• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBEBASKAN TERDAKWA PIDANA KORUPSI DENGAN DAKWAAN SUBSIDAIR (Studi Putusan Nomor 01/Pid.Sus.Tpk/2017 PN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBEBASKAN TERDAKWA PIDANA KORUPSI DENGAN DAKWAAN SUBSIDAIR (Studi Putusan Nomor 01/Pid.Sus.Tpk/2017 PN."

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ROY VICTOR HATOGUAN MANURUNG 160200133

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

NIM : 160200133 Judul Skripsi :

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBEBASKAN TERDAKWA PIDANA KORUPSI DENGAN DAKWAAN SUBSIDAIR (Studi Putusan Nomor 01/Pid.Sus.Tpk/2017 PN.Mdn)

Dengan ini menyatakan:

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya. Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, November 2020 Roy Victor Hatoguan Manurung

160200133

(4)

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Terkait hal tersebut, penulis ingin mengetahui mengenai pertimbangan hakim dalam tindak pidana korupsi dalam penyalahgunaan jabatan Kepolisian Republik Indonesia (aparat penegak hukum) khususnya dalam perkara pidana No.

01/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mdn.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengkaji/menganalisis data yang berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research).

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa penerapan ketentuan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat Kepolisian Republik Indonesia (aparat penegak hukum) dalam perkara pidana No.

01/Pid.Sus.TPK/2017/PN.Mdn telah sesuai dengan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi, ahli dan keterangan terdakwa. Sanksi pidana yang diberikan Hakim kepada terdakwa dalam dakwaan lebih subsidair yakni Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut penulis dalam Pasal 418 dan Pasal 419 KUHAP tidak tepat, dikarenakan telah memenuhi unsur ketiga yakni

“menerima hadiah atau janji” tindakan yang dilakukan oleh terdakwa.

Kata Kunci :

Pertimbangan Hakim, Dakwaan Subsidair, Tindak Pidana Korupsi.

(5)

berkat, pertolongan dan penyertaan-Nya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBEBASKAN TERDAKWA PIDANA KORUPSI DENGAN DAKWAAN SUBSIDAIR (Studi Putusan Nomor 01/Pid.Sus.Tpk/2017 PN.Mdn) Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembaca sekalian. Meskipun demikian, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini sehingga segala kritik dan saran akan sangat berguna bagi penulis.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah mendapat banyak doa dan bantuan, baik secara moril dan materil dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terkhusus untuk kedua orang tua penulis, ayah, Joster Manurung dan ibu, Hotmaida Pardosi. Terimakasih atas semua doa, dukungan, bimbingan, dan kasih sayang yang begitu besar dan tidak dapat dinilai dengan apapun kepada penulis selama ini hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

(6)

Hukum USU;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU, dosen Pembimbing Akademik penulis, serta Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, ilmu, dan saran bagi penulis dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, kritik dan saran bagi penulis dalam pengerjaan skripsi ini;

8. Seluruh dosen dan staf pada Fakultas Hukum USU yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis selama masa perkuliahan;

9. Untuk saudara penulis, Dohar Manurung, Putra Manurung, dan Uriel Mananta Manurung, Terimakasih atas semua doa dan semangat kepada penulis selama ini.

Semoga kita semua dapat sukses akan tujuan kita masing-masing dan menjadi anak-anak yang berguna;

(7)

masa perkuliahan ini. Semoga kita semua sukses dalam tujuan masing-masing;

11. Keluarga Mahasiswa Katolik St. Fidelis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Keluarga Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang MEDAN ; 13. Keluarga Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

14. Keluarga Satuan Mahasiswa Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia Universitas Sumatera Utara dan Keluarga Satuan Mahasiswa Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

15. Keluarga Dojo INKADO KARATE Universitas Sumatera Utara;

16. Untuk Tita Florensia Sinaga yang dengan sabar telah menemani penulis, khususnya selama penulisan skripsi ini. Terimakasih atas semua doa dan dukungannya;

Akhir kata penulis ingin mengucapkan terimakasih sekali lagi untuk semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kiranya skripsi ini dapat berguna dalam menambah pengetahuan kita.

