• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU PEREMPUAN ISLAM PEMILIH PADA

PEMILUKADA PUTARAN II KOTA MEDAN 2010

(studi kasus : Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin

di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

Disusun Oleh: EFRIDA YANTI

(080906068)

Dosen Pembimbing : Dra. T.Irmayani,M.Si Dosen Pembaca : Adil Arifin, S.Sos. MA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EFRIDA YANTI (080906068)

PERILAKU PEREMPUAN ISLAM PEMILIH PADA PEMILUKADA PUTARAN II KOTA MEDAN 2010

(Studi kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

Rincian Isi Skripsi : 92 halaman, 41 tabel, 24 buku, 1 bagan, dan 3 dari internet,

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan tentang partisipasi politik perempuan pada

pemilihan kepala daerah Kota Medan tahun 2010 putaran kedua. Metode yang digunakan

adalah diskriptif dengan mengambil lokasi di Kelurahan Perintis Kota Medan. Proses

pengambilan data dilakukan melalui kajian pustaka dan hasil penelitian dan wawancara

mendalam kepada masyarakat terkhusus perempuan Islam dengan melalui teknik purposive

sampling, mengelola dan menganalisis data hasil dengan teknik diskriptif kualitatif.

Dalam penelitian ini digunakan 3 pendekatan yang menjadi acuan dalam menarik

kesimpulan tentang perilaku politik, perempuan Islam di Kelurahan Perintis kebanyakan

adapun tiga pendekatan tersebut yaitu pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis, serta

pendekatan rasional. dari ketiga pendekatan tersebut perilaku politik perempuan islam

cenderung bersifat sosiologis dimana perempuan islam menggunakan hak pilihnya

berdasarkan kedekatan faktor-faktor sosial seperti agama, suku dan ras. Dalam penelitian ini

yang menjadi studi kasus ialah kemenagan pasangan Rahudman-Dzulmi Eldin adapun faktor

tersebut dikarenakan kebanyakan perempuan islam di kelurahan ini memilih pasangan ini

karena berasal dari agama dan suku yang banyak dimiliki oleh perempuan islam yang

merupakan responden utama dalam penelitian ini.

(3)

EFRIDA YANTI (080906068)

BEHAVIOR OF ISLAM’S WOMEN VOTERS in General Election 2010 CITY FIELD ROUND II

(Case study: Victory Rahudman Harahap and Dzulmi Eldin at Pioneer Village, District East Field)

Contents: 92 pages, 41 tables, 24 books, 1 chart, and 3 from websites

ABSTRACT

This research aims to describe the political participation of women in local elections in 2010 Medan second round. The method used is descriptive to take a place at Pioneer Village Medan. The process of data retrieval is done through the study of literature and research results to the community and especially its depth interviews with Muslim women through purposive sampling technique, manage and analyze data from a qualitative descriptive technique.

In this research used three approaches to a reference in drawing conclusions about political behavior, Muslim women in Pioneer Village as for most of the three approaches, namely psychological approaches, sociological approaches and rational approach. of three approaches to women's political behavior tends to be sociological islam islam which women exercise their right to vote based on the proximity of social factors such as religion, ethnicity and race. And in this research, the case study is kemenagan pair Dzulmi Rahudman-Eldin as for these factors because most Muslim women in this village chose this couple because it comes from religion and tribe are owned by many Muslim women who are the main respondents in this study.

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas syukur kepada Allah SWT, penulis diberikan berupa kesempatan dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur). Skripsi ini menjelaskan tentan perilaku politik masyarakat di Kelurahan Perintis terkhusus perilaku perempuan Islam, adapun alasan peneliti menggunakan perempuan Islam dikarenakan pada putaran I pasangan yang dipilih peneliti sebagai objek penelitiannya tidak mendapatkan suara yang banyak di kelurahan tersebut, akan tetapi pada putaran kedua pasangan yang menjadi objek penelitian peneliti yaitu pasangan Rahudman-Dzulmi Eldin memperoleh suara sebanyak 64 %, dan oleh karena itu peneliti ingin mendalami sebenarnya apa faktor-faktor kemenangan pasangan Rahudman-Dzulmi Eldin, terkhusus pilihan perempuan Islam di kelurahan tersebut.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana sosial Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang dapat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan Skripsi ini lebih bermanfaat bagi semua pihak.

(5)

untuk membimbing penulis dalam proses penulisan serta penyusunan skripsi ini. Dan seluruh Staff pengajar dan pegawai FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Politik yang telah memberikan dan mengajarkan ilmunya kepada penulis selama proses pendidikan di FISIP USU.

Dalam menyelesaikan skripsi ini saya juga tidak lepas dari dukungan orang-orang yang sangat penting bagi diri peneliti dan dalam penelitian ini saya ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada orang yang paling saya hormati dan paling saya sayangi kedua orang tua saya, Ayahanda Palit Nasution dan Ibunda Rosmawati Lubis. Terima kasih untuk segala-galanya, kasih sayang, perhatian, semangat dan do’a yang selalu kalian berikan kepada saya selama ini.Untuk saudara-saudara saya Ahmad Ferry Nst, Tri Alvi Syahrin Nst, Abdul Aziz Nst. Dan teman-teman yang selalu mendukung saya dari mulai masuk perkuliahan hingga sekarang ini, Lisa Eliza, Nur Adha Nina Siregar, Reza Bahri, Nugraha.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas semua bantuan dan dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita.

Medan, Januari 2013

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul………. i

Abstrak………... ii

Abstract……… iii

Kata Pengantar………...………... vi

Daftar Isi………... v

Daftar Tabel………... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………... 1

B. Perumusan Masalah……….……… 5

C. Pembatasan masalah……….……….….. 5

D. Tujuan Penelitian……….……… 6

E. Manfaat Penelitian……….………... 6

F. Kerangka Teori……….………... 6

F.1 Pendekatan Perilaku………. 6

F.1.1 Perilaku Politik…..……….………... 10

F.2 Perilaku Pemilih……….……….. 14

1. Pendekatan Sosiologis………... 15

2. Pendekatan Psikologis………..……..……….. 16

3. Pendekatan Rasional……….…………..……... 17

F.2.1 Konfigurasi Pemilih………..………..……….. 18

(7)

