KABUPATEN DELI SERDANG)
T E S I S
Oleh
EKAMAIDA
057004004/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KABUPATEN DELI SERDANG)
Oleh
EKAMAIDA
057004004/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KABUPATEN DELI SERDANG)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara
Oleh
EKAMAIDA
057004004/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KOMPOS (STUDI KASUS DI DESA SIDODADI KABUPATEN DELI SERDANG)
Nama Mahasiswa : Ekamaida Nomor Pokok : 057004004
Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc) Ketua
(Dr. Ir. Hasanuddin, MS) Anggota
(Dr. Dwi Suryanto, M.Sc) Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : 1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc
Aggota : 2. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc
Tanaman padi (SRI) Melalui Pemanfatan Mikroorganisme Lokal (MOL) Dalam Pembuatan Kompos (Study Kasus Di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) diyakini mampu memelihara kesuburan tanah, meningkatkan populasi mikroba tanah dan kelestarian lingkungan sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah. Sistem pertanian pola SRI mengutamakan penggunaan bahan organik dan pendaurulangan limbah buah-buahan yang difermentasikan oleh MOL sebagai dekomposer pada pembuatan kompos. Penelitian ini mempelajari seberapa perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan kimia tanah serta populasi mikroba tanah yang telah melakukan sistem pertanian organik dengan pola SRI dibandingkan dengan pengunaan pupuk kimia serta seberapa besar dampak penerapan pola SRI terhadap pengelolaan lingkungan di desa Sidodadi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kompos MOL berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah yaitu kadar karbon, N total tanah, P-tersedia tanah, kalium, natrium, kalsium, magnesium tukar dan total kation tukar dan kapasitas tukar kation tanah. Pemberian pupuk kompos MOL berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap peningkatan pH tanah, C/N tanah dan kejenuhan basa ada pola SRI.
Pemberian kompos MOL pada pola SRI dapat meningkatkan populasi mikroba tanah. Hasil analisis tanah baik secara kimia dan biologi menunjukkan bahwa pengunaan kompos MOL memberikan hasil lebih baik ditinjau dari unsur kesuburan tanah dan usaha dalam memperbaiki lingkungan hidup dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik.
Pola SRI yang dilaksanakan di Desa Sidodadi merupakan pola pertanian ramah lingkungan yang memanfaatkan pupuk organik sebagai sumber unsur hara dalam memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah serta dapat meningkatkan hasil produksi.
of Rice Intensification (SRI) by a Local Microorganisme Usage (MOL) in
Producing the Compost Fertilizer (Case Study at Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) is expected to maintain the fertile of land, improve land microbia population and to preserve the environment at once capable to maintain or improve land productivity. The agriculture system with SRI is applied by using organic material such as fruif waste whis is fermented to produced MOL used as decomposer in composing proges. This reseach studied microbia population where an organik agricaltural system (SRI) has been applied. The reseach was compared with fisics and chemical of soil also whith how effect SRI aplication between chemical fertilizer for the managemental in Sidodadi village
The result of study showed that using compost with MOL very significant in 1% degree improved supply of manure element soil such as carbon , N, P-supply of soil, calium, natrium, calcium, changed amount of magnesium and total changed kation and kation changed capacity saturated. Used of MOL compost Significantly in 5% degree improved pH soil and C/N soil at SRI system.
Using compost MOL at SRI improved microbia population soil by the result of soil analysis either chemically and biologically the uses of MOL compost is far better compared for environmental the uses of an-organic fertilizer.
The SRI pattern practiced at Desa Sidodadi was an agricultural work environmentally friendly using organic fertilizer as source of nutrients improve physical, chemical and biological properties of soil as well in increasing production yield.
melimpahkan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
Ayahanda Drs.Maimun Mahyiddin dan ibunda Darmawati. Kepada adinda
tercinta: Rahmat hidayat, Furqan dan Reza syahrival yang telah memberikan
dukungan dan do'a kepada penulis.
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof Chairuddin P.Lubis, DTM & H, Sp.
A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program
Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya
penulis ucakan kepada Kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS. para pembimbing Prof. Dr. Erman
Munir, MSc, Dr. Ir. Hasanuddin, MS dan Dr. Dwi Suryanto, M.Sc yang dengan
penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis
sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Kepada semua rekan serta masyarakat Desa
Sidodadi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan
penelitian ini, semoga amal kebaikannya dibalas Allah SWT.
Medan, 4 Februari 2008
bersaudara, putri dari pasangan Drs. Maimun Mahyiddin dan Daramawati.
Pada tahun 1983-1989 penulis mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di MIN
Negeri 1 Peudada Aceh Utara, kemudian melanjutkan ke MTSN Negeri 1 Peudada
Aceh Utara lulus tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis menyelasaikan sekoiah
Menengah Atas di SMA Negeri I Jeunib Aceh Utara jurusan Biologi. Penulis
melanjutkan Studi ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada Fakultas
Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi dan selesai tahun 2000.
Tahun 2002 penulis diterima sebagai tenaga pengajar Universitas
Malikussaleh Aceh Utara pada Fakultas Pertanian dan mendapatkan kesempatan
melanjutkan pendidikan strata 2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada tahun
Halaman
ABSTRAK ………... i
ABSTRACT ……… ii
KATA PENGANTAR ……… iii
RIWAYAT HIDUP ……….... iv
DAFTAR ISI ……….. v
DAFTAR TABEL ……….. ix
DAFTAR GAMBAR ………... x
DAFTAR LAMPIRAN... Xi I. PENDAHULUAN ……….. 1
2.2.1 Pengertian dan Perkembangan SRI Sebagai Salah Satu Pertanian Organik ...
2.2.2 Proses Pengolahan Padi Cara SRI ...
2.3 Pengomposan ...
2.3.1 Pengelolaan Limbah Buah-buahan Menjadi MOL Sebagai Inokulasi Dalam Proses Pengomposan ...
2.3.2 Peranan Mikroorganisme Dalam Proses
Pongomposan Dekomposisi Pengomposan...
2.3.3 Peranan Kompos ... a. Meningkatkan Unsur Hara Tanah ...
b. Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah ...
2.4 Pemberdayaan Masyarakat Petani...
13
b. Populasi Mikroba Tanah ...
3.5.1 Pelaksanaan di lapangan ... a. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pola SRI...
b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Unsur Hara ...
c. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Mikroorganisme ...
3.5.2 Pelaksanaan di Laboratorium ...
a. Analisis Unsur Hara Tanah ...
b. Populasi Mikroba Tanah ...
38
4.1.1 Kandungan Hara Tanah Pola SRI dan Tanah Anorganik
a. Sifat Fisika Tanah ...
b. Sifat Kimia Tanah ...
4.1.2 Populasi Mikrobia Tanah ...
4.1.3 Karakteristik dan Tanggapan Responden Terhadap Pola SRI ...
4.2 Pembahasan ...
4.2.1 Pengaruh Kompos MOL pada Pola SRI Terhadap Unsur Hara Tanah ...
4.2.2 Populasi Mikroba Tanah Akibat Pemberian Pupuk MOL pada Pola SRI ...
4.2.3 Sistem Pertanian Metode SRI dalam Hubunganya dengan Pengelolaan Lingkungan ...
5.2 Saran ... 72
Nomor Judul Halaman
1. Standar Kualitas Pupuk Organik Menurut Internasional, PT. Pusri dan Pasar Khusus (Persyaratan Opsional Menurut
Permintaan Pasar) ………... 21
2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ... 28
3. Populasi Mikroorganisme Berdasarkan Kedalaman Tanah ... 31
4. Rata-rata Fraksi Pasir, Debu dan Liat (%) akibat Penggunaan
Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ... 46
5. Rata-rata pH Tanah, C, N, C/N, P-Tersedia Akibat Penggunaan
Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ... 47
6. Rata-rata Kalium, Natrium, Kalsium, Magnesium Dapat Ditukar, TEB, KTK dan KB Tanah akibat Penggunaan Kompos
Nomor Judul Halaman
Nomor Judul Halaman
1.
