• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Pidana

96 M, Yahya Harahap, Op. Cit hal. 353-355

Kententuan Pasal 28 ayat (1) Undang-udang Nomor 4 Tahun 2004 bertujuan agar hakim dapat memberikan keputusan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian seorang hakim harus bersedia untuk terjun di tenga-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk menjatuhkan atau memutus suatu putusan terhadap pelaku tindak pidana, hakim membuat perimbangan-pertimbangan. Dalam memutus suatu perkara pidana, adapun pertimbangan-pertimbangan hakim sebagai berikut:97

1. Pertimbangan yang bersifat Yuridis

Pertimbangan yang bersifar yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang yang terungkap didalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam putusan. Adapun pertimbangan hakim yang digolongkan sebagai pertimbangan yuridis secara sistematika akan diuraikan sebagai berikut:

a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan ini merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Selain itu dakwaan penuntut umu digunakan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan putusan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pengadilan dalam menjatuhkan putusan senantiasa menjadikan surat dakwaan sebagai suatu

97 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta, Sinar Grafika: 1991, hal. 5

bahan pertimbangan.98 Dakwaan juga merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan dipersidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yag dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggul, kumulatif, alternative maupun subsidair. Dakwaan disusun secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja. Namun, apabila lebih dari satu perbuatan dalam hal ini dakwaan disusun secara kumulatif. Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya.99 Selanjutnya dakwaan alternative disusun apabila penuntut umum ragu untu menetukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan atas suatu perbuatan yeng menurut pertimbangannya terlah terbukt. Dalam praktek dakwaan altenatif tidak dibedakan dengan dakwaan subsidair karena pada umumnya dakwaan alternative disusun penuntut umum menuntut bentuk subsidair yakni tersusun atas primair atau subsidair. Dakwaan penuntut umum sebagai bahan perimbangan pengadilan dalam menjatuhkan putusan.100

b. Keterangan Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

98 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2006, hal. 124

99 Ibid, hal. 125

100 Ibid, hal. 126-127

dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi disampaikan dimuka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah de auditu testimonium.

Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi dipersidangan. Oleh karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian itu menjadi pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sendiri mungkin harus diambil langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya langsung kepada saksi bahwa apakah yang dia dengarkan itu merupakan suatu peristiwa pidana yang tidak dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak dia alaminya sendiri sebaiknya haim membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya tidak perlu lagi didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu.101

Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah:

- Hal kualitas pribadi saksi;

- Hal apa yang diterangkan saksi;

- Hal sebab apa saksi mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan;

- Syarat sumpah atau janji;

101 SM. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta, Pradya Paramita: 2010, hal. 75

- Syarat mengenai adanya hubungan antara isi keterangan saksi dengan isi keterangan saksi lain atau isi alat bukti lain. 102

Ada beberapa hal yang amat perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan keterangan saksi dalam persidangan. Hal-hal ini dapat dianggap sebagai standar penilian. Dalam menilai keterangan saksi, disamping harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi sebagimana yang telah dibicarakan diatas, juga harus memperhatikan standar penilaian keterangan saksi.

Hal-hal yang harus diperhatikan sebagaimana yang ditentukan Pasal 185 ayat (6), ialah:

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya, 2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lainnya, 3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu,

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi.

Disamping itu, ada hal yang lain juga perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah:

1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat 1)

2. Persesuaian keterangan saksi dipersidangan dengan keterangannya ditingkat penyidikan (Pasal 163)103

Melalui kajian teoritik dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seseorang dipanggil menjadi saksi tetapi menolak/tidak mau hadir didepan persidangan, saksi tersebut supaya dihadapkan kepersidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).

102 Adam Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, P.T.

ALUMNI: 2006, hal. 39-40

103 Adam Chazawi, Op. Cit hal. 55-56

Dengan demikian, sasnya setiap orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa dapat didengar sebagai saksi (Pasal 1 angka 26 KUHAP).

Akan tetapi, dalam hal eksepsional sifatnya seseorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 168 KUHAP.104

c. Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwaan merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Dalam HIR, alat bukti ini disebut “pengakuan tertuduh”. Apa sebabnya istilah ini tidak dipakai lagi dalam KUHAP, dan ditukar dengan sebutan “keterangan terdakwa”, tidak diperoleh keterangan dalam penjelasan KUHAP. Ditinjau dari segi pengertian bahasa, memang jelas terasa terdapat perbedaan makna antara “pengakuan” dan

“keterangan”. Pada pengakuan, terasa benar mengandung suatu “pernyataan”

tentang apa yang dilakukan seseorang.105

Apabila diperbandingkan dari segi istilah dengan “pengakuan terdakwa”

(bekentennis) sebaimana kententuan Pasal 295 jo Pasal 367 HIR, istilah

“keterangan terdakwa” (Pasal 184 Pasal 189 KUHAP) tampaknya lebih luas maknanya daripada “pengakuan terdakwa” karena aspek ini mengandung makna

104 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 170

105 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika: 2010, hal. 318

bahwa segala sesuatu yang diterangkan oleh terdakwa sekalipun tidak berisi pengakuan salah merupakan alat bukti yang sah.106

Dari keterangan Pasal 189 KUHAP, dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan terdakwa dapat dinyatakan didalam sidang pengadian dan dapat pula diberikan diluar sidang. Apabila keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadian, agar dapat dinilai sebagai alat bukti sah, hendaknya berisikan penjelasan atau jawaban yang dinyatakan disidang pengadilan, agar dapat dinilai sebagai alat bukti sah, hendaknya berisikan penjelasan atau jawaban yang dinyatakan sendiri oleh terdakwa dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya terhadap perbuatan yang ia lakuan , ia ketahui atau ia alami sendiri. Sedangkan terdadap keterangan terdakwa yang dberikan diluar sidang hanya dapat dipergunakan dalam eksistensinya “membantu” menemukan bukti disidang pengadilan. Selain itu, juga secara teoretik keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan keterangan terdakwa tidaklah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (3), (4) KUHAP). Dalam praktik, semenjak era KUHAP yang tidak mengejar “pengakuan terdakwa”, pada tahap pemeriksaan didepan persidangan terdakwa dijamis kebebasannya dalam memberikan keterangannya (Pasal 166 KUHAP), terdakwa berhak untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya (Pasal 175 KUHAP). Oleh karena itu, Hakim dilarang untuk menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa (Pasal 158 KUHAP). Begitu juga sebaliknya, walaupun keterangan terdakwa berisikan

106 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 190

“pengakuan” tentang perbuatan yang ia lakukan, barulah mempunyai nilai pembukatian apabila didukung dan berkesesuaian dengan alat bukti lainnya (Pasal 184 ayat (1) huruf a, b, c dan d KUHAP).107

d. Barang-barang Bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

b. Benda yagn telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang digunakannya untuk menghalang-haangi penyidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.108

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebut sebagai barang bukti. Selain itu didalam Hetterziene in Landcsh Regerment (HIR) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian

107 Lilik Mulyadi, Op. Cit hal. 191

108 Tim Pustaka Buana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Bandung, Pustaka Buana: 2016, hal. 789

selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuat kejahatan.

Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag diantaranya:

a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti);

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana;

c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti);

d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa.109

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberpa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik. Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti:

- Merupakan objek materill, - Berbicara untuk diri sendiri,

- Sarana pembuktian yang paling bernilai disbanding sarana pembuktian lainnya,

- Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.110

109 Ratna Nurul Afiah & Andi Hamzah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta, Sinar Grafika: 1988, hal. 14

Barang bukti yang merupakan alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana, tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 KUHP).111

e. Pasal-pasal Peraturan Hukum Pidana

Salah satu hal yang sering terungkap didalam proses persidangan adalah pasal-pasal peraturan hukum pidana. Pasal-pasal ini bermula terlihat dan terungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, yang diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Pasal-pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau tindakan oleh hakim.

Didalam praktik persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam hukum pidaa itu.

110 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika: 2008, hal. 254

111 Ratna Nurul Afiah & Andi Hamzah, Op. Cit hal. 19

Berdasarkan atas Pasal 197 KUHAP, salah satu yang harus dimuat didalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan-peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan.112

2. Pertimbangan yang bersifat non Yuridis

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum / peraturanya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Di dalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Berikut ini, keadaan-keadaan yang digolongkan sebagai pertimbangan yang bersifat nonyuridis sebagai berikut:

a. Latar Belakang Perbuatan Terdakwa

Pengertian latar belakang adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana. Keadaan ekonomi, misalnya merupakan contoh yang sering menjadi latar belakang kejahatan.Kemiskinan, kekurangan, atau kesengsaraan merupakan suatu keadaan ekonomi yang sangat keras mendorong terdakwa melakukan tindak pidana. Orang miskin sukar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara tuntutan hidup senantiasa mendesaknya. Akhirnya bagi yang lemah iman, dengan mudah menentukan pilihan berbuat pidana.

