• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN UMUM DESA

A. Nilai Anak Pada Masyarakat Karo

3. Peranan dan Kedudukan anak Perempuan Dalam

Peranan anak perempuan di dalam keluarga pada masyarakat desa Lingga sangat berbeda dari anak laki-laki. Karena anak perempuan di dalam keluarga pada masyarakat desa Lingga selalu diharapkan dapat membantu orang tua untuk meringankan beban pekerjaan seorang ibu

seperti memasak, menyuci, menjaga adik, menyediakan makanan ketika keluarga hendak makan, keladang. Bagi keluarga yang memiliki anak perempuan sangat merasa terbantu, khususnya bagi para ibu, karena pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh seorang ibu, tetapi sudah dapat dikerjakan oleh anak perempuan.

Selain meringankan beban pekerjaan rumah, anak perempuan juga dapat meringankan beban ekomoni keluarga, di mana anak perempuan di desa Lingga berjualan sayur-sayuran di jambur. Hasil dari penjualan sayur-sayuran ini diberikan kepada orang tua. Usia anak perempuan yang mau berjualan sayur-sayuran mulai dari usia 8-10 (delapan sampai sepuluh) tahun. Karena bagi anak-anak yang diatas usia 10 (sepuluh) tahun merasa malu, selain itu sebagian dari orang tua mereka juga melarang. Kebanyakan orangtua yang melarang anaknya berjualan adalah keluarga yang bisa dikatakan perekonomiannya cukup selain itu orangtua mereka juga malu atau gengsi dan menyuruh anaknya fokus saja pada pekerjaan rumah saja dan pada pelajarannya. Bila dilihat dari kedudukannya dalam keluarga anak perempuan selalu berada di bawah saudara laki-lakinya hal ini bisa kita lihat dalam kesempatan mengeluarkan pendapat di dalam adat, di mana kalau di dalam adat anak perempuan selalu di belakang, mereka ditugaskan hanya menyiapkan makanan, membentangkan tikar, menyediakan sirih dan rokok buat orang tuanya, saudara laki-lakinya dan buat para undangan tamu. Di dalam keluarga yang selalu disuruh untuk mengerjakan pekerjaan yang ringan- ringan selalu anak perempuan karena anak perempuan selalu dianggap

lemah dan tak berdaya. Pekerjaan yang ringan-ringan seperti pekerjaan rumah tangga.

Levy dalam Megawangi mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi kalau ada satu posisi yang perannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena tidak-adanya kesepakatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila ini terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan. Levy selanjutnya membuat daftar tentang pesyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi yaitu: diferensiasi peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik, alokasi integrasi dan ekspresi (1999:69-70).

Karl Marx (1818-1883) dalam Megawangi mengembangkan teori sosial konflik. Ia berpendapat bahwa konflik dalam masyarakat bersumber dari aktivitas ekonomi masyarakat. Menurut teori ini hubungan yang penuh konflik terjadi juga dalam keluarga. Misalnya seorang suami dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga akan menimbulakan konflik terbuka dengan istrinya yang mempunyai kedudukan ibu rumah tangga. Karena pada asumsi dasarnya adalah, siapa yang mempunyai kekuasaan akan selalu dianggap menindas siapa yang berada di bawahya (1999:86). Jika dikaitkan dengan teori sosial konfik yang dikemukakan oleh Karl Marx, maka pada keluarga masyarakat desa Lingga telah terjadi konflik yang menimpa kaum perempuan dimana dari yang telah saya lihat bahwa

keadaan anak perempuan selalu berada dibawah saudara laki-lakinya, di mana anak laki-laki ini dapat disamakan kedudukannya dengan ayahnya. Selain dari pada itu beban kerja yang harus ditanggung atau yang harus dikerjakan anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki. Dan kesempatan untuk tampil didepan dalam adat, anak perempuan juga selalu digaris belakang. Marx juga mengatakan kelompok yang berkuasa cenderung bersifat memenuhi kepentingan dirinya atau kelompoknya, dan untuk itu mereka akan menindas kelompok yang kurang menguntungkan.