Hasil Analisis Statistik dari Semua Parameter yang Diamati
Akibat Perlakuan Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ...
78
2. Perhitungan Jumlah Bakteri ... 79
3. Jumlah Populasi Mikroba Tanah Akibat Perlakuan Kompos MOL dan Tanah Organik ... 79 4. Identitas Responden 80 5. Daftar Pertanyaan Kuisioner ... 81
6. Jawaban Kuisioner ... 83
7. Peta Wilayah Penelitian ……… 84
1.1 Latar Belakang
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup disebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Dalam undang-undang ini pengelolaan lingkungan hidup
diartikan sebagai “upaya terpadu untuk pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup”.
Lingkungan hidup terbagi menjadi dua bagian, yaitu lingkungan biotis dan
lingkungan abiotis. Lingkungan biotis meliputi tumbuhan (flora), hewan (fauna),
menusia dan mikroorganisme yang terdapat dalam tanah, air dan udara, lingkungan
abiotis terdiri dari tanah, air, udara, batuan, gas bumi, minyak bumi, cahaya matahari,
angin, suhu udara, kelembaban dan pasang surut.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 dapat disimpulkan bahwa komponen
lingkungan baik abiotis maupun biotis mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia. Menurut bentuknya sumber daya alam terdiri atas dua
bagian yaitu sumber daya hayati meliputi flora dan fauna dan sumber daya non hayati
Menurut kemungkinan pemulihan sumber daya alam dibagi 3 bagian, yaitu: 1)
sumber daya alam yang dapat dipulihkan (re-newable resources) seperti tanah, air,
hutan, padang rumput, tanaman pertanian, perkebunan, margasatwa, populasi ikan,
dan sebagainya. 2) Sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan (nonrenewable
resources) yaitu minyak bumi, gas bumi, batu bara, biji logam. 3) Sumber daya alam
yang tidak akan habis (continuous resources) yaitu energi matahari, energi pasang
surut, udara dan air dalam siklus hidrologi.
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk mengelola
sumber daya alam, agar tercipta pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan. Ekosistem pertanian merupakan sumber daya alam yang dapat
dipulihkan (renewable – resources). Membutuhkan pengelolaan secara khusus dari
pihak pemerintah agar terjadi peningkatan pembangunan di sektor pertanian
(Whritten, 1984).
Upaya peningkatan produksi padi dengan pengelolaan yang intensif melalui
pemberian pupuk kimia adakalanya tidak meningkatkan produksi seperti yang
diharapkan, dan bahkan dapat mengalami penurunan produksi. Gejala ini disebabkan
oleh degradasi kesuburan lahan akibat praktek pemupukan yang hanya bertumpu
pada pemberian pupuk anorganik (kimia) dengan jenis dan dosis yang tidak rasional.
Degradasi kesuburan lahan dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik dan
unsur hara dalam tanah, pada kondisi semacam ini sifat fisik, kimia dan biologi tanah
Dampak dari pemakaian pupuk kimia dan pestisida secara terus menerus tidak
kelihatan dalam waktu yang singkat, namun akan terlihat dalam kurun waktu yang
relatif lama. Kejadian ini dapat dilihat pada akhir tahun 80-an dimana produktivitas
lahan mulai menurun akibat gencarnya pemakaian pupuk anorganik pada program
Insus yang tanpa disertai pupuk organik. Pupuk anorganik dapat memberikan dampak
negatif bila diaplikasi secara terus menerus. Pupuk anorganik dapat mempengaruhi
perkembangan mikroorganisme dalam tanah. Sering kali mikroorganisme tersebut
tidak lagi dapat menguraikan bahan organik di dalam tanah. Akibatnya sisa-sisa
pupuk yang tidak terserap oleh akar tanaman terakumulasi dalam tanah dan
mempengaruhi kondisi tanah, tanah menjadi keras, menggumpal, dan pH menurun.
Produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman di atasnya dapat menurun. Apabila kondisi seperti ini tidak diatasi maka
terjadi levelling off, yaitu kondisi dimana pertambahan input tidak lagi mampu
meningkatkan produksi tanaman (Djamhari, 1993).
Peningkatan pemakaian pupuk buatan dan pestisida terkadang menimbulkan
masalah bagi lingkungan. Seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang
pertanian berkelanjutan, makin disadari pentingnya pemanfaatan bahan organik
dalam pengelolaan hara di dalam tanah. Penggunaan bahan organik di dalam tanah
diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Engersta, 1991
dalam Hadanyani 2003).
Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi, (2006) menjelaskan bahwa
berazaskan daur ulang hara secara hayati. Berdasarkan definisi tersebut pertanian
organik merupakan pertanian ramah lingkungan yang bersifat hukum pengembalian
(low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua
jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanian
maupun ternak yang selanjutnya bertujuan untuk memenuhi makanan pada tanah
yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pertanian organik banyak memberikan keuntungan ditinjau
dari aspek peningkatan kesuburan tanah serta aspek lingkungan dalam
mempertahankan keseimbangan ekosistem. Sistem pertanian organik dapat
diterapkan dengan salah satu cara yaitu melalui sistem intensifikasi tanaman padi atau
yang lebih dikenal dengan System of Rice Intensification (SRI)
SRI telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara terutama di
Madagaskar. Sistem ini merupakan salah satu sistem pertanian organik yaitu
budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen berbasis
pada pengelolaam tanah, air dan tanaman. Pada SRI ini petani diarahkan untuk
memberikan masukan pada usaha taninya dengan menggunakan potensi alam.
Mikroorganisme yang tersedia di alam dapat digunakan sebagai dekomposer dalam
proses pengomposan limbah organik dan kotoran binatang. Mikroorganisme ini
diharap dapat berfungsi secara optimal dalam tanah sehingga kesuburan tanah dapat
meningkat (Berkelaar, 2002).
Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran ternak tidak bisa
terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh
tanaman. Proses pengomposan alami ini memakan waktu yang sangat lama, antara
enam bulan hingga setahun, sampai bahan organik tersebut benar-benar dapat
digunakan tanaman. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan
mikroba dekomposer yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat
mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu
saja (Isroi, 2004).
Petani Desa Sidodadi Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang Sumatera
Utara yang dijadikan sebagai objek penelitian pada awalnya melakukan kegiatan
pertanian sama seperti petani lain yaitu menggantungkan pertaniannya pada
penggunaan pupuk kimia yang dapat mempercepat masa panen dan hasil yang
berlipat. Namun lambat laun hasil panen tidak lagi surplus bahkan untuk memenuhi
kebutuhan warga Sidodadi mereka kerap mengambil dari daerah lain. Para petani di
Desa Sidodadi mulai berpikir bagaimana kembali meningkatkan hasil produksi dan
kalau mungkin mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan air secara
berlebihan. Muncul inisiatif untuk menggantikan pupuk kimia dengan pupuk organik
melalui pola tanam SRI.
Pupuk yang digunakan dalam SRI di Desa Sidodadi adalah pupuk kompos
yang berasal dari bahan organik seperti kotoran hewan, limbah organik, jerami yang
proses dekomposisinya dipercepat dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal
(MOL). Pemupukan dengan pupuk organik MOL dimanfaatkan agar mikroorganisme
menyediakan nutrisi bagi tanaman, menghasilkan humus sebagai media unsur-unsur
hara sebelum dimanfaatkan oleh akar tanaman (Darmawan, 2006).
