• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Peranan Hakim dalam Peradilan Pidana

Hakim sebagai pihak memutus perkara sangat berperan sebagai penentu masa depan hukum, karena setiap putusan hakim akan menjadi pusat perhatian masyarakat. Hakim tidak hanya berperan sebagai corong undang-undang, tetapi hakim juga berperan sebagai penemu hukum (recht vinding), sesuai dengan nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat, terutama nilai-nilai-nilai-nilai pancasila. Sedangkan peranan hakim dalam memutus perkara pidana yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal memutus suatu perkara hakim mempunyai kebebasan, hal ini sesuai dengan salah satu unsur Negara hukum yang menyatakan, bahwa adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Beberapa peranan hakim didalam peradilan yaitu berupa:67

1. Kemandirian Hakim Pengadilan

Kemandirian Hakim sebagaimana pasal 3 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 menyebutkan, bahwa dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka diwajibkan kepada hakim untuk selalu menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (1) tersebut, yang dimaksud dengan kamandirian hakim adalah bebas dari

67 Jurnal Kompilasi, Peranan Hakim Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Di akses dari: https://jurnal.fh.unila.ac.id Pada tgl, 20 Juni 2020

campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis.68

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di peradilan, hakim adalah bebas artinya hakim tidak berada dibawah pengaruh atau kekuasaan manapun.

Jaminan kebebasan hakim ini dikuatkan dengan memberikan sanksi pidana bagi orang yang melanggar ketentuan tersebut sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dalam melaksankan kebebasan dari pihak ekstra yudisial ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan Tugas Yudisial Tidak Dapat Diperiksa Sebagai Saksi atau Tersangka kecuali yang Ditentukan Oleh Undang-undang.69

Tujuan dari kebebasan hakim dalam mengadili dan memutus perkara adalah agar pengadilan dapat menuaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memberikan keputusan yang berdasarkan kebenaran keadilan dan kejujuran. Pada penjelasan pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dengan tegas dinyatakan bahwa kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisal bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Kebebasan hakim yang bersifat tidak mutlak tersebut dilakukan dengan kebebasan untuk menafsirkan hukum dan mencari dasar- dasar hukum serta

68 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Pembuktian Analisis Terhadap Kemandirian Hakim sebagai Penegak Hukum dalam Proses Pembuktian, (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2016), hal. 40

69 Ibid, hal 41

asas yang menjadi landasan dari setiap putusannya mencerminkan perasaan keadilan rakyat Indonesia.70 Hakim dalam mengaktualisasi ide keadilan memerlukan situasi yang kondisif, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal dari dalam diri seorang hakim.

Jika ditelusuri, faktor-faktor yang mempengaruhi Hakim dalam mentransformasikan ide keadilan yaitu Jaminan Kebebasan Peradilan (Indepedency of Judiciary), kebebasan peradilan sudah menjadi keharusan bagi tegaknya Negara hukum (rechstaat). Hakim akan mandiri dan tidak memihak dalam memutus sengketa, dan dalam situasi yang kondusif tersebut, Hakim akan leluasa untuk mentransformasikan ide-ide dalam pertimbangan-pertimbagan putusan.71

Dalam rangka optimalisasi tugas dan fungsi lembaga pengadilan secara komperensif, permasalahan yang mendasar lainnya yang harus segera mendapatkan perhatian secara mendesak adalah masalah sumber daya manusia dalam ruang lingkup lembaga pengadilan. Lembaga peradilan dalam hal ini adalah sekedar sebuah lembaga, sedangkan fungsi-fungsi kelembagaan sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, contohnya hakim dan personalia pengadilan itu sendiri.72 Misalnya apabila ada keputusan yang bersifat fundamental dan menimbulkan perubahan-perubahan mendasar, baik secara internal maupun secara eksternal terhadap lembaga pengadilan, sudah barang tentu akan sangat tergantung dan ditentukan oleh bagaimana kualitas dan

70 Ibid, hal. 41-42

71 Nurlaila Harun, Proses Peradilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 185

72 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2004), hal. 178

kuantitas hakim dan personalia pengadilan yang ada. Setiap keputusan lembaga pengadilan, biasanya disana secara substansial pastilah terkadang maksud dan dapat bermuatan nilai-niai hukum, nilai keadilan, nilai politik, nilai pribadi (subyektifitas perbuatannya), nilai kebijaksanaan, dan nilai ideologis. Hal ini disadari, oleh karena secara structural, posisi lembaga pengadilan di Indonesia tidaklah mandiri, tetapi setidaknya ada dalam kepentingan dan kekuasaan lembaga Kementerian Kehakiman dan HAM (serelah reformasi) maupun dibawah Mahkamah Agung. Sedangkan secara konstitusional, kekuasaan kehakiman dan atau pengadilan tidaklah mandiri. Justru kekuasaan yang paling mandiri secara konstitusional di Indonesia adalah, kekuasaan Presiden.

