• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN

C. Tanggung Jawab Produsen terhadap Produk Cacat

1. Peraturan Mengenai Produk

Walaupun tergolong doktrin baru, namun pengaturan mengenai produk cacat telah lahir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khusus mengenai cacat tersembunyi. Pengaturan mengenai pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan oleh adanya cacat, khususnya cacat tersembunyi terdapat pada Pasal 1504 KUH Perdata, di mana pada Pasal tersebut mewajibkan penjual untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan karena penggunaan produk yang dijualnya.

Menurut Pasal tersebut, faktor utama yang menentukan suatu cacat pada produk merupakan cacat tersembunyi adalah seandainya seorang pembeli mengetahui adanya cacat tersebut, maka pembeli tersebut akan batal membeli barang tersebut, atau sekurang-kurangnya meminta pengurangan harga barang. Pertanggungjawaban yang demikian ini merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang dibebankan kepada penjual dalam timbulnya kerugian yang disebabkan oleh digunakannya produk cacat tersebut. Ganti kerugian yang diberikan hanya sebatas kerugian yang disebabkan oleh adanya cacat tersembunyi, dan bukan cacat yang memang kelihatan oleh si pembeli (Pasal 1505 KUH Perdata) Mengenai ganti kerugian terhadap cacat tersembunyi dapat diperoleh konsumen dengan cara mengembalikan barangnya dengan menuntut pengembalian harga pembelian barang tersebut atau tetap memiliki barang dengan menuntut pengembalian sebagian harga pembelian (Pasal 1507 KUH Perdata). Apabila penjual telah mengetahui mengenai cacat barang tersebut, maka produsen

diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya serta diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga kepada pembelian (Pasal 1508 KUH Perdata).

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri juga mengatur mengenai ganti kerugian terhadap produk cacat. Adanya produk cacat merupakan tanggung jawab pelaku usaha serta termasuk dalam perbuatan melanggar hukum yang disertai dengan unsur tanggung jawab yang mutlak. Dalam UUPK diatur mengenai perbuatan-perbuatan yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen yang diatur dalam Pasal 4, 5, 7 sampai dengan Pasal 17, Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28.

Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau

penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai produk cacat dengan beban pembuktian diserahkan kepada pelaku usaha, dengan demikian maka konsumen dilindungi hanya untuk mendapatkan yang terbaik, prestasi berupa produk dengan kontraprestasi harga yang harus dibayarkan atas produk tersebut. Namun, selalu menjadi pertanyaan, bagaimanakah penegakan hukum UUPK ini?

Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh Persatuan

Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan: “konsumen di manapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”. Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur; Hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan); hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing.

Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar bagaimana

memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaiatan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik.

Konsumen harus sadar akan hak-hak yang mereka punyai sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia yang selama ini dianggap kurang diperhatikan bisa menjadi lebih diperhatikan.

Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan peraturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:77

(1) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan

informasi, serta menjamin kepastian hukum;

(2) Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepetingan

seluruh pelaku usaha;

(3) Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

(4) Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang

menipu dan menyesatkan;

(5) Memadukan penyelenggarakan, pengembangan dan pengaturan

perlindungan konsumen dengan bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

2. Tanggung Jawab Produsen

Menurut Natalie O`Connor; “Tanggung jawab produk, dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kesalahan atau kesalahan barang yang merupakan tanggung jawab pelaku usaha pembuat produk tersebut”.78 Dari pendapat yang dikemukakan Natalie di atas dapat dilihat secara umum bahwa Tanggung Jawab Produk adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal yang sudah dikenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen) itu (strict liability). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

77

Nurmadjito, Op.Cit., hlm. 7.

78 Natalie O’Connor, Consumer Protection Under the Trade Practices Act: A Time For Change di dalam Inosentius Samsul (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen I, (Jakarta: Pascasarjana FH-UI, 2001), hlm. 94.

Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya.

Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh berbeda dan konsepsi tanggung jawab sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 (dan 1865) KUH Perdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen unuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen. Perbedaan lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang atau instansi lain. Apa yang dimaksud dengan cacat produk? Di Indonesia cacat produk atau produk yang cacat didefinisikan sebagai berikut:

“Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi

dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”.79

Dari batasannya ini dapat dilihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut. Perkembangan ini dipicu oleh tujuan yang ingin dicapai dokrin ini yaitu:

a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut.

b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat

dihindari.

Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena:

1. Cacat Produk atau Manufaktur;

2. Cacat Desain;

3. Cacat Peringatan atau Cacat Instruksi.

Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Cacat seperti tersebut di atas termasuk cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi.

Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi tertentu sebagaimana yang diutarakan di atas, termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk tersebut. Tetapi di samping produsen, dengan syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat diletakkan di atas pundak pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor atau pedagang pengecernya.

Jadi tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang-orang lain atau barang lain, sedang

tanggung jawab pelaku usaha, karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.80

Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa ada gium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah ditinggalkan, dan kini berlaku caveat emptor (pelaku usaha bertanggung jawab). Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen diatur dalam Pasal 4, 5, 7-17, 19-21 dan Pasal 24 sampai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produsen) beru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (producer and manufacture) maupun penjual (seller or distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian terhadap konsumen.

Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (Product

liabillity) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang

bersifat intangible seperti listrik, produk alami (misalnya: makanan binatang peliharaan dengan jenis binatang lain), tulisan (misalnya: peta penerbangan

yang diproduksi secara massal), atau perlengkapan tetap pada rumah real

estate.81

Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tetapi juga termasuk komponen suku cadang. Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect:

1. Production/manufacturing defect,

2. Design defect dan,

3. Warning or instruction defect.

Production/manufacturing defect, yaitu apabila suatu produk dibuat tidak sesuai

dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.

Design defect, yaitu apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada

manfaat yang diharapkan olej konsumen biasa atau bila keuntungan dari desain produk tersebut kecil dari resikonya.

Warning/instruction defect, yaitu apabila buku pedoman, buku panduan,

pengemasan, etiket (label), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang

penggunaannya yang aman.82

Tentang pengertian product liability dapat dikemukakan sebagai berikut:83 Menurut Hursh: product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari produsen yang menghasilkan suatu produk atau dari irang atau badan yang bergerak dalam proses untuk menghasilkan suatu produk, atau orang/badan yang menjual produk tersebut.

Perkins Coie menyatakan: Product Liability adalah tanggung jawab hukum dari produsen atau orang-orang yang terlibat dalam distribusi suatu produk kepada para pemakai produk yang terluka karena menggunakan produk tersebut.

81 H.E Saefullah, Op.Cit., hlm. 44. 82 Ibid, hlm. 46.

Konvensi mengenai penerapan hukum terhadap tanggung jawab produk (Konvensi Hague), Pasal 3 menyatakan, konvensi ini berlaku pada orang-orang berikut ini:

1. Produsen/pelaku usaha membuat pembuat jadi atau produk jadi atau produk

komponen/bagian; 2. penghasil produk alam;

3. Penyalur Produk;

4. Orang lain, termasuk orang yang memperbaiki dan orang yang bertugas di gudang, yang terkait dalam rangkaian komersial yang mempersiapkan distribusi suatu produk, tanggung jawab produk juga berlaku kepada agen atau para pekerja.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan, dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkain komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

Jika masalah tanggung jawab produsen ini dikaitkan dengan teori prinsip tentang tanggung jawab, di mana prinsip tentang tanggung jawab ini merupakan prihal yang sangat penting dalam hukum tentang tanggung jawab. Di mana secara umum, prinsip-prinsip tenggung jawab ini dibedakan menjadi beberapa prinsip

tanggung jawab diantaranya: prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault), prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga selalu bertanggung jawab (persumption of liability), prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga selalu tidak bertanggung jawab (persumption of non liability), prinsip tanggung jawab berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability), dan prinsip tanggung jawab berdasarkan pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Dari prinsip-prinsip tanggung jawab sebagaimana dikatakan di atas yang paling mendekati dengan masalah tanggung jawab produsen adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip tanggung jawab berdasarkan tanggung jawab mutlak ini secara khusus akan dibahas dalam pembahasan di bawah ini.