Mikroorganisme lokal yang digunakan untuk mempercepat proses
pengomposan limbah organik di Desa Sidodadi dibiakkan melalui proses fermentasi
antara air beras dengan limbah buah-buahan seperti pisang, nenas, jeruk dan pepaya
busuk. Hasil biakan MOL digunakan dalam proses pembuatan kompos untuk
mempercepat proses dekomposisi limbah organik yang akan diaplikasikan ke lahan
pertanian yang menggunakaan pola tanam SRI. Jadi sasaran dari program SRI ini
adalah untuk meningkatkan hasil pertanian dengan lahan yang terbatas, menghasilkan
produk yang sehat bagi produsen dan konsumen, serta menjaga kelestarian
lingkungan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalah ini dirumuskan yaitu:
a. Bagaimana perananan kompos MOL pada pola SRI berperan dalam peningkatan
unsur hara tanah pada pola tanam SRI.
b. Bagaimana peranan kompos MOL dalam peningkatan populasi mikroba tanah
pada pola tanam SRI.
c. Sejauh mana program SRI mampu berperan dalam pengelolaan lahan pertanian
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui peranan kompos MOL pada pola SRI dalam hubungannya
dengan sifat fisika, kimia dan biologi tanah sawah khususnya di Desa Sidodadi
Kabupaten Deli Serdang.
b. Untuk mengetahui bahwa penerapan program SRI di Desa Sidodadi Kabupaten
Deli Sedang merupakan pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan.
1.4 Hipotesis
a. Pemberian kompos dapat memperbaiki sifat - sifat fisika, kimia dan mikrobiologi
tanah sawah khususnya di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang.
b. Penerapan program SRI dengan penggunaan kompos di Desa Sidodadi Kabupaten
Deli Serdang dapat menjadikan pertanian yang berwawasan lingkungan.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Sebagai masukan untuk manajemen budidaya tanaman padi yang ramah
lingkungan.
b. Sebagai alternatif sehingga petani tidak tergantung pada pupuk kimia yang dapat
meninggalkan residu yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam mencegah pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan akibat pemanfaatan pupuk kimia yang tidak
2.1. Ekosistem Pertanian dan Lingkungan
Ekosistem pertanian atau agro-ekosistem merupakan salah satu bentuk
ekosistem binaan manusia yang perkembangannya ditujukan untuk memperoleh
produk pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Salah satu
bentuk ketidakstabilan ekosistem adalah letusan populasi organisme penyakit di
lingkungan pertanian. Ada beberapa ciri dan sifat khas yang dimiliki oleh ekosistem
pertanian.
a. Ekosistem pertanian sering tidak memiliki kontinuitas temporal. Keberadaannya
dalam waktu yang terbatas dan sering mengalami perubahan iklim mikro yang
mendadak sebagai akibat berbagai tindakan manusia seperti pengolahan lahan,
pengairan, penyiangan gulma, pembakaran, pemangkasan, aplikasi fungisida
kimia dan tindakan budidaya lainnya.
b. Struktur ekosistem pertanian didominasi jenis tanaman tertentu yang dipilih
manusia dan sering merupakan jenis tanaman baru yang dimasukkan ke dalam
ekosistem tersebut.
c. Sebagian besar ekosistem pertanian tidak memiliki diversitas generik dan
d. Tanaman umumnya mempunyai bentuk dan unsur sama sehingga secara
fenologis seragam terutama ditujukan untuk memudahkan pengelolaan.
e. Unsur-unsur hara untuk tanaman biasanya dimasukkan dari luar melalui
pemupukan. Akibatnya jaringan tanaman menjadi kaya unsur dan banyak berair.
f. Pada ekosistem pertanian lebih sering terjadi penyakit dan hama, serta gulma,
sifat ini ada hubungannya dengan 5 sifat agro-ekosistem yang diuraikan
sebelumnya (Untung, 1993).
2.2. Sistem Pertanian Organik
Perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan pertanian, kesehatan dan
lingkungan global dalam dasawarsa terakhir ini semakin meningkat. Kepedulian
tersebut dilanjutkan dengan usaha-usaha yang konkrit untuk menghasilkan pangan
tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya tanah, air, dan udara serta
aman bagi kesehatan manusia. Salah satu usaha yang dirintis adalah dengan
pengembangan pertanian organik yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan
yang sehat, bebas dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan.
Sebenarnya pertanian organik ini sudah menjadi kearifan tradisional yang
membudaya di kalangan petani di Indonesia. Namun, teknologi pertanian organik
ini mulai ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan
bahan agrokimia diterapkan di bidang pertanian. Sejak saat itu, petani menjadi
target asupan agrokimia dan tergantung dari pihak luar (Sutanto, 2002 dalam
Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi (2006) menjelaskan bahwa
pertanian organik atau budidaya organik dapat diartikan sebagai suatu sistem
produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara
dapat melalui sarana limbah pertanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang
mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara
merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama. Pakar pertanian di barat
menyebutnya sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua
jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk limbah pertanaman maupun
ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Sistem
pertanian atau budidaya organik merupakan salah satu alternatif solusi untuk
membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akibat budidaya kimia.
Sistem pertanian organik mengutamakan penggunaan bahan organik dan
pendaurulangan limbah sistem pertanian berbasis bahan high input energy (bahan
fosil) seperti pupuk kimia dan pestisida yang dapat merusak sifat-sifat tanah dan
pada akhirnya menurunkan produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang.
Sistem pertanian alternatif yang menggunakan teknologi masukan rendah (low input
energy) diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan
sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah (Nuryani
dan Handayani, 2003).
Pemakaian bahan organik pada lahan pertanian akhir-akhir ini mendapat
perhatian, disebabkan oleh peningkatan energi dan biaya untuk memproduksi pupuk
pembuangan limbahnya (Chae dan Tabatabai, 1986). Penggunaan bahan organik
mendapat perhatian kembali untuk pembangunan pertanian berkelanjutan karena
dapat mengurangi fiksasi fosfor oleh tanah sehingga fosfor lebih tersedia dan dapat
digunakan oleh tanaman. Pemberian bahan organik pada tanah dapat meningkatkan
ruang pori. Semakin tinggi tekanan bahan organik, semakin banyak total ruang pori.
Menurut hasil penelitian Darmijati (1987) diketahui bahwa pemberian bahan
organik tidak banyak meningkatkan kandungan N tanah, tetapi menaikkan P dua
sampai tiga kali dan kenaikkan K dua kali lebih besar daripada tanpa bahan organik,
disamping itu terjadi penurunan Al dengan pemberian bahan organik yang semakin
meningkat.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utama
pertanian organik domestik adalah karena tingginya permintaan hasil pertanian
organik di negara-negara maju. Hal ini dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran
lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan
pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar
konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik), (5) adanya
harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik dan (7) adanya
kampanye nasional pertanian organik secara gencar (Hamm, 2000 dalam Surono,
2007).
Upaya di atas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
15-20% pertahun, namun kemampuan pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar
antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa luas areal
pertanian organik terus meningkat tetapi masih rata-rata di bawah 1% dari total
lahan pertanian tahun 1987, meningkat menjadi 2-7% tahun 1997, dengan angka
tertinggi di Austria mencapai 10,12%. Meski demikian peningkatan ini tetap saja
belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2004 dalam Surono, 2007).
Penggunaan bahan organik di tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah. Bahan organik tidak mutlak dibutuhkan di dalam nutrisi
tanaman, tetapi digunakan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi
tanaman. Sumbangan bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman berupa
pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik, kimia, dan bioiogis dari tanah. Bahan organik
memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P, dan S untuk tanaman, peranan
biologis di dalam mempengaruhi aktivitas organisme mikroflora dan mikrofauna,
serta peranan fisik dalam mempengaruhi struktur tanah dan lainnya (Engelstad,
1991 dalam Handayani, 2003).
Nuryani dan Handayani (2003) menyatakan berdasarkan takrif sistem
pertanian masukan teknologi rendah, maka tujuan yang akan dicapai, yaitu:
a. Berusaha mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan input produksi dari
dalam usaha tani (on farm resources), sehingga diperoleh hasil pertanian dan
peternakan yang memadai dan secara ekonomi menguntungkan. Pendekatan ini
pendauran ulang limbah pertanian, memanfaatkan pupuk kandang atau kotoran
ternak.
b. Membatasi ketergantungan pertanian pada masukan yang berasal dan luar
usaha tani (off-farm resources), seperti pupuk pabrik dan pestisida, sedapat
mungkin dilaksanakan penurunan biaya produksi, menghindarkan polusi
terhadap air permukaan dan air tanah, membatasi residu pestisida dalam
makanan, membatasi semua resiko yang dihadapi petani, dan meningkatkan
keuntungan usahatani untuk jangka pendek dan jangka panjang.
c. Sistem pertanian ini tetap memanfaatkan teknologi modern, seperti benih
hibrida beriabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, pengelolaan tanah
yang berasaskan konservasi. Membatasi penggunaan dan keperluan yang
berasal dari luar usahatani seperti pupuk pabrik dan pestisida, dengan
mengembangkan pergiliran tanaman, mengembangkan pengelolaan tanaman
dan ternak secara terpadu, mendaur ulang limbah pertanian dan pupuk
kandang untuk mempertahankan produktivitas tanah.
2.2.1. Pengertian dan Perkembangan SRI Sebagai Salah Satu Pertanian Organik
Saat ini telah dikembangkan suatu metode penanaman padi yang mampu
memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dengan pemakaian bibit dan input
yang lebih sedikit dari pada metode tradisional (misalnya air) atau metode yang
lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain) metode ini dikenal
teknik manajemen yang berbeda atas tanaman, tanah, air dan nutrisi. Sistem
intensifikasi padi ini telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara terutama
di Madagaskar (Berkelaar, 2002).
SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline,
seorang pastor Jesuit yang hidup bersama petani-petani di sana. Tahun 1990
dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM di Madagaskar untuk
memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution
for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan
Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di
Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development
(Berkelaar, 2002). Pada tahun 1999 sistem ini dicobakan di Indonesia dan Cina.
Penerapan sistem tersebut menunjukkan peningkatan produksi. Secara
konvensional diperoleh produksi padi hanya 2 ton/ha, sedangkan dengan SRI
diperoleh hasil 7 - 10 ton/ha. Sistem ini telah dicobakan di 18 negara dan
menunjukkan hasil yang memuaskan (Rabenandrasana, 2002 dalam Handayani et
al, 2006).
Model optimasi lahan sawah melalui metoda SRI adalah usaha tani padi
sawah secara intensif dan efisien melalui pengelolaan tanah, tanaman dan air yang
berbasis pada kaidah ramah lingkungan. SRI diterapkan melalui proses
pemberdayaan petani dalam pengelolaan lahan dan air (sumber daya manusia, dan
sumber daya lahan dan air) dengan pertimbangan jauh ke depan yaitu nilai-nilai
Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan
dengan sistem bercocok tanam padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus
menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa
diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja,
diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk
bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup
sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi.
Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan
kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan padi. SRI mengembangkan praktek
pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih
baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara
tradisional (Berkelaar, 2002).
Sistem budidaya SRI ini menerapkan konsep hemat air. Keuntungannya
adalah umur bibit muda tumbuh lebih baik dalam kondisi aerob. Penelitian di
bidang SRI telah dilakukan di Jepang oleh T. Katajana. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perkembangan tanaman di tanah tidak tergenang memiliki
perkembangan mikroorganisme tanah lebih baik, serta memiliki jumlah sel
aereuleima akar yang lebih banyak, selain itu jumlah sel produktif meningkat dan
Keuntungan lain yang diperoleh yaitu hama lebih terkendali (Handayani et al,
2.2.2. Proses Pengolahan Padi dengan PolaTanam SRI
Untuk mendapatkan media tumbuh yang baik maka lahan diolah, seperti
tanam biasa dibajak, digaru kemudian diratakan, dilakukan penaburan pupuk
organik pada saat digaru yang dilakukan pada pengolahan tanah kedua. Pupuk
organik sebelumnya dikomposkan terlebih dahulu. sehingga diperoleh kompos yang
lapuk dan jadi. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi
mikroorganisme dalam tanah berkembang dengan baik. Komposisi bahan kompos
yang cukup baik adalah: Kotoran sapi (yang bercampur dengan kencingnya akan
lebih baik, minimal 40%, kotoran ayam maksimum 25%, serbuk gergaji bukan dari
kayu jati dan pohon kelapa sebanyak 5%, abu dapur sebanyak 10%, kapur (Calsit)
2%, bio Lahan (Kuswara, 2006)
Lebih lanjut Kuswara (2005) menyatakan bahwa kebutuhan pupuk organik
per hektar antara 7 – 10 ton, saat penaburan pupuk organik dan meratakan tanah air
dijaga agar tidak mengalir supaya nutrisi tidak hanyut. Selanjutnya di pinggir dan di
tengah petakan dibuat parit agar mudah mengatur air. Setelah diratakan tanah dijaga
tetap lembab air dijaga tetap lembab jangan sampai kering, baik jika dilakukan
selama 3 – 4 hari sebelum ditanam, hal ini juga mempermudah pembuatan garitan.
Kebutuhan benih untuk tanaman padi SRI adalah untuk 100 bata (0.14 Ha), adalah
0.7 – 1 kg, sedangkan kebutuhan per ha adalah 4.9 – 7 kg. Bila dibandingkan
dengan cara tanam biasa rata-rata kebutuhan benih per Ha adalah 35 – 45 kg.
bahkan ada yang mencapai 50 – 60 kg, dengan demikian SRI sangat efisien. Benih
dilakukan dalam petakan khusus berbentuk kotak. Kebutuhan kotak per 0.14 Ha
(420 – 490 buah/ha). Tanah dalam kotak sebagai media tumbuh benih di campur
dengan pupuk organik dengan perbandingan 1 : 1.
Bibit ditanam terdiri satu tanaman untuk satu lubang hal ini dilakukan agar
tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan menperdalam perakaran. Sehingga
tanaman tidak bersaing untuk memeeroleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam
tanah. Benih ditanam dangkal kira – kira 1 – 1,5 cm dan saat menanam bibit di
lapangan, benamkan benih dalam posisi horizontal agar ujung – ujung akar tidak
menghadap ke atas. Hal ini dilakukan jika akar tertekuk ke atas maka benih
memerlukan energi besar dalam memulai pertumbuhan kembali, dan akar baru akan
tumbuh dari ujung tersebut. Jarak tanam pada pola SRI antara lain 25x25 cm, 27x27
cm atau 30x30 cm. Pada prinsipnya tanaman harus mempunyai ruang cukup untuk
tumbuh. Jarak tanam yang optimum semakin meningkatkan jumlah anakan
produktif, karena persaingan oksigen, energi matahari dan nutrisi semakin
berkurang (Berkelaar, 2002).
Pupuk tambahan untuk SRI dari kajian yang dilakukan di jaringan PPHTI
tanam padi metodi SRI adalah pupuk organik yang diberikan pada pengolahan tanah
kedua. Selanjutnya pupuk tambahan hanya diberikan dengan menyemprotkan pupuk
organik cair. Pupuk tersebut terbuat dari fermentasi sisa makanan seperti jus nenas,
jus buah-buahan dan fermentasi kotoran hewan. Seluruh pupuk cair tersebut dapat
dibuat dengan mudah oleh petani dari bahan-bahan yang tersedia di sekitar tempat
dan setelah pembungaan masak susu. Pola SRI yang dikembangkan tidak
menggunakan pupuk organik seperti Urea, TSP dan KCL. Maupun pupuk
an-organik lainnya. Dengan demikian seluruh proses pengolahannya adalah dengan
cara pertanian ramah lingkungan menurut konsep pengendalian hama terpadu.
Dalam prakteknya cara tersebut adalah melalui pendekatan pengelolaan unsur
ekosistem. Untuk mengelola proses tersebut maka kemampuan, petani dalam
pengamatan sangat diperlukan, agar petani mampu mengambil keputusan
pengelolaan yang tepat (Kuswara, 2006).
Tanaman padi sawah berdasarkan praktek SRI ternyata bukan tanaman air
tetapi dalam pertumbuhannya membutuhkan air. Dengan demikian maka padi
ditanam pada kondisi tanah yang tidak tergenang, dengan tujuan menyediakan
oksigen lebih banyak di dalam tanah, kemudian dimanfaatkan oleh akar. Sehingga
air dapat diminimalkan dibandingnkan sistem pertanian anorganik. Dengan sistem
SRI petani hanya memakai kurang dari ½ kebutuhan air pada sistem pertanian
tradisional yang biasanya mengenai tanaman padi. Tanah cukup dijaga lembab
selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi
pertumbuhan akar. Seminggu sekali tanah harus dikeringkan samai retak. Hal ini
dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan
mendorong akar untuk mencari air. Sebaliknya jika sawah terus digenangi, akar
akan sulit tumbuh dan menyebar, serta kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh
dengan subur. Kondisi tidak tergenang, yang dikombinasikan dengan pendagirian
berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak (Berkelaar,
2002).
Pengendalian hama dilakukan dengan PHT, yaitu dengan mengelola unsur
ekosistem sebagai alat pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pada prinsipnya
pengelolaan potensi usaha tani. Dalam kaitannya dengan pengelolaan potensi usaha
tani proses belajar diarahkan pada bagaimana petani mampu mengelola unsur
ekosistem sebagai sebuah potensi yang dapat dikembangkan. Contoh kemampuan
potensi dalam pengelolaan unsur ekosistem sebagai praktek pertanian yang ramah
lingkungan (Kuswara, 2006).
Lebih lanjut Kuswara (2006) menyatakan produksi padi dengan cara SRI
berdasarkan hasil kajian di KSP mencapai 7.36 – 12.6 ton/Ha. Hal ini didukung
oleh jumlah tunas produktif perumpunan paling rendah 33, pertengahan 45 dan
jumlah tunas tertinggi per rumpun 72 tunas bahkan ada yang mencapai 92 tunas
produktif. Hasil produksi ini dihasilkan dari proses pengelolan tanah, tanaman dan
air yang sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Perpaduan konsep pemahaman
PET dan SRI telah menghasilkan konsep dasar pertanian organik yang benar.
2.3. Pengomposan
Pengomposan merupakan salah satu proses pengolahan buangan (limbah)
secara aerobik dan anaerobik. Kedua proses tersebut berjalan saling menunjang dan
menghasilkan pupuk organik atau kompos. Sisa-sisa bahan organik yang ditumpuk
anaerobik. Pengomposan merupakan proses biokimia yang mengubah material
organik menjadi humus. Proses tersebut bisa dipercepat oleh perlakuan manusia,
sehingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak telalu
lama (Toharisman dan Hutasoit, 1993).
Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah
mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi dengan mikroorganisme
dekomposer yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seperti
dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, rerontokan kembang, air
seni, dan lain-lain. Adapun kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut
didukung oleh keadaan lingkungan yang basah dan lembab (Murbandono, 2006).
Mengigat bahwa pupuk organik (kompos) sangat berperan mendukung
keberhasilan budidaya tanaman untuk melindungi konsumen/pengguna dipandang
perlu adanya suatu ketentuan mengenai pupuk organik yang diedarkan di wilayah
Indonesia harus memenuhi standar mutu. Standar mutu pupuk organik (kompos)
diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Pert/HK.060/2/2006 Tentang
Pupuk Organik. Pengambilan contoh pupuk organik (kompos) bentuk padat
mengacu pada SNI Nomor 19 - 0428 - 1989 dan bentuk cair mengacu pada SNl 19 -
0429 - 1989.
Kriteria produk akhir dari kompos adalah kriteria yang berkaitan dengan
sifat-sifat fisik dan kandungan bahan kimia daiam kompos yang dihasilkan, yang akan
digunakan sebagai acuan untuk memastikan bahwa kompos yang dihasilkan
menurut ketentuan Program Subsidi Kompos setara dengan pupuk organik seperti
yang dibakukan oleh Standar Internasional dan preferensi beberapa pengguna
/pembeli kompos yang disajikan dalam Tabel 1.
Kriteria produk akhir dari kompos adalah kriteria yang berkaitan dengan
sifat-sifat fisik dan kandungan bahan kimia dalam kompos yang dihasilkan, yang akan
digunakan sebagai acuan untuk memastikan bahwa kompos yang dihasilkan
memenuhi standar kualitas yang diminta oleh pasar. Standar kualitas kompos
menurut ketentuan Program Subsidi Kompos serta dengan pupuk organic seperti yang
dibakukan oleh Standar Internasional dan prefensi beberapa pengguna/pembeli
kompos yang disajikan dalam tabel berikut:
2.3.1. Pengelolaan Limbah Buah-buahan menjadi MOL Sebagai Inokulan dalam Proses Pengomposan
Indonesia sangat kaya sumber daya tanaman holtikultura, termasuk di
dalamnya jenis buah-buahan. Buah-buahan umumnya memiliki rasa yang manis
dan aroma yang khas sehingga sangat popular. Buah-buahan memiliki manfaat
yang beragam. Umumnya buah memiliki nilai gizi yang sangat penting sebagai
sumber provitamin A dan vitamin C. Dari hasil produksi buah-buahan di
Indonesia yang melimpah dan permintaan pasar yang terus meningkat maka
persediaan buah-buahan juga akan meningkat (Vincent, 1999 dalam Galileo
2007).
Buah-buahan tersebut apabila tidak segera dimanfaatkan akan layu dan
membusuk, sehingga dapat terjadi pembuangan secara besar-besaran di tempat
sampah. Limbah buah-buahan ini berasal dari sisa-sisa hasil penjualan yang telah
rusak atau membusuk, karena tidak semua buah-buahan tersebut dapat habis
terjual. Hasil survei di daerah Karangpandan dan Matesih menunjukkan bahwa
limbah buah-buhan digunakan oleh sebagian petani sebagai pengganti pupuk
buatan untuk membantu memulihkan kesuburan tanah. Selain itu limbah
buah-buahan tersebut juga digunakan sebagai bahan campuran dengan pupuk kandang.
Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa limbah buah-buahan merupakan
salah satu sampah organik yang dapat digunakan sebagai media biakan (inokulan)
Penelitian yang dilakukan oleh Winaryu (2005) dalam Galileo (2007)
menunjukkan bahwa limbah pepaya dan EM-4 (Emulsifier Mikroorganisme)
berpengaruh terhadap lamanya pengomposan sampah organik, yaitu pada
konsentrasi 100 ml limbah pepaya membutuhkan waktu pengomposan 36 hari.
Konsentrasi 200 ml limbah pepaya membutuhkan waktu pengomposan 24 hari dan
untuk kontrol tanpa perlakuan membutuhkan waktu pengomposan 45 hari, sehingga
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi limbah pepaya (inokulan)
yang ditambahkan semakin cepat waktu pengomposan.
Maria (2006) dalam Galileo (2007) juga meneliti tentang penggunaan
inokulan EM-4, kotoran kuda dan limbah buah-buhan dalam proses pengomposan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa EM-4 merupakan inokulan yang paling
cepat dalam proses pengomposan sampah kedelai yaitu 25 hari, inokulan limbah
buah-buhan membutuhkan waktu 30 hari dan kotoran kuda membutuhkan waktu 35
hari.
2.3.2 Peranan Mikroorgasnisme Dalam Proses Dekomposisi / Pengomposan
Isroi (1994) menyatakan bahwa proses pengomposan alami memakan waktu
yang sangat lama, antara 6-12 bulan sampai bahan organik tersebut benar-benar
tersedia bagi tanaman. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan
mikroba penghancur (dekomposer) yang berkemampuan tinggi. Penggunaan
mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi
Pengomposan merupakan proses penguraian aerobik-termofilik dari
konstituen organik (misalnya dari sampah 1 buangan organik alami termasuk juga
limbah dari buah-buahan) menjadi produk akhir yang relatif stabil, menyerupai
humus. Ada 3 group mikroorganisme yang berperan, yaitu: bakteri, aktinomisetes
dan fungi. Bakteri mengurai senyawa golongan protein, lipid dan lemak pada
kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas. Aktinomisetes dan fungi yang
selama proses pengomposan berada pada kondisi mesofilik dan termofilik berfungsi
untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan
organik atau dari bulking agent. Faktor kondisi lingkungan selama operasional
sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dalam proses
oksidasi-dekomposisi tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan dan siklus
proses pengomposan serta kualitas kompos yang dihasilkan (Supriyanto, 2000).
2.3.3. Peranan Kompos
Hasil akhir dari pengomposan merupakan bahan yang sangat dibutuhkan
untuk kepentingan tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki
sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih
tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah/limbah dapat digunakan
untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian,
menggemburkan kembali tanah pertamanan, sebagai bahan penutup sampah di
TPA, reklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta
a. Meningkatkan Unsur Hara Tanah
Pengelolaan kesuburan tanah secara biologi umumnya difokuskan pada
pengelolaan bahan organik dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah untuk
menyediakan hara bagi tanaman dan untuk meningkatkan kandungan bahan organik
tanah. Dalam pengelolaan bahan organik, berbagai proses dan faktor yang berkaitan
dengan kecepatan penyediaan hara untuk tanaman dan kontribusi pada bahan
organik tanah perlu dipertimbangkan. Pemanfaatan biofertilizer yaitu dengan
pemanfaatan mikroorganisme di alam yang menguntungkan dapat membantu proses
metabolisme dalam tanah sehingga tanah mampu menyediakan unsur hara yang
diperlukan tanaman. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang
memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona
perakaran dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional (Handayanto,
1998).
Untuk meningkatkan kesuburan tanah, pemberian pupuk anorganik (buatan)
saja tidak cukup, perlu diberikan pupuk organik dan salah satu di antaranya adalah
kompos. Kompos selain mudah didapat dan murah harganya juga merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme bermanfaat di dalam tanah. Pupuk
organik juga akan memberikan sumbangan unsur hara ke dalam tanah. Semakin
tinggi kandungan unsur hara dalam pupuk organik, semakin tinggi ketersediaan
unsur hara tanah apabila diberikan ke dalam tanah sehingga hasil tanaman dapat
Salah satu masalah yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian
organik adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Petani
organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk
kandang. Kedua jenis pupuk itu adalah limbah organik yang telah mengalami
penghancuran sehingga menjadi tersedia bagi tanaman (Isroi, 2004).
Menurut Bekti dan Surdianto (2001), peranan bahan organik terhadap unsur
hara tanah meliputi:
i. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Fisik Tanah
Sifat humus dari bahan organik adalah gembur, bobot isi rendah dengan
kelembaban tanah tinggi serta temperatur tanah yang stabil mampu meningkatkan
kegiatan jasad mikro tanah, sehingga pencampurannya dengan bagian mineral
memberikan struktur tanah yang gembur dan remah serta mudah diolah. Struktur
tanah yang demikian merupakan keadaan fisik tanah yang baik untuk media
pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur liat, pasir atau tanah yang berstruktur
gumpal, bila dicampur dengan bahan organik, memberikan sifat fisik yang lebih
baik. Tanah yang kandungan bahan organiknya tinggi, lebih mudah diolah daripada
yang kandungan bahan organiknya rendah. Tanah seperti ini tidak membentuk
kerak (crust) dan tidak merekah besar (crack) jika kering dan mempunyai tingkat
ii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Kimia Tanah
Bahan organik berfungsi sebagai gudang penyimpan hara, juga mudah
melepaskan hara tersebut untuk dipakai oleh tanaman. Fosfat yang semula terfiksasi
Ca, Fe dan Al dan tidak dapat diserap tanaman menjadi tersedia bila unsur-unsur
Ca, Fe dan Al tersebut diikat oleh bahan organik menjadi organokompleks. Proses
ini adalah proses kimia, sehingga kelarutan Al dan Fe dalam tanah yang semula
tinggi dan bersifat racun dapat dikurangi. Tidak semua Al dan Fe tersebut dapat
terikat tetapi hanya beberapa bentuk dalam senyawa tertentu. Dengan berkurangnya
kadar Al dan Fe pada penggunaan bahan organik, maka pengapuran tanah yang
bertujuan untuk mengurangi keracunan Fe dan Al dapat juga dikurangi atau bahkan
dapat ditiadakan tetapi pengapuran yang bertujuan untuk mensuplai hara Ca, masih
diperlukan. Pada sawah, kehilangan N melalui volatilisasi amonia, dapat dikurangi
karena ion amonium diikat humus dalam tanah sehingga menjadi tersedia untuk
tanaman.
iii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Biologi Tanah
Bahan organik tanah adalah sumber utama energi atau menjadi bahan
makanan bagi aktivitas jasad mikro tanah. Penambahan bahan organik dengan C/N
rasio tinggi mendorong pembiakan jasad renik dan mengikat beberapa unsur hara
tanaman. Setelah C/N rasio turun, sebagian jasad mikro mati dan melepaskan
kembali unsur hara ke tanah. Makin banyak bahan organik, makin banyak populasi
Penyerapan zat hara yang disediakan pupuk kompos relatif lebih lama
dibanding dengan pemberian pupuk buatan, namun jangka waktu manfaatnya bagi
tanaman padi lebih lama. Relatif lamanya penyerapan zat hara dari pupuk kompos
karena pupuk kompos tersebut harus dirombak lebih dahulu oleh jasad renik
menjadi bentuk yang sederhana agar mudah diserap oleh akar tanaman. Pemberian
pupuk kompos dalam jangka waktu lama, justru akan memperbaiki struktur tanah
dan meningkatkan aerasi (Adiningsih, 2000).
Menurut Harjowigeno (1996) untuk mengetahui kekurangan unsur hara
dalam tanah dilakukan beberapa cara, salah satunya dengan analisis tanah. Kriteria
b. Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah
Kesuburan tanah merupakan kunci utama dalam sistem pertanian
berkelanjutan. Salah satu alternatif pengolahan kesuburan tanah dalam sistem
pertanian yang berkelanjutan adalah pengolahan kesuburan tanah secara biologis.
Fokus utama dalam pengelolaan tanah secara biologi adalah pengelolaan bahan
organik dan pemanfaatan mikroorganisme tanah untuk menyediakan hara bagi
tanaman dan untuk meningkatkan hara tanah (Handayanto, 1998).
Mikroba-mikroba tanah banyak berperan dalam penyediaan maupun
penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara yaitu Nitrogen (N), fosfat (P),
dan kalium (K) daur ulangnya melibatkan aktivitas mikroba. Unsur N udara tidak
dapat langsung dimanfaatkan tanaman tetapi N harus ditambat oleh mikroba dan
diubah bentuknya sehingga dapat dipergunakan oleh tanaman. Mikroba penambat N
ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N
simbiotik antara lain Rhizobium sp, yang hidup di dalam bintil akar tanaman
kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya
Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa
digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N
non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Kelompok mikroba
penyedia unsur N mencakup: Azotobacter chococum, Azomonas argilis,
Azatobacter beijirienck, Azospirillum lipoperum, Azospirillum brazilensi,
Sianobakterium, Rhizobium japonicum, Rizobium lupini dan Rhizobium
Mikroba tanah lain yang berperan dalam penyediaan unsur hara adalah
mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian umumnya memiliki
kandungan P cukup tinggi (jenuh), hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman
karena terikat pada mineral liat tanah. Mikroba pelarut P dapat melepaskan ikatan P
dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang
mampu melarutkan P, antara lain Aspergillus niger, Penicillium sp, Pseudomonas
sp, dan Bacillus megatherium, Lolium multiflorum, Bacillus cereus, dan
Pseudomonas diminuta. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P,
umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain
yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah mikoriza yang bersimbiosis
pada akar tanaman.
Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer,
yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan
membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu, tanaman yang bermikoriza
umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering
dimanfaatkan adalah Glomus sp. dan Gigaspora sp. Tanah sangat kaya keragaman
mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga, dan virus.
Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram
tanah (Isroi 2004). Tingginya mikroorganisme di tanah lapisan atas dapat dijadikan
indikasi betapa pentingnya keberadaan mikroorganisme dalam berbagai proses
biologi di lingkungan tersebut. Populasi mikroba ditentukan berdasarkan
Semakin ke dalam jumlahnya semakin menurun. Pertumbuhan bakteri berdasarkan
kedalaman tanah dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 3. Populasi mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah
Mikroorganisme/g tanah x 103 Kedalaman
cm Bakteri aerob Bakteri
anaerob
Aktinomecetes Fungi Algae
3 - 8 7800 1950 2080 119 25
20 – 25 1800 379 245 50 5
35 – 40 472 98 49 14 0,5
65 – 75 10 1 5 6 0,1
135 – 145 1 0,4 - 3
-Sumber : Introduction to Soil Microbiology (Alexander, 1977).
Mikroba pada umumnya hidup di atas permukaan tanah disebabkan kondisi
lingkungan yang mendukung seperti ketersedian oksigen, karbon, kelembaban, pH
dan nutrisi yang cukup. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada
akitifitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang
menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah
organik, daur hara tanaman, fiksasi nitrogen hayati, pelarutan fosfat, merangsang
pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara.
Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran
penting mikroba tersebut (Alexander, 1977).
Ion-ion tertentu di dalam tanah tidak dapat langsung diserap oleh akar
tanaman dan bahkan ada yang bersifat racun bagi tanaman tersebut. Siderophore
adalah suatu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah yang berfungsi sebagai
agen pengikat (chelating agent) sehingga mampu mengubah ion komplek menjadi
sehingga tidak langsung bisa diserap tanaman, dengan adanya siderophore maka
ion Fe3+ dapat diikat dan diubah menjadi ion yang lebih sederhana yaitu Fe2+
sehingga mampu diserap tanaman. Contoh dari siderophore yang dihasilkan dari
bebarapa jamur dan bakteri adalah: ferrichrome (Ustilago sphaerogea),
enterobactin (Escherichia coli), enterobactin dan bacillibactin (Bacillus subtilis),
ferriocchamine B (Streptomyces pulosus), fusarinine C (Fusarium roseum)
yersiniabactin (Yersinia pestis), vibriobactin (Vibrio cholerae), azatobactin
(Azotobacter vinelandii), pseudobactin (Pseudomonas B10) atau erythrobactin
(Saccharopolyspora erythraea) (Vandenbergh et al, 1983).
Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) adalah penambahan bakteri
pada perakaran tanaman (rizosfer) yang memiliki peranan penting dalam
pertumbuhan tanaman. Sehingga dapat menekan pertumbuhan patogen tanaman,
dengan dua mekanisme : (1) memacu pertumbuhan tanaman sehingga tanaman lebih
sehat sehingga tidak mudah diserang oleh patogen, dan (2) menghasilkan metabolit
tertentu seperti : antibiotik, siderosfore dan HCN yang dapat membunuh patogen.
PGPR memiliki beberapa fungsi khususnya bagi tanaman antara lain dapat
meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai agen pengendali biologi yang berkorelasi
dengan pemacu pertumbuhan tanaman dapat menghambat pertumbuhan Sclerotium
rolfsii dan Pythium ultimum (Nelson, 2004).
PGPR dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan penggunaan bahan
kimia yang dapat bersifat racun terhadap manusia. Pemanfaatan bakteri
menyerang unsur-unsur pathogen bagi tanaman sehingga ketergantungan terhadap
bahan kimia dapat ditekan (Burelle et al, 2005).
2.4. Pemberdayaan Masyarakat Petani
Pemerintah Indonesia perlu menerapkan pendekatan pembangunan bagi
masyarakat tani disebabkan karena semakin banyaknya gejolak-gejolak sosial yang
timbul sebagai dampak dari aktivitas pembangunan. Pendekatan yang diterapkan
yakni pendekatan yang dilakukan masyarakat tani lokal bukan sebagai objek tetapi
sebagai subjek dengan mengajak masyarakat untuk turut berperan dalam proses
pembangunan (Hadi, 2002).
Wujud peran serta masyarakat dalam Pembangunan Nasional dengan
pemberdayaan masyarakat pedesaan yakni adanya gerakan penguatan kemandirian
dan posisi sosial ekonomi-politik, untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis
dan berkeadilan Sosial (Anonim, 2002). Upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan
dilakukan dengan cara :
a. Melakukan pelatihan pada petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama
Terpadu ( SLPHT) pengelolaan makcro kredit pertanian.
b. Pembentukan dan pengelolaan kelompok tani, pengembangan pertanian organik
terpadu dan pemasaran produk pertanian.
c. Memfasilitasi masyarakat dalam perluasan kelompok simpan pinjam. Perintisan
kelompok warung sembako, pengembangan tanaman obat dan pekarangan,
d. Pengembangan mutu kehidupan desa.
e. Pengembangan Produk dan Pemasaran alternatif Komoditi pertanian.
Mengingat kualitas sumber daya petani sangat rendah, maka untuk
mengubah perilaku petani dilakukan melalui pendidikan luar sekolah (non formal).
Bila kita cermati perilaku pelaku usaha tani secara umum saat ini setidaknya
ditemukan tidak pandangan dan sekaligus perilaku usaha taninya di lapangan, dapat
dianalisis menjadi tiga bagan sebagai berikut :
Pandangan I. Perilaku pemberantasan
Pandangan ini hanya berpikir bahwa di lahan sawah hanya ada tanaman dan
hama, sehingga hama harus dibasmi. Pestisida memegang peranan penting dalam
pemberantasan hama. Permasalahan yang timbul apabila pestisida tidak dapat
membasmi hama secara tuntas akan memberikan dampak hama menjadi kebal,
peledakan hama yang tiba-tiba (resurgensi), pencemaran lingkungan, terbunuhnya
jasad bukan sasaran sehingga mengurangi keragaman unsur hayati, gangguan
terhadap kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan.
Pandangan II
Pandangan ini mulai ada kemajuan bahwa dalam lahan usaha tani, ternyata
ada serangga atau makhluk hidup yang berguna dimanfaatkan, namun demikian jika
hama dengan perhitungan ambang ekonomi tidak menguntungkan maka pestisida
yang dapat menekan serangan hama. Jika dicermati lebih dalam ternyata yang
berubah adalah soal waktu dan legalitas penggunaan pestisida, karena ketika
belum memperhitungkan berapa musuh alami yang ada? Bagaimana stadia hama
tersebut?
Pandangan dan perilaku ini sebenarnya memulai mempraktekkan
pengelolaan unsur ekosistem, tetapi belum sempurna dan pada akhirnya tetap
menggunakan pestisida selanjutnya dampaknya tetap masih ada. Pandangan ini
cenderung sama dengan pandangan dan perilaku konvensional. Dua cara pandang
dan perilaku pelaku usaha tani di atas bukan konsep pertanian yang berkelanjutan
oleh karena itu sudah saatnya kita berubah pada cara pandang dan perilaku yang
holistik, seperti ditunjukkan pada cara pandang ketiga dibawah ini.
Pandangan III
Pandangan ini menunjukkan bahwa ekosistem pertanian merupakan satu
sistem yang dinamis dan dapat dikelola. Berangkat dari pemahaman tersebut maka
cara pengolahan usaha tani, dilakukan dengan memanfaatkan potensi yang ada,
dengan demikian tidak perlu banyak masukan dari luar. Konsep inilah yang menjadi
jiwanya PHT lalu bagaimanakah unsur agro-ekosistem menjadi bermanfaat dan
menjadi sumber kekuatan? Proses inilah yang dipelajari oleh petani, melalui
kegiatan sekolah lapangan. Berkaitan dengan pengelolaan potensi yang ada, proses
belajar diarahkan pada bagaimana petani mampu mengelola unsur ekosistem
sebagai sebuah potensi yang dapat dikembangkan, contoh kemampuan petani dalam
pengelolaan unsur ekosistem sebagai praktek pertanian yang ramah lingkungan
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dusun Yogya Sidodadi, Kecamatan Beringin,
Kabupaten Deli Serdang pada bulan Februari 2007 sampai dengan Juni 2007.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data tanggapan masyarakat desa Sidodadi terhadap pola SRI
menggunakan kuisioner data primer (lihat Lampiran 4 dan 5).
