ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA
DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
TESIS
Oleh
ALLAN HENRY BASKARA HARAHAP 077005095/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA
DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ALLAN HENRY BASKARA HARAHAP 077005095/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
Nama Mahasiswa : Allan Henry Baskara Harahap Nomor Pokok : 077005095
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) Ketua
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
ABSTRAK
Dengan banyaknya kegiatan transaksi bisnis internasional yang ratusan jumlah transaksinya setiap hari, maka semakin banyak pula kemungkinan terjadi sengketa bisnis internasional. Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan). Proses ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal, oleh karenanya penyelesaian sengketa secara litigasi tidak lagi menjadi pilihan utama dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya, oleh karenanya diambil suatu cara sebagai alternatif terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR).
Dalam melakukan penulisan ini digunakan metode penelitian normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dan hasil kesimpulan penelitian ini digunakan dengan metode kuantitatif
Hasil analisis penelitian, disimpulkan bahwa, ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Pada umumnya metode ADR sebagai berikut: Negosiasi, Arbitrase, Mediasi,
Konsiliasi. Salah satu model alternatif penyelesaian sengketa yang berkembang
adalah arbitrase. Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain disebabkan : sengketa diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang mungkin dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding peradilan, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Karena putusan arbitrase bersifat ”final and binding” (upaya terakhir dan mengikat) sehingga proses dalam arbitrase harusnya lebih efisien dan putusannya dapat segera dilaksanakan, namun tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara akan menghadapi suatu kekecewaan apabila dihadapkan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang melibatkan Pengadilan. Hal ini disebabkan tindakan pengadilan yang dapat membatalkan dan menolak putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ini, di Indonesia masih banyak menghadapi masalah, khususnya masalah arbitrase internasional. Terhadap hal tersebut penulis ingin meneliti lebih jauh tentang sejauh mana analisis hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.
ABSTRACT
With hundreds of international business transaction activities every day, more incidents of international business disputes may probably occur. Conventionally, the resolution of the disputes is conducted through litigation (court of law). This process is time consuming and costly that, in the world of business, the resolution through legation is not a prime choice anymore because it cannot meet the demand of its own development, hence a pattern known as Alternative Dispute Resolution (ADR) is taken as an alternative way in the process of solving existing disputes.
This analytical descriptive study employed a normative research method and the result of this study was concluded through quantitative method.
The result of study analysis showed that ADR becomes increasingly popular and several countries have even regulated it through their own legislation, for example, Indonesia regulates it in Article 1 (10) of Law No. 30/1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.
In general, ADR method follows this sequence: Negotiation, Arbitration, Mediation, and Consolidation. One of the currently developing ADR models is arbitration. Arbitration is chosen by the business practitioners, among other things, because the dispute is examined by those who have expertise on the disputed problems, therefore, the time taken to settle the dispute can be relatively shorter, the cost becomes cheaper, and the parties involved can solve the dispute without any publication which may inflict reputation loss. Compared to the court of law, arbitration is more exceptional because, in the process of dispute resolution, arbitration is not open to the attempt to lodge an appeal, a cassation or a review because the decision made through arbitration is final and binding that the process in arbitration must be efficient and the decision can be immediately implemented, yet, sometimes, the business practitioners, especially those who have won the disputed cases, will be disappointed when faced to the implementation of arbitrary decision involving the law of court because of the action taken by the law of court which can cancel and refuse the arbitrary decision. In Indonesia, the resolution of business disputes through arbitration still faces some problems, especially in the case of international arbitration. In this context, the writer would like to do a further research on to what extent the analysis of dispute resolution law is applied in international business transaction.
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji kepada Tuhan YME, Yang Maha Segalanya dan masih
memberi waktu hingga tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar
Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan. Judul tesis ini adalah “Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa
Dalam Transaksi Bisnis Internasional”.
Di dalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik
pengajaran, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak yang telah membantu
penyelesaian studi penulis yaitu:
1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B, Msc atas kesempatan menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum sebagai pembimbing utama yang telah
membuka cakrawala berfikir penulis khususnya mengenai Analisis Hukum
Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Bisnis Internasional.
4. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH dan Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum selaku
komisi pembimbing yang telah banyak memberi masukan, arahan, dan selalu
5. Kepada orang tua tercinta, Ayahanda SH Harahap, SH, Ibunda CD Siregar yang
selama ini telah memberikan perhatian, dukungan moril dan materil agar penulis
menyelesaikan studi ini.
6. Rekan-rekan yang banyak memberikan inspirasi, masukan dan semangat serta
berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan tesis ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata kepada Tuhan YME juga kita serahkan semuanya, semoga
bantuan, bimbingan dan arahan yang diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat
imbalan yang layak dari-Nya. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Medan, 26 Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama : Allah Henry Baskara Harahap
Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 10 Agustus 1984 Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan : 1. SD Tunas Kartika (1990-I 996) 2. SMP Negeri 18 Medan (1996-1999) 3. SMA Sutomo I (1999-2002)
4. Fak Hukum USU Medan ( Lulus Tahun 2006 ) 5. Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI... vi
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
1.Kerangka Teori ………….……… 14
2. Konsepsional ... 19
G. Metode Penelitian ... 21
BAB II : BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA YANG DIKEMBANGKAN DI INDONESIA SEBAGAI FORUM PENYELESAIAN SENGKETA ... 25
B. Masalah Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
Internasional Indonesia ... 38
C. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebagai Alternatif... 43
D. Arbitrase Sebagai Pilihan yang Paling Populer ... 47
BAB III : PERATURAN HUKUM DI INDONESIA YANG MENGATUR PENYELESAIAN SENGKETA DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL ... 58
A. Peraturan Hukum Internasional... 58
B. Peraturan Hukum Peninggalan Kolonial... 74
C. Peraturan Hukum Setelah Indonesia Merdeka... 80
D. Peraturan Hukum yang Otonom ... 91
BAB IV : PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA... ... 97
a. Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial... 97
b. Pengakuan dan Pelaksanaan Terhadap Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing ... 100
c. Penolakan Terhadap Putusan Pengadilan Arbitrase Asing... 107
d. Analisis Kasus Karaha Bodas (PERTAMINA VS KBC LLC)... 111
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 122
A. Kesimpulan... 122
B. Saran... 124
ABSTRAK
Dengan banyaknya kegiatan transaksi bisnis internasional yang ratusan jumlah transaksinya setiap hari, maka semakin banyak pula kemungkinan terjadi sengketa bisnis internasional. Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan). Proses ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal, oleh karenanya penyelesaian sengketa secara litigasi tidak lagi menjadi pilihan utama dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya, oleh karenanya diambil suatu cara sebagai alternatif terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR).
Dalam melakukan penulisan ini digunakan metode penelitian normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dan hasil kesimpulan penelitian ini digunakan dengan metode kuantitatif
Hasil analisis penelitian, disimpulkan bahwa, ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Pada umumnya metode ADR sebagai berikut: Negosiasi, Arbitrase, Mediasi,
Konsiliasi. Salah satu model alternatif penyelesaian sengketa yang berkembang
adalah arbitrase. Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain disebabkan : sengketa diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang mungkin dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding peradilan, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Karena putusan arbitrase bersifat ”final and binding” (upaya terakhir dan mengikat) sehingga proses dalam arbitrase harusnya lebih efisien dan putusannya dapat segera dilaksanakan, namun tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara akan menghadapi suatu kekecewaan apabila dihadapkan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang melibatkan Pengadilan. Hal ini disebabkan tindakan pengadilan yang dapat membatalkan dan menolak putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ini, di Indonesia masih banyak menghadapi masalah, khususnya masalah arbitrase internasional. Terhadap hal tersebut penulis ingin meneliti lebih jauh tentang sejauh mana analisis hukum penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.
ABSTRACT
With hundreds of international business transaction activities every day, more incidents of international business disputes may probably occur. Conventionally, the resolution of the disputes is conducted through litigation (court of law). This process is time consuming and costly that, in the world of business, the resolution through legation is not a prime choice anymore because it cannot meet the demand of its own development, hence a pattern known as Alternative Dispute Resolution (ADR) is taken as an alternative way in the process of solving existing disputes.
This analytical descriptive study employed a normative research method and the result of this study was concluded through quantitative method.
The result of study analysis showed that ADR becomes increasingly popular and several countries have even regulated it through their own legislation, for example, Indonesia regulates it in Article 1 (10) of Law No. 30/1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.
In general, ADR method follows this sequence: Negotiation, Arbitration, Mediation, and Consolidation. One of the currently developing ADR models is arbitration. Arbitration is chosen by the business practitioners, among other things, because the dispute is examined by those who have expertise on the disputed problems, therefore, the time taken to settle the dispute can be relatively shorter, the cost becomes cheaper, and the parties involved can solve the dispute without any publication which may inflict reputation loss. Compared to the court of law, arbitration is more exceptional because, in the process of dispute resolution, arbitration is not open to the attempt to lodge an appeal, a cassation or a review because the decision made through arbitration is final and binding that the process in arbitration must be efficient and the decision can be immediately implemented, yet, sometimes, the business practitioners, especially those who have won the disputed cases, will be disappointed when faced to the implementation of arbitrary decision involving the law of court because of the action taken by the law of court which can cancel and refuse the arbitrary decision. In Indonesia, the resolution of business disputes through arbitration still faces some problems, especially in the case of international arbitration. In this context, the writer would like to do a further research on to what extent the analysis of dispute resolution law is applied in international business transaction.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi ekonomi sudah ada sejak dahulu, tetapi mulai kelihatan ke
permukaan pada dasawarsa 60-an.1 Hal ini dapat dilihat dengan menyebarnya mata
rantai produksi dan pemasaran sejumlah perusahaan multinasional dari negara-negara
industri ke seluruh pelosok dunia. Pada kenyataannya tidak satupun negara di dunia
yang mampu menghindari dampak globalisasi.
Globalisasi pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang
akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan berpencar di dunia
kepada suatu tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah.2 globalisasi
telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan
maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang
paling menonjol pada era globalisasi : moving quickly, sangat cepat mengalami
perubahan. Seperti yang dikemukakan oleh William Irvin Thompson, dengan
dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad,
tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan bisa terjadi setiap hari.3
1
Ian Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes between States : History and Prospect, dalam R. St. J. Macdonald and Douglas M. Johnston (eds), The Structure and Process of International Laws : Essay in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, 1986, hlm. 1095.
2
Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dikutip dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 3.
3
Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan
uang yang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan
internasional atau transaksi bisnis internasional. Penggambaran tentang proses
globalisasi dapat dilakukan dalam banyak dimensi di antaranya dimensi ekonomi,
politik, sosial, budaya dan hukum. Namun meskipun demikian dalam banyak
pembicaraan globalisasi senantiasa dipandang identik dengan internasionalisasi
kegiatan ekonomi, khususnya dalam bentuk liberalisasi perdagangan dan investasi.4
Globalisasi ekonomi yang semakin berkembang oleh prinsip perdagangan bebas
selanjutnya membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam
globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Implikasi globalisasi ekonomi
terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti
globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan
melewati batas-batas negara.5 Globalisasi dalam dunia bisnis telah menimbulkan
kompleksitas dan keberagaman transaksi. Kondisi seperti ini menimbulkan tuntutan
akan kepastian hukum (legal certainty) dari setiap transaksi.6
Kondisi seperti diuraikan di atas menjadikan kebebasan berkontrak sebagai
paradigma utama dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak dipandang sebagai
penjelmaan hukum (legal expression) prinsip perdagangan bebas.7 Sama halnya
4 Ibid. 5
Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Di Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU ke 44 Medan, 20 November 2001, hal. 4.
6
Ibid, hal. 6. 7
dengan liberalisasi perdagangan, doktrin kebebasan berkontrak dibangun diatas
asumsi terdapatnya kekuatan posisi tawar yang sama antara para pihak yang
melakukan transaksi. Akibatnya bisa terjadi pihak yang lemah dikuasai oleh pihak
yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Kritikan terhadap doktrin kebebasan
berkontrak menyebutkan terjadinya perubahan paradigma hukum kontrak dari
kebebasan berkontrak kearah kepatutan. Saat ini kebebasan berkontrak tidaklah
berarti kebebasan tanpa batas.8 Unsur kepastian hukum dalam kebebasan berkontrak
diimbangi dengan unsur keadilan (justice) bagi para pihak dalam kontrak.9
Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesia
masih sangat rendah dan sangat mengurangi minat investor.10 Hal ini tercermin dari
banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha,
badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam
dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan seringkali
disebabkan karena adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman akan
substansi kontrak yang berakibat terkendalanya investasi yang dilakukan.
Banyak investor proyek jangka panjang yang menanamkan modalnya harus
kecewa karena baru beberapa tahun proyek berjalan, kontrak dibatalkan oleh
pengadilan. Secara perhitungan ekonomi, hal ini jelas sangat merugikan investor
mengingat keuntungan belum didapat, bahkan break even point (titik balik modal)
8
M. Yahya Harahap, Dua sisi Putusan Hakim tidak adil bagi yang kalah, adil bagi yang menang, Varia Peradilan, Tahun VIII, No. 95, Agustus 1993, hal. 107.
9
Bayu Seto, Lex Mercatoria Baru dan Arah perkembangan Hukum Kontrak Indonesia di dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum dari Perkembangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 72.
10
belum tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak
(sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indonesia.11
Dengan banyaknya kegiatan bisnis yang ratusan jumlah transaksinya setiap
hari, tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute) diantara para pihak.
Setiap sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian. Semakin
banyak dan luas kegiatan perdagangan, semakin banyak pula kemungkinan terjadi
sengketa. 12
Sengketa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan masing-masing para
pihak, yaitu bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak
percaya bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.13 Di
Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai
penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk
Undang-Undang Konsiliasi Perdata atau “Minji Chotei Ho” pada tahun 1951.14 Di samping
itu, baik Cina dan Jepang sejak lama mengenal mediasi juga sebagai penyelesaian
sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina tidak suka kepada
Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Di sini sengketa-sengketa perdata
diselesaikan melalui mediator. Untuk priode yang cukup panjang di zaman Cina kuno
terdapat kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist mengenai bagaimana
11
Mohammad Ikhsan, Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru, Kompas 31 Maret 2004. Hal 9.
12
Richard Hill, Overview of Dispute Resolution, hal. 1, http/www.batnet com/oikoumene/arbined3 html./.
13 Ibid. 14
mengatur masyarakat. Di satu pihak, kaum Confucius menekankan pentingnya
ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (li). Sedangkan kaum Legalist
memandang perlunya aturan-aturan hukum tertulis yang pasti (fa).15 Rakyat
kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku lebih banyak
akibat pengaruh sanksi sosial daripada karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku.
Oleh karenanya clan, gilda, dan kelompok golongan terkemuka (Gentry) menjadi
institusi hukum yang informal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dalam
masyarakat Cina tradisional. Kepala clan, gilda dan tokoh masyarakat menjadi
penengah (mediator) dalam sengketa-sengketa yang timbul dan bila perlu
mengenakan sanksi disipliner dan denda. Confuciusnisme yang mengartikan fa
sebagai hukuman (Hsing), bukan merupakan cara yang baik untuk menjaga ketertiban
sosial.
Menurut Erman Rajagukguk, masuk akal, jika masyarakat Cina tradisional
enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi,
karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di
masyarakat.16 Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah
arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur
dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik
kultural. Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya
yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultur konsiliatori (conciliatory
15
Erman Rajagukguk, Loc.Cit, hal. 105. 16
culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang
lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang
menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk
mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi.
Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu
pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka
tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan
secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana
yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya,
orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan
atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau
sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak
lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu
pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan.17
Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi
(Pengadilan) dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain.18 Proses ini
membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi
tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan
17
Ibid, hal. 1. 18
perkembangannya.19 Pengadilan dianggap sebagai lembaga yang tidak efektif untuk
penyelesaian sengketa bisnis. Disamping panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk
menjalani proses persidangan, putusan pengadilan yang bersifat terbuka juga dapat
“mematikan” reputasi seorang pelaku bisnis. Sedangkan dalam dunia bisnis, reputasi
merupakan unsur yang sangat penting. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang
ahli sosiologi hukum terkemuka Jepang bernama Takeyosi Kawasima : ”membawa
perkara ke pengadilan berarti mengisukan suatu tantangan umum dan membakar
suatu pertengkaran”.20
Forum peradilan selama ini dianggap jauh dari ideal untuk menyelesaikan
sengketa bisnis yang muncul dikalangan dunia usaha, khususnya dengan mitra usaha
luar negeri. 21 Seiring dengan makin tumbuhnya keperluan dunia usaha dan kesadaran
kalangan praktisi dan pemerintah akan suatu proses penyelesaian sengketa di luar
jalur pengadilan, dengan demikian diambil suatu cara sebagai alternatif atau
pelengkap terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal
dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR).
Istilah ADR yang pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian
alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika Chief Justice Warren Burger mengadakan The
Roscoe E. Pound “Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the
19
Sujud Margono, Alternative Disputes Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal. 5.
20
Alternative Disputes Resolution, Section 4-Choosing ADR, http/www.open.gov.uk/Icd/Consult/civ.just/adr/section 4 htm. Available : 19 Juni 200, Sebagaimana dikutip oleh Runtung dalam Disertasi, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di KabanJahe dan Brastagi”, 2002, hal. 5.
21
Administration of Justice” (Pound Conference) di Saint Paul, Minesota. Para
akademisi, para anggota pengadilan, dan para public interest lawyer, secara
bersama-sama mencari cara terbaru dalam menyelesaikan konflik. Pada tahun 1976 itu pula
American Bar Association (ABA) mengakui secara resmi gerakan ADR dan
membentuk satu Komisi Khusus untuk Penyelesaian Sengketa (Special Committee on
Dispute Resolution).22
Di negara-negara Asia Timur ADR muncul didasari pada kultur yang
menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia.23 Hal itu telah
membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui
undang-undang. Misalnya, di Indonesia pada tahun 1999, Pemerintah Negara
Republik Indonesia dibawah Pemerintahan Presiden BJ Habibie telah
mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur
penyelesaian sengketa diluar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan
dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau
perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih
sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir
kepentingan para pihak yang bersengketa.24
22
Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, ( ST. Paul, Minn : West Publishing Co, 1992), hal. 5.
23
Erman Rajagukguk, Loc.Cit, hal. 3. 24
Salah satu model alternatif penyelesaian sengketa yang berkembang adalah
arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda, oleh setiap kultur
dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik
kultural.25 Arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa hukum di luar proses
Pengadilan bukan sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa di
Indonesia, tetapi di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian, karena itu jarang
terdengar. Berbeda dengan sekarang, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum
penting sebagai cara menyelesaikan sengketa di luar proses Pengadilan.
Meningkatnya peranan arbitrase bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga
baik nasional maupun internasional.26
Bahkan kini penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase merupakan
kebutuhan bahkan idola bagi para pelaku bisnis. Menyikapi kebutuhan dunia usaha
akan penyelesaian sengketa non litigasi ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa sebagai landasan hukum pelaksanaan arbitrase di Indonesia.
Arbitrase dipilih oleh para pelaku bisnis antara lain disebabkan : sengketa
diperiksa oleh orang-orang yang ahli mengenai masalah-masalah yang disengketakan
oleh karena itu waktu penyelesaian sengketa relatif cepat, biaya lebih ringan, serta
25
Yasunobu Sato, The Japanese Model Dispute Processing of, Proceedings Of Roundtable Meeting the, Law Asian Development And Socio-Economic Changes in [of] II, Bangkok : 19-20 November 2001, hal. 156.
26
pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang mungkin dapat
merugikan reputasi dan lain sebagainya.27
Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai
kelebihan atau keuntungan, antara lain28:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan;
Selain hal-hal di atas, arbitrase mempunyai keistimewaan dibanding
peradilan, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak terbuka upaya
hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali, karena putusan arbitrase bersifat
”final and binding” (upaya terakhir dan mengikat) sehingga proses dalam arbitrase
harusnya lebih efisien dan putusannya dapat segera dilaksanakan.29 Namun tidak
jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara akan
menghadapi suatu kekecewaan apabila dihadapkan pada pelaksanaan putusan
arbitrase yang melibatkan Pengadilan.
27 Ibid. 28
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan pengadilan, (Jakarta : Chandra Pratama, 2000), hal 392.
29
Hal ini disebabkan tindakan pengadilan yang seringkali membatalkan dan
menolak putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase ini, di
Indonesia masih banyak menghadapi masalah, khususnya masalah arbitrase
internasional.30
Banyak putusan arbitrase yang sudah diputus oleh arbiter, kemudian
dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN). Oleh karena itu, hal tersebut akan
menimbulkan tanda tanya, apakah lembaga arbitrasenya yang sudah tidak bisa
dipercaya, atau Pengadilan yang dijadikan sarana untuk menghambat pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase.31 Sebagai salah satu contoh, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya tertanggal 27 Agustus 2002 telah
membatalkan putusan arbitrase internasional antara Pertamina vs Karaha Bodas
Company L.L.C (”Karaha Bodas”),32 dimana dalam putusan arbitrase internasional di
Genewa-Swiss tersebut Pertamina telah dikalahkan. Majelis Hakim PN Jakarta Pusat
telah memenangkan gugatan Pertamina dengan membatalkan keputusan arbitrase
internasional tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, PN Jakarta Pusat antara lain
menyatakan :
(1) Putusan tersebut juga dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, karena
penundaan proyek Karaha Bodas didasarkan pada Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali
30
Ibid, hal 397. 31
Ibid, hal 399. 32
Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Swasta Yang Berkaitan
dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, tertanggal 20 September 1997,
oleh sebab itu dianggap bahwa Pertamina tidak memiliki kekuatan hukum untuk
menolak Keppres tersebut; dan
(2) Disebutkan juga bahwa arbitrase internasional tersebut telah melampaui
kewenangannya dalam menangani perkara ini karena tidak menerapkan hukum
Indonesia.
Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian yang
lebih jauh tentang kepastian hukum dalam setiap penyelesaian sengketa dalam
transaksi bisnis intenasional dalam tesis yang berjudul ”Analisis Hukum Terhadap
Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Bisnis Internasional”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa yang dikembangkan di Indonesia
sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis internasional ?
2. Bagaimana kaidah hukum Indonesia mengatur penyelesaian sengketa dalam
transaksi bisnis internasional ?
3. Bagaimana pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan pengadilan atau
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui serta memahami bentuk penyelesaian sengketa yang
dikembangkan di Indonesia sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis
internasional.
2. Untuk mengetahui serta memahami kaidah hukum Indonesia mengatur
penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.
3. Untuk mengetahui serta memahami pengakuan dan pelaksanaan terhadap
putusan pengadilan atau arbitrase asing dalam hukum Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang
ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan
seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah aspek hukum penyelesaian
sengketa dalam transaksi bisnis internasional. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum dalam
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat
penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat) serta
Konsultan Hukum dan Badan Pengawas Sengketa Transaksi Bisnis Internasional,
sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian
sengketa transaksi bisnis internasional agar mempunyai persepsi yang sama.
E. Keaslian Penelitiaan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang analisis hukum
penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional belum pernah dilakukan
dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli
karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, dan terbuka.
Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah
dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan
pendekataan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan
membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan terpencar-pencar di banyak
batas-batas wilayah.33 Globalisasi ini tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan
uang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan
internasional atau transaksi bisnis internasional.
Berdasarkan kondisi tersebut Will. D. Verwey menyatakan bahwa terhadap
teori perdagangan bebas/perdagangan internasional perlu dilakukan penyesuaian
dengan pembatasan sebagai berikut :34
1. Pembatasan terhadap prinsip kebebasan, melalui penggunaan prinsip perlindungan;
2. Perubahan parsial atas prinsip persamaan hak dan bidang hukum atas dasar perbedaan tingkat dan kekuatan ekonomi;
3. Prinsip timbal balik yang karena perbedaan di dalam kekuasaan ekonomi dilengkapi dengan prinsip nonreciprocity;
Transaksi bisnis internasional pada dasarnya adalah transaksi yang berkaitan
dengan kegiatan komersial yang melintas batas negara yang dilakukan oleh individu
atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Adanya
perbedaan sistem hukum tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan
kewarganegaraan individu atau juga perbedaan kebangsaan perusahaan atau badan
hukum yang melakukan transaksi tersebut.
Transaksi bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang
telah disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut
melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekseptasi yang akan didapatkannya dari
33
Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dikutip dalam Ida Susanti, dkk (ed), Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 3.
34
pelaksanaan kontrak tersebut. Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia
menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang
diinginkan tersebut. Dalam hukum kontrak dikenal tiga asas yang satu sama lainnya
saling berkaitan, yakni asas konsensualisme (The Principle of Consensualism), asas
kekuatan mengikatnya kontrak (The Principle of The Binding Force of Contract), dan
asas kebebasan berkontrak (The principle of Freedom of Contract).35
Defenisi yang telah diterima umum (di dunia) mengenai kontrak internasional
adalah kontrak nasional yang ada unsur asing. Atau hukum yang mengatur kontrak
nasional yang ada unsur asingnya.36 Meski namanya kontrak internasional, rejim
kontrak yang mengaturnya adalah hukum kontrak internasional. Ciri ini melekat dan
terjadi pada hukum kontrak internasional karena adanya lembaga pilihan hukum
(Choice of Law) dalam hukum kontrak internasional.
Choice of Law atau Applicable Law atau Governing Law adalah lembaga yang
membolehkan para pihak untuk memilih dan menetukan salah satu hukum kontrak
suatu negara (dari para pihak atau hukum negara lain atau hukum tertentu yang
mengatur objek kontrak) yang mengatur kontrak internasional yang berfungsi untuk
memberi kepastian hukum, yaitu hukum apa yang mengatur kontrak tersebut.
Termasuk pengertian di dalamnya adalah menentukan sah-tidaknya kontrak dan
penafsiran terhadap kontrak serta hukum (negara mana) yang pengadilan akan
terapkan untuk menyelesaikan sengketa kontrak.
35
Ridwan Chairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2003), hal. 27.
36
Dalam hal terjadinya konflik terhadap pelaksanaan suatu kontrak, sangat
penting pula ditegaskan pengadilan ataupun forum penyelesaian mana yang akan
mengadili jika terjadi konflik (dispute) dalam pelaksanaan dari kontrak tersebut. Pada
umumnya pengadilan negara yang hukumnya telah dipilih sebagai governing law dari
kontrak akan dipilih sebagai pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan setiap perkara yang timbul dari kontrak dagang internasional, walaupun
para pihak dapat menyepakati pengadilan perkara yang timbul dari kontrak tersebut
dapat dilakukan di negara lain.
Untuk pilihan hukum (choice of law governing contract) dan pilihan
yurisdiksi (choice of jurisdiction) harus memerlukan perhitungan yang tepat, karena
akan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dan pengadilan tersebut secara baik
membela hak-hak dari pihak berkontrak.
Pilihan yurisdiksi berperkara, juga secara strategis harus diperhitungkan
terhadap wilayah hukum dari dimana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut
dilaksanakan dan juga sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut
berada.37 Dalam hal misalnya, pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi dari suatu
kontrak dagang internasional berbeda dengan domisili hukum keberadaan dari asset
yang akan dieksekusi sehubungan dengan putusan tersebut, maka putusan tersebut
akan bersifat foreign judgment terhadap negara dimana asset tersebut berada,
sehingga tidak tidak dapat dengan begitu saja dieksekusi, kecuali bila di antara negara
37
tempat pengadilan yang memutus tersebut terjalin kesepakatan internasional untuk
saling melaksanakan putusan masing-masing pengadilannya di masing-masing
wilayah negaranya (mutual recoqnition and reciprocal enforcement of foreign
judgementbetween contracting countries).
Dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional pada dasarnya terdapat
beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu melalui proses : litigasi,
arbitrase atau mediasi.
Litigasi (litigation) adalah proses penyelesaian sengketa atau gugatan yang
diajukan ke hadapan badan peradilan. Proses litigasi ini hanya dapat diajukan ke
badan peradilan umum (pengadilan negeri) di Indonesia maupun badan peradilan di
luar yuridiksi negara Indonesia, melainkan juga sengketa itu dapat diajukan ke
hadapan peradilan lainnya seperti Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Penyelesaian sengketa melaui litigasi (pengadilan) ini membutuhkan waktu
yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi tidak diterima dalam
dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya.38
Hambatan lain yang terkait dengan hukum kontrak internasional kaitannya
terhadap penyelesaian sengketa internasional adalah pengadilan nasional. Hambatan
ini berhubungan dengan kepercayaan dunia bisnis (asing) terhadap penghormatan
kontrak yang diselesaikan di hadapan pengadilan nasional.