F.3 Pengertian Perempuan……..…..………..…………..…….. 25

F.4 Perempuan Dalam Pandangan Islam…….…….………. 26

F.5 Peranan Perempuan Dalam Politik………... 29

F.6 Defenisi Konsep………….………... 34

F.7 Defenisi Operasional……… 35

G. Metodologi Penelitian……….……..…………...…… 36

G.1 Jenis Penelitian……….…………..….…… 36

G.2 Lokasi Penelitian………..……….……….……….. 36

G.3 Populasi Penelitian……….……….………. 36

G.3.1 Populasi………..……..……..………….. 36

G.3.2 Sampel………….……….……….…..…………. 37

G.4 Teknik Penarikan Sampling……….………...……....………. 38

G.5 Data dan Teknik Pengumpulan Data……..………..………... 38

G.6 Teknik Analisa Data………….………....……….. 39

H. Sistematika Penulisan……….………...…….……... 39

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum……….………... 41

A.1 Letak Secara Geografis……… 40

A.2 Demografi Penduduk……….. 44

A.3 Sarana dan Prasarana yang Terdapat di Kelurahan Perintis……… 48

A.4 Struktur Pemerintahan Kelurahan Perintis………..… 50

B. Gambaran Umum Penyelenggaraan Pemilukada Putaran II Kota Medan Tahun 2010 di Kelurahan Perintis………..…. 51

B.1 Daftar Pemilih Tetap……… 51

B.2 Jumlah Pemilih yang menggunakan Hak Pilihnya………..…… 52

(8)

B.4 Biografi Calon Walikota dan Wakil Walikota Putaran II

Pemilukada Kota Medan Tahun 2010……… 57 B.5 Visi dan Misi Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota……..….. 63 B.5.1 Visi : Rahudman Harahap - Dzulmi Eldin………...……. 63 B.5.2 Misi………... 64 B.6 Visi dan Misi Sofyan Tan – Nelly Armayanti………...….. 64 B.6.1 Visi : Menjadikan Kota Medan yang Tertata, Sejahtera dan Modern 64 B.6.2 Misi……… 64

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

A. Identitas Responden……… 66 B. Pemilihan Kepala Daerah……… 70 C. Perilaku Politik Pemilih………... 77 D. Gambaran Umum Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Putaran II

di Kelurahan Perintis……… 84 E. Interpretasi Data………... 85

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 87 B. Saran……… 88

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Bagan 1 : Faktor Determinan Pemilih……….23

Tabel 2.1 : Luas Wilayah Kecamatan di Kota Medan...………. 41

Tabel 2.2 : Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama……….44

Tabel 2.3 : Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin………..45

Tabel 2.4 : Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur………...45

Tabel 2.5 : Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan………..46

Tabel 2.6 : Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan……….47

Tabel 2.7 : Distribusi Penduduk Berdasarkan Etnis/Suku………...47

Tabel 2.8 : Distribusi Penduduk Berdasarkan Lingkungan……….48

Tabel 2.9 : Disribusi Tempat Ibadah………...49

Tabel 2.10 : Disribusi Sarana Kesehatan……….49

Tabel 2.11 : Disribusi Sarana Pendidikan………49

Tabel 2.12 : Daftar Pemilih Tetap (DPT) Berdasarkan Jenis Kelamin………...51

Tabel 2.13 : Daftar Perempuan Islam dan Perempuan Non-Islam………..52

Tabel 2.14 : Pemilih yang menggunakan hak pilih dan yang tidak Menggunakan hak pilih………...52

(10)

Tabel 2.16 : Daftar Nama Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota

Medan Pemilukada Putaran II Tahun 2010………...…57

Tabel 2.17 : Jabatan PNS yang pernah di jalani oleh Rahudman Harahap………….58

Tabel 2.18 : Jabatan PNS yang pernah di jalani oleh Dzulmi Eldin...59

Tabel 2.19 : Pekerjaan dan Jabatan yang pernah di jalani oleh Sofyan Tan…………60

Tabel 2.20 : Jabatan yang pernah di jalani oleh Nelly Armayanti...62

Tabel 3.1 : Data Responden Berdasarkan Umur……….………67

Tabel 3.2 : Data Responden Berdasarkan Etnis/Suku……….………67

Tabel 3.3 : Data Responden Berdasarkan Pendapatan Setiap Bulan….………..68

Tabel 3.4 : Data Responden Berdasarkan Pekerjaan………..……….69

Tabel 3.5 : Data Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir…….……….70

Tabel 3.6 : Data Responden Apakah Terdaftar Sebagai Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2010.……….71

Tabel 3.7 : Data Responden Apakah Menggunakan Hak Pilih pada Putaran I dan Putaran II dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010……….………..72

Tabel 3.8 : Data Responden Apakah Mengenal Pasangan Calon Pendukung Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010………..72

Tabel 3.9 : Data Responden tentang dukungan terhadap Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010……….73

Tabel 3.10 : Data Responden mengetahui Informasi mengenai Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010….………. 74

Tabel 3.11 : Data Responden Mengenai Sumber Informasi Pelaksanaan Pemilukada calon Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010.……….74

Tabel 3.12 : Data Responden untuk Menentukan Pilihan dalam Pemilukada Kota Medan 2010………75

(11)

Tabel 3.14 : Data Responden tentang Pihak Keluarga(seperti bapak, ibu, dan saudara kandung) memberikan pengaruh terhadap hal ikut serta dalam Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota

Kota Medan 2010...77 Tabel 3.15 : Data Responden Apakah Agama, Ras, dan Suku dari pasangan

calon Walikota dan Wakil Walikota mempengaruhi

Untuk Menggunakan Hak Pilih………..78 Tabel 3.16 : Data Responden tentang Apakah Jenis Kelamin dari para Pasangan

calon Walikota dan Wakil Walikota mempengaruhi

responden untuk memilih………...79 Tabel 3.17 : Data Responden Apakah Memiliki Hubungan Kekerabatan

Dengan Salah Satu calon Walikota dan Wakil Walikota………...……79 Tabel 3.18 : Data Responden Mengenai visi dan Misi Calon Walikota

dan Wakil Walikota Medan 2010………...……80 Tabel 3.19 : Data Responden untuk memilih Pasangan Calon Walikota

dan Wakil Walikota Medan 2010 pada Pemilukada Putaran ke-II

Kota Medan………..81 Tabel 3.20 : Data tentang alasan responden memberikan suara pada

pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010…………...…...82 Tabel 3.21 : Rekapitulasi Perolehan Suara Pasangan Calon Walikota dan

(12)

EFRIDA YANTI (080906068)

PERILAKU PEREMPUAN ISLAM PEMILIH PADA PEMILUKADA PUTARAN II KOTA MEDAN 2010

(Studi kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

Rincian Isi Skripsi : 92 halaman, 41 tabel, 24 buku, 1 bagan, dan 3 dari internet,

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan tentang partisipasi politik perempuan pada

pemilihan kepala daerah Kota Medan tahun 2010 putaran kedua. Metode yang digunakan

adalah diskriptif dengan mengambil lokasi di Kelurahan Perintis Kota Medan. Proses

pengambilan data dilakukan melalui kajian pustaka dan hasil penelitian dan wawancara

mendalam kepada masyarakat terkhusus perempuan Islam dengan melalui teknik purposive

sampling, mengelola dan menganalisis data hasil dengan teknik diskriptif kualitatif.

