• Tidak ada hasil yang ditemukan

BISNIS INTERNASIONAL

H. Peraturan Hukum yang Otonom

Yang dimaksud dengan Hukum yang otonom ialah hukum yang mengatur aktivitas yang dilakukan oleh manusia sebagai pelaku bisnis dibangun tidak saja berdasarkan ketentuan hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara, akan tetapi juga didasari pada kewenangan pribadi (personal autonomy) yang melekat pada masing-masing manusia tersebut sebagai subjek hukum yang mandiri. 151 Dengan kalimat lain, manusia juga mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk menciptakan hukum (personal rights to law making autonomy) dalam suatu bentuk kesepakatan yang secara khusus akan mengikat dan mengatur pelaksanaan bisnis antara dirinya dengan pelaku bisnis lain yang menyepakatinya. Hubungan hukum

149

Sudargo Gautama., Hukum Dagang & Arbitrase Internasional, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 7.

150

Lihat, Pasal 3 Ayat (3) Perma Nomor 1 Tahun 1990 yaitu ”Putusan-putusan arbitrase asing tersebut dalam Ayat (1) di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum”.

151

Mahmul Siregar., ”Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27 Nomor 24 Tahun 2008, hal. 14, dan bandingkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata.

yang dibangun berdasarkan kewenangan dan kebebasan pribadi manusia tersebut dikenal dengan perjanjian atau kontrak (freedom of contract).

Sehubungan dengan pelaksanaan kewenangan pada manusia untuk menciptakan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak, harus sangat dipahami, bahwa manusia sebagai warga negara mutlak harus tunduk pada setiap ketentuan hukum yang berlaku pada negaranya tersebut. Artinya, bahwa walaupun pada prinsipnya manusia mempunyai kewenangan untuk menciptkan hukum atau yang lebih dikenal dengan doktrin kebebasan berkontrak (freedom of contract) kebebasan tersebut bukanlah dalam pengertian ”sebebas-bebasnya” karena haruslah tetap dilaksanakan pada koridor hukum, kesusilaan dan ketertiban publik (public order) yang berlaku dalam negara tersebut. Dengan pengertian lain, bila kontrak yang diciptakan sebagai pelaksanaan dari doktrin pelaksanaan kebebasan kontrak tersebut bertentangan dengan : ketentuan hukum yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban umum (public order) maka akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi baal demi hukum (void and null), atau dengan kata lain dianggap tidak pernah berlaku.

Keharusan kontrak untuk tunduk kepada hukum, kesusilaan dan ketertiban umum (public order) yang diberlakukan oleh negara, menjadi salah satu syarat penting dari 4 syarat syahnya suatu kontrak seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat tersebut merupakan syrata yang memastikan bahwa kontrak yang dirancang dan disepakati oleh para pihak tersebut haruslah kontrak yang dibentuk dengan ”kausa yang halal” dimana bila tidak akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi ”batal demi hukum” atau dianggap tidak pernah berlaku. Dan

selanjutnya tentang kausa yang tidak halal selain dari kausa yang dibuat-buat seperti yang diatur dalam pasal 1335 KUH Perdata juga ditegaskan dalam pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan ”suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Dalam hal terjadinya konflik terhadap pelaksanaan suatu kontrak, sangat penting pula ditegaskan Pengadilan atau forum penyelesaian mana yang akan mengadili jika terjadi konflik (dispute) dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Pada umumnya Pengadilan Negara yang hukumnya telah dipilih sebagai Governing Law dari kontrak akan dipilih sebagai Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang timbul dari kontrak dagang internasional walaupun para pihak dapat menyepakati Pengadilan, perkara yang timbul dari kontrak tersebut dapat dilakukan dinegara lain.

Untuk pilihan hukum (choice of law governing contract) dan pilihan yuridiksi (choice of juridiction) harus memerlukan perhitungan yang tepat, karena akan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dan pengadilan tersebut secara baik membela hak-hak dari pihak-hak yang berkontrak. Prinsip hukum yang berlaku dalam kontrak yang mengandung unsur HPI tersebut adalah hukum yang dipilih sendiri oleh para pihak (pilihan hukum).jika pilihan hukum tersebut tidak ditemukan dalam kontrak yang bersangkutan, dapat digunakan bantuan titik-titik taut sekunder.