38
Hambatannya adalah kurang percayanya kalangan dunia usaha asing terhadap
integritas dan kepastian hukum yang tercermin dari putusan-putusan pengadilan kita
di dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis yang lahir dari kontrak.
Masalahnya juga terkait secara tidak langsung dengan mutu lulusan sarjana hukum di
tanah air yang kemudian mereka inilah menjabat jabatan judisial. Pemahaman
penegak hukum terhadap hukum kontrak internasional karenanya perlu terus
ditingkatkan.39
Dikalangan dunia usaha, mereka umumnya lebih mendayagunakan lembaga
arbitrase dalam penyelesaian sengketa usaha dan dagang yang terjadi di antara
mereka, dari pada menyelesaikannya melalui lembaga pengadilan atau litigasi.
Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena
keputusan tidak dipublikasikan.
2. Konsepsional
Selanjutnya agar tidak menimbulkan kesalahpemahaman tentang
konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan definsi operasional
dari konsep-konsep yang dipergunakan sebagai berikut :
a. Sengketa hukum dalam studi ini ialah sengketa yang berkaitan dengan
persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang
menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada40;
39
Lihat uraian tentang posisi pengadilan dalam tulisan kami : adolf Huala, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung : Refika, 2007), Hal. 157 dan 191.
40
b. Penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional adalah suatu cara
penyelesaian sengketa yang mempengaruhi kepentingan vital negara, seperti
integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara
yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih
sistem hukum yang berbeda yang menyebabkan terjadinya pilihan hukum
antara dua atau lebih sistem hukum yang berbeda tersebut yang terjadi karena
adanya perbedaan kewarganegaraan dan kebangsaan individu atau perusahaan
yang melakukan transaksi tersebut41;
c. Transaksi bisnis internasional adalah transaksi yang berkaitan dengan
kegiatan komersial yang melintas batas negara yang dilakukan oleh individu
atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih sistem hukum yang berbeda.
Adanya perbedaan sistem hukum tersebut dapat terjadi karena adanya
perbedaan kewarganegaraan individu atau juga perbedaan kebangsaan
perusahaan atau badan hukum yang melakukan transaksi tersebut42;
d. Alternatif penyelesaian sengketa adalah Lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi
atau penilaian ahli43;
41
Ibid, Hal.95. 42
Ibid, Hal.132. 43
e. Arbitrase/Arbitration adalah suatu proses yang dipilih para pihak secara
sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai
dengan pilihan mereka dimana putusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam
perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan
tersebut secara final dan mengikat44;
f. Pilihan forum adalah suatu pilihan yang dilakukan oleh para pihak-pihak
yang bertransaksi, yang bermakna bahwa para pihak di dalam kontrak sepakat
untuk memilih forum atau lembaga mana yang akan dipilih dalam
menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara kedua belah pihak
tersebut. Pilihan ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara
dari pihak yang mengadakan transaksi45; dan
g. Arbitrase asing adalah suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia.46
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan yang ditujukan untuk
menganalisis kaidah-kaidah hukum tentang penyelesaian sengketa dalam transaksi
bisnis internasional, maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian hukum
normatif. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang
44
Huala Adolf, Op.Cit, Hal.40. 45
Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung : Refika Aditama, 2006), Hal.163.
46
bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu,
penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai premis utama dan sebagai hasil
penelitian. Sebagai doctrinal research penelitian ini ditujukan untuk hukum baik
yang tertulis di dalam buku (law as it is written book) maupun hukum yang telah
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge
through judicial process).47
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah
menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok
tertentu, asas-asas atau suatu peraturan-peraturan hukum dalam konteks teori-teori
hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang
penggunaan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan aspek hukum
penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional.48
3. Sumber Data
“Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, penelitian ini mempergunakan
sumber-sumber data sekunder, baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier sebagai data utama/pokok penelitian”.49 Bahan
47
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, makalah yang disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian hukum dan Penulisan hukum pada majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1.
48
Koentjaraningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997), hal.42.
49
hukum primer sebagai data pokok penelitian diperoleh dari perpustakaan, yang
terdiri:
a. Bahan hukum primer :
1. UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement On Establishing the World Trade
Organization (WTO);
2. Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan
Arbitrase Asing.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi
Penyelesaian Perselisihan antar Negara dengan Warga Asing;
4. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi
New York 1958); dan
5. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
b. Bahan hukum sekunder : Jurnal-jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah, majalah,
surat kabar, buku-buku teks, dan lain-lain.
c. Bahan hukum tertier : Bahan Hukum Tersier berupa bahan hukum penunjang
yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum.50
50
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara studi kepustakaan di perpustakaan pusat USU, baik melalui
penelusuran catalog maupun surfing di internet.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif,
yaitu dengan melakukan :
a. Memilih peraturan perundang-undangan dari bahan hukum primer, sekunder
dan tersier yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan
dengan masalah penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis internasional;
b. Membuat sistematik dari bahan-bahan hukum tersebut sehingga
menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan penyelesaian sengketa
dalam transaksi bisnis internasional;
BAB II
BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA YANG DIKEMBANGKAN DI INDONESIA SEBAGAI FORUM PENYELESAIAN SENGKETA
E. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional yang Dikenal di Indonesia
Dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional pada dasarnya terdapat
beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu melalui proses :
1. Litigasi (pengadilan)
Litigasi atau forum pengadilan adalah forum ”klasik” yang dipilih para
pihak.51 Pengadilan merupakan refleksi dari jurisdiksi judikatif suatu negara
berdaulat. Segala peristiwa hukum, termasuk sengketa kontrak yang terjadi di dalam
wialayah suatu negara, pada prinsipnya berada dibawah jurisdiksi negara itu. Hasil
yang akan diperoleh dari proses litigasi hanya 2 (dua) kemungkinan, yaitu menang
atau kalah. Dalam membela dan mewakili kepentingan salah satu pihak dalam
sengketa bisnis internasional, proses litigasi ini bukan hanya dapat diajukan ke
hadapan badan peradilan umum (Pengadilan Negeri) di Indonesia maupun badan
peradilan di luar yuridiksi negara Indonesia, melainkan juga sengketa itu dapat
diajukan ke hadapan peradilan lainnya, misalnya52:
a.) Pengadilan Niaga;
b.) Pengadilan Tata Usaha Negara; dan
51
Huala Adolf. Loc.Cit.Hal 173 52
c.) Pengadilan Pajak.
Selain itu dalam konteks sengketa bisnis internasional, proses litigasi juga
dapat diajukan ke hadapan badan kuasi peradilan di Indonesia (quasi judicial power),
seperti misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komite Anti Dumping
Indonesia, dan badan-badan kuasi peradilan lainnya. Berbeda dengan proses arbitrase,
mediasi, negoisasi, dan konsiliasi yang hanya dapat dilaksanakan prosesnya apabila
telah ada kesepakatan terlebih dahulu dari pihak yang terlibat.
pilihan terhadap proses litigasi dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu 53:
a.) Para pihak dalam dokumen transaksi telah mengatur choice of forum melalui
forum litigasi atau;
b.) Hukum positif yang terkait memberikan kewenangan kepada forum litigasi
tertentu untuk memeriksa dan memutus perkara yang terkait dengan pokok
masalah tertentu, dimana perkara tersebut dapat diajukan oleh salah satu pihak
tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pihak lainnya, maksudnya proses
litigasi dapat dijalankan tanpa persetujuan dari pihak lainnya yang terkait
dengan sengketa. Hal ini berbeda dengan arbitrase, mediasi, negoisasi, dan
konsiliasi dimana kedua proses dan mekanisme ini secara mutlak hanya dapat
dilaksanakan apabila telah ada kesepakatan dari pihak mengenai hal ini54.
Menurut hemat penulis, proses penyelesaian sengketa melalui litigasi
(pengadilan) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa dikarenakan porses
53
Ibid. Hal 303. 54
litigasi (Pengadilan) memiliki kelebihan, yakni putusannya dihormati dan wajib
dilaksanakan oleh para pihak, terlepas apakah pengadilan telah menerapkan hukum
dengan benar atau tidak, putusan pengadilan sifatnya mengikat secara hukum. Para
pihak yang tidak menghormati putusannya, hukum dapat memaksanya.55
Sedangkan segi negatif (kekurangan) dari proses litigasi (pengadilan) menurut
penulis adalah banyaknya kritik yang sudah terlanjur disandang. Di Indonesia, forum
ini dicap sebagai tempat berkumpulnya “mafia peradilan”. Selain itu proses
penyelesaiannya umumnya memakan waktu yang cukup lama, serta putusannya yang
mungkin untuk dipublikasikan ke khalayak umum, karena prinsip dari proses litigasi
(pengadilan) ini bersifat umum dan terbuka. Hal ini umumnya tidak disukai oleh para
pihak yang bersengketa dikarenakan akan merusak reputasi & kredibilitas para pihak
(pelaku usaha) yang bersengketa.
2. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang
paling tua yang digunakan oleh umat manusia.56 Negosiasi adalah perundingan yang
diadakan secara langsung antara para Pihak dengan tujuan untuk mencari
penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.57 Banyak sengketa yang
55
Huala Adolf. Op.Cit.Hal 173 56
W. Poeggel and E. Oeser., Methods of Diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed), International Law: Achievements and Prospects, (Dordrecht: Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991), hal. 514.
57
diselesaikan setiap hari melalui negosiasi tanpa adanya publisitas atau perhatian
publik.58
Pengertian negosiasi, menurut Runtung Sitepu, merupakan salah satu bentuk
Penyelesaian Sengketa Alternatif dimana para pihak yang bersengketa melakukan
perundingan secara langsung (adakalanya di dampingi pengacara masing-masing)
untuk mencari penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi ke arah
kesepakatan atas dasar win-win solution.59
Negosiasi dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa,
apakah itu sengketa ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan
lain-lain. Bahkan apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu
badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih
dimungkinkan untuk dilaksanakan.60
Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut : 61
a) Para pihaklah yang memegang palu hakim-nya sendiri;
b) Sifatnya rahasia;
c) Hukum acara atau formalitas persidangan tidak ada;
58
FV. Garcia Amador., The Changing Law of International Claims, (USA: Occeana, 1984), hal. 518.
59
Runtung Sitepu., Alternative Disputes Resolution dan Arbitrase, Makalah disampaikan dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Kerjasama DPC IKADIN Medan dengan Fakultas Hukum USU, 2006, hal. 6.
60
FV. Garcia Amador, Op. cit, hal. 159. 61
Segi negatif dari forum negosiasi ini adalah sebagai berikut :
a) Manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, dimana salah satu pihak kuat
sedangkan pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada
dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Satu pihak yang terlalu keras dengan
pendiriannya dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.
Hal tersebut sering terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan
sengketa;62
b) Proses negosiasi lambat dan memakan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan
permasalahan antar negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan
dengan ekonomi Internasional. Selain itu, jarang sekali adanya persyaratan
penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui
negosiasi;
Pada dasarnya, berhasil atau tidaknya negosiasi dilaksanakan dipengaruhi oleh
ketepatan dalam teknik kemampuan untuk menyampaikan posisi yang diinginkan
dengan jelas dengan menggunakan berbagai alasan. Hal lainnya adalah kemampuan
untuk mematahkan argumentasi pihak lawan, juga dengan menyampaikan
alasan-alasan yang berlawanan.
Dengan tidak adanya pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa ini
menjadikan negosiasi sebagai tahap pertama dalam penyelesaian sengketa. Apabila
dalam proses negosiasi ini menghasilkan suatu keputusan maka hasil kesepakatan
62
tersebut dituliskan dalam dokumen perjanjian, seperti yang tertulis dalam Pasal 6
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian
Sengketa, menyebutkan bahwa; “Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung (negosiasi)
oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”. Oleh karena kesepakatan tertulis hasil
negosiasi adalah suatu persetujuan di antara para pihak, maka selayaknya juga jika
hasil negosiasi tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau
dengan alasan bahwa salah satu pihak telah dirugikan. Walau demikian masih terbuka
kemungkinan untuk tetap dapat dibatalkan, jika memang dapat dibuktikan telah
terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau paksaan, atau kesepakatan telah
diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu. 63
Menurut penulis, bahwa negosiasi ini lebih banyak diwarnai dengan
pertimbangan politis daripada pertimbangan atau argumen hukumnya. Namun
demikian, dalam proses negosiasi, adakalanya argumen hukum tersebut lebih
berfungsi untuk memperkuat kedudukan para pihak. Manakala proses ini berhasil,
hasilnya biasanya dituangkan dalam suatu dokumen yang memberinya kekuatan
hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu
dokumen perjanjian perdamaian. Selanjutnya, para pihak biasanya mensyaratkan,
bahwa manakala cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk
63
menyerahkan penyelesaian sengketa tersebut dengan cara lainnya, seperti arbitrase,
mediasi, atau konsiliasi.
3. Mediasi
Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat
(3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (5) UU No. 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai
mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan
suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh
para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. 64
Undang-undang tidak memberikan rumusan defnisi atau pengertian yang jelas
dari mediasi maupun mediator. Dari literatur hukum, misalnya dalam Black’s Law
Dictionary, Mediasi adalah:
“a method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution”. (Mediasi adalah usaha untuk menyelesaikan perselisihan hukum melalui partisipasi aktif pihak ketiga (mediator) yang bekerja untuk menemukan poin kesepakatan dan membuat orang yang menghadapi konflik menemukan hasil yang baik).65
Christopher W.Moore, menyebutkan bahwa mediasi adalah intervensi dalam
sebuah sengketa atau negosiasi pihak ketiga yang bisa diterima oleh pihak yang
bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral.
Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Melainkan
64
Ibid. Hal. 90. 65
bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau
mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing dalam suatu
persengketaan.66
Mediasi, dari pengertian yang diberikan, jelas melibatkan keberadaan pihak
ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator.
Mediator adalah pihak yang ditunjuk oleh salah satu atau kedua pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketa, dalam hal ini diperlukan kesepakatan
atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama. Sifatnya hanya rekomendatif
atau usulan saja.Dalam hal menyelesaikan suatu sengketa, mediator bebas
menentukan bagaimana cara penyelesaian sengketa yang sedang berlangsung dan
mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi
terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk
memperoleh hasil yang menguntungkan (win-win). Mediator seharusnya dapat
mengetahui sejak awal apabila ada proses pemaksaan, ketidakjujuran atau posisi
tawar menawar yang tidak seimbang diantara para pihak. Mediator juga berhak untuk
memutuskan proses mediasi apabila telah terbukti menemukan unsur diatas. Mediator
harus dapat membedakan kepentingan pribadi.67
Beberapa hal penting dalam proses mediasi ini, yaitu pertama, penyelesaian
perselisihan dilakukan dengan itikad baik (good faith) di antara para pihak dan
keinginan sukarela untuk menyelesaikan masalah dengan mengesampingkan
66
Runtung Sitepu, Loc. cit, hal. 7. 67
penyelesaian dengan proses arbitrase atau litigasi di Pengadilan Negeri. Jadi, di sini
para pihak berperan aktif untuk mencari solusi atas sengketa yang timbul di antara
mereka. Kedua, mediator tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan
yang mengikat, tetapi mediator hanya sebagai penengah atau fasilitator di antara para
yang bersengketa untuk membantu para pihak guna mengidentifikasikan
permasalahan yang timbul dan menemukan cara pemecahan yang terbaik. Tidak
seperti hakim atau arbiter yang mempunyai kemampuan teknis tertentu dalam
menyelesaikan sengketa. Ketiga, hasil kesepakatan yang disepakati oleh para pihak
yang bersengketa akan dituangkan dalam perjanjian, yang mengikat kedua belah
pihak. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka hubungan kerja sama di antara para
pihak yang sebelumnya sudah terbina, dapat berjalan kembali. Apabila tidak dapat
dicapai kesepakatan, maka para pihak dapat mengajukan penyelesaian masalahnya
melalui lembaga arbitrase atau meneruskannya ke dalam proses litigasi.
Segi positif dari proses mediasi adalah sebagai berikut:68
a) Dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan jika
membawa sengketa tersebut ke pengadilan atau arbitrase;
b) Memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada
kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya hak-hak hukumnya
saja;
68
c) Memberi kesempatan kepada para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan
secara informal di dalam menyelesaikan sengketa mereka;
d) Memberikan kemampuan kepada para pihak untuk melakukan kontrol terhadap
proses dan hasilnya;
e) Dapat mengubah hasil yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan
suatu kepastian melalui konsensus;
f) Memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian
yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang
memutuskannya; dan
g) Mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi
setiap putusan yang bersifat memaksa yang diputuskan oleh hakim di pengadilan
atau arbiter pada arbitrase;
Segi negatif dari penyelesaian sengketa dengan cara mediasi adalah mediator
dapat saja dalam menjalankan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya. 69
Menurut penulis, hal yang harus diperhatikan dalam proses mediasi, seperti
faktor kerahasiaan. Kemungkinan salah satu pihak mempunyai itikad yang tidak baik
yang menjadikan proses ini sebagai peluang untuk mendapatkan informasi sebanyak
mungkin sebelum akhirnya memutuskan untuk berlitigasi dan mediator yang
mempunyai kemungkinan akan keberatan atau tuntutan para pihak apabila dianggap
membuka atau membocorkan rahasia. Namun hal ini dapat diantisipasi melalui
69