B. Proses Sosialisasi Dalam Keluarga Karo

Dalam masyarakat Karo, istilah yang digunakan kepada anak-anak berbeda-beda menurut tingkatan usia. Anak yang masih berada dalam kandungan ibunya disebut dengan anak ibas bertin (anak dalam rahim) atau anak ibas Dibatana denga (anak yang masih berada pada Tuhannya) disebabkan anak tersebut belum kelihatan secara nyata atau belum lahir ke dunia. Tetapi istilah yang umum digunakan untuk menyebut seorang anak yang sedang dalam kandungan ibunya adalah anak ibas bertin.

Biasanya sejak zaman dahulu, orang tua mengharapkan anak bisa menjadi orang. Demikian juga orang tua sekarang masih ingin anaknya menjadi orang yang sukses. Memang banyak cara dan jalan ditempuh orang tua untuk mencapai tujuannya. Ada yang berhasil, ada yang tidak berhasil, ada juga yang berhasil, tetapi dengan akibat sampingan. Sering terlihat bahwa orang tua mungkin kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri dalam mendidik, atau mungkin menganggap

bahwa orang lain lebih mampu mendidik anak daripada orang tuanya sendiri (Gunarsa, 2000:24). Pada masyarakat Karo desa Lingga jika anak susah untuk dididik dan diajarkan maka sebagian orang tua akan menitipakan anak mereka tempat sanak saudara misalnya di tempat pamannya, tantenya, kakeknya, dan lain-lain yang mereka anggap displin dalam mendidik anak selain itu orangtua pada masyarakat desa Lingga juga merasa jika anak dititipkan pada mamanya (paman dari saudara laki- laki ibunya) maka anak tersebut nantinya akan takut pada mamanya tersebut karena bagi masyarakat Karo, mama adalah kalimbubu dari orangtua anak dan juga termasuk kalimbubu anak tersebut oleh karena itu harus dihormati dan dihargai.

1. Sosialisasi Anak Laki-laki Dalam Keluarga Karo 1.1. Masa Anak 0-5 Tahun

Bayi yang baru lahir nampaknya seperti makhluk tak berdaya yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur, makan, atau menangis. Tetapi teknik eksperimen baru mengatakan bahwa bayi jauh lebih responsif terhadap lingkungannya dari yang diduga sebelumnya. Misalnya, bayi yang baru berumur satu atau dua hari dapat membedakan rasa. Mereka lebih menyukai cairan yang manis rasanya dibandingkan dengan rasa asin, pahit, atau tawar, dan mereka bahkan dapat membedakan tingkatan rasa manis. Bayi biasanya menyedot dengan terhenti-henti setelah beberapa hisapan. Jika cairan manis yang dialirkan melalui puting, mereka akan menghisap lebih sering dari satu menit,

menghisap lebih dalam dan berhenti lebih sebentar daripada harus menghisap air tawar atau cairan yang kurang manis. Jika kadar gula ditambah dua kali, terjadi penambahan dua kali penekanan lidah pada puting (Nowlis dan Kessen,1976). Bahkan sedikit membingungkan bahwa bayi pun mempunyai selera manis! Tetapi kalau diberikan pilihan antara air susu ibu dengan formula susu sapi yang lebih manis, bayi jelas memilih susu ibu (MacFarlane,1977).