112 Rusli Muhammad, Op. Cit hal. 135

Tekanan-tekanan keadaan ekonomi tidak saja mendorong bagi orang miskin untuk melakukan kejahatan, melainkan juga bagi mereka yang kaya.

Sistem dan pertumbuhan ekonomi saat ini banyak menawarkan produk-produk mewah dan mutakhir yang membuat nafsu ingin memiliki bagi golongan kaya.

Usaha memiliki itulah, yang kadang dilakukan melalui dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum, misalnya, korupsi, manipulasi, penyelundupan, suap, penyalahgunaan kekuasaan dan lain sebagainya.113

Masalah tanggungjawab hukum yang dilakukan oleh terdakwa tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada segi normatif, visi kerugiannya saja, tetapi faktor intern dan ekstern yang melatarbelakangi dalam melakukan tindak pidana atau kejahatan juga harus dipertimbangkan secara arif oleh hakim yang mengadili.

Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latarbelakang social mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana.114

b. Akibat Perbuatan Terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Pada perbuatan pidana pembunuhan misalnya, akibat yang terjadi adalah matinya orang lain. Selain itu, berakibat buruk pada keluarga korban apabila yang menjadi korban itu tulang punggung dalam kehidupan keluarganya. Demikian pula pada bentuk kejadian lain, misalnya perkosaan, narkotika, dan kejahatan terhadap benda, yang semuanya mempunyai

113 Ibid hal. 136-137

114 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika: 2009, hal.20

akibat buruk, tidak saja kepada korbannya, melainkan kepada masyarakat luas.

Bahkan akibat perbuatan terdakwa dan kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentuan mereka senantiasa terancam.115

c. Kondisi Diri Terdakwa

Pengertian kondisi diri terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan misalnya dalam keadaan marah, mempunyai perasaan dendam, mendapatkan ancaman atau tekanan orang lain dan pikiran dalam keadaan kacau atau tidak normal. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat yakni apakah sebagai pejabat, tokoh masyarakat atau kah sebagai gelandangan, dan sebagainya.116

Aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis terdakwa pada saat melakukan tindak pidana dan setelah melakukan tindak pidana.117

d. Keadaan Sosial Ekonomi Terdakwa

Di dalam KUHP maupun dalam KUHAP tidak ada satu aturan pun yang dengan jelas memerintahkan bahwa keadaan sosial ekonomi terdakwa harus dipetimbangkan di dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Hal ini berbeda konsep dengan KUHP Baru di mana terdapat ketentuan mengenai pedoman pemidanaan yang harus dipertimbangkan oleh hakim.

115 Rusli Muhammad, Op. Cit hal 138

116 Ibid 139-140

117 Andi Hamzah, Op. Cit hal. 22

Dalam konsep KUHP baru disebutkan bahwa dalam pemidanaan, hakim mempertimbangkan, pembuat, motif, dan tujuan dilakukannya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, riwayat hidup, dan keadaan sosial ekonomi pembuat, sikap, dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat dan pendangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Berdasarkan konsep KUHP itu, salah satu yang harus dipertimbangkan hakim adalah keadaan sosial ekonomi pembuat, misalnya tingkat pendapatan dan biaya hidupnya. Ketentuan ini memang belum mengikat pengadilan sebab masih bersifat konsep. Meskipun demikian kondisi sosial ekonomi tersebut sepanjang hal tersebut merupakan fakta dan terungkap dimuka persidangan.118

Salah satu yang harus dipertimbangkan hakim adalah keadaan social ekonomi terdakwa, misalnya tingkat pendapatan dan biaya hidupnya, kondisi sosial ekonomi tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam menjatuhan putusan sepanjang hal tersebut merupakan fakta yang terungkap dimuka persidangan karena pada dasarnya faktor ekonomilah yang sangat berpengaruh terdakwa untuk melakukan tindak pidana.119

e. Faktor Agama Terdakwa

Setiap putusan pengadilan senantiasa diawali dengan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Kalimat ini selain berfungsi sebagai kepala putusan, namun yang lebih penting suatu ikrar dari hakim bahwa yang diungkapkan dalam putusannya itu semata-mata untuk

118 Rusli Muhammad, Op. Cit hal. 141

119 Di akses dari: Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Pertimbangan Hakim, Putusan, www.jurnal.unsyiah.ac.id Pada tanggal, 24 Juni 2020

keadilan yang berdasarkan ketuhanan. Kata “Ketuhanan” menunjukkan suatu pemahaman yang berdimensi keagamaan. Dengan demikian, apabila para hakim membuat putusan berdasarkan pada ketuhanan, berarti harus pula ia terikat oleh ajaran-ajaran agama.

