• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Lahan Pertanian Ramah Lingkungan dengan Sistem Intensifikasi Tanaman Padi Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal dalam Pembuatan Kompos (Studi Kasus di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengelolaan Lahan Pertanian Ramah Lingkungan dengan Sistem Intensifikasi Tanaman Padi Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal dalam Pembuatan Kompos (Studi Kasus di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN DELI SERDANG)

T E S I S

Oleh

EKAMAIDA

057004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KABUPATEN DELI SERDANG)

Oleh

EKAMAIDA

057004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

Oleh

EKAMAIDA

057004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

KOMPOS (STUDI KASUS DI DESA SIDODADI KABUPATEN DELI SERDANG)

Nama Mahasiswa : Ekamaida Nomor Pokok : 057004004

Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc) Ketua

(Dr. Ir. Hasanuddin, MS) Anggota

(Dr. Dwi Suryanto, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(5)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : 1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc

Aggota : 2. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc

(6)

Tanaman padi (SRI) Melalui Pemanfatan Mikroorganisme Lokal (MOL) Dalam Pembuatan Kompos (Study Kasus Di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) diyakini mampu memelihara kesuburan tanah, meningkatkan populasi mikroba tanah dan kelestarian lingkungan sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah. Sistem pertanian pola SRI mengutamakan penggunaan bahan organik dan pendaurulangan limbah buah-buahan yang difermentasikan oleh MOL sebagai dekomposer pada pembuatan kompos. Penelitian ini mempelajari seberapa perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan kimia tanah serta populasi mikroba tanah yang telah melakukan sistem pertanian organik dengan pola SRI dibandingkan dengan pengunaan pupuk kimia serta seberapa besar dampak penerapan pola SRI terhadap pengelolaan lingkungan di desa Sidodadi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kompos MOL berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah yaitu kadar karbon, N total tanah, P-tersedia tanah, kalium, natrium, kalsium, magnesium tukar dan total kation tukar dan kapasitas tukar kation tanah. Pemberian pupuk kompos MOL berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap peningkatan pH tanah, C/N tanah dan kejenuhan basa ada pola SRI.

Pemberian kompos MOL pada pola SRI dapat meningkatkan populasi mikroba tanah. Hasil analisis tanah baik secara kimia dan biologi menunjukkan bahwa pengunaan kompos MOL memberikan hasil lebih baik ditinjau dari unsur kesuburan tanah dan usaha dalam memperbaiki lingkungan hidup dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik.

Pola SRI yang dilaksanakan di Desa Sidodadi merupakan pola pertanian ramah lingkungan yang memanfaatkan pupuk organik sebagai sumber unsur hara dalam memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah serta dapat meningkatkan hasil produksi.

(7)

of Rice Intensification (SRI) by a Local Microorganisme Usage (MOL) in

Producing the Compost Fertilizer (Case Study at Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) is expected to maintain the fertile of land, improve land microbia population and to preserve the environment at once capable to maintain or improve land productivity. The agriculture system with SRI is applied by using organic material such as fruif waste whis is fermented to produced MOL used as decomposer in composing proges. This reseach studied microbia population where an organik agricaltural system (SRI) has been applied. The reseach was compared with fisics and chemical of soil also whith how effect SRI aplication between chemical fertilizer for the managemental in Sidodadi village

The result of study showed that using compost with MOL very significant in 1% degree improved supply of manure element soil such as carbon , N, P-supply of soil, calium, natrium, calcium, changed amount of magnesium and total changed kation and kation changed capacity saturated. Used of MOL compost Significantly in 5% degree improved pH soil and C/N soil at SRI system.

Using compost MOL at SRI improved microbia population soil by the result of soil analysis either chemically and biologically the uses of MOL compost is far better compared for environmental the uses of an-organic fertilizer.

The SRI pattern practiced at Desa Sidodadi was an agricultural work environmentally friendly using organic fertilizer as source of nutrients improve physical, chemical and biological properties of soil as well in increasing production yield.

(8)

melimpahkan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

Ayahanda Drs.Maimun Mahyiddin dan ibunda Darmawati. Kepada adinda

tercinta: Rahmat hidayat, Furqan dan Reza syahrival yang telah memberikan

dukungan dan do'a kepada penulis.

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof Chairuddin P.Lubis, DTM & H, Sp.

A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh

Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program

Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya

penulis ucakan kepada Kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam

dan Lingkungan Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS. para pembimbing Prof. Dr. Erman

Munir, MSc, Dr. Ir. Hasanuddin, MS dan Dr. Dwi Suryanto, M.Sc yang dengan

penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis

sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Kepada semua rekan serta masyarakat Desa

Sidodadi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan

penelitian ini, semoga amal kebaikannya dibalas Allah SWT.

Medan, 4 Februari 2008

(9)

bersaudara, putri dari pasangan Drs. Maimun Mahyiddin dan Daramawati.

Pada tahun 1983-1989 penulis mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di MIN

Negeri 1 Peudada Aceh Utara, kemudian melanjutkan ke MTSN Negeri 1 Peudada

Aceh Utara lulus tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis menyelasaikan sekoiah

Menengah Atas di SMA Negeri I Jeunib Aceh Utara jurusan Biologi. Penulis

melanjutkan Studi ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada Fakultas

Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi dan selesai tahun 2000.

Tahun 2002 penulis diterima sebagai tenaga pengajar Universitas

Malikussaleh Aceh Utara pada Fakultas Pertanian dan mendapatkan kesempatan

melanjutkan pendidikan strata 2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada tahun

(10)

Halaman

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……… iii

RIWAYAT HIDUP ……….... iv

DAFTAR ISI ……….. v

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………... x

DAFTAR LAMPIRAN... Xi I. PENDAHULUAN ……….. 1

(11)

2.2.1 Pengertian dan Perkembangan SRI Sebagai Salah Satu Pertanian Organik ...

2.2.2 Proses Pengolahan Padi Cara SRI ...

2.3 Pengomposan ...

2.3.1 Pengelolaan Limbah Buah-buahan Menjadi MOL Sebagai Inokulasi Dalam Proses Pengomposan ...

2.3.2 Peranan Mikroorganisme Dalam Proses

Pongomposan Dekomposisi Pengomposan...

2.3.3 Peranan Kompos ... a. Meningkatkan Unsur Hara Tanah ...

b. Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah ...

2.4 Pemberdayaan Masyarakat Petani...

13

b. Populasi Mikroba Tanah ...

(12)

3.5.1 Pelaksanaan di lapangan ... a. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pola SRI...

b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Unsur Hara ...

c. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Mikroorganisme ...

3.5.2 Pelaksanaan di Laboratorium ...

a. Analisis Unsur Hara Tanah ...

b. Populasi Mikroba Tanah ...

38

4.1.1 Kandungan Hara Tanah Pola SRI dan Tanah Anorganik

a. Sifat Fisika Tanah ...

b. Sifat Kimia Tanah ...

4.1.2 Populasi Mikrobia Tanah ...

4.1.3 Karakteristik dan Tanggapan Responden Terhadap Pola SRI ...

4.2 Pembahasan ...

4.2.1 Pengaruh Kompos MOL pada Pola SRI Terhadap Unsur Hara Tanah ...

4.2.2 Populasi Mikroba Tanah Akibat Pemberian Pupuk MOL pada Pola SRI ...

4.2.3 Sistem Pertanian Metode SRI dalam Hubunganya dengan Pengelolaan Lingkungan ...

(13)

5.2 Saran ... 72

(14)

Nomor Judul Halaman

1. Standar Kualitas Pupuk Organik Menurut Internasional, PT. Pusri dan Pasar Khusus (Persyaratan Opsional Menurut

Permintaan Pasar) ………... 21

2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ... 28

3. Populasi Mikroorganisme Berdasarkan Kedalaman Tanah ... 31

4. Rata-rata Fraksi Pasir, Debu dan Liat (%) akibat Penggunaan

Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ... 46

5. Rata-rata pH Tanah, C, N, C/N, P-Tersedia Akibat Penggunaan

Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ... 47

6. Rata-rata Kalium, Natrium, Kalsium, Magnesium Dapat Ditukar, TEB, KTK dan KB Tanah akibat Penggunaan Kompos

(15)

Nomor Judul Halaman

(16)

Nomor Judul Halaman

1.

Hasil Analisis Statistik dari Semua Parameter yang Diamati

Akibat Perlakuan Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ...