Medan, November 2020

(8)
(9)

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman Menurut Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 ... 10

2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ... 15

F. Metode Penulisan ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 ... 22

A. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi ... 22

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ... 36

(10)

A. Peranan Hakim dalam Peradilan Pidana ... 53

1.Kemandirian Hakim Pengadilan ... 53

2.Pengertian Putusan Hakim ... 57

3.Jenis-jenis Putusan ... 62

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Pidana ... 71

1.Pertimbangan yang bersifat Yuridis ... 71

2.Pertimbangan yang bersifat non Yuridis ... 80

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 01/PID.SUS.TPK/2017PN.MDN (Analisis Putusan) ... 85

A. Putusan Nomor 01/Pid.Sus.TPK/2017Pn.Mdn ... 85

1. Kronologi Kasus ... 85

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 86

3. Fakta Hukum ... 87

a. Keterangan Saksi ... 92

b. Surat-surat ... 110

4. Putusan Hakim ... 111

B. Analisis Putusan ... 113

BAB V PENUTUP ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 131

(11)
(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan Hakim. Khusus bagi sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana.1

Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran Hakim dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Hakim secara etimologi berarti

“Orang yang memutuskan hukum”. Hakim merupakan unsur utama di dalam Pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.2

1 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 hal. 16

2 Ibid, hal. 17

(13)

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili.3

Oleh karenanya terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya (aktor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut. Dalam hal ini, penulis secara khusus meneliti dalam sebuah perkara tindak pidana korupsi. Hakim menjadi satu subjek penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan.

Data yang diperoleh mengenai perkembangan tindak pidana korupsi saat ini di Indonesia, Per 31 Desember di tahun 2018 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: Penyelidikan 164 perkara, penyidikan 199 perkara, penuntutan 151 perkara, inkrachtt 106 perkara, dan eksekusi 113 perkara.

Dengan demikian disimpulkan bahwa laporan tingkat kenaikan perkara tindak pidana korupsi di tiap daerah di Indonesia selalu meningkat4

Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang

3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hal 776.

4 Anti-Corruption Clearing House (ACCH), “Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi”, diakses dari https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi# pada 2 Juni 2020.

(14)

ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.5

Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan diskresi (hak untuk melakukan penyimpangan kepada suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas. Dalam arti sempit, korupsi berarti pengabaian standar perilaku tertentu oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri.6

Agar lebih memahami mengenai arti dari korupsi, akan dijelaskan mengenai asal kata korupsi. Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corruption; dan Belanda, yaitu corruptive (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu

“korupsi”.7

Adapun pengertian korupsi sangat beragam. Antara lain sebagai berikut :

5 Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, Edisi kedua, hal 1

6 H. Jawade Hafidz Arsyad, KORUPSI dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), hal 5-6.

7 Andi Hamzah, Pemberantas Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Granfindo Persada, Jakarta, 2005, hal 4.

(15)

a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah Perbuatan yang busuk seperti penggelapan uang, penerima uang sogok, dan sebagainya.8 b. Menurut Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,

menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.9

c. Pengertian korupsi menurut Gurnar Myrdal, Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas- aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu umtuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan. 10 d. Pengertian korupsi menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah sebuah tindakan

melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian Negara.11

Menurut pasal 14 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman, dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.12 Keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang dipengadilan.kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia selanjutnya disebut KBBI, Edisi ke III, Jakarta : Balai Pustaka, 2005, hal. 597

9 Hartanti Evi, Op.Cit hal 9.

10 Djaja Ermansjah Memberantas KORUPSI bersama KPK (Sinar Grafika, Jakarta,2008), hal 7.

11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

12 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Arti Dasar Pertimbangan Hakim, diakses dari:

https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16225/10771

(16)

1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.13

Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para

13Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet kelima (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hal.140.

(17)

pihak.14 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.15

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan Undang-Undang No.

48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.16 Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan

14 Ibid, hal.141.

15 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), hal.94.