3.3 Bahan dan Alat
3.3.1 Bahan dan Alat di Lapangan Pengambilan sampel tanah
a. Bahan
- tanah sawah yang menggunakan pupuk kompos MOL pada pola SRI; dan
- tanah sawah yang menggunakan pupuk kimia.
b. Alat
Alat yang digunakan adalah cangkul, timbangan, parang, bambu pancang.
3.3.2 Bahan dan Alat di Laboratorium a. Analisis Unsur Hara Tanah
Bahan
Bahan yang digunakan dalam analisis unsur hara adalah tanah sawah yang
diberi pupuk kompos MOL (Tanah Organik = PO) pada pola SRI dan tanah sawah
diberi pupuk kimia (Tanah Anorganik = PK), H2SO4 pekat larutan fhenolftalein 1%,
NaOH 50%, H3BO3 3%, HCl 0,01 N, larutan (NH4)MO7O24 2,5% SnCl2 2,5%, larutan
FeSO4.
Alat
Tabung reaksi, Erlenmeyer, Spektrofotometer, timbangan, pH meter.
b. Populasi Mikroba Tanah Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plate count agar (PCA),
potato dextrose agar (PDA) sebagai media pertumbuhan mikroba, kapas, aquades,
biakan MOL, sampel tanah sawah yang menggunakan pupuk kompos MOL pada pola
SRI dan tanah sawah yang menggunakan pupuk kimia.
Alat
Alat-alat laboratorium yang meliputi gelas ukur, erlenmeyer, beakerglass,
magnetic stirrer, spatula, pembakar bunsen, timbangan, hot plate, pipet, tabung
3.4 Metode Penelitian
Analisis data dilakukan dengan Uji-T yaitu dengan membandingkan rata-rata
parameter pengamatan terhadap masing-masing contoh tanah.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan
menggunakan model sebagai berikut :
3.5 Pelaksanaan Penelitian
3.5.1. Pelaksanaan di Lapangan
a. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pola SRI
Pembagian data kuisioner terhadap 20 responden anggota kelompok tani SRI
b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Unsur Hara
Sampel tanah diambil dari areal persawahan di Dusun Jogya desa Sidodadi
Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang. Dua contoh tanah diambil untuk
mewakili tanah pertanian yang mengunakan pola SRI dengan memanfaatkan MOL
sebagai dekomposer pupuk organik (kompos) dan tanah pertanian anorganik yang
menggunakan pupuk kimia.
Contoh tanah diambil setelah panen atau menjelang pengolahan tanah. Contoh
tanah diambil menggunakan metode acak secara diagonal di areal persawahan yang
menggunakan pupuk kompos MOL (PO) dan yang menggunakan pupuk kimia (PK).
Pengambilan tanah dilakukan dengan menggunakan bor dengan kedalaman 20 cm.
Jumlah tanah diambil sama banyak dari ketiga Iokasi titik pengambilan sampel yaitu
masing - masing ½ kg. Contoh tanah dimasukan ke dalam ember plastik kemudian
dibersihkan dari rumput-rumput, batu-batuan atau kerikil, sisa-sisa tanaman atau
bahan organik segar/serasah yang terdapat di permukaan tanah. Contoh tanah uji
dianalisis dengan dua kali ulangan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.
c. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Mikroorganisme
Contoh tanah diambil pada areal tanah pertanian yang mengunakan pola SRI
dengan memanfaatkan pupuk kompos MOL (PO) sebagai dekomposer pupuk organik
dan tanah pertanian mengunakan pupuk kimia (PK). Tanah diupayakan dalam
tanah diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dengan jarak 500 – 1000 m dari beberapa
tempat pada lahan yang sama untuk mengetahui populasi mikroorganisme di dalam
tanah. Tanah dicampur secara homogen setelah diaduk rata kemudian diambil 500 gr
(Syarifuddin, 2002). Contoh tanah uji dianalisis dengan dua kali ulangan di
Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengatahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara.
3.5. 2 Pelaksanaan di Laboratorium a. Analisis Unsur Hara Tanah
Menurut Nuryani (2003) penetapan bahan organik untuk menentukan
kandungan hara tanah dapat dilakukan dengan pengukuran beberapa parameter
menurut metode yang dikembangkan oleh Walkey dan Black. Dalam penelitian ini
parameter yang diamati untuk menganalisis unsur hara tanah meliputi sifat fisik dan
kimia tanah yang terdiri dari tekstur tanah, pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK),
C-organik, N-C-organik, P-tersedia, K-tukar dan bahan organik tanah.
Sifat Fisik Tanah Tekstur tanah
Tanah kering udara sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml,
ditambah 300 ml air destilasi, 10 ml larutan natrium pirofosfat 1 N, kemudian diaduk
homogen sehingga tersuspensi secara sempurna. Suspensi tanah didiamkan 1 malam,
keesokan harinya kocok dengan menggunakan pengaduk Hamilton Beach selama 2
hingga 1 liter beserta higrometer, kemudian hidrometer diangkat kembali keluar.
Pengocokan dilakukan dengan menggunakan batang pengocok khusus dari tembaga
yang digerakkan dengan tangan ke bawah dan ke atas sebanyak ± 30 kali. Bila
berbuih ditambahkan 3 tetes larutan amil alkohol. Selanjutnya hidrometer
dimasukkan dan tunggu selama 2 jam. Dibaca Hidrometer kembali serta diukur
temperatur (T2). Temperetur T1 dan T2 dikoreksi menggunakan koreksi temperatur.
Perhitungan :
% (debu + liat) = H1 + koreksi temperatur T1 x (100/50)
% liat = H2 + koreksi temperatur T2 x (100/50)
% Pasir = 100 - % (debu + liat) - % liat Dihitung
Dihitung tanpa desimal.
Sifat Kimia Tanah pH
Sampel kompos 10 g tanah sawah pola SRI 10 g dan tanah sawah yang
menggunakan pupuk kimia ditimbang dan kemudian ditambahkan 25 ml air destilasi
(H20) kemudian diaduk selama 2 jam dan dibiarkan satu malam. Keesokan harinya
diaduk lagi selama 30 menit dan kemudian pH diukur dengan pH meter.
Kation dapat ditukarkan dan Kapasitas Tukar Kation.
Kation dapat ditukarkan dan kapasitas tukar kation diekstraksi dengan cara
perkulasi. Contoh tanah diperkulasikan dengan cara menjenuhkan dengan larutan
dapat dipertukarkan (K, Na, Ca dan Mg). Contoh bekas perkolasi lebih lanjut dicuci
dengan alkohol 80% untuk membebaskan kelebihan ammonium asetat kemudian
diperkolasikan dengan larutan kalium sulfat 0,1 N. Perkolat didestilasi untuk
penetapan kapasitas tukar kation.
N total menurut cara Kjeldahl.
Sampel tanah kering sebanyak 0,5 g dimasukkan dalam tabung reaksi 20 ml
disertai blanko. Sampel dan blanko ditambah dengan 1 g campuran selenium, 2,5 ml
H2S04 pekat lalu dipanaskan, setelah itu didinginkan. Suspensi dibilas dengan air
destilasi secukupnya, ditambah 2 - 3 tetes larutan fenolfttalein 1%, 5 ml larutan
NaOH 50% hingga warna suspensi menjadi cerah. Destilasi ditampung dengan 5 ml
arutan H3BO 3% di dalam Erlemeyer dan diencerkan dengan air destilasi ± 15 menit,
destilat dititrasi dengan larutan HCL 0,01 N hingga warna larutan menjadi merah
jambu . Menurut Walkey and Black (1985) dalam Nuryani (2003 ).
Perhitungan :
Fosfor (P) tersedia menurut cara Bray dan Kurtz no. 2
Sampel kering tanah 2 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu
Erlemeyer 50 ml disertai blanko ditambah 20 ml larutan pengekstrak, diaduk selama
1 menit. Cairan disaring dengan kertas saring, sampel lalu ditetesi larutan standar