Dengan demikian, diharapkan tidak adanya direktiva/campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara.

Sebaliknya, dilain sisi begitu pulak untuk para hakim dalam penanganan perkara hendaknya dapat bertindak arif dan bijaksana, ketangguhan mentalis, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiel, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktik, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkan harus dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.73

Kemampuan memahami permasalahan hukum dan permasalahan lainnya yang terkait dengan hukum dengan keadilan dimaksudkan, apakah hakim, mampu

73 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 76

memahami dan merespon fenomena actual, budaya, politik, budaya, social, pertahanan baik local, nasional maupun global yang terkait langsung dengan tugas fungsinya langsung masing-masing dengan baik atau kurang baik.74

2. Pengertian Putusan Hakim

Pengertian “putusan” berdasarkan perumusannya dapat dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP dan dari doktrin. Berdasarkan perumusan Bab I Pasal 1 angka 11 KUHAP diberikan batasan tentang “putusan pengadilan” adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang.75

Putusan, menurut “Buku Peristilahan Hukum dan Praktik” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat terbentuk tulisan ataupun lisan, adapula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan atau vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.76 Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedag berlangsung, diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah. Mengenai kata

“putusan” yang diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut “interlocutoir” yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan “preparatoire”

yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta

74 Sidik Sunaryo, Op. Cit hal. 188

75 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 145

76 Evi Hartanti, Op. Cit hal. 54

keputusan “provesionele” yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.77

Kemudian di dalam mengadili suatu perkara, majelis hakim harus melalui 3 (tiga) tindakan secara bertahap, yaitu:

1. Mengkonstansi, yaitu mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan dan dibuktikan para pihak dimuka persidangan.

2. Mengualifikasi, yaitu menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi dan menetapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut.

3. Mengonstitusi , atau memberi konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premisse mayor (peraturan hukumnya) dan premisse minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara professional yaitu:

keadilan kepastian hukumnya dan kemanfaatannya.78

Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (pasal 182 ayat (2) KUHAP).

Jika permufakatan bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak.

Adakalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoeh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang

77 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 406

78 Ibid, hal. 406-407

dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa (pasal 182 ayat (6) KUHAP).79

Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian.

Pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan sesuatu yang sangat penting karena tugas utama dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materill. Pembuktian di sidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan didukung oleh keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam pasal 183 KUHAP sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Alat bukti yang sah menurut ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:

- Keterangan saksi, - Keterangan ahli, - Surat,

- Petunjuk, dan

- Keterangan terdakwa.

Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian negatif, yang berarti hanya mengakui adanya alat-alat bukti yang sah yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di luar ketentuan tersebut

79 Evi Hartanti, Op. Cit hal, 54

bukan merupakan alat bukti yang sah.80 Eksistensi putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah “putusan pengadilan” sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya “putusan hakim” ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain: menerima putusan, melakukan upaya hukum banding/kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Apabila ditinjau dari optic hakim yang mengadili perkara pidana tersebut, putusan hakim merupakan

“mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan factual serta visualisasi etika berserta moral dari hakim yang bersangkutan.81

Dari perumusan KUHAP dan pandangan doktrina tersebut diatas pada asasnya Putusan Hakim/Pengadilan dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Putusan Akhir

Dalam praktek “Putusan Akhir” sering disingkat dengan istilah “Putusan”

saja. Putusan ini dapat terjadi apabila Majelis Hakim meriksa terdakwa Tindak Pidana Korupsi yang hadir di persidangan sampai pokok perkaranya selesai diperiksa sebagaimana tercantum dalam di dalam pasal 182 ayat (3), (8), Pasal 197 dan Pasal 199 KUHAP. Disebut dengan “pokok perkaranya” selesai diperiksa oleh karena Majelis Hakim sebelum menjantuhkan Putusan telah melalui proses-proses berupa: sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan

80 Evi Hartanti, Op. Cit hal. 54-55

81 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 201

identitas dan peringatan Ketua Majelis kepada terdakwa supaya mendengar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi didalam persidangan, pembacaan Catatan/Surat Dakwaan, Acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan atau penasihat hukum dan pendapat Jaksa/Penuntut Umum, Penetapan/Putusan Sela, Pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana (requisitoir), Replik Duplik, re-replik dan re-duplik, pernyataan pemeriksaan “ditutup” serta musyawarah Majelis Hakim dan pembacaan “Putusan” dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP) dan harus ditanda tangani hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 200 KUHAP).

b. Putusan yang Bukan Putusan Akhir

Dalam praktek bentuk dari pada Putusan yang bukan putusan Akhir dapat berupa “Penetapan” atau “Putusan Sela” atau sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda “tussen-vonnis”. Putusan jenis ini mengacu kepada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan “keberatan” atau “Putusan Sela” ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa dan atau penasihat hukum serta penuntut umum telah menerimaapa yang diputuskan oleh Majelis Hakim tersebut. Akan tetapi, secara material perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila “perlawanan” atau

“verzet” dari penuntut umum oleh Pengadilan Negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

Kalau dijabarkan lebih lanjut mengapa putusan ini disebut sebagai bukan putusan akhir oleh karena disamping dimungkinkan perkara tersebut secara marerial dibuka kembali karena adanya “verzet” atau “perlawanan” yng

dibenarkan juga dikarenakan dalam hal ini “materi pokok perkara” atau “pokok perkara yang sebenarnya” yaitu dari keterangan para saksi, terdakwa serta proses berikutnya belum diperiksa oleh Majelis Hakim.82

3. Jenis-jenis Putusan

Berdasarkan hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dengan bertitik tolak kepada surat dakwaan, pembuktian, musyawarah majelis hakim dan mengacu pada Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) KUHAP, maka bentuk dari Putusan Hakim terhadap terdakwa dapat berupa:83

a. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)

Putusan pemidanaan atau “veroordeling” pada dasarnya diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.84 Apabila dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum telah diuji di pengadilan dan terbukti serta pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka sesuai dengan ketentuan dalam pasal 193 ayat (1) KUHAP, pengadilan akan menjatuhkan pidana. Namun, dalam menyatakan seseorang bersalah, majelis hakim harus berhati-hati agar tidak terjadi kekeliruan yang bertentangan dengan koridor hukum yang ada.

Pada pokoknya, dalam memutus bersalah seseorang, harus berdasarkan dakwaan dan dalam putusan pemidanaan, majelis hakim juga harus cermat dalam merumuskan putusannya.

82 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 146-147

83 Ibid hal. 149

84 Ibid hal. 231

Putusan tersebut harus memenuhi semua ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yaitu:

a. Berkepala: Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa b. Identitas Terdakwa

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan penuntut umum d. Pertimbangan yang lengkap

e. Tuntutan pidana penuntut umum

f. Peraturan undang-undang yang menjadi dasar pemidanaan g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis

h. Pernyataan kesalahan terdakwaan

i. Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti j. Penjelasan tentang surat palsu

k. Perintah penahanan, tetap dalam tahanan, atau pembebasan

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang memutus dan panitera.

Konsekuensi yang timbul ketika terdapat ketentuan yang tidak terpenuhi, maka sebagaimana yang diancam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, putusan tersebut batal demi hukum.85 Pengadilan dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, jika tedakwa itu tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan Majelis Hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana yang dilakukan diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP

85 Leden Marpaung, Op. Cit hal. 408-409

dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam aspek terdakwa diakukan suatu penahanan maka pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2) KUHAP.86

Dalam pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa asas atau ketentuan umum pemeriksaan perkara di pengadilan adalah dengan sistem hakim majelis.87 Dalam setiap pengambilan putusan harus melalui musyawarah majelis hakim, yakni sebuah perundingan yang dilaksankan untuk menyamakan persepsi agar perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Musyawarah majelis hakim tersebut dilaksanakan secara rahasia, artinya apa yang dihasilkan dalam pertemuan majelis hakim tersebut hanya diketahui oleh anggota majelis hakim yang memeriksa perkara itu sampai putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam pasal 182 KUHAP diatur perihal proses musyawarah majelis hakim dalam pengambilan putusan. Musyawarah yang dilakukan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang (ayat 4).

Di dalam musyawarah tersebut, apabila tidak tercapai kata mufakat, maka dilakukan mekanisme pengambilan suara. Di dalam konteks ini, sering dikenal dengan pendapat berbeda, atau disstensing opinion yang menunjukkan bahwa keputusan tersebut tidak diambil dengan kesepakatan bulat. Istilah disstensing

86 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 151-152

87 Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2016), hal. 327

opinion itu sebenarnya berasal dari sistem hukum common law, yang memang mekanisme pengambilan keputusan didasarkan dari mayoritas sederhana.

Sehingga apabila ada perbedaan pendapat, maka pendapat hakim yang berbeda itu dilampirkan dalam putusan dan diberikan catatan sebagai disstensing opinion. Di Indonesia, landasan hukum tentang disstensing opinion dimuat di dalam Pasal 14 UU Kekuasaan Kehakiman yang secara jelas menyatakan bahwa pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat di dalam putusan.88

b. Putusan Bukan Pemidanaan

Di luar pemidanaan, pengadilan dapat mengeluarkan putusan yang bukan pemidanaan terhadap terdakwa. Bentuk putusan bukan pemidanaan yang dimungkinkan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1 angka 11 KUHAP adalah bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Dalam hal Putusan Pengadilan bukan pemidanaan, terdapat diskursus yang menarik untuk disimak. Menurut hukum pidana materill, diketahui bahwa terdapat alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagaimana diatur dalam pasal 44, 45, 48, 49, 50 dan 51 KUHP yang menjadikan perbuatan yang dilakukan tidak dapat dikenakan pemidanaan. Alasan-alasan tersebut kerap menghasilkan perbedaan pandangan oleh beberapa ahli hukum pidana terkait ditempatkan sebagai dasar

“putusan bebas” atau sebagai dasar “putusan lepas dari segala tuntutan hukum”.

Argumen untuk memutus bebas adalah, bahwa dakwaan suatu pasal tindak pidana tidak terbukti dalam hal sifat melawan hukum atau unsur kesalahan pada orang tersebut. Sedangkan argumen untuk memutus lepas dari segala tuntutan pidana

88 Ibid, hal. 328

adalah bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan, namun bukan merupakan tindak pidana dikarena perbuatan tersebut diseetai keadaan yang menghapuskan pemidanaan terhadap seseorang.

Perlu juga diperhatikan bahwa dalam putusan bukan pemidanaan, agar tidak menjadi batal demi hukum maka harus memuat:

1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, tanpa ketentuan huruf e, f, dan h;

2. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;

3. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.89

Bentuk putusan yang bukan pemidanaan antara lain:

1. Putusan Bebas (Vrijspraak)

2. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van alle Rechtsvervolging).

Kedua bentuk putusan yang bukan pemidanaan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Putusan Bebas (Vrijspraak)

Dalam praktek putusan bebas (vrijspraak) juga lazim disebut dengan putusan “acquittal”, yang berarti terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana yang didakwakan

89 Ibid hal. 329-330

atau dapat juga disebut terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum. Lebih tegasnya lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”.90 Dari ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, diketahui bahwa putusan bebas adalah akibat:

1. Tidak memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif 2. Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian91

Pada pokoknya, putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Indikator yang digunakan dalam memutus seseorang bebas adalah sebagaimana diatur secara limitative di dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP:

- Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secra sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

- Lebih lanjut, penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan “pernuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembukatiandengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.

Dapat disimpulkan, Putusan Bebas dikeluarkan oleh Majelis Hakim karena dakwaan Penuntut Umum tidak terbukti berdasarkan alat bukti yang sah yang diatur pada Pasal 184 KUHAP dan tidak adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana.

90 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 149

91 Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Op. Cit hal. 331

Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mememutus perkara tersebut menyakatakan seseorang terdakwa diputus “vrijpraak”, pada hakikatnya amar/dictum putusannya haruslah berisikan: “Pembebasan terdakwa secara sah dan meyakinkan dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta martabatnya , memerintahkan terdakwa segeradibebaskan dari tahanansetelah putusan diucapkan apabila terdakwa ditahan dan pembebanan biaya perkara kepada Negara.”

Adapun daam hal putusan bebas, terdapat satu adagium yang cukup konsisten digunakan dalam memohon seseorang agar diputus bebas yaitu “lebih baik membaskan seribu orang bersalah dari pada menghukum seorang tidak bersalah (in dubio pro reo)”. Hal yang ditekankan adalah bahwa seorang hakim tidak boleh ragu dalam memutus bersalah seseorang. Apabila majelis ragu dan tidak yakin, maka Majelis harus memutus bebas terdakwa tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP, apabila hasil pemeriksaan di persidangan tidak cukup meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.92

Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van alle Rechtsvervolging) Dalam KUHAP, putusan lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa meskipun perbuatan yang didakwakan terbukti di pengadilan, namusn perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Dari pengaturan tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi kriteria

Dari pengaturan tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi kriteria

Dokumen terkait