78

2. Perhitungan Jumlah Bakteri ... 79

3. Jumlah Populasi Mikroba Tanah Akibat Perlakuan Kompos MOL dan Tanah Organik ... 79 4. Identitas Responden 80 5. Daftar Pertanyaan Kuisioner ... 81

6. Jawaban Kuisioner ... 83

7. Peta Wilayah Penelitian ……… 84

(17)

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup disebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang

dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup termasuk manusia dan

perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan

makhluk hidup lainnya. Dalam undang-undang ini pengelolaan lingkungan hidup

diartikan sebagai “upaya terpadu untuk pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,

pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup”.

Lingkungan hidup terbagi menjadi dua bagian, yaitu lingkungan biotis dan

lingkungan abiotis. Lingkungan biotis meliputi tumbuhan (flora), hewan (fauna),

menusia dan mikroorganisme yang terdapat dalam tanah, air dan udara, lingkungan

abiotis terdiri dari tanah, air, udara, batuan, gas bumi, minyak bumi, cahaya matahari,

angin, suhu udara, kelembaban dan pasang surut.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 dapat disimpulkan bahwa komponen

lingkungan baik abiotis maupun biotis mempengaruhi kelangsungan perikehidupan

dan kesejahteraan manusia. Menurut bentuknya sumber daya alam terdiri atas dua

bagian yaitu sumber daya hayati meliputi flora dan fauna dan sumber daya non hayati

(18)

Menurut kemungkinan pemulihan sumber daya alam dibagi 3 bagian, yaitu: 1)

sumber daya alam yang dapat dipulihkan (re-newable resources) seperti tanah, air,

hutan, padang rumput, tanaman pertanian, perkebunan, margasatwa, populasi ikan,

dan sebagainya. 2) Sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan (nonrenewable

resources) yaitu minyak bumi, gas bumi, batu bara, biji logam. 3) Sumber daya alam

yang tidak akan habis (continuous resources) yaitu energi matahari, energi pasang

surut, udara dan air dalam siklus hidrologi.

Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk mengelola

sumber daya alam, agar tercipta pembangunan berkelanjutan berwawasan

lingkungan. Ekosistem pertanian merupakan sumber daya alam yang dapat

dipulihkan (renewable – resources). Membutuhkan pengelolaan secara khusus dari

pihak pemerintah agar terjadi peningkatan pembangunan di sektor pertanian

(Whritten, 1984).

Upaya peningkatan produksi padi dengan pengelolaan yang intensif melalui

pemberian pupuk kimia adakalanya tidak meningkatkan produksi seperti yang

diharapkan, dan bahkan dapat mengalami penurunan produksi. Gejala ini disebabkan

oleh degradasi kesuburan lahan akibat praktek pemupukan yang hanya bertumpu

pada pemberian pupuk anorganik (kimia) dengan jenis dan dosis yang tidak rasional.

Degradasi kesuburan lahan dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik dan

unsur hara dalam tanah, pada kondisi semacam ini sifat fisik, kimia dan biologi tanah

(19)

Dampak dari pemakaian pupuk kimia dan pestisida secara terus menerus tidak

kelihatan dalam waktu yang singkat, namun akan terlihat dalam kurun waktu yang

relatif lama. Kejadian ini dapat dilihat pada akhir tahun 80-an dimana produktivitas

lahan mulai menurun akibat gencarnya pemakaian pupuk anorganik pada program

Insus yang tanpa disertai pupuk organik. Pupuk anorganik dapat memberikan dampak

negatif bila diaplikasi secara terus menerus. Pupuk anorganik dapat mempengaruhi

perkembangan mikroorganisme dalam tanah. Sering kali mikroorganisme tersebut

tidak lagi dapat menguraikan bahan organik di dalam tanah. Akibatnya sisa-sisa

pupuk yang tidak terserap oleh akar tanaman terakumulasi dalam tanah dan

mempengaruhi kondisi tanah, tanah menjadi keras, menggumpal, dan pH menurun.

Produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap pertumbuhan dan produksi

tanaman di atasnya dapat menurun. Apabila kondisi seperti ini tidak diatasi maka

terjadi levelling off, yaitu kondisi dimana pertambahan input tidak lagi mampu

meningkatkan produksi tanaman (Djamhari, 1993).

Peningkatan pemakaian pupuk buatan dan pestisida terkadang menimbulkan

masalah bagi lingkungan. Seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang

pertanian berkelanjutan, makin disadari pentingnya pemanfaatan bahan organik

dalam pengelolaan hara di dalam tanah. Penggunaan bahan organik di dalam tanah

diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Engersta, 1991

dalam Hadanyani 2003).

Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi, (2006) menjelaskan bahwa

(20)

berazaskan daur ulang hara secara hayati. Berdasarkan definisi tersebut pertanian

organik merupakan pertanian ramah lingkungan yang bersifat hukum pengembalian

(low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua

jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanian

maupun ternak yang selanjutnya bertujuan untuk memenuhi makanan pada tanah

yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa pertanian organik banyak memberikan keuntungan ditinjau

dari aspek peningkatan kesuburan tanah serta aspek lingkungan dalam

mempertahankan keseimbangan ekosistem. Sistem pertanian organik dapat

diterapkan dengan salah satu cara yaitu melalui sistem intensifikasi tanaman padi atau

yang lebih dikenal dengan System of Rice Intensification (SRI)

SRI telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara terutama di

Madagaskar. Sistem ini merupakan salah satu sistem pertanian organik yaitu

budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen berbasis

pada pengelolaam tanah, air dan tanaman. Pada SRI ini petani diarahkan untuk

memberikan masukan pada usaha taninya dengan menggunakan potensi alam.

Mikroorganisme yang tersedia di alam dapat digunakan sebagai dekomposer dalam

proses pengomposan limbah organik dan kotoran binatang. Mikroorganisme ini

diharap dapat berfungsi secara optimal dalam tanah sehingga kesuburan tanah dapat

meningkat (Berkelaar, 2002).

Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran ternak tidak bisa

(21)

terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh

tanaman. Proses pengomposan alami ini memakan waktu yang sangat lama, antara

enam bulan hingga setahun, sampai bahan organik tersebut benar-benar dapat

digunakan tanaman. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan

mikroba dekomposer yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat

mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu

saja (Isroi, 2004).

Petani Desa Sidodadi Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang Sumatera

Utara yang dijadikan sebagai objek penelitian pada awalnya melakukan kegiatan

pertanian sama seperti petani lain yaitu menggantungkan pertaniannya pada

penggunaan pupuk kimia yang dapat mempercepat masa panen dan hasil yang

berlipat. Namun lambat laun hasil panen tidak lagi surplus bahkan untuk memenuhi

kebutuhan warga Sidodadi mereka kerap mengambil dari daerah lain. Para petani di

Desa Sidodadi mulai berpikir bagaimana kembali meningkatkan hasil produksi dan

kalau mungkin mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan air secara

berlebihan. Muncul inisiatif untuk menggantikan pupuk kimia dengan pupuk organik

melalui pola tanam SRI.

Pupuk yang digunakan dalam SRI di Desa Sidodadi adalah pupuk kompos

yang berasal dari bahan organik seperti kotoran hewan, limbah organik, jerami yang

proses dekomposisinya dipercepat dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal

(MOL). Pemupukan dengan pupuk organik MOL dimanfaatkan agar mikroorganisme

(22)

menyediakan nutrisi bagi tanaman, menghasilkan humus sebagai media unsur-unsur

hara sebelum dimanfaatkan oleh akar tanaman (Darmawan, 2006).

Mikroorganisme lokal yang digunakan untuk mempercepat proses

pengomposan limbah organik di Desa Sidodadi dibiakkan melalui proses fermentasi

antara air beras dengan limbah buah-buahan seperti pisang, nenas, jeruk dan pepaya

busuk. Hasil biakan MOL digunakan dalam proses pembuatan kompos untuk

mempercepat proses dekomposisi limbah organik yang akan diaplikasikan ke lahan

pertanian yang menggunakaan pola tanam SRI. Jadi sasaran dari program SRI ini

adalah untuk meningkatkan hasil pertanian dengan lahan yang terbatas, menghasilkan

produk yang sehat bagi produsen dan konsumen, serta menjaga kelestarian

lingkungan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalah ini dirumuskan yaitu:

a. Bagaimana perananan kompos MOL pada pola SRI berperan dalam peningkatan

unsur hara tanah pada pola tanam SRI.

b. Bagaimana peranan kompos MOL dalam peningkatan populasi mikroba tanah

pada pola tanam SRI.

c. Sejauh mana program SRI mampu berperan dalam pengelolaan lahan pertanian

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui peranan kompos MOL pada pola SRI dalam hubungannya

dengan sifat fisika, kimia dan biologi tanah sawah khususnya di Desa Sidodadi

Kabupaten Deli Serdang.

b. Untuk mengetahui bahwa penerapan program SRI di Desa Sidodadi Kabupaten

Deli Sedang merupakan pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan.

