2.3 Pengomposan
2.3.3 Peranan Kompos
Hasil akhir dari pengomposan merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah/limbah dapat digunakan untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian, menggemburkan kembali tanah pertamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA, reklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia (Bapedalda Jatim, 2007).
a. Meningkatkan Unsur Hara Tanah
Pengelolaan kesuburan tanah secara biologi umumnya difokuskan pada pengelolaan bahan organik dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman dan untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Dalam pengelolaan bahan organik, berbagai proses dan faktor yang berkaitan dengan kecepatan penyediaan hara untuk tanaman dan kontribusi pada bahan organik tanah perlu dipertimbangkan. Pemanfaatan biofertilizer yaitu dengan pemanfaatan mikroorganisme di alam yang menguntungkan dapat membantu proses metabolisme dalam tanah sehingga tanah mampu menyediakan unsur hara yang diperlukan tanaman. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional (Handayanto, 1998).
Untuk meningkatkan kesuburan tanah, pemberian pupuk anorganik (buatan) saja tidak cukup, perlu diberikan pupuk organik dan salah satu di antaranya adalah kompos. Kompos selain mudah didapat dan murah harganya juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme bermanfaat di dalam tanah. Pupuk organik juga akan memberikan sumbangan unsur hara ke dalam tanah. Semakin tinggi kandungan unsur hara dalam pupuk organik, semakin tinggi ketersediaan unsur hara tanah apabila diberikan ke dalam tanah sehingga hasil tanaman dapat meningkat (Stevenson, 1982 dalam Syukur, (2007).
Salah satu masalah yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk kandang. Kedua jenis pupuk itu adalah limbah organik yang telah mengalami penghancuran sehingga menjadi tersedia bagi tanaman (Isroi, 2004).
Menurut Bekti dan Surdianto (2001), peranan bahan organik terhadap unsur hara tanah meliputi:
i. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Fisik Tanah
Sifat humus dari bahan organik adalah gembur, bobot isi rendah dengan kelembaban tanah tinggi serta temperatur tanah yang stabil mampu meningkatkan kegiatan jasad mikro tanah, sehingga pencampurannya dengan bagian mineral memberikan struktur tanah yang gembur dan remah serta mudah diolah. Struktur tanah yang demikian merupakan keadaan fisik tanah yang baik untuk media pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur liat, pasir atau tanah yang berstruktur gumpal, bila dicampur dengan bahan organik, memberikan sifat fisik yang lebih baik. Tanah yang kandungan bahan organiknya tinggi, lebih mudah diolah daripada yang kandungan bahan organiknya rendah. Tanah seperti ini tidak membentuk kerak (crust) dan tidak merekah besar (crack) jika kering dan mempunyai tingkat kekerasaan yang rendah.
ii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Kimia Tanah
Bahan organik berfungsi sebagai gudang penyimpan hara, juga mudah melepaskan hara tersebut untuk dipakai oleh tanaman. Fosfat yang semula terfiksasi Ca, Fe dan Al dan tidak dapat diserap tanaman menjadi tersedia bila unsur-unsur Ca, Fe dan Al tersebut diikat oleh bahan organik menjadi organokompleks. Proses ini adalah proses kimia, sehingga kelarutan Al dan Fe dalam tanah yang semula tinggi dan bersifat racun dapat dikurangi. Tidak semua Al dan Fe tersebut dapat terikat tetapi hanya beberapa bentuk dalam senyawa tertentu. Dengan berkurangnya kadar Al dan Fe pada penggunaan bahan organik, maka pengapuran tanah yang bertujuan untuk mengurangi keracunan Fe dan Al dapat juga dikurangi atau bahkan dapat ditiadakan tetapi pengapuran yang bertujuan untuk mensuplai hara Ca, masih diperlukan. Pada sawah, kehilangan N melalui volatilisasi amonia, dapat dikurangi karena ion amonium diikat humus dalam tanah sehingga menjadi tersedia untuk tanaman.
iii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Biologi Tanah
Bahan organik tanah adalah sumber utama energi atau menjadi bahan makanan bagi aktivitas jasad mikro tanah. Penambahan bahan organik dengan C/N rasio tinggi mendorong pembiakan jasad renik dan mengikat beberapa unsur hara tanaman. Setelah C/N rasio turun, sebagian jasad mikro mati dan melepaskan kembali unsur hara ke tanah. Makin banyak bahan organik, makin banyak populasi jasad mikro dalam tanah.
Penyerapan zat hara yang disediakan pupuk kompos relatif lebih lama dibanding dengan pemberian pupuk buatan, namun jangka waktu manfaatnya bagi tanaman padi lebih lama. Relatif lamanya penyerapan zat hara dari pupuk kompos karena pupuk kompos tersebut harus dirombak lebih dahulu oleh jasad renik menjadi bentuk yang sederhana agar mudah diserap oleh akar tanaman. Pemberian pupuk kompos dalam jangka waktu lama, justru akan memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi (Adiningsih, 2000).
Menurut Harjowigeno (1996) untuk mengetahui kekurangan unsur hara dalam tanah dilakukan beberapa cara, salah satunya dengan analisis tanah. Kriteria penilaian hasil analisis tanah disajikan pada tabel berikut ini :
b. Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah
Kesuburan tanah merupakan kunci utama dalam sistem pertanian berkelanjutan. Salah satu alternatif pengolahan kesuburan tanah dalam sistem pertanian yang berkelanjutan adalah pengolahan kesuburan tanah secara biologis. Fokus utama dalam pengelolaan tanah secara biologi adalah pengelolaan bahan organik dan pemanfaatan mikroorganisme tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman dan untuk meningkatkan hara tanah (Handayanto, 1998).
Mikroba-mikroba tanah banyak berperan dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) daur ulangnya melibatkan aktivitas mikroba. Unsur N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman tetapi N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya sehingga dapat dipergunakan oleh tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain Rhizobium sp, yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya
Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa
digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non- simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Kelompok mikroba penyedia unsur N mencakup: Azotobacter chococum, Azomonas argilis,
Azatobacter beijirienck, Azospirillum lipoperum, Azospirillum brazilensi,
Sianobakterium, Rhizobium japonicum, Rizobium lupini dan Rhizobium
Mikroba tanah lain yang berperan dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi (jenuh), hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman karena terikat pada mineral liat tanah. Mikroba pelarut P dapat melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain Aspergillus niger, Penicillium sp, Pseudomonas sp, dan Bacillus megatherium, Lolium multiflorum, Bacillus cereus, dan
Pseudomonas diminuta. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P,
umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman.
Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu, tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp. dan Gigaspora sp. Tanah sangat kaya keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga, dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah (Isroi 2004). Tingginya mikroorganisme di tanah lapisan atas dapat dijadikan indikasi betapa pentingnya keberadaan mikroorganisme dalam berbagai proses biologi di lingkungan tersebut. Populasi mikroba ditentukan berdasarkan kedalamannya. Pada umumnya mikroba banyak terdapat pada permukaan tanah.
Semakin ke dalam jumlahnya semakin menurun. Pertumbuhan bakteri berdasarkan kedalaman tanah dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 3. Populasi mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah
Mikroorganisme/g tanah x 103 Kedalaman
cm Bakteri aerob Bakteri
anaerob
Aktinomecetes Fungi Algae
3 - 8 7800 1950 2080 119 25
20 – 25 1800 379 245 50 5
35 – 40 472 98 49 14 0,5
65 – 75 10 1 5 6 0,1
135 – 145 1 0,4 - 3 -
Sumber : Introduction to Soil Microbiology (Alexander, 1977).
Mikroba pada umumnya hidup di atas permukaan tanah disebabkan kondisi lingkungan yang mendukung seperti ketersedian oksigen, karbon, kelembaban, pH dan nutrisi yang cukup. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada akitifitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, daur hara tanaman, fiksasi nitrogen hayati, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut (Alexander, 1977).
Ion-ion tertentu di dalam tanah tidak dapat langsung diserap oleh akar tanaman dan bahkan ada yang bersifat racun bagi tanaman tersebut. Siderophore adalah suatu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah yang berfungsi sebagai agen pengikat (chelating agent) sehingga mampu mengubah ion komplek menjadi ion sederhana yang bisa diserap tanaman. Fe3+ tidak dapat larut pada pH netral
sehingga tidak langsung bisa diserap tanaman, dengan adanya siderophore maka ion Fe3+ dapat diikat dan diubah menjadi ion yang lebih sederhana yaitu Fe2+ sehingga mampu diserap tanaman. Contoh dari siderophore yang dihasilkan dari bebarapa jamur dan bakteri adalah: ferrichrome (Ustilago sphaerogea),
enterobactin (Escherichia coli), enterobactin dan bacillibactin (Bacillus subtilis), ferriocchamine B (Streptomyces pulosus), fusarinine C (Fusarium roseum) yersiniabactin (Yersinia pestis), vibriobactin (Vibrio cholerae), azatobactin (Azotobacter vinelandii), pseudobactin (Pseudomonas B10) atau erythrobactin (Saccharopolyspora erythraea) (Vandenbergh et al, 1983).
Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) adalah penambahan bakteri
pada perakaran tanaman (rizosfer) yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan tanaman. Sehingga dapat menekan pertumbuhan patogen tanaman, dengan dua mekanisme : (1) memacu pertumbuhan tanaman sehingga tanaman lebih sehat sehingga tidak mudah diserang oleh patogen, dan (2) menghasilkan metabolit tertentu seperti : antibiotik, siderosfore dan HCN yang dapat membunuh patogen. PGPR memiliki beberapa fungsi khususnya bagi tanaman antara lain dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai agen pengendali biologi yang berkorelasi dengan pemacu pertumbuhan tanaman dapat menghambat pertumbuhan Sclerotium
rolfsii dan Pythium ultimum (Nelson, 2004).
PGPR dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan penggunaan bahan kimia yang dapat bersifat racun terhadap manusia. Pemanfaatan bakteri
menyerang unsur-unsur pathogen bagi tanaman sehingga ketergantungan terhadap bahan kimia dapat ditekan (Burelle et al, 2005).