Saat anak baru lahir ke dunia (anak mbaru tubuh) disebut dengan istilah anak gara-gara. Anak gara-gara tidak hanya disebutkan kepada anak yang baru lahir saja tetapi juga disebutkan kepada semua anak-anak yang belum bergigi (lenga er-ipen, lenga er-beras) atau belum mengalami pertumbuhan gigi untuk pertama kalinya. Pada masyarakat desa Lingga anak yang berusia 0-5 tahun sangat dirawat dan dijaga dengan baik. Anak pada usia 0-5 tahun selalu diperlakukan dengan istimewa karena menurut masyarakat desa Lingga anak yang berusia 0-5 tahun mudah terkena penyakit atau mudah terserang penyakit seperti demam, muntaber, batuk dan lain-lain. Oleh karena itu setiap orang tua selalu menyediakan obat- obat tradisional seperti parem, munak alun, kuning, sembur. Anak seusia ini juga sudah mulai dibawa ke ladang, karena jika dititipkan kepada orang lain, orang tua tidak percaya. Seperti yang diutarakan informan saya ibu (Janwarita br Sitepu 35 tahun) “padin kubaba saja kujuma, banci ijagai kakana asangken ititipken man kalake. Lakin banna sikap ndekahen kari ngandong asangken medem” (lebih baik saya bawa ke ladang, bisa

dijagai kakaknya daripada dititipkan kepada orang lain. dia menjaganya tidak bagus, kelamaan nangis daripada tidur).

1.2. Masa Anak 6-12 Tahun

Anak yang berusia 6-12 tahun pada masyarakat desa Lingga, anak tersebut sudah dikatakan anak-anak (danak-danak), yaitu orang yang belum mengenal malu, belum tahu aturan atau sering pula disebut sebagai orang yang belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan.

Pada masa ini anak memasuki masa belajar di dalam dan di luar sekolah. Anak belajar di sekolah, tetapi membuat latihan pekerjaan rumah yang mendukung hasil belajar di sekolah. Banyak aspek perilaku dibentuk melalui penguatan verbal, keteladanan dan indentifikasi. Anak-anak pada masa ini harus menjalani tugas-tugas perkembangan yakni:

• Belajar keterampilan fisik untuk permainan biasa • Membentuk sikap sehat mengenai dirinya sendiri • Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya • Belajar peranan jenis yang sesuai dengan jenisnya

• Membentuk keterampilan dasar, membaca, menulis dan berhitung • Membentuk konsep-konsep yang perlu untuk hidup sehari-hari • Membentuk hati nurani, nilai moral dan nilai sosial

• Memperoleh kebebasan pribadi

• Membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan

Masa pra-remaja 10-12 tahun ditandai dengan meningkatnya cara berpikir kritis. Anak tanggung selalu menanyakan sebab-sebab, akibat- akibat dengan cara menyanggah pendapat orang dewasa. Pada masa ini mudah terjadi indentifikasi yang sifatnya emosional dengan teman sebaya yang sejenis (Singgih,1991:12-13).

Anak masa 6-12 tahun pada masyarakat desa Lingga selalu mengadakan pemberontakan terhadap orang tua, pada masa ini anak laki-laki kerjaannya hanya bermain-main saja, jarang ada yang mau membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumahnya misalnya mengangkat air minum, menjaga adik, mengambil makanan ternak, jika anak laki-laki tidak mengerjakan tugasnya jarang sekali orang tua marah seperti yang dituturkan (ibu Sarinah br Ginting Manik: 30 tahun) “dekahen ka kita merawa asangken ndahiken dahinna, padin la pedah rawai ugape labo dahikenna, enca pagi kataken manjar-anjar” (laman nanti kita marah daripada mengerjakan pekerjaannya, lebih baik tidak usah dimarahi gimanapun sudah tidak dikerjakannya, setelah besok baru dibilang pelan- pelan). Anak seusia 6-12 tahun sering sekali berantam dan jika sudah berantam sesama temannya maka orang tua akan marah dan mengataken tidak ada kamu artinya sekolah kalau kerjaan kamu hanya berantam, jangan-jangan kerjaan kamu disekolah hanya berantam saja. Pada masa ini orang tua juga sudah mulai kewalahan menghadapi sikap anak-anaknya bahkan terkadang orang tua tidak segan-segan memukul anaknya dengan tangkai sapu.

1.3. Masa Anak 12-18 Tahun

Pada saat usia anak sudah mencapai 12-18 tahun dikatakan anak tersebut erlajar mejile (memasuki tahap remaja atau menjelang dewasa). Secara harafiah erlajar mejile berarti belajar cantik. Jadi erlajar mejile diartikan sebagai keadaan seseorang yang mulai belajar berpenampilan cantik, menarik dan mulai dapat mengenal lawan jenisnya. Keadaan ini sering pula dikategorikan sebagai anak yang sedang mengalami pubertas yaitu masa transisi dari anak-anak ke masa remaja.

Anak laki-laki pada masa ini sudah mulai mengincar anak perempuan yang menarik hatinya, pada masyarakat desa Lingga anak laki-laki pada usia ini setiap malam keluar rumah dan berkumpul dikedai- kedai kelontong sambil bernyanyi dengan teman-teman sebayanya. Anak laki-laki pada seusia ini sudah tidak lagi dipedulikan orang tua karena, menurut orang tua anak seusia mereka sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan. Dan jika anak laki- laki membuat kesalahan yang mengajarkan adalah ibunya karena kalau sempat yang mengajarkan ayahnya, ibunya takut kalau terjadi pertengkaran antara ayah dan anak laki-laki untuk itu ibu selalu menyuruh ayahnya pergi keluar rumah atau ke kedai kopi, takut kalau ayahnya nanti emosi dan memukul anaknya, malu diketahui tetangga.

Seperti yang dituturkan informan saya (Mika Sinulingga: 18 tahun) adi enggo kap nande ras bapa aku kelewatsa mis suruh bapa nande ngerana bangku soalnna biar ia silap, aku pe gundari lanai mindo sen bana mela idah teman monmon ngemo aku ku juma kalak, lang adi la aku

kisat erban keranjang aku, lang kari muat gagaten lembu kalak aku enca pindo galarna, adi ndarat berngi aku perpulihku pe kurumah lanaibo iatur- atur nande ah monmon la aku mulih medem kurumah rumah teman aku monmon medem, ngerana pe ras bapa adi enggo radu-radu emosi kari kami mis suruh nande aku ndarat lang bapa gelah ula sempat kami sitinjun, entah enggo gia kari kami sigangen sora mis merawa nande ah la nge kena mela begi kalak” (kalau sudah rasa ayah dan ibu saya kelewat batas, langsung disuruh ayah ibu menasehati saya soalnya takut ayah silap, sayapun sekarang tidak lagi minta uang kan malu sama kawan- kawan terkadang kerja saya ke ladang orang, kalau tidak malas saya membuat keranjang, kalau tidak mengambil makanan ternak lembu orang lalu minta bayarannya, kalau saya ke luar rumah pada malam hari kepulangan saya kerumah tidak lagi diatur-atur ibu, terkadang saya tidak pulang ke rumah, saya tidur di rumah teman, kalau lagi ngomong dengan ayah terus kami udah sama-sama emosi langsung disuruh ibu saya ke luar rumah atau ayah biar jangan sampai kami bertinju atau kalau kami sudah sama-sama marah langsung ibu marah dan mengatakan apa kalian tidak malu didengar orang).

Pada tahap usia ini anak sudah memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, menentukan tindakan sesuai dengan kedewasaannya dan melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang lain. dalam masa ini, remaja itu berkembang ke arah kematangan seksual (Gunarsa, 2000:128).

2. Sosialisasi Anak Perempuan Dalam Keluarga Karo 2.1. Masa Anak 0-5 Tahun

Perkembangan manusia ditentukan oleh interaksi yang berkesinambungan antara hederitas dan lingkungan. Pradisposisi biologis yang ada pada waktu kelahiran berinteraksi dengan pengalaman yang dijumpai selama pertumbuhan untuk menentukan perkembangan individu. Pengalamn kita tergantung pada kebudayaan khusus, kelompok sosial, dan keluarga tempat kita dibesarkan. Budaya mempunyai metode yang berbeda dalam hal membesarkan anak. Misalnya, pada suku Utku Eskimo di Hudson Bay, agresi dianggap sebagai karakteristik yang tidak disenangi. Ketika anak berusia 2 atau 3 tahun, orang tua Utku mulai menghindari ungkapan rasa marah dan agresi dengan cara berlaku diam yaitu dengan tidak mengacuhkan anak itu, setiap saat perilaku semacam itu diperlihatkan. Metode demikian nampaknya cukup efektif; anak-anak Utku di atas 4 atau 5 tahun jarang menunjukkan perilaku agresif (Briggs, 1970 dalam Akitson: 87).

Bayi di desa Indian terpencil di Guatemala ditempatkan di dalam gubuk keluarga yang tidak berjendela selama tahun pertama hidupnya karena adanya kepercayaan bahwa sinar matahari dan udara akan menyebabkan penyakit. Bayi itu memperoleh sedikit kesempatan untuk merangkak, dan orang tua mereka jurang bermain dengan mereka. Ketika anak-anak itu diperbolekan meninggalkan gubuk mereka, kemampuan fisik mereka sudah terbelakang dari anak-anak Amerika. Tetapi mereka dapat mengejar keterbelakangan itu, dan pada usia 3 tahun koordinasi

mereka sudah sebaik anak-anak lain (Kagan dan Klein, 1973 dalam Akitson: 95).

Pada anak seusia ini anak sangat diperhatikan karena pada tahap ini anak dapat dikatakan adalah mahluk yang tak berdaya dan lemah, oleh sebab itu orang tua pada masyarakat desa Lingga selalu memperlakukan anak secara istimewa, pada tahap usia ini proses sosialisasi yang dilakukan terhadap anak tidak ada bedanya antara anak laki-laki dan anak perempuan, karena pada tahap usia ini orang tua pada masyarakat desa Lingga menganggap anak itu sangat rentan atau sangat mudah terkena penyakit. Pada masyarakat desa Lingga yang kebanyakan bermata pencaharian bertani, jika mempunyai anak kecil atau masih bayi, biasanya mereka membawanya ke ladang, di ladang biasanya anak di biarkan bermain sendiri tentunya masih tetap ada pengawasan dari orang tua. Seperti yang dituturkan (ibu Roni br Karo: 30 tahun) “sehaten kang anak si lit bas kuta asangken anak si lit ibas kota, nin ndu min dage anak si bas kota suruh min ia erdalan la peke selop dakam mesui kapna nahena, tapi adina anak si bas kuta dakam kujuma kin pe ia labo ia erselop jadi kena batupe nahena labo kapna mesui. La pedah e, arah dagingne pe idah nge dateen daging anak si bas kota asangken anak si rusur ikut kujuma” (lebih sehat anak yang ada di desa dari pada anak anak yang ada di kota, lihatlah anak yang ada di kota, suruh dia berjalan tanpa memakai sendal pasti sakit rasanya kakinya, tapi kalau anak yang ada di desa ke ladangpun dia tidak memakai sandal jadi kena batupun kakinya dia pasti tidak merasa sakit. Tidak usah dari itu, dari badannyapun kelihatan lebih

lembek badan anak yang ada di kota dari pada anak yang sering ke ladang).

2.2. Masa Anak 6-12 Tahun

Antara usia 6-12 tahun, anak-anak menguasai berbagai konsep konservasi untuk melakukan manipulasi logis lainnya. Misalnya, mereka dapat menyusun benda berdasarkan dimensi, seperti tinggi atau berat. Mereka juga dapat membentuk penyajian mental mengenai serangkaian tindakan. Anak-anak berumur lima tahun dapat mencari jalan sendiri ke rumah temannya tetapi tidak dapat menunjukkan kepada anda atau menelusuri rute dengan kertas dan pensil. Mereka dapat mencari jalan karena mereka tahu harus membelok pada tempat-tempat tertentu, tetapi mereka tidak mempunyai gambaran rute secara keseluruhan. Sebaliknya, anak-anak berumur 8 tahun sanggup menggambarkan peta rute itu. Piaget dalam Akitson menamakan masa ini pada tahapan operasional yang konkret ( , 101).

Pada seusia ini anak perempuan pada masyarakat desa Lingga mulai diajarkan cara mengerjakan pekerjaan rumah, diajarkan bagaimana cara menghormati orang tua, menyayangi saudara terutama menghormati saudara laki-laki, setiap orang tua akan mengatakan kamu harus menghormati dan menyayangi saudara-saudaramu, jangan sering bertengkar, jika kamu sering bertengkar dengan saudara-saudaramu nanti orang mengira kalau kami orangtuamu tidak mengajarkan kalian.

Setiap anak perempuan pada masyarakat desa Lingga selalu diberi beban pekerjaan yang berbeda dengan saudara laki-lakinya, jika anak perempuan tidak mengerjakan pekerjaan terkadang ibu mereka memarahinya bahkan terkadang dihukum seperti dicubit. Orang tua juga selalu mengatakan jika hendak makan yang terutama dilakukan yaitu menaruh nasi ayah kepiring baru, ibu, setelah itu baru saudara laki-lakinya selesai dari itu baru nasinya. Jika dilihat pada tahap seusia ini, dimana tahap anak mulai memberontak, dimana anak mulai ingin menunjukkan sifat menyanggah pendapat orang tua atau dewasa. Terkadang anak perempuan juga memberontak dengan cara menangis sambil bersungut- sungut dan mengatakan “aku-aku saja lalap suruhndu cuba min anakndu sidilaki ah adi la dahikenne dahinna labo rawai ndu” (aku-aku saja terus mamak suruh coba kalau anak mamak yang laki-laki kalau dia tidak mengerjakan pekerjaannya tidak mamak marahi).

2.3. Masa Anak 12-18 Tahun

Pada masa ini anak mulai mencari indentitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua. Pada tahap ini anak sudah mulai menunjukkan kebebasannya sebagai individu, masa ini ditunjukkan dalam bentuk sikap keras kepala, melawan, tidak patuh dan berbuat antagonis. Pada tahap seusia ini orang tua dari anak perempuan mulai memperketat gerak anak karena pada tahap ini anak perempuan juga mulai sudah menunjukkan sikap ingin mencari perhatian dari lawan jenisnya, untuk

menjaga agar anak perempuan tidak rusak maka orang tua membatasi ruang gerak anak atau dapat dikatakan jika anak perempuan keluar rumah pada malam hari, dan setelah pukul sepuluh malam belum kembali maka orang tua atau saudara laki-lakinya akan mencari keluar, dan kalau setiap malam harus dicari maka tidak segan-segan saudara laki-lakinya akan marah dan memukulnya seperti yang dikatakan oleh informan saya (Hardi Tarigan: 13 tahun) “adi tiap berngi kin man daramen, permelaken nande ras bapa kap gelar ne, bapa pe suruhna guas saja nte nak adi man daramen je lalap permelaken kap gelarne” (kalau tiap malam harus dicari, memalukan orang tua itu namanya, bapak pun menyuruh, pukul saja pigi kalau harus dicari terus, memalukan itu namanya).

Bagi masyarakat desa Lingga kesucian merupakan harga diri yang paling berharga, jika ada seorang anak perempuan yang hamil diluar nikah maka seluruh masyarakat desa Lingga akan menggunjingkan keluarganya dan mengatakan itulah kalau orang tua terlalu baik dan percaya sama anak beginilah jadinya, oleh karena itu anak perempuan tidak sebebas anak laiki-laki kalau mau keluar rumah pada malam hari. Dan jika anak perempuan keluar rumah tiap malam juga akan mendapat gunjingan dari masyarakat desa Lingga. Bagi anak perempuan yang susah untuk mengajarkannya atau mendidiknya kebanyakan orang tua menitipkannya di tempat saudara misalnya ditempat mamanya (pamannya), bibiknya (tantenya), atau tempat bulangnya (kakeknya) yang dianggap orang tua memiliki displin yang cukup baik. Seperti yang

Dokumen terkait