Asas kebebasan berkontrak menekankan kepada para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak, bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian termasuk untuk

menentukan pilihan hukum (Pasal 56 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa).152 dengan mengingat beberapa pembatasan;

Pertama, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Kedua, pilihan hukum itu

tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa. Kemudian apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai undang-undang bagi mereka kedua belah pihak yang berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) atau yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.153

Pilihan hukum merupakan masalah sentral dalam HPI berbagai sistem hukum. Pilihan hukum ini telah diterima baik dikalangan akademisi maupun dalam praktik di pengadilan. Yansen Derwanto Latif menyatakan bahwa pilihan hukum dihormati dengan beberapa alasan :154

1. Pilihan hukum sebagaimana yang dimaksud para pihak dianggap sangat memuaskan bagi mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku di banyak negara. Hal ini merupakan

152

Sutan Remy Sjahdeini., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 47, Kebebasan berkontrak dalam hukum kontrak mencakup: (1). Kebebasan untuk membuat dan untuk tidak membuat; (2). Kebebasan untuk memilih dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; (3). Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa perjanjian yang akan dibuatnya; (4). Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; (5). Kebebasan untuk membuat isi perjanjian; (6). Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend).

153

Ridwan Khairandy., Itikad Baik dal Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 29, Kebebasan berkontrak didasarkan pada asas konsensualisme. Asas ini mendasarkan perjanjian pada kesepakatan (konsensus) para pihak dalam kontrak sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka (cum nexum faciet mencipium que, uti lingua mancuoassit, ita jus esto). Asas ini yang menjadi kekuatan mengikatnya kontrak (verbindende kracht van de overeenkomst). Ini bukan saja kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.

154

Yansen Derwanto Latif., Pilihaan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 20-21.

fakta yang menarik, karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai negara;

2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur tentang kontrak tersebut;

3. Memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Pilihan hukum para pihak dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi.alasan tersebut memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak efisien, meningkatkan persaingan hukum, dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang dipergunakan. Pemuatan pilihan hukum dalam hukum kontrak adalah hanya satu cara dari pengurangan biaya. Suatu alternatif mungkin adalah suatu peraturan bersifat memaksa yang relatif sederhana, seperti menentukan hukum tempat kontrak itu dibuat. Hal ini akan menghemat bagi para pihak dari biaya penentuan hukum yang berlaku, jika tidak terdapat klausul pilihan hukum; dan

4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dan setiap sistem hukum.

Keabsahan suatu kontrak didasarkan pada hukum yang dipilih para pihak tersebut. Demikian juga apabila terjadi perselisihan maupun pelaksanaan perjanjian,

maka Hakim atau Arbiter yang mengadili perkara tersebut juga harus merujuk kepada hukum yang telah dipilih para pihak tersebut.

Penentuan tentang teori mana yang akan diberlakukan menimbulkan permasalahan tersendiri. Penggunaan titik pertalian atas teori tersebut sangat beragam, tergantung pada titik pertalian mana yang dianut oleh masing-masing kaidah HPI (conflict of law rules) setiap negara. Kaidah HPI Indonesia yang terdapat dalam Pasal 18 AB menentukan, jika tidak ada pilihan hukum, maka hukum yang berlaku harus merujuk kepada hukum negara dimana tempat diadakannya kontrak tersebut.

Pilihan hukum merupakan cara yang terbaik untuk menentukan hukum yang berlaku terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul dalam menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam terjadinya sengketa bisnis yang mengandung unsur HPI, dan untuk menghindari berbagai kesulitan yang mungkin timbul, serta untuk menghindari hukum yang tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi serta menghindari hukum yang tidak dikehendaki oleh negara dimana transaksi tersebut dilakukan.

BAB IV

PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN