• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori

F.5 Peranan Perempuan Dalam Politik

Berkaitan dalam hal berpolitik terdapat dua aliran yang berbeda mengenai posisi perempuan sebagai pemimpin dalam pandangan Islam. Pertama, aliran yang mengklim bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Kedua,

aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak politik perempuan, sama seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan termasuk menjadi pemimipin negara.

Ada 3 alasan yang sering dikemukakan oleh aliran pertama yaitu:46

1. Tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah rumah. Pandangan ini diperkuat hadis yang menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan empat rumah bagi seorang perempuan: rahim ibunya, rumah orang tuanya yang menjadi tempat tinggalnya sampai dia menikah, rumah suaminya yang tidak boleh dia tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan, dan yang terakhir adalah kuburnya. Dengan demikian, ruang publik adalah ruang yang sejak awal “ditetapkan” sebagai wilayah asing bagi perempuan. Allah Swt berfirman:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”47

46

November 2012, pukul 13.20 Wib.

47

2. Para ulama, seperti Ibnu Abbas, menegaskan bahwa masalah kepemimpinan diambil dari ayat tersebut. Secara khusus masalah ini dirujukkan pada kalimat

al-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa’ (laki-laki adalah pemimpin bagi kaum

perempuan). Berdasarkan ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan. Rasyid Ridlah malah menganalogikan kekuasaan tersebut seperti kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Allah Swt berfirman:

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”48

3. Abu Bakrah yang mengatakan bahwa: La yaflaha qaum wallau amrahum

imra’at (Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka

kepada perempuan).49

Ayat-ayat dan hadis-hadis yang disebutkan itu, bagi aliran pertama merupakan justifikasi bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki dan perempuan harus mengakui kepemimpinan laki-laki. Implikasi dari pemahaman dari itu adalah perempuan tidak memiliki hak-hak politik seperti yang dimiliki oleh laki-laki.

Memang ada satu hadist yang menyebutkan bahwa jangan sekali-kali

perempuan menjadi imam sholat untuk laki-laki. Akan tetapi, sejumlah pakar

melakukan tahrij terhadap hadist tersebut dan memperoleh kesimpulan bahwa status

48

QS. An-Nisa [4]: 34

49

Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang amat popular dalam Kongres Umat Islam Indonesia yang dijadikan dalil pamungkas dalam menangkis pendapat yang memperbolehkan perempuan menjadi presiden.

hadist itu adalah daif karena dalam rentetan perawinya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Adawi yang diduga oleh waqi’ telah melakukan pemalsuan hadist. Itulah sebabnya, mengapa ulama, seperti Abu Tsaur dan al-Thabari, menganggap syah imam perempuan dalam sholat. Keabsahan tersebut didasarkan pada sebuah hadist syahih riwayat Abu Daud tentang Ummu Waraqa yang meminta oleh Nabi Saw menjadi imam di rumahnya dengan muazin laki-laki dewasa.

Kuatnya kultural masyarakat mengenai perempuan, sangat berkaitan dengan wajah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Ruang jalan dan peranan perempuan senantiasa terbatas akibat benturan norma agama. Dan ini paling tidak memunculkan pemahaman dan sikap bahwa perempuan memang tidak penting untuk terjun kedalam aspek yang bertentangan dengan yang ditetapkan oleh agama.

Sedangkan pandangan aliran kedua, melihat bahwa kewajiban berpolitik sebenarnya merupakan sebagian dari dakwah Islam. Islam mewajibkan seluruh kaum Muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk berdakwah mengajak kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Amar maaruf nahi mungkar ini bermaksud menyeru untuk bertakwa kepada Allah Swt dengan menerapkan seluruh hukum syariat-Nya. Allah Swt berfirman :

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”50

Perlu kita ketahui, ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan negara Islam dan hukum-hukum yang diturunkan di Madinah bukan hanya mengatur bagaimana cara beribadah kepada Allah Swt dalam hal sholat, zakat dsb, tetapi juga yang mengatur dalam sistem kehidupan. Pada saat itu, hukum-hukum yang mengatur masyarakat seperti politik luar negeri, uqubat, sistem sosial (pergaulan), sistem ekonomi, pemerintahan dan pendidikan telah diturunkan. Oleh karena itu, agar kaum

50

Muslimin dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar mereka harus memiliki kesadaran berpolitik. Maka, baik laki-laki maupun perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar.