Dalam penelitian ini digunakan 3 pendekatan yang menjadi acuan dalam menarik

kesimpulan tentang perilaku politik, perempuan Islam di Kelurahan Perintis kebanyakan

adapun tiga pendekatan tersebut yaitu pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis, serta

pendekatan rasional. dari ketiga pendekatan tersebut perilaku politik perempuan islam

cenderung bersifat sosiologis dimana perempuan islam menggunakan hak pilihnya

berdasarkan kedekatan faktor-faktor sosial seperti agama, suku dan ras. Dalam penelitian ini

yang menjadi studi kasus ialah kemenagan pasangan Rahudman-Dzulmi Eldin adapun faktor

tersebut dikarenakan kebanyakan perempuan islam di kelurahan ini memilih pasangan ini

karena berasal dari agama dan suku yang banyak dimiliki oleh perempuan islam yang

merupakan responden utama dalam penelitian ini.

(13)

EFRIDA YANTI (080906068)

BEHAVIOR OF ISLAM’S WOMEN VOTERS in General Election 2010 CITY FIELD ROUND II

(Case study: Victory Rahudman Harahap and Dzulmi Eldin at Pioneer Village, District East Field)

Contents: 92 pages, 41 tables, 24 books, 1 chart, and 3 from websites

ABSTRACT

This research aims to describe the political participation of women in local elections in 2010 Medan second round. The method used is descriptive to take a place at Pioneer Village Medan. The process of data retrieval is done through the study of literature and research results to the community and especially its depth interviews with Muslim women through purposive sampling technique, manage and analyze data from a qualitative descriptive technique.

In this research used three approaches to a reference in drawing conclusions about political behavior, Muslim women in Pioneer Village as for most of the three approaches, namely psychological approaches, sociological approaches and rational approach. of three approaches to women's political behavior tends to be sociological islam islam which women exercise their right to vote based on the proximity of social factors such as religion, ethnicity and race. And in this research, the case study is kemenagan pair Dzulmi Rahudman-Eldin as for these factors because most Muslim women in this village chose this couple because it comes from religion and tribe are owned by many Muslim women who are the main respondents in this study.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan keputusan politik. Dimana terdapat interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dikatakan perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.1

Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi disisi lain dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik. Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut pendekatan perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.2

Dalam perilaku politik ketika ruang bertarung dibuka, maka bagaimana cara menarik perhatian dan mendapatkan suara pemilih menjadi suatu hal yang signifikan. Karenanya mengenal perilaku dan sosio kultur pemilih adalah hal yang pasti dan harus dilakukan jika ingin memenangkan pertarungan. Perilaku politik dirumuskan

1

Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 2.

2

(15)

sebagai kegiatan yang berkenan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan kekuasaan politik. Keikutsertaan seseorang dalam hal ini sebagai warga negara biasa maupun sebagai pengambil keputusan.3

Dilihat dari kegiatannya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif. Partisipasi politik aktif dapat dilakukan melalui pengajuan alternatif mengenai kebijakan umum menyangkut kritik, membayar pajak, dan sebagainya. Partisipasi politik pasif ditunjukkan melalui kegiatan yang mencerminkan ketaatan dan penerimaan atas hal-hal yang telah menjadi keputusan pemerintah. Partisipasi aktif lebih berorientasi pada segi masukan dan keluaran dari suatu sistem politik. Sedangkan, orientasi partisipasi pasif hanya pada aspek keluaran dari sistem politik. Di samping itu, terdapat sejumlah warga negara tidak menunjukkan partisipasinya baik aktif maupun pasif karena beranggapan bahwa sistem politik yang ada tidak memenuhi harapan mereka. Kelompok itu biasa disebut sebagai golongan putih (golput).

Dalam struktur kehidupan bernegara, perempuan sebagai warga negara biasa dalam hal ini ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Partisipasi perempuan sangatlah penting karena teori demokrasi menyebutkan bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa masyarakat tersebut sangat mengetahui apa yang mereka kehendaki.4

Berdasarkan fakta keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum Secara nasional perempuan sebenarnya adalah bagian masyarakat yang lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki, namun perhatian dan pembicaraan tentang masalah-masalah perempuan masih sedikit atau terbatas. Persoalan politik dipahami sangat sempit yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan kekuasaan publik, terutama kekuasaan di tingkat elit dan cenderung mengesampingkan persoalan perempuan.

3

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Saran, 1992, hlm. 131.

4

(16)

pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai.5

Berbeda dengan periode Orde Lama (Era Soekarno), pada masa Orde Baru (era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonan/pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya.

Dalam konteks ketidakadilan gender, maka secara terstruktur, perempuan akan selalu menjadi korban. Ideologi patriarkhi sangat melekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kata patriarkhi secara haraffiah berarti aturan (rule) bapak atau “patriarkh” dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan jenis tertentu rumah tangga besar (large household). Patriarkhi yang meliputi perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga yang kesemuanya berada di bawah aturan laki-laki yang dominan ini. Patriarkhi adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai kelompok dominan yang mengendalikan kaum perempuan.6

5

Pada akhirnya, sistem yang cenderung patriarkhi menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, dan juga mempengaruhi pandangan negara dan masyarakat bahwa arena politik tidak sesuai dengan stereotipe

perempuan yang halus, lemah lembut, penyabar, dan jauh dari kompetisi.

tanggal 17 Juni 2012, pukul. 17:30 Wib.