1.4 Hipotesis

a. Pemberian kompos dapat memperbaiki sifat - sifat fisika, kimia dan mikrobiologi

tanah sawah khususnya di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang.

b. Penerapan program SRI dengan penggunaan kompos di Desa Sidodadi Kabupaten

Deli Serdang dapat menjadikan pertanian yang berwawasan lingkungan.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

a. Sebagai masukan untuk manajemen budidaya tanaman padi yang ramah

lingkungan.

b. Sebagai alternatif sehingga petani tidak tergantung pada pupuk kimia yang dapat

meninggalkan residu yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam mencegah pencemaran

lingkungan yang ditimbulkan akibat pemanfaatan pupuk kimia yang tidak

(24)

2.1. Ekosistem Pertanian dan Lingkungan

Ekosistem pertanian atau agro-ekosistem merupakan salah satu bentuk

ekosistem binaan manusia yang perkembangannya ditujukan untuk memperoleh

produk pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Salah satu

bentuk ketidakstabilan ekosistem adalah letusan populasi organisme penyakit di

lingkungan pertanian. Ada beberapa ciri dan sifat khas yang dimiliki oleh ekosistem

pertanian.

a. Ekosistem pertanian sering tidak memiliki kontinuitas temporal. Keberadaannya

dalam waktu yang terbatas dan sering mengalami perubahan iklim mikro yang

mendadak sebagai akibat berbagai tindakan manusia seperti pengolahan lahan,

pengairan, penyiangan gulma, pembakaran, pemangkasan, aplikasi fungisida

kimia dan tindakan budidaya lainnya.

b. Struktur ekosistem pertanian didominasi jenis tanaman tertentu yang dipilih

manusia dan sering merupakan jenis tanaman baru yang dimasukkan ke dalam

ekosistem tersebut.

c. Sebagian besar ekosistem pertanian tidak memiliki diversitas generik dan

(25)

d. Tanaman umumnya mempunyai bentuk dan unsur sama sehingga secara

fenologis seragam terutama ditujukan untuk memudahkan pengelolaan.

e. Unsur-unsur hara untuk tanaman biasanya dimasukkan dari luar melalui

pemupukan. Akibatnya jaringan tanaman menjadi kaya unsur dan banyak berair.

f. Pada ekosistem pertanian lebih sering terjadi penyakit dan hama, serta gulma,

sifat ini ada hubungannya dengan 5 sifat agro-ekosistem yang diuraikan

sebelumnya (Untung, 1993).

2.2. Sistem Pertanian Organik

Perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan pertanian, kesehatan dan

lingkungan global dalam dasawarsa terakhir ini semakin meningkat. Kepedulian

tersebut dilanjutkan dengan usaha-usaha yang konkrit untuk menghasilkan pangan

tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya tanah, air, dan udara serta

aman bagi kesehatan manusia. Salah satu usaha yang dirintis adalah dengan

pengembangan pertanian organik yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan

yang sehat, bebas dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan.

Sebenarnya pertanian organik ini sudah menjadi kearifan tradisional yang

membudaya di kalangan petani di Indonesia. Namun, teknologi pertanian organik

ini mulai ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan

bahan agrokimia diterapkan di bidang pertanian. Sejak saat itu, petani menjadi

target asupan agrokimia dan tergantung dari pihak luar (Sutanto, 2002 dalam

(26)

Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi (2006) menjelaskan bahwa

pertanian organik atau budidaya organik dapat diartikan sebagai suatu sistem

produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara

dapat melalui sarana limbah pertanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang

mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara

merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama. Pakar pertanian di barat

menyebutnya sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua

jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk limbah pertanaman maupun

ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Sistem

pertanian atau budidaya organik merupakan salah satu alternatif solusi untuk

membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akibat budidaya kimia.

Sistem pertanian organik mengutamakan penggunaan bahan organik dan

pendaurulangan limbah sistem pertanian berbasis bahan high input energy (bahan

fosil) seperti pupuk kimia dan pestisida yang dapat merusak sifat-sifat tanah dan

pada akhirnya menurunkan produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang.

Sistem pertanian alternatif yang menggunakan teknologi masukan rendah (low input

energy) diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan

sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah (Nuryani

dan Handayani, 2003).

Pemakaian bahan organik pada lahan pertanian akhir-akhir ini mendapat

perhatian, disebabkan oleh peningkatan energi dan biaya untuk memproduksi pupuk

(27)

pembuangan limbahnya (Chae dan Tabatabai, 1986). Penggunaan bahan organik

mendapat perhatian kembali untuk pembangunan pertanian berkelanjutan karena

dapat mengurangi fiksasi fosfor oleh tanah sehingga fosfor lebih tersedia dan dapat

digunakan oleh tanaman. Pemberian bahan organik pada tanah dapat meningkatkan

ruang pori. Semakin tinggi tekanan bahan organik, semakin banyak total ruang pori.

Menurut hasil penelitian Darmijati (1987) diketahui bahwa pemberian bahan

organik tidak banyak meningkatkan kandungan N tanah, tetapi menaikkan P dua

sampai tiga kali dan kenaikkan K dua kali lebih besar daripada tanpa bahan organik,

disamping itu terjadi penurunan Al dengan pemberian bahan organik yang semakin

meningkat.

Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utama

pertanian organik domestik adalah karena tingginya permintaan hasil pertanian

organik di negara-negara maju. Hal ini dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran

lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan

pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar

konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik), (5) adanya

harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik dan (7) adanya

kampanye nasional pertanian organik secara gencar (Hamm, 2000 dalam Surono,

2007).

Upaya di atas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat.

(28)

15-20% pertahun, namun kemampuan pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar

antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa luas areal

pertanian organik terus meningkat tetapi masih rata-rata di bawah 1% dari total

lahan pertanian tahun 1987, meningkat menjadi 2-7% tahun 1997, dengan angka

tertinggi di Austria mencapai 10,12%. Meski demikian peningkatan ini tetap saja

belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2004 dalam Surono, 2007).

Penggunaan bahan organik di tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik,

kimia dan biologi tanah. Bahan organik tidak mutlak dibutuhkan di dalam nutrisi

tanaman, tetapi digunakan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi

tanaman. Sumbangan bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman berupa

pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik, kimia, dan bioiogis dari tanah. Bahan organik

memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P, dan S untuk tanaman, peranan

biologis di dalam mempengaruhi aktivitas organisme mikroflora dan mikrofauna,

serta peranan fisik dalam mempengaruhi struktur tanah dan lainnya (Engelstad,

1991 dalam Handayani, 2003).

Nuryani dan Handayani (2003) menyatakan berdasarkan takrif sistem

pertanian masukan teknologi rendah, maka tujuan yang akan dicapai, yaitu:

a. Berusaha mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan input produksi dari

dalam usaha tani (on farm resources), sehingga diperoleh hasil pertanian dan

peternakan yang memadai dan secara ekonomi menguntungkan. Pendekatan ini

(29)

pendauran ulang limbah pertanian, memanfaatkan pupuk kandang atau kotoran

ternak.

b. Membatasi ketergantungan pertanian pada masukan yang berasal dan luar

usaha tani (off-farm resources), seperti pupuk pabrik dan pestisida, sedapat

mungkin dilaksanakan penurunan biaya produksi, menghindarkan polusi

terhadap air permukaan dan air tanah, membatasi residu pestisida dalam

makanan, membatasi semua resiko yang dihadapi petani, dan meningkatkan

keuntungan usahatani untuk jangka pendek dan jangka panjang.

c. Sistem pertanian ini tetap memanfaatkan teknologi modern, seperti benih

hibrida beriabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, pengelolaan tanah

yang berasaskan konservasi. Membatasi penggunaan dan keperluan yang

berasal dari luar usahatani seperti pupuk pabrik dan pestisida, dengan

mengembangkan pergiliran tanaman, mengembangkan pengelolaan tanaman

dan ternak secara terpadu, mendaur ulang limbah pertanian dan pupuk

kandang untuk mempertahankan produktivitas tanah.

2.2.1. Pengertian dan Perkembangan SRI Sebagai Salah Satu Pertanian Organik

Saat ini telah dikembangkan suatu metode penanaman padi yang mampu

memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dengan pemakaian bibit dan input

yang lebih sedikit dari pada metode tradisional (misalnya air) atau metode yang

lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain) metode ini dikenal

(30)

teknik manajemen yang berbeda atas tanaman, tanah, air dan nutrisi. Sistem

intensifikasi padi ini telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara terutama

di Madagaskar (Berkelaar, 2002).

SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline,

seorang pastor Jesuit yang hidup bersama petani-petani di sana. Tahun 1990

dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM di Madagaskar untuk

memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution

for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan

Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di

Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development

(Berkelaar, 2002). Pada tahun 1999 sistem ini dicobakan di Indonesia dan Cina.

Penerapan sistem tersebut menunjukkan peningkatan produksi. Secara

konvensional diperoleh produksi padi hanya 2 ton/ha, sedangkan dengan SRI

diperoleh hasil 7 - 10 ton/ha. Sistem ini telah dicobakan di 18 negara dan

menunjukkan hasil yang memuaskan (Rabenandrasana, 2002 dalam Handayani et

al, 2006).

Model optimasi lahan sawah melalui metoda SRI adalah usaha tani padi

sawah secara intensif dan efisien melalui pengelolaan tanah, tanaman dan air yang

berbasis pada kaidah ramah lingkungan. SRI diterapkan melalui proses

pemberdayaan petani dalam pengelolaan lahan dan air (sumber daya manusia, dan

sumber daya lahan dan air) dengan pertimbangan jauh ke depan yaitu nilai-nilai

(31)

Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan

dengan sistem bercocok tanam padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus

menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa

diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja,

diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk

bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup

sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi.

Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan

kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan padi. SRI mengembangkan praktek

pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih

baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara

tradisional (Berkelaar, 2002).

Sistem budidaya SRI ini menerapkan konsep hemat air. Keuntungannya

adalah umur bibit muda tumbuh lebih baik dalam kondisi aerob. Penelitian di

bidang SRI telah dilakukan di Jepang oleh T. Katajana. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perkembangan tanaman di tanah tidak tergenang memiliki

perkembangan mikroorganisme tanah lebih baik, serta memiliki jumlah sel

aereuleima akar yang lebih banyak, selain itu jumlah sel produktif meningkat dan

Keuntungan lain yang diperoleh yaitu hama lebih terkendali (Handayani et al,

(32)

2.2.2. Proses Pengolahan Padi dengan PolaTanam SRI

Untuk mendapatkan media tumbuh yang baik maka lahan diolah, seperti

tanam biasa dibajak, digaru kemudian diratakan, dilakukan penaburan pupuk

organik pada saat digaru yang dilakukan pada pengolahan tanah kedua. Pupuk

organik sebelumnya dikomposkan terlebih dahulu. sehingga diperoleh kompos yang

lapuk dan jadi. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi

mikroorganisme dalam tanah berkembang dengan baik. Komposisi bahan kompos

yang cukup baik adalah: Kotoran sapi (yang bercampur dengan kencingnya akan

lebih baik, minimal 40%, kotoran ayam maksimum 25%, serbuk gergaji bukan dari

kayu jati dan pohon kelapa sebanyak 5%, abu dapur sebanyak 10%, kapur (Calsit)

2%, bio Lahan (Kuswara, 2006)

Lebih lanjut Kuswara (2005) menyatakan bahwa kebutuhan pupuk organik

per hektar antara 7 – 10 ton, saat penaburan pupuk organik dan meratakan tanah air

dijaga agar tidak mengalir supaya nutrisi tidak hanyut. Selanjutnya di pinggir dan di

tengah petakan dibuat parit agar mudah mengatur air. Setelah diratakan tanah dijaga

tetap lembab air dijaga tetap lembab jangan sampai kering, baik jika dilakukan

selama 3 – 4 hari sebelum ditanam, hal ini juga mempermudah pembuatan garitan.

Kebutuhan benih untuk tanaman padi SRI adalah untuk 100 bata (0.14 Ha), adalah

0.7 – 1 kg, sedangkan kebutuhan per ha adalah 4.9 – 7 kg. Bila dibandingkan

dengan cara tanam biasa rata-rata kebutuhan benih per Ha adalah 35 – 45 kg.

bahkan ada yang mencapai 50 – 60 kg, dengan demikian SRI sangat efisien. Benih

(33)

dilakukan dalam petakan khusus berbentuk kotak. Kebutuhan kotak per 0.14 Ha

(420 – 490 buah/ha). Tanah dalam kotak sebagai media tumbuh benih di campur

dengan pupuk organik dengan perbandingan 1 : 1.

Bibit ditanam terdiri satu tanaman untuk satu lubang hal ini dilakukan agar

tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan menperdalam perakaran. Sehingga

tanaman tidak bersaing untuk memeeroleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam

tanah. Benih ditanam dangkal kira – kira 1 – 1,5 cm dan saat menanam bibit di

lapangan, benamkan benih dalam posisi horizontal agar ujung – ujung akar tidak

menghadap ke atas. Hal ini dilakukan jika akar tertekuk ke atas maka benih

memerlukan energi besar dalam memulai pertumbuhan kembali, dan akar baru akan

tumbuh dari ujung tersebut. Jarak tanam pada pola SRI antara lain 25x25 cm, 27x27

cm atau 30x30 cm. Pada prinsipnya tanaman harus mempunyai ruang cukup untuk

tumbuh. Jarak tanam yang optimum semakin meningkatkan jumlah anakan

produktif, karena persaingan oksigen, energi matahari dan nutrisi semakin

berkurang (Berkelaar, 2002).

Pupuk tambahan untuk SRI dari kajian yang dilakukan di jaringan PPHTI

tanam padi metodi SRI adalah pupuk organik yang diberikan pada pengolahan tanah

kedua. Selanjutnya pupuk tambahan hanya diberikan dengan menyemprotkan pupuk

organik cair. Pupuk tersebut terbuat dari fermentasi sisa makanan seperti jus nenas,

jus buah-buahan dan fermentasi kotoran hewan. Seluruh pupuk cair tersebut dapat

dibuat dengan mudah oleh petani dari bahan-bahan yang tersedia di sekitar tempat

(34)

dan setelah pembungaan masak susu. Pola SRI yang dikembangkan tidak

menggunakan pupuk organik seperti Urea, TSP dan KCL. Maupun pupuk

an-organik lainnya. Dengan demikian seluruh proses pengolahannya adalah dengan

cara pertanian ramah lingkungan menurut konsep pengendalian hama terpadu.

Dalam prakteknya cara tersebut adalah melalui pendekatan pengelolaan unsur

ekosistem. Untuk mengelola proses tersebut maka kemampuan, petani dalam

pengamatan sangat diperlukan, agar petani mampu mengambil keputusan

pengelolaan yang tepat (Kuswara, 2006).

Tanaman padi sawah berdasarkan praktek SRI ternyata bukan tanaman air

tetapi dalam pertumbuhannya membutuhkan air. Dengan demikian maka padi

ditanam pada kondisi tanah yang tidak tergenang, dengan tujuan menyediakan

oksigen lebih banyak di dalam tanah, kemudian dimanfaatkan oleh akar. Sehingga

air dapat diminimalkan dibandingnkan sistem pertanian anorganik. Dengan sistem

SRI petani hanya memakai kurang dari ½ kebutuhan air pada sistem pertanian

tradisional yang biasanya mengenai tanaman padi. Tanah cukup dijaga lembab

selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi

pertumbuhan akar. Seminggu sekali tanah harus dikeringkan samai retak. Hal ini

dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan

mendorong akar untuk mencari air. Sebaliknya jika sawah terus digenangi, akar

akan sulit tumbuh dan menyebar, serta kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh

dengan subur. Kondisi tidak tergenang, yang dikombinasikan dengan pendagirian

(35)

berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak (Berkelaar,

2002).