16 Ibid, h. 95.

(18)

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Hakim harus memperhatikan pertimbangan hukum dengan nalar yang baik mengapa dalam kasus tertentu harus memilih pada salah satu asas. Dengan demikian kualitas putusan hakim dapat dinilai dari bobot alasan dari pertimbangan hukum yang digunakan dalam perkara. Dengan demikian hakim melalui pertimbangan hukumnya dapat menentukan kapan berada lebih dekat dengan kepastian hukum dan kapan lebih dekat dengan keadilan. Setiap putusan hakim yang mencerminkan kepastian hukum bukan berarti tidak memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan, asas keadilan dan kemanfaatan tetap ada hanya saja penekanannya lebih condong pada kepastian hukum.

(19)

Salah satu contoh kasus tindak pidana korupsi yaitu penyalahgunaan jabatan Kepolisian Republik Indonesia (aparat penegak hukum) dalam hal ini yang dilakukan oleh LONGSER SIHOMBING S.H., M.H., yang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Sukarame Polres Pakpak Bharat, yang merupakan terdakwa dalam hal menerima hadiah atau janji. Hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, dimana telah bertentangan dengan keajibannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka peneliti mencoba untuk meninjau lebih lanjut melalui penulisan ini dengan judul “Dasar Pertimbangan Hakim Membebbankan Terdakwa Pidana Korupsi Dengan Dakwaan Subsidair.(Studi Putusan No. 01/Pid.Sus.Tpk/2017PN.MDN)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permaslahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?

2. Bagaimana Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara Pidana?

(20)

3. Bagaimana Pertimbangan Hakim Membebaskan Terdakwa Pidana Korupsi Dalam Dakwaan Subsidair? (Analisis Terhadap Putusan No.

01/Pid.Sus.Tpk/2017PN.MDN) C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini yaitu :

A. Untuk mengetahui pelaksanaan didalam peradilan terkait dengan pertimbangan hakim dalam membebaskan terdakwa tindak pidana korupsi.

B. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan hakim dalam peradilan sidang untuk membebaskan terdakwa tindak pidana korupsi dengan dakwaan subsidair.

C. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis yang berkaitan dengan Dasar Pertimbangan Hakim Membebaskan Terdakawa Pidana Korupsi Dengan Dakwaan Subsidair.

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain:

a. Secara teoritis, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi, referensi serta konstribusi pemikiran dan menambah wawasan dalam hukum pidana pada umumnya dan tentang pidana korupsi pada khususnya di kalangan mahasiswa sendiri atau lingkungan para akademis.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para Pegawai Negeri Sipil,

(21)

sehingga terciptanya efek jera dan tercapainya cita-cita para reformis dalam mewujudkan negara hukum yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul “Dasar Pertimbangan Hakim Membebaskan Terdakawa Pidana Korupsi Dengan Dakwaan Subsidair (Studi Putusan No. 01/Pid.Sus.Tpk/2017PN.MDN)”, adalah kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, penulis sendiri tertarik untuk mengangkat kasus ini karena ingin mengetahui lebih dalam tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. Judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh siapapun dan juga diteliti dalam bentuk yang sama di Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara, Penulisan karya ilmiah ini diperoleh berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun eletronik dan ditambah pemikiran penulis, oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman Menurut Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

(22)

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.17

Kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang disebut dengan Mahkamah Agung, dimana menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih lanjut pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan:

1. Peradilan Umum.

2. Peradilan Agama.

3. Peradilan Militer.

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam hal ini Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua badan peradilan yang berada di ingkungan peradilan yang telah disebutkan di atas.18

17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(23)

Sebagai lembaga pengadilan negara tertinggi, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menyebutkan lain.

2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

3. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

Kewenangan dan tugas lainnya yang dimiliki oleh Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 – Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. bahwa Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

2. Menerima dan memproses permohonan kasasi atas putusan pengadilan dalam tingkat banding yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

18 Hoesein Zainal, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia; Sejarah, Kedudukan, Fungsi, dan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Konstitusi, (Jakarta, Setara Press, 2016) hal.

45

(24)

3. Meneriman dan memproses permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.19

Peradilan Umum

Peradilan umum merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 25 ayat (2) UU No. 48/2009).

Peradilan Agama

Peradilan agama juga merupakan lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan meyelesaikan perkara antara orang- orang yang beragama islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan (Pasal 25 ayat (3) UU No. 48/2009).