6

(17)

Dalam pandangan Islam, perempuan ditempatkan sejajar dengan laki-laki. Dimana perempuan dan laki-laki memiliki nilai manusiawi dan nilai amal yang sama dengan hak dan kewajiban yang seimbang sesuai fitrah dan kodratnya masing-masing. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keduanya bagai sayap kanan dan sayap kiri yang bisa terbang bersama sesuai dengan fungsi dan posisi masing-masing dengan dibatasi oleh hukum dan ketentuan syariat Islam.7

“Wahai manusia, Sungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang.”

Perempuan Islam harus memiliki kesadaran dan pengertian politik agar aktif terlibat dalam kehidupan politik, salah satu caranya adalah dengan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden. Allah Swt berfirman:

8

Dalam skripsi ini saya lebih memfokuskan penelitian terhadap perilaku pemilih perempuan terkhusus perempuan Islam karena menurut saya perempuan Islam memiliki keunikan tersendiri dimana ajaran agama Islam pada dasarnya menempatkan posisi mereka dengan sangat baik yaitu mereka memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Namun disisi lain, sistem sosial yang cenderung patriarkhi mengikis kesempatan perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik. Dimana seringkali pilihan perempuan dipengaruhi oleh suami maupun pihak keluarga.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur Kota Medan karena sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan. Secara umum daftar pemilih yang terdaftar di Kecamatan Medan Timur Kota Medan berjumlah 140.633 orang. Terdiri dari 70.512 laki-laki dan 70.121 perempuan.9

7

St. Rogayah Buchorie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan dan Peranannya, Bandung: Baitul Hikmah, 2006, hlm. 4.

8

QS. Al-Hujarat [49]: 13.

9

(18)

Kecamatan ini memiliki 11 Kelurahan, dimana salah satu kelurahan yang saya teliti adalah Kelurahan Perintis dengan jumlah penduduk di kelurahan tersebut 5.768 orang yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.672 orang dan perempuan berjumlah 3.096 orang. Kelurahan Perintis memiliki 9 tempat pemungutan suara (TPS). Karena penelitian ini berfokus pada pemilih perempuan Islam maka berdasarkan data yang peneliti peroleh di Kelurahan Perintis terdapat 1.557 perempuan Islam yang terdaftar dalam DPT Kota Medan. Dan angka inilah yang akan digunakan peneliti untuk mencari sampel dalam melengkapi penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perilaku perempuan islam pemilih di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur dalam menetapkan pilihannya terhadap pasangan calon Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin pada Pemilukada Kota Medan 2010 ?”

C. Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah tehadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang diinginkan, dan agar penelitian ini mencapai tujuan dan tidak mempengaruhi kefokusan peneliti dalam melakukan penelitian dilapangan. Pada penelitian ini penulis hanya membahas masalah :

1. Bagaimana fenomena perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua tahun 2010 ?

(19)

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua 2010.

2. Untuk mengetahui serta menganalisis apakah faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perempuan Islam dalam memberikan suaranya pada calon Walikota Kota Medan pada Pemilihan Kepala Daerah putaran kedua di Kelurahan Perintis Kota Medan 2010.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi pribadi, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan berpikir, menulis, dan menganalisa fenomena politik yang terjadi di masyarakat.

2. Bagi lembaga, penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah di Departemen Ilmu Politik, khususnya mengenai perilaku pemilih.

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada pemilukada.

F. Kerangka Teori F.1. Pendekatan Perilaku

(20)

menjawab keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik dalam menerangkan fenomena ilmu politik.10

Secara teori pendekatan perilaku ini dipelopori oleh begitu banyak para ahli politik dari negara Barat seperti David Easton, Heinz Eulou, Gabriel Almond, Robert Dahl, dan David Apter. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan teori-teori dari 3 (tiga) ahli seperti David Easteon, Heinz Eulou dan Gabriel Almond karena ketiga ahli ini dirasa peneliti sudah cukup untuk memenuhi argumentasi dalam penelitiannya.

Dalam sejarahnya David Easton merupakan pemikir politik yang tidak terpisahkan dari teorinya tentang pendekatan perilaku. Dapat dikatakan bahwa pemikir seperti David Easton mengemukakan bahwa pendekatan perilaku adalah dalam sistem politik terdapat input (masukkan) yang berasal dari permintaan

(demand) dan dorongan (support) yang dipengaruhi oleh lingkungan (environment)

sehingga sistem politik tersebut menghasilkan sebuah keputusan (decision) dan aksi-aksi (actions) tetapi tetap ada pengaruh lingkungan didalamnya, sehingga secara nyata dikatakan bahwa dalam pendeketan perilaku sistem politi terbentuk tanpa harus ada lembaga formal didalamnya tetapi yang terpenting ialah bagaimana membangun dan membuata keputusan yang dapat menjadi suatu titik tolak dalam mempelajari pola perilaku.11

Menurut Heinz Eulou pendekatan Perilaku Politik merupakan ilmu modern yang sesungguhnya bukan hanya memenuhi kebutuhan dengan tindakan manusia tetapi juga dengan proses-prosesnya seperti proses kognitif, efektif dan evealuasi. Perilaku dalam bidang politik merujuk bukan hanya untuk aksi politik langsung atau tidak langsung yang hanya diamati, tetapi juga kepada mereka komponen persepsi, motivasi dan sikap perilaku yang membuat untuk identifikasi politik manusia, permintaan dan sistem nya manfaat politik dan manfaat sistem politiknya serta nilai dan tujuan.

10

Miriam, Budiardjo, Jakarta. Loc. Cit hlm. 74.

11

(21)

Heinz Eulou juga mengemukakam empat karakteristik pendekatan perilaku seperti yang diberikan di bawah ini:

1. Berkonsentrasi pada analisis teoritis dan empiris dari perilaku orang dan kelompok sosial tentang asal-usul serta, fungsi institusi pemerintah dan politik seperti tradisional

2. Mengintegrasikan teori dan penelitian dalam kaitannya dengan sosiologi-psikologi sosial dan antropologi budaya

3. Menekankan ketergantungan dari teori dan penelitian. Pertanyaan teoritis harus dipelajari dari sudut pandang pengalaman dan penelitian empiris harus diterapkan pada pertanyaan teoritis.

4. Mencoba untuk mengembangkan metodologi penelitian empiris dan diberlakukannya metodologi ini untuk masalah politik yang muncul dari perilaku individu.12

Begitupun menurut Gabriel Almond bahwa secara teori pendekatan perilaku merupakan pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan engara sebagai suatu sisem politik yang menjadi subsistem dari suatu sistem sosial dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu. Sistem mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gabriel Almond mengungkapkan bahwa seuma sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga), dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Funtsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungs lainnya, dan Gabriel mengatakan bahwa pandangan ini disebut sebagai structural-functional.13

Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak

12

R.C.Agarwal, Political Theory (Principles of Political Science), 2002, Rajendar Ravindra Printers (Pvt) : India. hlm. 37.