Pengendalian hama dilakukan dengan PHT, yaitu dengan mengelola unsur

ekosistem sebagai alat pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pada prinsipnya

pengelolaan potensi usaha tani. Dalam kaitannya dengan pengelolaan potensi usaha

tani proses belajar diarahkan pada bagaimana petani mampu mengelola unsur

ekosistem sebagai sebuah potensi yang dapat dikembangkan. Contoh kemampuan

potensi dalam pengelolaan unsur ekosistem sebagai praktek pertanian yang ramah

lingkungan (Kuswara, 2006).

Lebih lanjut Kuswara (2006) menyatakan produksi padi dengan cara SRI

berdasarkan hasil kajian di KSP mencapai 7.36 – 12.6 ton/Ha. Hal ini didukung

oleh jumlah tunas produktif perumpunan paling rendah 33, pertengahan 45 dan

jumlah tunas tertinggi per rumpun 72 tunas bahkan ada yang mencapai 92 tunas

produktif. Hasil produksi ini dihasilkan dari proses pengelolan tanah, tanaman dan

air yang sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Perpaduan konsep pemahaman

PET dan SRI telah menghasilkan konsep dasar pertanian organik yang benar.

2.3. Pengomposan

Pengomposan merupakan salah satu proses pengolahan buangan (limbah)

secara aerobik dan anaerobik. Kedua proses tersebut berjalan saling menunjang dan

menghasilkan pupuk organik atau kompos. Sisa-sisa bahan organik yang ditumpuk

(36)

anaerobik. Pengomposan merupakan proses biokimia yang mengubah material

organik menjadi humus. Proses tersebut bisa dipercepat oleh perlakuan manusia,

sehingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak telalu

lama (Toharisman dan Hutasoit, 1993).

Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah

mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi dengan mikroorganisme

dekomposer yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seperti

dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, rerontokan kembang, air

seni, dan lain-lain. Adapun kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut

didukung oleh keadaan lingkungan yang basah dan lembab (Murbandono, 2006).

Mengigat bahwa pupuk organik (kompos) sangat berperan mendukung

keberhasilan budidaya tanaman untuk melindungi konsumen/pengguna dipandang

perlu adanya suatu ketentuan mengenai pupuk organik yang diedarkan di wilayah

Indonesia harus memenuhi standar mutu. Standar mutu pupuk organik (kompos)

diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Pert/HK.060/2/2006 Tentang

Pupuk Organik. Pengambilan contoh pupuk organik (kompos) bentuk padat

mengacu pada SNI Nomor 19 - 0428 - 1989 dan bentuk cair mengacu pada SNl 19 -

0429 - 1989.

Kriteria produk akhir dari kompos adalah kriteria yang berkaitan dengan

sifat-sifat fisik dan kandungan bahan kimia daiam kompos yang dihasilkan, yang akan

digunakan sebagai acuan untuk memastikan bahwa kompos yang dihasilkan

(37)

menurut ketentuan Program Subsidi Kompos setara dengan pupuk organik seperti

yang dibakukan oleh Standar Internasional dan preferensi beberapa pengguna

/pembeli kompos yang disajikan dalam Tabel 1.

Kriteria produk akhir dari kompos adalah kriteria yang berkaitan dengan

sifat-sifat fisik dan kandungan bahan kimia dalam kompos yang dihasilkan, yang akan

digunakan sebagai acuan untuk memastikan bahwa kompos yang dihasilkan

memenuhi standar kualitas yang diminta oleh pasar. Standar kualitas kompos

menurut ketentuan Program Subsidi Kompos serta dengan pupuk organic seperti yang

dibakukan oleh Standar Internasional dan prefensi beberapa pengguna/pembeli

kompos yang disajikan dalam tabel berikut:

(38)

2.3.1. Pengelolaan Limbah Buah-buahan menjadi MOL Sebagai Inokulan dalam Proses Pengomposan

Indonesia sangat kaya sumber daya tanaman holtikultura, termasuk di

dalamnya jenis buah-buahan. Buah-buahan umumnya memiliki rasa yang manis

dan aroma yang khas sehingga sangat popular. Buah-buahan memiliki manfaat

yang beragam. Umumnya buah memiliki nilai gizi yang sangat penting sebagai

sumber provitamin A dan vitamin C. Dari hasil produksi buah-buahan di

Indonesia yang melimpah dan permintaan pasar yang terus meningkat maka

persediaan buah-buahan juga akan meningkat (Vincent, 1999 dalam Galileo

2007).

Buah-buahan tersebut apabila tidak segera dimanfaatkan akan layu dan

membusuk, sehingga dapat terjadi pembuangan secara besar-besaran di tempat

sampah. Limbah buah-buahan ini berasal dari sisa-sisa hasil penjualan yang telah

rusak atau membusuk, karena tidak semua buah-buahan tersebut dapat habis

terjual. Hasil survei di daerah Karangpandan dan Matesih menunjukkan bahwa

limbah buah-buhan digunakan oleh sebagian petani sebagai pengganti pupuk

buatan untuk membantu memulihkan kesuburan tanah. Selain itu limbah

buah-buahan tersebut juga digunakan sebagai bahan campuran dengan pupuk kandang.

Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa limbah buah-buahan merupakan

salah satu sampah organik yang dapat digunakan sebagai media biakan (inokulan)

(39)

Penelitian yang dilakukan oleh Winaryu (2005) dalam Galileo (2007)

menunjukkan bahwa limbah pepaya dan EM-4 (Emulsifier Mikroorganisme)

berpengaruh terhadap lamanya pengomposan sampah organik, yaitu pada

konsentrasi 100 ml limbah pepaya membutuhkan waktu pengomposan 36 hari.

Konsentrasi 200 ml limbah pepaya membutuhkan waktu pengomposan 24 hari dan

untuk kontrol tanpa perlakuan membutuhkan waktu pengomposan 45 hari, sehingga

dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi limbah pepaya (inokulan)

yang ditambahkan semakin cepat waktu pengomposan.

Maria (2006) dalam Galileo (2007) juga meneliti tentang penggunaan

inokulan EM-4, kotoran kuda dan limbah buah-buhan dalam proses pengomposan.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa EM-4 merupakan inokulan yang paling

cepat dalam proses pengomposan sampah kedelai yaitu 25 hari, inokulan limbah

buah-buhan membutuhkan waktu 30 hari dan kotoran kuda membutuhkan waktu 35

hari.

2.3.2 Peranan Mikroorgasnisme Dalam Proses Dekomposisi / Pengomposan

Isroi (1994) menyatakan bahwa proses pengomposan alami memakan waktu

yang sangat lama, antara 6-12 bulan sampai bahan organik tersebut benar-benar

tersedia bagi tanaman. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan

mikroba penghancur (dekomposer) yang berkemampuan tinggi. Penggunaan

mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi

(40)

Pengomposan merupakan proses penguraian aerobik-termofilik dari

konstituen organik (misalnya dari sampah 1 buangan organik alami termasuk juga

limbah dari buah-buahan) menjadi produk akhir yang relatif stabil, menyerupai

humus. Ada 3 group mikroorganisme yang berperan, yaitu: bakteri, aktinomisetes

dan fungi. Bakteri mengurai senyawa golongan protein, lipid dan lemak pada

kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas. Aktinomisetes dan fungi yang

selama proses pengomposan berada pada kondisi mesofilik dan termofilik berfungsi

untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan

organik atau dari bulking agent. Faktor kondisi lingkungan selama operasional

sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dalam proses

oksidasi-dekomposisi tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan dan siklus

proses pengomposan serta kualitas kompos yang dihasilkan (Supriyanto, 2000).

2.3.3. Peranan Kompos

Hasil akhir dari pengomposan merupakan bahan yang sangat dibutuhkan

untuk kepentingan tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki

sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih

tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah/limbah dapat digunakan

untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian,

menggemburkan kembali tanah pertamanan, sebagai bahan penutup sampah di

TPA, reklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta

(41)

a. Meningkatkan Unsur Hara Tanah

Pengelolaan kesuburan tanah secara biologi umumnya difokuskan pada

pengelolaan bahan organik dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah untuk

menyediakan hara bagi tanaman dan untuk meningkatkan kandungan bahan organik

tanah. Dalam pengelolaan bahan organik, berbagai proses dan faktor yang berkaitan

dengan kecepatan penyediaan hara untuk tanaman dan kontribusi pada bahan

organik tanah perlu dipertimbangkan. Pemanfaatan biofertilizer yaitu dengan

pemanfaatan mikroorganisme di alam yang menguntungkan dapat membantu proses

metabolisme dalam tanah sehingga tanah mampu menyediakan unsur hara yang

diperlukan tanaman. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang

memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona

perakaran dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional (Handayanto,

1998).

Untuk meningkatkan kesuburan tanah, pemberian pupuk anorganik (buatan)

saja tidak cukup, perlu diberikan pupuk organik dan salah satu di antaranya adalah

kompos. Kompos selain mudah didapat dan murah harganya juga merupakan media

yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme bermanfaat di dalam tanah. Pupuk

organik juga akan memberikan sumbangan unsur hara ke dalam tanah. Semakin

tinggi kandungan unsur hara dalam pupuk organik, semakin tinggi ketersediaan

unsur hara tanah apabila diberikan ke dalam tanah sehingga hasil tanaman dapat

(42)

Salah satu masalah yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian

organik adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Petani

organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk

kandang. Kedua jenis pupuk itu adalah limbah organik yang telah mengalami

penghancuran sehingga menjadi tersedia bagi tanaman (Isroi, 2004).

Menurut Bekti dan Surdianto (2001), peranan bahan organik terhadap unsur

hara tanah meliputi:

i. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Fisik Tanah

Sifat humus dari bahan organik adalah gembur, bobot isi rendah dengan

kelembaban tanah tinggi serta temperatur tanah yang stabil mampu meningkatkan

kegiatan jasad mikro tanah, sehingga pencampurannya dengan bagian mineral

memberikan struktur tanah yang gembur dan remah serta mudah diolah. Struktur

tanah yang demikian merupakan keadaan fisik tanah yang baik untuk media

pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur liat, pasir atau tanah yang berstruktur

gumpal, bila dicampur dengan bahan organik, memberikan sifat fisik yang lebih

baik. Tanah yang kandungan bahan organiknya tinggi, lebih mudah diolah daripada

yang kandungan bahan organiknya rendah. Tanah seperti ini tidak membentuk

kerak (crust) dan tidak merekah besar (crack) jika kering dan mempunyai tingkat

(43)

ii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Kimia Tanah

Bahan organik berfungsi sebagai gudang penyimpan hara, juga mudah

melepaskan hara tersebut untuk dipakai oleh tanaman. Fosfat yang semula terfiksasi

Ca, Fe dan Al dan tidak dapat diserap tanaman menjadi tersedia bila unsur-unsur

Ca, Fe dan Al tersebut diikat oleh bahan organik menjadi organokompleks. Proses

ini adalah proses kimia, sehingga kelarutan Al dan Fe dalam tanah yang semula

tinggi dan bersifat racun dapat dikurangi. Tidak semua Al dan Fe tersebut dapat

terikat tetapi hanya beberapa bentuk dalam senyawa tertentu. Dengan berkurangnya

kadar Al dan Fe pada penggunaan bahan organik, maka pengapuran tanah yang

bertujuan untuk mengurangi keracunan Fe dan Al dapat juga dikurangi atau bahkan

dapat ditiadakan tetapi pengapuran yang bertujuan untuk mensuplai hara Ca, masih

diperlukan. Pada sawah, kehilangan N melalui volatilisasi amonia, dapat dikurangi

karena ion amonium diikat humus dalam tanah sehingga menjadi tersedia untuk

tanaman.

iii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Biologi Tanah

Bahan organik tanah adalah sumber utama energi atau menjadi bahan

makanan bagi aktivitas jasad mikro tanah. Penambahan bahan organik dengan C/N

rasio tinggi mendorong pembiakan jasad renik dan mengikat beberapa unsur hara

tanaman. Setelah C/N rasio turun, sebagian jasad mikro mati dan melepaskan

kembali unsur hara ke tanah. Makin banyak bahan organik, makin banyak populasi

(44)

Penyerapan zat hara yang disediakan pupuk kompos relatif lebih lama

dibanding dengan pemberian pupuk buatan, namun jangka waktu manfaatnya bagi

tanaman padi lebih lama. Relatif lamanya penyerapan zat hara dari pupuk kompos

karena pupuk kompos tersebut harus dirombak lebih dahulu oleh jasad renik

menjadi bentuk yang sederhana agar mudah diserap oleh akar tanaman. Pemberian

pupuk kompos dalam jangka waktu lama, justru akan memperbaiki struktur tanah

dan meningkatkan aerasi (Adiningsih, 2000).

Menurut Harjowigeno (1996) untuk mengetahui kekurangan unsur hara

dalam tanah dilakukan beberapa cara, salah satunya dengan analisis tanah. Kriteria

(45)

b. Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah

Kesuburan tanah merupakan kunci utama dalam sistem pertanian

berkelanjutan. Salah satu alternatif pengolahan kesuburan tanah dalam sistem

pertanian yang berkelanjutan adalah pengolahan kesuburan tanah secara biologis.

Fokus utama dalam pengelolaan tanah secara biologi adalah pengelolaan bahan

organik dan pemanfaatan mikroorganisme tanah untuk menyediakan hara bagi

tanaman dan untuk meningkatkan hara tanah (Handayanto, 1998).

Mikroba-mikroba tanah banyak berperan dalam penyediaan maupun

penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara yaitu Nitrogen (N), fosfat (P),

dan kalium (K) daur ulangnya melibatkan aktivitas mikroba. Unsur N udara tidak

dapat langsung dimanfaatkan tanaman tetapi N harus ditambat oleh mikroba dan

diubah bentuknya sehingga dapat dipergunakan oleh tanaman. Mikroba penambat N

ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N

simbiotik antara lain Rhizobium sp, yang hidup di dalam bintil akar tanaman

kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya

Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa

digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N

non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Kelompok mikroba

penyedia unsur N mencakup: Azotobacter chococum, Azomonas argilis,

Azatobacter beijirienck, Azospirillum lipoperum, Azospirillum brazilensi,

Sianobakterium, Rhizobium japonicum, Rizobium lupini dan Rhizobium

(46)

Mikroba tanah lain yang berperan dalam penyediaan unsur hara adalah

mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian umumnya memiliki

kandungan P cukup tinggi (jenuh), hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman

karena terikat pada mineral liat tanah. Mikroba pelarut P dapat melepaskan ikatan P

dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang

mampu melarutkan P, antara lain Aspergillus niger, Penicillium sp, Pseudomonas

sp, dan Bacillus megatherium, Lolium multiflorum, Bacillus cereus, dan

Pseudomonas diminuta. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P,

umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain

yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah mikoriza yang bersimbiosis

pada akar tanaman.

Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer,

yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan

membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu, tanaman yang bermikoriza

umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering

dimanfaatkan adalah Glomus sp. dan Gigaspora sp. Tanah sangat kaya keragaman

mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga, dan virus.

Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram

tanah (Isroi 2004). Tingginya mikroorganisme di tanah lapisan atas dapat dijadikan

indikasi betapa pentingnya keberadaan mikroorganisme dalam berbagai proses

biologi di lingkungan tersebut. Populasi mikroba ditentukan berdasarkan

(47)

Semakin ke dalam jumlahnya semakin menurun. Pertumbuhan bakteri berdasarkan

kedalaman tanah dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 3. Populasi mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah

Mikroorganisme/g tanah x 103 Kedalaman

cm Bakteri aerob Bakteri

anaerob

Aktinomecetes Fungi Algae

3 - 8 7800 1950 2080 119 25

20 – 25 1800 379 245 50 5

35 – 40 472 98 49 14 0,5

65 – 75 10 1 5 6 0,1

135 – 145 1 0,4 - 3

-Sumber : Introduction to Soil Microbiology (Alexander, 1977).

Mikroba pada umumnya hidup di atas permukaan tanah disebabkan kondisi

lingkungan yang mendukung seperti ketersedian oksigen, karbon, kelembaban, pH

dan nutrisi yang cukup. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada

akitifitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang

menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah

organik, daur hara tanaman, fiksasi nitrogen hayati, pelarutan fosfat, merangsang

pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara.

Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran

penting mikroba tersebut (Alexander, 1977).

Ion-ion tertentu di dalam tanah tidak dapat langsung diserap oleh akar

tanaman dan bahkan ada yang bersifat racun bagi tanaman tersebut. Siderophore

adalah suatu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah yang berfungsi sebagai

agen pengikat (chelating agent) sehingga mampu mengubah ion komplek menjadi

(48)

sehingga tidak langsung bisa diserap tanaman, dengan adanya siderophore maka

ion Fe3+ dapat diikat dan diubah menjadi ion yang lebih sederhana yaitu Fe2+

sehingga mampu diserap tanaman. Contoh dari siderophore yang dihasilkan dari

bebarapa jamur dan bakteri adalah: ferrichrome (Ustilago sphaerogea),

enterobactin (Escherichia coli), enterobactin dan bacillibactin (Bacillus subtilis),

ferriocchamine B (Streptomyces pulosus), fusarinine C (Fusarium roseum)

yersiniabactin (Yersinia pestis), vibriobactin (Vibrio cholerae), azatobactin

(Azotobacter vinelandii), pseudobactin (Pseudomonas B10) atau erythrobactin

(Saccharopolyspora erythraea) (Vandenbergh et al, 1983).

Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) adalah penambahan bakteri

pada perakaran tanaman (rizosfer) yang memiliki peranan penting dalam

pertumbuhan tanaman. Sehingga dapat menekan pertumbuhan patogen tanaman,

dengan dua mekanisme : (1) memacu pertumbuhan tanaman sehingga tanaman lebih

sehat sehingga tidak mudah diserang oleh patogen, dan (2) menghasilkan metabolit

tertentu seperti : antibiotik, siderosfore dan HCN yang dapat membunuh patogen.

PGPR memiliki beberapa fungsi khususnya bagi tanaman antara lain dapat

meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai agen pengendali biologi yang berkorelasi

dengan pemacu pertumbuhan tanaman dapat menghambat pertumbuhan Sclerotium

rolfsii dan Pythium ultimum (Nelson, 2004).

PGPR dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan penggunaan bahan

kimia yang dapat bersifat racun terhadap manusia. Pemanfaatan bakteri

(49)

menyerang unsur-unsur pathogen bagi tanaman sehingga ketergantungan terhadap

bahan kimia dapat ditekan (Burelle et al, 2005).

2.4. Pemberdayaan Masyarakat Petani

Pemerintah Indonesia perlu menerapkan pendekatan pembangunan bagi

masyarakat tani disebabkan karena semakin banyaknya gejolak-gejolak sosial yang

timbul sebagai dampak dari aktivitas pembangunan. Pendekatan yang diterapkan

yakni pendekatan yang dilakukan masyarakat tani lokal bukan sebagai objek tetapi

sebagai subjek dengan mengajak masyarakat untuk turut berperan dalam proses

pembangunan (Hadi, 2002).

Wujud peran serta masyarakat dalam Pembangunan Nasional dengan

pemberdayaan masyarakat pedesaan yakni adanya gerakan penguatan kemandirian

dan posisi sosial ekonomi-politik, untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis

dan berkeadilan Sosial (Anonim, 2002). Upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan

dilakukan dengan cara :

a. Melakukan pelatihan pada petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama

Terpadu ( SLPHT) pengelolaan makcro kredit pertanian.

b. Pembentukan dan pengelolaan kelompok tani, pengembangan pertanian organik

terpadu dan pemasaran produk pertanian.

c. Memfasilitasi masyarakat dalam perluasan kelompok simpan pinjam. Perintisan

kelompok warung sembako, pengembangan tanaman obat dan pekarangan,

(50)

d. Pengembangan mutu kehidupan desa.

e. Pengembangan Produk dan Pemasaran alternatif Komoditi pertanian.

Mengingat kualitas sumber daya petani sangat rendah, maka untuk

mengubah perilaku petani dilakukan melalui pendidikan luar sekolah (non formal).

Bila kita cermati perilaku pelaku usaha tani secara umum saat ini setidaknya

ditemukan tidak pandangan dan sekaligus perilaku usaha taninya di lapangan, dapat

dianalisis menjadi tiga bagan sebagai berikut :

Pandangan I. Perilaku pemberantasan

Pandangan ini hanya berpikir bahwa di lahan sawah hanya ada tanaman dan

hama, sehingga hama harus dibasmi. Pestisida memegang peranan penting dalam

pemberantasan hama. Permasalahan yang timbul apabila pestisida tidak dapat

membasmi hama secara tuntas akan memberikan dampak hama menjadi kebal,

peledakan hama yang tiba-tiba (resurgensi), pencemaran lingkungan, terbunuhnya

jasad bukan sasaran sehingga mengurangi keragaman unsur hayati, gangguan

terhadap kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan.

Pandangan II

Pandangan ini mulai ada kemajuan bahwa dalam lahan usaha tani, ternyata

ada serangga atau makhluk hidup yang berguna dimanfaatkan, namun demikian jika

hama dengan perhitungan ambang ekonomi tidak menguntungkan maka pestisida

yang dapat menekan serangan hama. Jika dicermati lebih dalam ternyata yang

berubah adalah soal waktu dan legalitas penggunaan pestisida, karena ketika

(51)

belum memperhitungkan berapa musuh alami yang ada? Bagaimana stadia hama

tersebut?

Pandangan dan perilaku ini sebenarnya memulai mempraktekkan

pengelolaan unsur ekosistem, tetapi belum sempurna dan pada akhirnya tetap

menggunakan pestisida selanjutnya dampaknya tetap masih ada. Pandangan ini

cenderung sama dengan pandangan dan perilaku konvensional. Dua cara pandang

dan perilaku pelaku usaha tani di atas bukan konsep pertanian yang berkelanjutan

oleh karena itu sudah saatnya kita berubah pada cara pandang dan perilaku yang

holistik, seperti ditunjukkan pada cara pandang ketiga dibawah ini.

Pandangan III

Pandangan ini menunjukkan bahwa ekosistem pertanian merupakan satu

sistem yang dinamis dan dapat dikelola. Berangkat dari pemahaman tersebut maka

cara pengolahan usaha tani, dilakukan dengan memanfaatkan potensi yang ada,

dengan demikian tidak perlu banyak masukan dari luar. Konsep inilah yang menjadi

jiwanya PHT lalu bagaimanakah unsur agro-ekosistem menjadi bermanfaat dan

menjadi sumber kekuatan? Proses inilah yang dipelajari oleh petani, melalui

kegiatan sekolah lapangan. Berkaitan dengan pengelolaan potensi yang ada, proses

belajar diarahkan pada bagaimana petani mampu mengelola unsur ekosistem

sebagai sebuah potensi yang dapat dikembangkan, contoh kemampuan petani dalam

pengelolaan unsur ekosistem sebagai praktek pertanian yang ramah lingkungan

(52)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Yogya Sidodadi, Kecamatan Beringin,

Kabupaten Deli Serdang pada bulan Februari 2007 sampai dengan Juni 2007.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data tanggapan masyarakat desa Sidodadi terhadap pola SRI

menggunakan kuisioner data primer (lihat Lampiran 4 dan 5).

3.3 Bahan dan Alat

3.3.1 Bahan dan Alat di Lapangan Pengambilan sampel tanah

a. Bahan

- tanah sawah yang menggunakan pupuk kompos MOL pada pola SRI; dan

- tanah sawah yang menggunakan pupuk kimia.

b. Alat

Alat yang digunakan adalah cangkul, timbangan, parang, bambu pancang.

(53)

3.3.2 Bahan dan Alat di Laboratorium a. Analisis Unsur Hara Tanah

Bahan

Bahan yang digunakan dalam analisis unsur hara adalah tanah sawah yang

diberi pupuk kompos MOL (Tanah Organik = PO) pada pola SRI dan tanah sawah

diberi pupuk kimia (Tanah Anorganik = PK), H2SO4 pekat larutan fhenolftalein 1%,

NaOH 50%, H3BO3 3%, HCl 0,01 N, larutan (NH4)MO7O24 2,5% SnCl2 2,5%, larutan

FeSO4.

Alat

Tabung reaksi, Erlenmeyer, Spektrofotometer, timbangan, pH meter.

b. Populasi Mikroba Tanah Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plate count agar (PCA),

potato dextrose agar (PDA) sebagai media pertumbuhan mikroba, kapas, aquades,

biakan MOL, sampel tanah sawah yang menggunakan pupuk kompos MOL pada pola

SRI dan tanah sawah yang menggunakan pupuk kimia.

Alat

Alat-alat laboratorium yang meliputi gelas ukur, erlenmeyer, beakerglass,

magnetic stirrer, spatula, pembakar bunsen, timbangan, hot plate, pipet, tabung

(54)

3.4 Metode Penelitian

Analisis data dilakukan dengan Uji-T yaitu dengan membandingkan rata-rata

parameter pengamatan terhadap masing-masing contoh tanah.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan

menggunakan model sebagai berikut :

3.5 Pelaksanaan Penelitian

3.5.1. Pelaksanaan di Lapangan

a. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pola SRI

Pembagian data kuisioner terhadap 20 responden anggota kelompok tani SRI

(55)

b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Unsur Hara

Sampel tanah diambil dari areal persawahan di Dusun Jogya desa Sidodadi

Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang. Dua contoh tanah diambil untuk

mewakili tanah pertanian yang mengunakan pola SRI dengan memanfaatkan MOL

sebagai dekomposer pupuk organik (kompos) dan tanah pertanian anorganik yang

menggunakan pupuk kimia.

Contoh tanah diambil setelah panen atau menjelang pengolahan tanah. Contoh

tanah diambil menggunakan metode acak secara diagonal di areal persawahan yang

menggunakan pupuk kompos MOL (PO) dan yang menggunakan pupuk kimia (PK).

Pengambilan tanah dilakukan dengan menggunakan bor dengan kedalaman 20 cm.

Jumlah tanah diambil sama banyak dari ketiga Iokasi titik pengambilan sampel yaitu

masing - masing ½ kg. Contoh tanah dimasukan ke dalam ember plastik kemudian

dibersihkan dari rumput-rumput, batu-batuan atau kerikil, sisa-sisa tanaman atau

bahan organik segar/serasah yang terdapat di permukaan tanah. Contoh tanah uji

dianalisis dengan dua kali ulangan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara.

c. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Mikroorganisme

Contoh tanah diambil pada areal tanah pertanian yang mengunakan pola SRI

dengan memanfaatkan pupuk kompos MOL (PO) sebagai dekomposer pupuk organik

dan tanah pertanian mengunakan pupuk kimia (PK). Tanah diupayakan dalam

(56)

tanah diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dengan jarak 500 – 1000 m dari beberapa

tempat pada lahan yang sama untuk mengetahui populasi mikroorganisme di dalam

tanah. Tanah dicampur secara homogen setelah diaduk rata kemudian diambil 500 gr

(Syarifuddin, 2002). Contoh tanah uji dianalisis dengan dua kali ulangan di

Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengatahuan Alam,

Universitas Sumatera Utara.

3.5. 2 Pelaksanaan di Laboratorium a. Analisis Unsur Hara Tanah

Menurut Nuryani (2003) penetapan bahan organik untuk menentukan

kandungan hara tanah dapat dilakukan dengan pengukuran beberapa parameter

menurut metode yang dikembangkan oleh Walkey dan Black. Dalam penelitian ini

parameter yang diamati untuk menganalisis unsur hara tanah meliputi sifat fisik dan

kimia tanah yang terdiri dari tekstur tanah, pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK),

C-organik, N-C-organik, P-tersedia, K-tukar dan bahan organik tanah.

Sifat Fisik Tanah Tekstur tanah

Tanah kering udara sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml,

ditambah 300 ml air destilasi, 10 ml larutan natrium pirofosfat 1 N, kemudian diaduk

homogen sehingga tersuspensi secara sempurna. Suspensi tanah didiamkan 1 malam,

keesokan harinya kocok dengan menggunakan pengaduk Hamilton Beach selama 2

(57)

hingga 1 liter beserta higrometer, kemudian hidrometer diangkat kembali keluar.

Pengocokan dilakukan dengan menggunakan batang pengocok khusus dari tembaga

yang digerakkan dengan tangan ke bawah dan ke atas sebanyak ± 30 kali. Bila

berbuih ditambahkan 3 tetes larutan amil alkohol. Selanjutnya hidrometer

dimasukkan dan tunggu selama 2 jam. Dibaca Hidrometer kembali serta diukur

temperatur (T2). Temperetur T1 dan T2 dikoreksi menggunakan koreksi temperatur.

Perhitungan :

% (debu + liat) = H1 + koreksi temperatur T1 x (100/50)

% liat = H2 + koreksi temperatur T2 x (100/50)

% Pasir = 100 - % (debu + liat) - % liat Dihitung

Dihitung tanpa desimal.

Sifat Kimia Tanah pH

Sampel kompos 10 g tanah sawah pola SRI 10 g dan tanah sawah yang

menggunakan pupuk kimia ditimbang dan kemudian ditambahkan 25 ml air destilasi

(H20) kemudian diaduk selama 2 jam dan dibiarkan satu malam. Keesokan harinya

diaduk lagi selama 30 menit dan kemudian pH diukur dengan pH meter.

Kation dapat ditukarkan dan Kapasitas Tukar Kation.

Kation dapat ditukarkan dan kapasitas tukar kation diekstraksi dengan cara

perkulasi. Contoh tanah diperkulasikan dengan cara menjenuhkan dengan larutan

(58)

dapat dipertukarkan (K, Na, Ca dan Mg). Contoh bekas perkolasi lebih lanjut dicuci

dengan alkohol 80% untuk membebaskan kelebihan ammonium asetat kemudian

diperkolasikan dengan larutan kalium sulfat 0,1 N. Perkolat didestilasi untuk

penetapan kapasitas tukar kation.

N total menurut cara Kjeldahl.

Sampel tanah kering sebanyak 0,5 g dimasukkan dalam tabung reaksi 20 ml

disertai blanko. Sampel dan blanko ditambah dengan 1 g campuran selenium, 2,5 ml

H2S04 pekat lalu dipanaskan, setelah itu didinginkan. Suspensi dibilas dengan air

destilasi secukupnya, ditambah 2 - 3 tetes larutan fenolfttalein 1%, 5 ml larutan

NaOH 50% hingga warna suspensi menjadi cerah. Destilasi ditampung dengan 5 ml

arutan H3BO 3% di dalam Erlemeyer dan diencerkan dengan air destilasi ± 15 menit,

destilat dititrasi dengan larutan HCL 0,01 N hingga warna larutan menjadi merah

jambu . Menurut Walkey and Black (1985) dalam Nuryani (2003 ).

Perhitungan :

Fosfor (P) tersedia menurut cara Bray dan Kurtz no. 2

Sampel kering tanah 2 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu

Erlemeyer 50 ml disertai blanko ditambah 20 ml larutan pengekstrak, diaduk selama

1 menit. Cairan disaring dengan kertas saring, sampel lalu ditetesi larutan standar

Gambar

Tabel 1.  Standar Kualitas Pupuk Organik Menurut Internasional, PT. Pusri  dan Pasar Khusus (Persyaratan Opsional Menurut Permintaan
Tabel 3. Populasi mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah
Tabel 4. Rata-rata Fraksi Pasir, Debu dan Liat (%) Akibat Penggunaan Kompos    MOL  dan Pupuk Anorganik
Tabel 6.  Rata-rata Kalium, Natrium, Kalsium, Magnesium Dapat Ditukar,  TEB, KTK dan KB Tanah akibat Penggunaan Kompos MOL dan
+2

Referensi

Dokumen terkait

98 mengalami perubahan maka kinerja karyawan Koperasi Unit Desa Pakis juga akan berubah dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. 2) Hasil t uji lingkungan kerja (X2)

Pidato Sambutan Yaitu, pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas

Optimal power flow merupakan pengembangan dari economic dispatch yang memperhitungkan aliran daya. OPF berfungsi melakukan pembagian pembangkitan pada tiap unit

Pemanfaatan jerami sisa panen padi untuk kompos secara bertahap dapat mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas padi.Dapat pula berupa pupuk organik

Rendahnya pemakaian MKJP di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor internal (umur, pendidikan, status bekerja, jumlah anak, tujuan menggunakan

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana variabel independen yaitu biaya penyusunan (X1), luas wilayah (X2), jumlah tenaga ahli (X3), sumber biaya (X4), jenis bantuan

Abbreviations 1 first person 2 second person abil abilitative abl ablative adv adverbial ben benefactive caus causative circ circumstantial cmp comparative cond conditional cop

[r]