Peradilan Militer

Demikian juga halnya dengan peradilan militer yang termasuk dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

19 Ibid hal. 46-47

(25)

perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 25 ayat (4) UU No. 48/2009)

Peradilan Tata Usaha Negara

Terakhir adalah peradilan tata usaha negara yang juga merupakan lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 25 ayat (5) UU No.

48/2009). Masing-masing lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung mempunyai tahapan yaitu; tingkat pertama, tingkat banding (pengadilan tinggi), dan terakhir tingkat kasasi atau peninjauan kembali (Mahkamah Agung).20

2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Andi Hamzah menyatakan bahwa kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio” atau “corruptus” yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa seperti Inggris dan Prancis yaitu “coruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie” yang selanjutnya muncul pula dalam

20 Hoesein Zainal Op. cit hal. 56-57

(26)

perbendaharaan bahasa Indonesia: korupsi yang dapat berarti suka disuap.21

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian tentang

“korupsi” sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.22 Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi menurut Ensiklopedia Indonesia yaitu Korupsi (berasal dari bahasa latin, Corruption sama dengan penyuapan;

dari corrumpere sama dengan merusak). Gejala di mana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya.23

Pendapat lain mengenai pengertian “Korupsi” Secara harafiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara

21Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 1995), hlm. 135.

22 Wojo Wasito, Kamus Bahasa Indonesia, (Jogjakarta: Balai Pustaka, 2001) hlm. 597.

23 Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1983), hlm.

1876.

(27)

harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.24

Pengertian tindak pidana korupsi adalah tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.25 Istilah tindak pidana korupsi yang pertama dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan kita ialah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu) No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.26

Penjabaran mengenai pengertian dari “Tindak Pidana Korupsi”

adalah semua ketentuan hukum materiil yang terdapat di dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang diatur di dalam pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 13, 14, 15, 16, 21, 22, 23, dan 24. Ditambah lagi dengan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang melanggar ketentuan

24 Ibid, hlm. 9.

25 Rachmat Trijono, Kamus Hukum, (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016), hlm. 253.

26 Adami Chazawi, Hukum Pidana Formil dan Materiil Korupsi di Indonesia, (Malang:

Bayu Media, 2005), hlm. 3.

(28)

Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana koruspsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”.27

Menurut asas ketentuan hukum pidana, hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum (ius commune) dan Hukum Pidana Khusus (ius singulare, ius special atau bijzonder strafrecht). Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku secara umum seperti diatur dalam KUHP, sedangkan ketentuan- ketentuan Hukum Pidana Khusus dimaksudkan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur tentang kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana khusus, disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.28 Dengan bertitik tolak pada aspek tersebut maka terhadap peraturan tindak pidana korupsi mengalami banyak perubahan, dicabut dan diganti dengan peraturan baru.

Hal ini dapat dimengerti oleh karena disatu pihak perkembangan masyarakat demikian cepat dan modus operandi tindak pidana korupsi

27 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hlm. 25.

28 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.29.

(Buku Pertama)

(29)

makin canggih dan variatif sedangkan dilain pihak perkembangan hukum (“Law in Book”) relative tertinggal dengan perkembangan masyarakat.29 F. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.30

Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.31

2. Data dan Sumber Data

Penyusunan skripsi ini menggunakan data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini serta putusan pengadilan yang merupakan konkretisasi dari perundangundangan.

29 Mulyadi Lilik, TINDAK PIDANA KORUPSI, (Citra Aditya Bakti,Bandung, 2000), hlm2.

30 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 38.

31Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 13-14.

(30)

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menunjang, yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, dan pendapat para ahli hukum.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.32

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penulis melakukan pengumpulan data melalui berbagai peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur-literatur, jurnal, dan internet yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

4. Analisis Data

Analisi data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu penulisan semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan tersebut.

G. Sistematika Penulisan

32Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenadi Media Group, 2005), hlm. 141-142.

(31)

Skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, di mana tiap bab terbagi ke dalam beberapa sub bab. Agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini, maka dijelaskan sebagai berikut:

BAB I : Pada bab ini dikemukakan tentang Pendahuluan, Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Pengaturan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna untuk menyempurnakan undang-undang sebelumnya agar lebih memperkuat untuk memberantas korupsi.