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila hanya sekedar meletakkannya kata “Ketuhanan” pada kepala, putusan melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan. Bila demikian hanya, wajar dan sepatutnya bahkan pula seharusnya ajaran agama menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.120

120 Rusli Muhammad, Op. Cit hal. 142-143

BAB IV

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN

NOMOR 01/PID.SUS.TPK/2017PN.MDN (Analisis Putusan)

A. Putusan Nomor 01 Pid.Sus TPK/2017Pn.Mdn 1. Kronologi Kasus

Longser Sihombing selaku Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Sukaramai melakukan pertemuan dengan saksi Triono Herlambang selaku Site Manager PT.

Karya Sakti Sejahtera dan meminta kepada saksi Triono Herlambang untuk memberikan sejumlah uang sebagai upaya untuk dapat menghentikan penyelidikan perkara dugaan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak jenis solar yang sedang ditangani oleh Polsek Sukaramai, untuk penyelesaian perkara BBM yang diduga illegal dibutuhkan dana, yaitu untuk BP-Migas sebanyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), untuk mencabut SPDP di Kejaksaan Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), untuk Polsek Sukaramai Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan jumlah total Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan mobil dump truck tersebut dapat diambil besok di Polres Sukaramai.

Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya yaitu Longser Sihombing S,H. MH, sebagai Kepala Kepolisian Sektor Sukaramai Pakpak Bharat selaku Penyidik yang sedang menangani perkara dugaan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar jenis solar, mengadakan pertemuan dengan saksi Triono Herlambang selaku Site Manager

PT. Karya Sakti Sejahtera (KSS) tanpa alasan yang sah dapat membantu saksi Triono Herlambang untuk menghentikan penyelidikan perkara deguaan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak jenis solar, memaksa seseorang yaitu saksi Triono Herlambang selaku Site Manager PT. Karya Sakti Sejahtera (KSS) memberikan sesuatu yaitu berupa uang tunai sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sesuai yang diminta Longser Sihombing S,H. MH.

Hal itu terlihat dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tanggal 05 Januari 2017, Nomor : REG.PERKARA PDS-23/N.2.10/Ft.2/12/2016 dan telah diputus dengan Surat Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mdn.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Longser Sihombing S,H. MH. didakwa penuntut umum dengan dakwaan lebih subsidair, sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan Nomor : REG.PERKARA PDS-23/N.2.10/Ft.2/12/2016 pada tanggal 05 Januari 2017.

Dalam dakwaan Primair disebut melanggar Pasal 12 huruf a UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam dakwaan Subsidair disebut melanggar Pasal 12 huruf b UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Dan dalam dakwaan Lebih Subsidair melanggar Pasal 11 UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Fakta Hukum

Berdasarkan hasil pemeriksaan dipersidangan, maka terungkap fakta-fakta hukum berikut:

- Bahwa terdakwa sejak tanggal 10 Juni 2016 melaksanakan tugas sebagai Kapolsek Sukaramai Polres Pakpak Bharat berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Nomor : KEP/486/VI/2016 tanggal 10 Juni 2016;

- Bahwa terdakwa ada menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kepolisian Sektor Sukaramai No. Pol : SPRIN-LIDIK/27/VIII/2016/Reskrim tanggal 03 Agustus 2016 atas dugaan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak jenis solar dan arau turut serta/menyuruh melakukan dan atau membantu melakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b dan c, Pasal 23 ayat (2) huruf b dan c UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Jo. Pasal 22 KUHPidana;

- Bahwa terdakwa ada menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kepolisian Sektor Sukaramai No. Pol : SPRIN-LIDIK/27/VIII/2016/Reskrim tanggal 03 Agustus 2016 atas dugaan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak jenis solar dan arau turut serta/menyuruh melakukan dan atau membantu melakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b dan c, Pasal 23 ayat (2) huruf b dan c UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Jo. Pasal 22 KUHPidana;

Dokumen terkait