13

(22)

banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik.

Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, giat tidaknya memprakarsai rancangan undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.

Para ahli pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan menusia, melainkan juga orientasi terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Berdasarkan anggapan bahwa perilaku politik hanya salah satu dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini cenderung untuk bersifat interdisipliner. Ia tidak saja mempelajari faktor pribadi, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti sosiologis, psikologis, rasional.

(23)

politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu.14

F.1.1. Perilaku Politik

Menurut Jack C. Plato dkk: 15

“Perilaku politik adalah tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kampanye dan demokrasi)”.

Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti mengemukakan bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya16

Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu Sedangkan sikap politik yang dikemukan oleh Fadillah Putra adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses

.

14

Miriam Budirardjo, Op.Cit, hlm. 74-76.

15

Jack C. Plato dkk, dalam Moh. Ridwan,1997 (skripsi Maria Bellina Silitonga,2011,USU), Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali Ke Khittah1992,

16

(24)

dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis.17

Secara bebas perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkritnya telah saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Sebagaimana dijelaskan bahwa lingkup budaya politik meliputi pola orientasi individu yang diperoleh dari pengetahuan yang luas dan sempitnya orientasinya dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, keterlekatan maupun penolakan, serta orientasinya yang bersifat menilai terhadap obyek dan peristiwa politik.

Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak- stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.

18

Jika dikaitkan dengan Pemilu, warga negara biasa memiliki andil dalam proses pembuatan keputusan yang berpengaruh terhadap masa depan negaranya dan warga negara lainnya. Perilaku politik dalam pemilu selanjutnya disebut perilaku memilih. Karena warga negara biasa memiliki hak untuk memilih dan hak untuk tidak menjatuhkan pilihan politiknya.

Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi kepribadian politik.19 Warga negara biasa, aktifis politik elit politik, dan aktor politik itu sendiri merupakan model perilaku dengan unit analisis individu aktor politik. Agregasi adalah individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan dan lembaga-lembaga pemerintahan dan tipologi kepribadian politik adalah tipe-tipe kepribadian pemimpin politik yang bersifat otoriter dan demokrasi.

17

18

Arifin Rahman , Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hlm. 50.

19

(25)

Terdapat empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik yakni :

Pertama, Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa.

Kedua, Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan

membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan. Dari sini aktor mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat, termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara dan pengalaman-pengalaman hidup pada umumnya.

Ketiga, Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Dalam hal ini terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan pertahanan diri. Basis pertama merupakan sikap yang menjadi fungsi kepentingan. Artinya, penilaian seseorang terhadap suatu obyek ditentukan oleh minat dan kebutuhan atas obyek tertentu. Basis kedua merupakan sikap yang menjadi fungsi penyesuaian diri. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh keinginan untuk sesuai dan selaras dengan obyek tersebut. Basis yang ketiga merupakan sikap yang menjadi fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan diri. Artinya, penilaian seseorang terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang berwujud mekanisme pertahanan diri dan eksternalisasi diri, seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan identifikasi dengan aggressor.

Keempat, Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu

(26)

terhadap objek kegiatan itu, dan situasi ketika kegiatan itu hendak dilakukan. Hubungan kedua aktor ini terhadap perilaku akan bersifat zero sum, apabila faktor sikap yang menonjol maka faktor situasi kurang mengedepan, sebaliknya sikap kurang menonjol.20

Berbicara tentang perilaku politik, satu hal yang perlu dibahas adalah apa yang disebut dengan sikap politik. Walaupun antara sikap dan perilaku terdapat kaitan yang sangat erat, keduanya perlu dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.21

Berangkat dari pemahaman sifat seperti yang telah diuraikan diatas, sikap politik dapat dinyatakan sebagai kesiapan untuk beraksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik. Dengan munculnya sikap tertentu, akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah misalnya menaikkan pajak pendapatan, merupakan suatu sikap politik. Dengan adanya ketidaksetujuan tersebut, perilaku yang diperkirakan akan muncul adalah peninjauan pernyataan keberatan, protes, atau unjuk rasa. Walaupun dalam kenyataan, bisa saja perilaku semacam itu muncul, akan tetapi sekurang-kurangnya ada kecenderungan menuju kearah tersebut dan merupakan suatu alasan yang tepat dalam faktor dalam menggunakan hak pilih dalam suatu pemilihan faktor-faktor diatas akan menjadi alasan yang tepat jika seseorang akan melakukan suatu perbuatan yang memang harus diletarbelakangi oleh sesuatu yang membuat seseorang dalam berprilaku.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecenderungan. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud.

Bentuk keikutsertaan merupakan proses yang melibatkan seluruh warga negara baik laki-laki maupun perempuan termasuk melibatkan pihak-pihak dari

20

Arifin Rahman, Op. Cit, hlm. 124-125.

21

(27)

kelompok sosial manapun. Dalam kelompok-kelompok sosial tersebut terdapat seperangkat norma dan nilai yang berlaku dan tersosialisasikan melalui proses yang panjang. Hal inilah yang nantinya berpengaruh terhadap preferansi dan perilaku politik.

F.2 Perilaku Pemilih

Dalam mengetahui tingkah laku pemilih harus dilakukan beberapa pendekatan terkait dengan perilaku politik seseorang dalam menggunakan hak pilihnya karena pendekatan tersebut akan menentukan bagaimana seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan

Mazhab Michigan. Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam

membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Dalam kegiatannya Affan Gafar yang merupakan penganut pendekatan ini mengungkapkan bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan22

Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam pemugutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih (Voting Behavior). Menurut

Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses dimana seorang anggota

masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-anggota kelompok itu dalam

22

(28)

pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan.23

Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.

Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka ikut berpartisipasi politik.

24

Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan pendekatan Psikologis.25 Selain itu terdapat pendekatan rational choice yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang dilihat oleh individu tersebut.26

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Colombia. Cikal bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerika Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa. Menurut mazhab ini, pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan

23

Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R.A Salignan dan Alvin Johnson, Encyclopedia of Social Science. Vol. 15. New York The Macmillan Co 1934, hlm. 287.

24

Jack C. plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Jakarta. C.V. Rajawali Press, 1985, hlm. 280.

25

Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992, hlm. 4-9.

26

(29)

dalam kegiatan formal dan informal lainnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pilihan-pilihan politik.27

Interaksi yang terjadi di dalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan sebagainya akan menjadi pengetahuan yang akan membangun preferensi dan perilaku memilih seseorang sehingga kemudian akan mempengaruhi pilihan politiknya.

Bonne dan Ranney membagi tipe utama pengelompokkan sosial seperti berikut:28

1. Kelompok Kategorial yang terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter khas, tapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Pengelompokan kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, dan perbedaan pendidikan.

2. Kelompok Sekunder yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang sama yang menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya dan bahkan sebagian membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok skunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok sekunder dapat diklasifikasikan seperti : pekerjaan, status sosial, ekonomi, dan kelas sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama, dan daerah asal.

3. Kelompok Primer yang terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Yang termasuk kelompok primer adalah pasangan suami-istri, orang tua dan anak-anak, dan kelompok bermain.

2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini juga disebut sebagai mazhab Michigan dan pelopor utama mazhab ini adalah August Cambell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis.29

27

Adman Nursal, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2004, hlm. 55.

Pendekatan sosiologis dianggap

28

Ibid, hlm. 56.

29

(30)

sangat sulit diukur, tidak jelasnya indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya merupakan sesuatu hal yang sangat sulit diukur. Disamping itu secara materi diungkapkan bahwa variabel-variabel sosiologis seperti kelompok primer dan sekunder memberikan pengaruh pada perilaku pemilih dan pilihan politik. Tidaklah variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih dan pilihan politik jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu pada pendekatan ini, sosialisasilah yang menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang bukan karakter sosiologis.30

Dalam pendekatan ini, sikaplah yang paling menentukan dan hal itu berawal dari informasi-informasi yang diterima seseorang. Menurut Asfar, sikap tidaklah terjadi secara begitu saja melainkan melalui proses yang panjang, yang dimulai dari kanak-kanak saat seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orangtua atau kerabat dekat.31

Seperti yang telah diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa proses sosialisasi yang panjang akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan yang kuat dengan kelompok sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal ini menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya kelak. Pemilih perempuan yang berada dalam suatu kelompok sosial tertentu akan menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam kelompok sosial tersebut. Perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan kebiasaan yang secara psikologi sangat mempengaruhi perempuan.

4. Pendekatan Rasional

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan

30

Ibid, hlm. 141.

31

(31)

yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meski demikian, katertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional.32

Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup.

F.2.1. Konfigurasi Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih.33

1. Pemilih Rasional

Pemilih rasional adalah pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau flatform

partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. (2) kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra

(image) yang berkembang di masyarakat.

Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang penting bagi

32

Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan Ham. Volume 4 No 1. Jakarta 2004, hlm. 38-39.

33

(32)

pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun calon yang diusungnya.

2. Pemilih Kritis

Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu: Pertama, Jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba untuk memahami nilai-nilai yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.

3. Pemilih Tradisional

(33)

4. Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai politik atau seorang kontestan. Pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang memenangkan pemilu, hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat, maupun negara.

Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konsituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan dimana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.34

Selain penjelasan diatas Firmanzah juga membagi 3 kelompok yang dianggap sebagai faktor-faktor determinan pemilih yang menggunakan hak pilih dalam menentukan pasangan calon yaitu :

1. Kondisi awal yang meliputi : keadaan sosial budaya pemilih, nilai tradisional pemilih, level pendidikan, serta ekonomi pemilih. . Seperti pada awal yang merupakan tolak ukur pemilih menggunakan hak pilihnya yaitu dimulai dari kondisi awal, dalam hal ini yang akan berkaitan dengan kondisi sosial budaya yaitu bagaimana pemilih tersebut dilihat dari

34

(34)

kondisi sekitar lingkungannya seperti tingkat pendidikan, kondisi lingkungan sekitar, dan nilai-nilai dalam budaya pemilih dalam menjatuhkan pilihannya terhadap kandidat yang mencalonkan ataupun yang dicalonkan. Ekonomi juga dilihat sebagai kondisi awal pemilih dalam menentukan pilihannya karena faktor ekonomi juga merupakan salah satu alasan apa yang melaterbelakangi seorang pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon tersebut. Dalam terjun kelapangan peneliti harus melihat beberapa kondisi awal yang terkait dengan kuisioner yang akan dibagikan.

2. Massa yang meliputi : data, informasi dan berita dari media masa, ulasan ahli, permasalahan kini, serta perkembangan media dan trend situasi. Setelah pada kondisi awal lalu peneliti menggunakan indikator media massa dalam mengumpulkan data untuk dimasukkan kedalam kuisioner, tidak dapat ditepiskan bahwa media massa juga mengambil alih dalam memobilisasi suara pemilih, yang meliputi data, ataupun informasi yang diperoleh pemilih seputar pemilihan kepala daerah dilingkungannya, begitupun media juga terlibat dalam mobilisasi pemilih karena media juga mengulas pendapat para ahli dalam mengemukakan pendapatnya terkait dengan kondisi politik saat ini, bukan hanya itu saja media massa juga merupakan indikator dalam melihat situasi dan permasalahan yang ada di masyarakat yang di angkat kekondisi publik sehingga masyarakat juga dapat dipengaruhi oleh pemberitaan oleh media massa baik media cetak, elektronik ataupun media sosial lainnya.

3. Serta bagian terakhir yaitu partai politik/kontestan yang meliputi

(35)

mengusung calon juga tidak dapat terpisahkan dalam menentukan pilihan pemilih, hal tersebut terlihat dari kondisi kontestan dalam mencalonkan diri yaitu penampilannya, trek record (reputasi serta pengalamannya) dibidang politik, bagaimana proses marketing politik dalam hal ini untuk dapat memperoleh suara dan mobilisasi diperlukan merketing politik, yaitu manajemen untuk dapat memperoleh suara dari pemilih sebanyak-banyaknya serta program kerja yang dapat diterima oleh semua masyarakat tidak yang berlebihan dan yang dapat terjadi secara nyata tanpa harus ada yang berlebihan dalam penyusunan program kerja. Hal tersebut dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya terlihat dari iklan, baliho, ataupun spanduk yang dipasang dimana saja sehingga masyarakat lebih mengenal calon yang ingin dipilih dalam pemilihan kepala daerah.

Ketika pemilih menilai partai atau seorang kontestan dari kaca mata policy

problem-solving maka yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para

kontestan mampu menawarkan program kerja atau solusi suatu permasalahan yang ada. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ideologi suatu partai atau seorang kontestan akan lebih menekankan pada aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, maka pemilih akan cenderung memberikan suaranya ke partai dan kontestan tersebut.

Penjelasan bagian faktor-faktor determinan tersebut tergambar dalam bagan dibawah ini :35

35

(36)

Bagan 1

1. Data, informasi dan berita media masa

F.2.2. Pola Pengelompokan Pemilih

Meskipun tampak relatif, pola pengelompokkan pemilih mencerminkan kecenderungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokkan atau segmentasi itu dapat didasarkan pada : 36

36

Agung Wibawanto,dkk. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta : Pembaruan 2005, hlm. 24-26.

Pemilih

Ideologi Policy-problem-solving

(37)

1. Lingkup agama (keluarga)

Diantara beberapa jenis pengelompokan sosial lainnya, lingkup agama merupakan salah satu faktor pembentukan perilaku memilih. Setiap orang yang mengaku beragama akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok agamanya dan pilihan politiknya biasanya disejalankan dengan agama yang dianutnya. Misalnya pemilih yang beragama Islam akan memiliki kecenderungan memilih kontestan beragama Islam juga.

2. Lingkup gender

Lingkup gender mengidentifikasikan bahwa perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki turut mempengaruhi perbedaan perilaku politik yang dilakukan.

3. Lingkup kelas sosial

Individu yang berasal dari kelas sosial yang berbeda biasanya memiliki perilaku yang berbeda, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan pendidikan.

4. Lingkup geografi

Lingkup geografi berkaitan dengan pengelompokan pemilih berdasarkan aspek geografi atau lingkungan.

5. Lingkup usia

(38)

6. Lingkup demografi

Lingkup demografi mengelompokkan masyarakat terkait dinamika kependudukan meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk.

7. Lingkup psikografis

Lingkup psikografis dapat diartikan sebagai segmentasi pemilih berdasarkan gaya hidup yaitu bagaimana pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.

8. Lingkup perilaku

Lingkup perilaku adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri sebagai respon terhadap sesuatu yang terjadi. Perilaku seseorang dapat mempengaruhi perilaku individu lainnya.

F.3. Pengertian Perempuan

Para femenisme berpendapat bahwa ‘Wanita’ dalam kosakata jawa berarti “Wani ditoto=berani ditata (oleh laki-laki). Sedangkan berkaitan dengan istilah perempuan, dalam prasasti Gundasulli ditemukan bahwa Ia berasal dari serapan kata ‘Parpuanta’ yang artinta ‘dipertuan atau dihormati’ (empu = gelar kehormatan yang berarti tuan). Oleh karena itu, kaum feminis tidak mau menggunakan istilah wanita, tetapi lebih memilih istilah perempuan. Mereka memilih persepsi bahwa kata wanita mengandung makna yang bias patriarhki. Mereka juga berpendapat bahwa pola hidup perempuan lebih sempurna dari pada laki-laki, karena menurut pandang mereka: “perempuan = laki-laki + kemampuan melahirkan dan menyusui”, artinya: perempuan sebenarnya sama dengan laki-laki, tetapi perempuan diberikan potensi untuk mengandung, dan menyusui anak, potensi ini tidak dimiliki oleh laki-laki.37

37

(39)

Perempuan adalah manusia, bahkan manusia yang agung. Ia adalah pendidik masyarakat, yang dari pengasuhan perempuan lahirlah laki-laki. Mula-mula lahirlah laki-laki dan perempuan yang sehat dari pengasuhan perempuan. Perempuan adalah pendidik laki-laki. Oleh karena itu, kebahagiaan dan kesengsaraan suatu negeri tergantung pada perempuan. Karena pendidikan yang benar akan mampu mencetak manusia, dengan pendidikannya yang sehat maka ia akan memakmurkan negeri. Pengasuhan perempuan merupakan jalan seluruh kebahagiaan, dan perempuan harus menjadi jalan pertama seluruh kebahagiaan.

Perempuan adalah refleksi dari terwujudnya harapan menusia, dan ia adalah pendidik kaum Hawa dan kaum Adam yang mulia. Dari pengasuhan perempuan, laki-laki mampu mencapai ketinggian spiritual. Perempuan adalah buaian pendidikan perempuan dan laki-laki yang agung.38

Di bawah pendidikan perempuan dan di bawah dekapannya, lahirlah laki-laki yang pemberani. Sesungguhnya Al-Qur’an Al-Karim mendidik manusia, dan perempuan juga mendidik manusia. Tugas perempuan adalah mendidik manusia. Seandainya bangsa dihilangkan dari perempuan yang memiliki kemampuan mendidik manusia, niscaya bangsa itu akan kalah dan menuju kehancuran serta kehinaan.

F.4. Perempuan Dalam Pandangan Islam

Dalam Islam sebagaimana halnya yang pernah di sabdahkan oleh Rasullullah Saw bahwa ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah secara etimologis, kata-kata muslim itu mencakup laki-laki dan perempuan. Islam mempersiapkan agar perempuan dapat berperan dalam segala bidang.

Kaum perempuan Islam digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam Al-Qur’an, figur ideal seseorang Muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasa),

Allah Swt berfirman:

38

(40)

“Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai’at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”39

Seperti figur Ratu Bulgis yang memimpin kerajaan superpower (‘arsyun ‘azhim) Allah Swt berfirman:

“Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.”40

Memiliki kemandirian ekonomi, (al-istiqlal al-iqtishadi) Allah Swt berfirman:

“Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang sombong.”41

Seperti figur-figur perempuan mengelola perternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan, Allah Swt berfirman:

“Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.”42

Bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya sekalipun berhadapan dengan suami. Allah Swt berfirman:

“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surge dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannta, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”43

39

QS. Al-Mumtahanah [60]: 12

(41)

Atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan belum menikah. Allah Swt berfirman:

“Dan Maryam putrid Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami

tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami ; dan dia

membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia termasuk orang-orang yang taat.”44

Al-Qur’an mengizinkan kaum perempuan melakukan gerakan “oposisi” terhadap segala bentuk sistem yang bersifat tirani demi tegaknya kebenaran. Allah Swt berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh

Allah. Sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana.”45

Perempuan dalam pandangan Islam sejajar dengan laki-laki. Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai rahmatan lil’alami (agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta). Salah satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan seorang manusia disisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas taqwanya, tanpa membedakan ras, etnik dan jenis kelamin.

Sebelum Islam datang, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, ia dianggap tidak memiliki dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia yang merdeka. Bahkan menyuarakan keyakinan, berhak mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan mereka dianggap sebagai warga masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang tiada tara di masanya, saat saudara-saudara perempuan mereka di belahan bumi Barat terpuruk dalam kegelapan dan kehancuran yang mendalam, dimana setiap umat harus

44

QS. Al- Tahrim, [66]: 12

45

(42)

dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah ia perbuat dalam kehidupan dan manfaat bagi orang sekitar dalam berbagai segi kehidupan.

F.5. Peranan Perempuan Dalam Politik

Berkaitan dalam hal berpolitik terdapat dua aliran yang berbeda mengenai posisi perempuan sebagai pemimpin dalam pandangan Islam. Pertama, aliran yang mengklim bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Kedua,

aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak politik perempuan, sama seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan termasuk menjadi pemimipin negara.

Ada 3 alasan yang sering dikemukakan oleh aliran pertama yaitu:46

1. Tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah rumah. Pandangan ini diperkuat hadis yang menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan empat rumah bagi seorang perempuan: rahim ibunya, rumah orang tuanya yang menjadi tempat tinggalnya sampai dia menikah, rumah suaminya yang tidak boleh dia tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan, dan yang terakhir adalah kuburnya. Dengan demikian, ruang publik adalah ruang yang sejak awal “ditetapkan” sebagai wilayah asing bagi perempuan. Allah Swt berfirman:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”47

46

November 2012, pukul 13.20 Wib.

47

(43)

2. Para ulama, seperti Ibnu Abbas, menegaskan bahwa masalah kepemimpinan diambil dari ayat tersebut. Secara khusus masalah ini dirujukkan pada kalimat

al-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa’ (laki-laki adalah pemimpin bagi kaum

perempuan). Berdasarkan ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan. Rasyid Ridlah malah menganalogikan kekuasaan tersebut seperti kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Allah Swt berfirman:

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”48

3. Abu Bakrah yang mengatakan bahwa: La yaflaha qaum wallau amrahum

imra’at (Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka

kepada perempuan).49

Ayat-ayat dan hadis-hadis yang disebutkan itu, bagi aliran pertama merupakan justifikasi bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki dan perempuan harus mengakui kepemimpinan laki-laki. Implikasi dari pemahaman dari itu adalah perempuan tidak memiliki hak-hak politik seperti yang dimiliki oleh laki-laki.

Memang ada satu hadist yang menyebutkan bahwa jangan sekali-kali

perempuan menjadi imam sholat untuk laki-laki. Akan tetapi, sejumlah pakar

melakukan tahrij terhadap hadist tersebut dan memperoleh kesimpulan bahwa status

48

QS. An-Nisa [4]: 34

49

(44)

hadist itu adalah daif karena dalam rentetan perawinya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Adawi yang diduga oleh waqi’ telah melakukan pemalsuan hadist. Itulah sebabnya, mengapa ulama, seperti Abu Tsaur dan al-Thabari, menganggap syah imam perempuan dalam sholat. Keabsahan tersebut didasarkan pada sebuah hadist syahih riwayat Abu Daud tentang Ummu Waraqa yang meminta oleh Nabi Saw menjadi imam di rumahnya dengan muazin laki-laki dewasa.

Kuatnya kultural masyarakat mengenai perempuan, sangat berkaitan dengan wajah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Ruang jalan dan peranan perempuan senantiasa terbatas akibat benturan norma agama. Dan ini paling tidak memunculkan pemahaman dan sikap bahwa perempuan memang tidak penting untuk terjun kedalam aspek yang bertentangan dengan yang ditetapkan oleh agama.

Sedangkan pandangan aliran kedua, melihat bahwa kewajiban berpolitik sebenarnya merupakan sebagian dari dakwah Islam. Islam mewajibkan seluruh kaum Muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk berdakwah mengajak kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Amar maaruf nahi mungkar ini bermaksud menyeru untuk bertakwa kepada Allah Swt dengan menerapkan seluruh hukum syariat-Nya. Allah Swt berfirman :

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”50

Perlu kita ketahui, ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan negara Islam dan hukum-hukum yang diturunkan di Madinah bukan hanya mengatur bagaimana cara beribadah kepada Allah Swt dalam hal sholat, zakat dsb, tetapi juga yang mengatur dalam sistem kehidupan. Pada saat itu, hukum-hukum yang mengatur masyarakat seperti politik luar negeri, uqubat, sistem sosial (pergaulan), sistem ekonomi, pemerintahan dan pendidikan telah diturunkan. Oleh karena itu, agar kaum

50

Gambar

Tabel 2.1 Luas Wilayah Kecamatan di Kota Medan
Tabel 2.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama
Tabel 2.4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur
Tabel 2.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

 siswa dan guru berbicara tentang bagian yang mudah dan sulit saat identifikasi huruf untuk menebak huruf yang hilang dari nama teman..  menyebutkan

[r]

Sebagai pengaman pada jaringan distribusi secara umum dipergunakan Over Current Relay (OCR) dan Ground Fault Relay (GFR) dimana arus yang dibutuhkan adalah arus kecil 1 A atau 5

The status of the PFMU Dharmasraya forest, as a state owned forest, does not deter the local community from seizing and felling the forest because customary law is regarded more

International Conference on Islam and Muslim Societies (ICONIS) 2018 231 Religious authority and social media: Indonesian da'i use of Facebook.. Rina

Dalam bidang hiburan ini kita dapat melakukan bermacam kegiatan dengan menggunakan komputer, seperti mendengar lagu-lagu dan memutar film, yang tentunya untuk melakukan semua

Implementasi Kurikulum 2013 pada Pembelajaran PAI dan Budi Pekerti Tahap Perencanaan ... Implementasi Kurikulum 2013 pada Pembelajaran PAI dan Budi Pekerti Tahap

Sedangkan pengaruh SPIP pada kualitas LK (laporan keuangan) Pemkot Bogor dikarenakan SPIP yang diimplementasikan dengan efektif dan juga diterapkan oleh pimpinan hingga