Dalam hal ini, menurut pendapat Alkaf Hussein bahwa Allah telah menetapkan rambu-rambu bagi perempuan dalam beraktivitas politik. Islam telah memberikan batasan dengan jelas dan tuntas mengenai aktivitas politik perempuan. Diantaranya :51

1. Hak dan kewajiban Baiat. Ummu Athiyah berkata: ”Kami berbaiat kepada Rasulullah Saw lalu beliau membacakan kepada kami agara jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata,”Seseorang telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.”Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari).

2. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Perlu dijelaskan, bahwa Majelis Umat adalah suatu badan negara Islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran bagaimana kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi, mengoreksi dan menasehati penguasa apabila cara yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

51

Alkaff, Husein, Kedudukan Wanita dalam pandangan Imam Khomeini, Jakarta: Penerbit PT. Lentera Basritama. 2004. hlm. 34-35.

3. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa. Nasihat tersebut bisa langsung disampaikan kepada penguasa atau melalui majelis umat atau melalui partai.

4. Kewajiban menjadi anggota partai politik. Keberadaan partai politik merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah Swt, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 104 yang artinya: ”Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.52

Kesetaraan (equality) dalam perspektif Islam kondisi yang dialami para wanita di Barat sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh para Muslimah di dunia Islam. Dalam dunia Islam, para perempuan diperlakukan dan dilayani sebagai manusia, yaitu mereka (perempuan) dan lelaki adalah makhluk Allah Swt. Selain itu, dalam dunia umum, perempuan diberi kesempatan dan peluang untuk menimba ilmu dan berpolitik. Hal ini dapat kita lihat pada masa Rasulullah Saw dan Umar bin Al-Khatab Radiallahu Anhu, yang mana Nabi Saw mengajarkan Al-Quran kepada kaum perempuan dan juga menerima baiat dari dua orang perempuan pada masa Baiat Al-Aqabah II. Selain itu, pada masa Umar bin Al-Khattab Radiallahu Anhu ada seorang perempuan yang menegur Umar karena ingin menetapkan jumlah mahar perkawinan.

Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Partai politik ada untuk menjaga agar semua hukum-hukum Allah tetap diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam kehidupannya sepanjang masa. Keberadaannya wajib bagi kaum muslimin, baik di dunia ini diterapkan sistem Islam atau tidak. Jika sistem Islam telah tegak, menjadi bagian dari parpol Islam adalah fardu kifayah, sedangkan jika belum ada, maka hukumnya menjadi wajib bagi seluruh kaum muslimin-termasuk para muslimah untuk menegakkan Syariat Islam bersama sebuah partai.

52

Akan tetapi dari semua kesetaraan yang ada, kesamaan yang paling mendesak yang perlu kita sadari adalah adanya persamaan hak dan kewajiban untuk bertakwa kepada Allah Swt, Allah Swt berfirman :

”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.”53

Allah Swt tidak membedakan kemuliaan seseorang berdasarkan jenis kelaminnya tetapi menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur atau ‘standard’ kemuliaan seseorang. Jadi, inilah persamaan yang semestinya para permpuan perjuangkan. Persamaan untuk menerapkan syariat Islam, untuk menjadi manusia yang bertakwa, serta manusia yang mulia di dunia dan akhirat. Justru, seandainya wujud perbedaan peranan dan cara mengatur urusan perempuan dalam Islam, itu bukanlah suatu masalah karena yang menentukannya adalah Sang Pencipta lelaki dan perempuan yaitu Allah Swt. Jadi, apa pun peranan yang Allah Swt berikan, pasti akan mendapatkan pahala di sisi-Nya.

54

Dokumen terkait