjadi pada kira-kira sepertiga pasien-pasien

tanpa diagnosa diabetes mellitus sebelumnya. Sementara diabetes mellitus jelas adalah faktor

resiko untuk terjadinya stroke dengan prognosisnya yang jelek, hiperglikemia tanpa riwayat

diabetes melitus sebelumnya juga dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas

Gambar

Tabel-24. Distribusi skor BI dan MRS hari ke-7 dan 14 pada subjek stroke   iskemik dengan dan tanpa diabetes menurut kadar albumin serum
Grafik-8. Hubungan kadar albumin serum dan skor MRS hari ke-14 pada kelompok diabetes dan Non Diabetes
Tabel-2.  Kriteria klasifikasi glukometabolik berdasarkan WHO dan ADA
Tabel-3.  Kriteria diagnostik diabetes mellitus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi eksperimental menunjukkan bahwa kadar troponin T menjadi indikator kerusakan otot jantung pasien stroke iskemik sedangkan kadar magnesium berhubungan dengan stroke

Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk membandingkan kadar lipid antara penderita stroke iskemik dan stroke hemoragik, ditemukan hasil bahwa terdapat perbedaan

Tujuan : Untuk mengetahui hubungan diabetes melitus dengan kejadian stroke iskemik. Penelitian dilaksanakan di Unit Rawat Inap di bagian penyakit Saraf

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar serum high sensitivity C- reaktif protein dengan tingkat keparahan stroke iskemik fase akut sehingga dengan

2. Terdapat hubungan bermakna antara kadar adiponektin plasma dengan hipertensi pada stroke iskemik akut, dimana penderita hipertensi dengan kadar. adiponektin plasma

Mengetahui perbedaan efek pemberian ASA dosis 100 mg dan 300 mg terhadap fungsi aggregasi trombosit, kadar D-dimer dan outcome fungsional pada penderita stroke iskemik

SERUM, DENGAN VOLUME INFARK DAN OUTCOME PADA PENDERITA STROKE ISKEMIK AKUT” dan setelah mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang. berhubungan

Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Stroke Iskemik pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.. Prinsip dan Metode Riset