BAB III : Dasar pertimbangan hakim dalam peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia, yang berisikan tentang Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Peranan Hakim Dalam Peradilan Pidana, Kemandirian Hakim Pengadilan, Pengertian Putusan Hakim, Jenis-jenis Putusan, Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Pidana, Pertimbangan yang bersifat Yuridis, Pertimbangan yang bersifat non Yuridis.

BAB IV : Peranan hakim dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, yang membahas tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dengan Dakwaan Subsidair

(32)

dalam kasus putusan Nomor 01/Pid.Sus.TPK/2017Pn. Mdn yang terdiri dari Kasus Posisi, Tuntutan Pidana, Putusan, Analisis Putusan.

BAB V : Kesimpulan dan saran, yang merupakan penutup dari tulisan ini yang memuat rangkaian dari bab-bab.

(33)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 A. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi

Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Oleh sebab itu sebagai ilustrasi, sebelum melakukan pembahasan mengenai perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia, patut pula disinggung sepintas konsepsi pembaharuan hukum pidana itu sendiri dalam konteks perkembangan masyarakat.33

Meskipun di dalam KUHP tidak ditemui adanya penggunaan terminology korupsi secara tegas dalam rumusan delik, namun terdapat beberapa ketentuan yang dapat dipahami esensinya sebagai rumusan tindak pidana korupsi.

Ketentuan-ketentuan KUHP tersebut, misalnya kejahatan jabatan, kejahatan penyuapan, penggelapan, dan sebagainya, yang dalalm perspektif perundang- undangan pidana kemudian diambil alih pengaturannya, dan dikualifikasikan sebagai jenis tindak pidana korupsi.

Kententuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi dalam KUHP ditemui pengaturannya secara terpisah di beberapa pasal pada tiga bab, yaitu:

33 H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta, Rajawali Pers: 2012, hal. 17

(34)

a. Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni pada Pasal 209, 210 KUHP.

b. Bab XXI tentang perbuatan curang, yakni pada Pasal 387, dan 388 KUHP.

c. Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, yakni pada Pasal 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP.

Rumusan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam KUHP, dapat di kelompokkan atas empat kelompok tindak pidana (delik) yaitu:

a. Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP;

b. Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri dari Pasal 415, 416, dan 417 KUHP;

c. Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP;

d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan; yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan 435 KUHP.34

34 Ibid hal. 26-27

(35)

Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang- undangan guna memberantas korupsi.

Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif guna menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan.

Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan pada tahun 1957. Yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut.

1. Masa Peraturan Militer, yang terdiri atas:

a. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.

b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili Negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadila Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).

c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh

(36)

Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.

d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksanaannya.

e. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958.

2. Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.

3. Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TNLRI 387) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134; TNLRI 4150) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137; TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.35

35 Evi Hartanti, Op.Cit hal. 22-23

(37)

1. Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 Pada konsideran Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 menyatakan bahwa maksud dan tujuan dibentuknya peraturan ini adalah untuk kebutuhan yang mendesak guna memperbaiki peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintah. Peraturan Penguasa Militer ini merupakan awal mula peraturan perundang-undangan pidana khusus menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Rumusan mengenai korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-06/1957 dalam Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahu 1958, yaitu:

- Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

- Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan keuangan dari Negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pejabat langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.

Peraturan penguasa militer ini ternyata dirasa kurang efektif yang kemudian di bentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957 yang mengatur lebih lanjut tentang pemilikan harta benda yang dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan

(38)

negara dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.36

Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor:

Prt/Peperpu/013/1958 tidak menjelaskan mengenai pengertian istilah korupsi serta tindak pidana korupsi, namum membedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan perbuatan korupsi lainnya. Perbuatan korupsi pidana ada tiga macam yakni sebagai berikut:

a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggarankelonggoran dari masyarakat.

b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP.37

36 H. Elwi Danil, Op.Cit hal. 29-31

37 Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017, hal. 3

(39)

2. Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.

Setelah peraturan penguasa perang pusat diberlakukan, lantas pemerintah memandang perlu untuk menggantinya dengan peraturan yang berbentuk undang- undang. Akan tetapi karena keadaan memaksa, dan tidak memungkinkan untuk membentuk sebuah undang-undang, maka instrumen hukum yang dipergunakan untuk itu adalah dengan membentuk sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu). Atas dasar itu, maka pada tanggal 9 Juli 1960 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Nomor 72 Tahun 1960.38

Sebagaimana dikemukakan diatas, pembuat undang-undang memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang perbuatan korupsi bukan pidana karena bagaimanapun, dalam hal-hal seperti itu terbuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menggugat perdata melalui Pasal 1365 BW terhadap pelaku perbuatan seperti itu.

Telah dikemukakan diatas bahwa perumusan delik yang ada dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut diambil alih sepenuhnya oleh Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 ini dengan sedikit perubahan. Pada Pasal 1 ayat

38 H. Elwi Danil, Op.Cit hal. 32

(40)

(1) sub a dan b hanya kata “perbuatan” diganti dengan “tindakan” karena undang- undang ini memakai istilah “tindak pidana korupsi” bukan “perbuatan korupsi pidana”.39

Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang tedapat dalam Undang- Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 dirasakan kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif, terutama sekali menyangkut ketentuan-ketentuan tentang pembuktian.

Kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk undang- undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang Nomor 24 Prt Tahun 1960. Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 dianggap kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. Atas dasar alasan-alasan tersebut diatas, dan diperkuat dengan berbagai pendapat yang berkembang ditengah masyarakat, pemerintah memandang perlu mengadakan pembaruan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang Nomor 24 Prt Tahun 1960.

Untuk memenuhi maksud tersebut diatas, maka dengan Amanat Presiden Nomor R. 07/P.U/VIII/1970 tanggal 13 Agustus 1970, pemerintah menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengajuan rancangan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mencabut dan mengganti

39 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasiona, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2005, hal. 61

(41)

Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 dengan suatu undang-undang korupsi yang baru.40

3. Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jika kita tinjau yurisprudensi selama kurun waktu antara tahun 1960-1970, sangat sedikit delik korupsi dapat di temukan. Kita dapat menemukan dalam yurisprudensi perkara-perkara besar seperti Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Letjen.

Siswadji, Budiadji, Liem Keng Eng, dan Endang Widjaja, kemudian dua orang hakim senior, masing-masing JZL, yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya, dan HG di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.41

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu pasal, yaitu Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub ayat.

Pasal 1 ayat (1) tersebut merumuskan tindak pidana korupsi ialah:

a. Barangsiapa melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

40 H. Elwi Danil, Op.Cit hal. 36-37

41 Andi Hamzah, Op. Cit hal. 63

(42)

padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210,

387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP;

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau lebih si pemberi hadiah atau kedudukan itu;

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Sedangkan di dalam Pasal 1 ayat (2) dirumuskan, barangsiapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.42

Kemajuan antara perumusan tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya dapat dikatakan ada beberapa kemajuan. Kemajuan tersebut meliputi:

1. Perumusan tindak pidana korupsi dengan unsur “melawan hukum”, sedangkan peraturan terdahulu dirumuskan dengan unsur “dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”.

42 H. Elwi Danil, Op. Cit hal. 37-38

(43)

2. Bentuk delik korupsi merupakan “delik formil”, berarti bahwa delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merumuskn dalam unsur- unsurnya serta bentuknya, akibat nyata dari perbuatan dari tidak di syaratkan untuk selesainya delik, sedangkan peraturan sebelumnya merumuskan delik korupsi sebagai delik materil.

3. Apabila dalam peraturan terdahulu perumusan terbagi dalam tida bagian, yaitu tindak pidana korupsi yang hanya bersifat luas dan umum, tindak pidana korupsi yang berupa penyalahgunaa kewenangan atau jabatan serta beberapa pasal delik jabatan dalam KUHP, maka dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 di samping hal itu masih di rumuskan pula tindak pidana suap aktif dan suap pasif yang tidak dilaporkan dalam waktu sesingkat-singkatnya oleh penerima hadiah atas pemberian tersebut.

4. Perluasan bentuk tindak pidana korupsi berupa “percobaan dan pemufakatan”

melakukan tindak pidana korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (delik selesai)43

Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menegaskan latarbelakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undang- undang tersebut sebagai instrument hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi.

Namun demikian di dalam perkembangannya,Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu sendiri dianggap oleh penegak hukum memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Di samping tidak hanya ketegasan mengenai

43 Evi Hartanti, Op. Cit hal. 24-25

(44)

sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formal, tidak adanya ketentuan yang dapat diterapkan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi (corporate criminal liability) tercatat sebagai kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

Kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua puluh tahun) dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum dan maksimum itu. Untuk memperkuat landasan hukum bagi upaya pemberantas tindak pidana korupsi, secara praktis kehadiran undang-undang baru dapat pula dilihat sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efek pencegahan (deterrent effect) yang lebih besar bagi pelaku potensial.

Dengan demikian, dilihat dari segi kebutuhan praktis dalam proses penegakan hukum pidana, oleh karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan.44

4. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Dan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001

Dengan terbentuknya kabinet Habibie yang Muladi menjadi Menteri Kehakiman pada tahun 1998, dicanangkan untuk mempercepat penciptaan undang-undang. Dalam waktu singkat, kurang dari dua tahun, pemerintahan ini menciptakan undang-undang sama banyaknya dengan sepuluh tahun

44 H. Elwi Danil, Op. Cit hal. 38-40

(45)

pemerintahan Soeharto. Penciptaan undang-undang yang diutamakan antara lain perubahan atau penggantian Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rupanya anggapan bahwa yang kurang sempurna hingga terjadi banyak korupsi ialah undang-undangnya padahal

“orangnya” dan “sistemnya”. Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.45

Menyadari akibat yang dapat ditimbulkan oleh perilaku korupsi, maka segala daya dan upaya perlu dikerahkan untuk menanggulanginya, baik dalam bentuk sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, termasuk didalamnya peningkatan kapasitas kelembagaan penegak hukum. Kebijakan perundang- undangan tersebut secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam kerangka upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Dengan adanya alasan-alasan tersebut di atas, keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai suatu instrument hukum pidana untuk memberntas tindak pidana korupsi, patut pula dipahami dari sisi karakteristik yuridis yang terdapat didalamnya.46

45 Andi Hamzah, Op. Cit hal. 73-75

46 H. Elwi Danil, Op. Cit hal. 45-46

(46)

Jika diperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.47

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah dibentuk lembaga Negara dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantas Korupsi adalah suatu lembaga yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Tujuan pembentukannya, yaitu untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsional.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan penuntutan, Komisi Pemberantas Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam undang-undang inidimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Untuk mewujudkan asas proporsional, diatur pula mengenai ketentuan rehabiliasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan undang-undang atau hukum yang berlaku.

47 Evi Hartanti, Op. Cit hal. 25

(47)

Demikian pengertian tentang korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam rangkah mencegah dan memberantas secara lebih efektif bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.48

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi

Definisi korupsi secara gambling telah dijelaskan di dalam 13 Pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak korupsi. Ketigapuluh bentuk tersebut kemudian dapat disederhanakan kedalam tujuh kelompok besar, yaitu Kerugian keuangan negara, Suap-menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, Perbuatan curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi.49

1. Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara

untuk terjadinya tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya

48 Evi Hartanti, Op. Cit hal. 31-33

49 Jurnal Hukum, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi, diakses dari https://m.hukumonline.com pada 4 Agustus 2020

(48)

disi dengan perbuatan melawan hukum tersebut. Mengenai unsur menimbulkan kerugian keuangan negara atau menumbulkan kerugian perekonomian negara, dalam UU TPK baik dalam penjelasan umum maupun penjelasan Pasal 2. Ukurannya dapat menimbulkan kerugian yang didasarkan pada pengalaman dan lagika atau akal orang pada umumnya dengan memerhatikan berbagai aspek sekitar perbuatan yang dikategorikan memperkaya diri tersebut.50

Apa yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” atau perekonomian negara, tidak dijelaskan dalam Penelasan Umum maupun Penjelasan Pasal 2. Tampaknya Badan Pemeriksa Keuangan menggunakan empat kriteria adanya kerugian negara, ialah:

a. Berkurangnya kekayaan negara atau bertambahnya kewajiban negara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kekayaan negara merupakan konsekuensi dari adanya penerimaan pendapatan yang menguntungkan dan pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara (pendapatan dikurangi pengeluaran Negara).

b. Tidak diterimanya sebagaian atau seluruh pendapatan yang menguntungkan keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Sebagian atau seluruh pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara lebih besar atau seharusnya tidak menjadi beban keuangan Negara, yang

50 Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017, hal. 53

(49)

menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Setiap pertambahan kewajiban negara yang diakibatkan oleh adanya komitmen yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.51

Semua bentuk kerugian keuangan negara tersebut haruslah disebabkan oleh perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum pidana (wederrechtelijk) Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bukan disebabkan oleh perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum perdata atau hukum tata negara.52

2. Suap-menyuap

Adapun dua kelompok kejahatan suap, suap aktif dan suap pasaf, dibentuk dan dirumuskan pembentuk Undang-Undang dengan berpasangan.

Pasal 209 ada 2 (dua) angka 1 dan 2, yang berpasangan dengan Pasal 419 yang juga ada 2 angka 1 dan 2. Apabila pemberi suap menurut Pasal 209 ayat (1) angka 1 atau 2 dipersalahkan dan dipidana, maka pegawai negeri yang menerima suap tersebut juga dipersalahkan dan dipidana karena menerima suap menurut Pasal 419 ayat (1) angka 1 dan 2.53

a. Tindak Pidana Korupsi Suap Aktif (Memberi Suap) Terdiri dari bebrapa bentuk atau macam, ialah:

51 Ibid hal. 53-54

52 Ibid hal. 55

53 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT Alumni:

2006, hal. 170

(50)

1) Tindak Pidana memberi suap kepada pegawai negeri menurut Pasal 5, yang dibedakan menjadi dua, ialah:

- Korupsi suap dengan memberi atau menjanjikan sesuatu pada pegawai negeri dengan maksud agar pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya (Pasal 5 huruf a);

- Korupsi suap dengan memberi sesuatu pada pegawai negeri yang berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya (Pasal 5 huruf b).

2) Tindak Pidana Korupsi pada hakim dan advokat menurut Pasal 6, yang juga ada 2 macam, ialah:

- Korupsi suap dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 huruf a);

- Korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada advokat dengan maksud mempengaruhi pendapatnya (Pasal 6 huruf b).

3) Tindak Pidana Korupsi Memberi Hadiah atau Janji Kepada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan (Pasal 13)

b. Tindak Pidana Korupsi Suap Pasif (Menerima Suap)

Ada 10 (sepuluh) bentuk atau macam tindak pidana korupsi menerima suap, ialah:

Referensi

Dokumen terkait

Yahya Harahap (2006: 146) yang memperkirakan peranan ahli dalam pemeriksaan peristiwa pidana pada masa mendatang semakin menonjol dan diperlukan seiring perkembangan ilmu

Pada bab ini, penulis akan menguraikan bagaimana perlindungan yang diberikan hukum terhadap terdakwa tindak pidana korupsi dalam kedudukannya sebagai Justice Collaborator

KUMULATIF TERHADAP TERDAKWA PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo Nomor 174/Pid.Sus/2016/PN.GTO)” , penulisan hukum ini

“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

Sajawie, Hasbullah, Pertanggungjawaban Pidana Pada Tindak Pidana Korupsi, Kencana: Jakarta, 2015.. Gunawan, Yopi dk, Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap

a) Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya. Dalam hal ini yang dilanggar oleh pegawai negeri dalam melakukan tindak pidana itu adalah kewajiban khusus dari jabatan dan

Tindak pidana (secara melawan hukum) baru terjadi apabila sudah terdapat Surat Rekomendasi Camat yang diberikan pada Kades untuk mencairkannya, tapi pihak Terdakwa/

Tidak lagi permasalahan yang sifatnya regional maupun nasional.1 Sementara itu Simons berpendapat tindak pidana sebagai tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja