• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA

4. Perbandingan dengan Berbagai Negara

Pembentukan OJK di Indonesia tidak terlepas dari akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 dan mengikuti trend Bank Sentral di beberapa negara antara lain Inggris (1997), Jerman (1949), Jepang (1998) yang menginginkan agar bank

sentral independen, bebas dari campur tangan pihak manapun. OJK mengadopsi beberapa sistem yang sudah digunakan oleh negara lain. Beberapa diantaranya adalah dari yang berhasil hingga yang gagal menjalankan fungsinya dan kembali ke wewenang semula. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mulaiman D Hadad mengatakan bahwa sistem pengawasan dan perlindungan konsumen diadopsi dari sejumlah negara, beberapa diantaranya antara Inggris, Australia dan Korea Selatan.45

Adapun perbandingan yang diteliti terhadap beberapa negara yang pernah menganut sistem yang sama seperti OJK yang ada di Indonesia, diantaranya:46

1. Inggris

Latar belakang dibentuknya sistem pengawasan tunggal di Inggris adalah kasus kegagalan beberapa bank di Inggris seperti Neural Banker dan Baring Bank. Kegagalan kedua bank ini juga disertai dengan penutupan 12 bank lainnya. Tepatnya pada 1 Juni 1998 dibentuklah OJK di Inggris yang

dinamakan Financial Supervisory Agency (FSA). FSA ini memiliki tugas

yaitu melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap lembaga keuangan, (termasuk perbankan), perlindungan konsumen dan juga pelaksanaan hukum. Hampir sama seperti yang terjadi di Indonesia, OJK didirikan karena dilatarbelakangi oleh ditutupnya berbagai bank yang ada di Indonesia dan

45

Belajar yang baik dan buruk dari negeri orang,

tanggal 10 Oktober 2013).

46

Stehpanie Rebecca Ester, , Ironisme OJK: Gagal di Negara Maju, namun Diminati di

Indonesia,

tugas OJK juga sama-sama melakukan pengawasan terhadap sistem keuangan yang ada. Tetapi, ada juga hal yang dapat menjadi pembeda antara OJK di Indonesia dengan Financial Services Authority, yaitu:

a. Aspek pembiayaan,

Di Inggris, sumber dana untuk membiayai operasional FSA berasal dari pungutan terhadap lembaga-lembaga yang diawasi oleh FSA melalui mekanisme pungutan dan denda. Dalam mengenakan pungutan terhadap Lembaga Keuangan, FSA harus mempertimbangkan kondisi finansial dan intensitas kegiatan dari tiap-tiap Lembaga Keuangan dengan tujuan untuk memastikan bahwa pungutan yang dikenakan bisa dibayar oleh Lembaga Keuangan bersangkutan dan tidak memberatkan antara Lembaga Keuangan satu dengan lainnya bisa saja berbeda. Sedangkan di Indonesia, sumber dana untuk membiayai operasional OJK berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dari pungutan atas Lembaga Keuangan yang diawasi. Pungutan tersebut antara lain biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan ini digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan asset serta kegiatan pendukung lainnya dalam penyesuaian biaya-biaya yang dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan. Pembiayaan OJK tersebut diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan “Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

b. Sifat Independen Sebagai Lembaga Negara

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan, OJK terlepas dari campur tangan pihak lain. Di dalam ayat (2) tahun 2011 tentang OJK disebutkan bahwa “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini”.

Sedangkan di Inggris, FSA diberikan independensi dalam pelaksanaan tugasnya, namun dalam kondisi tertentu, Departemen Keuangan mempunyai kewenangan untuk memberikan perintah kepada FSA. Departemen keuangan mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan ketua dan anggota dewan komisioner. Departemen Keuangan juga diberikan kewenangan memerintahkan kepada FSA untuk merubah ketentuan-ketentuan dan pelaksanaan tugasnya, misalnya pada saat terjadi kerugian yang disebabkan oleh kegagalan FSA dalam mengawasi persaingan usaha atau ketika FSA gagal dalam penerapan ketentuan-ketentuan tata kelola lembaga yang baik. Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menjalankan kewenangannya sebagai lembaga pengawas jasa keuangan, FSA belum sepenuhnya independen.

2. Australia

APRA adalah otoritas pengawas sektor keuangan di Australia dan mengambil alih tugas Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Supernuation Committee (ISC). Lembaga ini dibentuk pada 1 Juli 1998 yang menjalankan fungsi pengawasan lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Disamping itu, APRA juga menjalankan pengawasan terhadap industridana pensiun (superannuation

funds). APRA adalah lembaga yang pada awalnya dianggap pemerintah

Australia dapat membantu dalam mengatasi kebangkrutan yang dulu dialami oleh konglomerat asuransi di Australia karena miss manajemen keuangan. Namun, yang diharapkan pemerintah Australia berbeda jauh dengan kenyataan, Pasalnya APRA mengakui kegagalanya dalam mendeteksi dan mencegah kebangkrutan tersebut yang tidak lepas dari minimnya waktu untuk menuntaskan transfer di atas, termasuk penyempurnaan sistem pengawasan.

3. Jepang

Didalam negara Jepang, Otoritas Jasa Keuangan lebih dikenal dengan namaThe Financial Supervision Agency (FSA). FSA dibentuk tanggal 22 Juni 1998 oleh pemerintah Jepang demi membantu Bank of Japan (BOJ) dalam melakukan fungsi pengawasan. BOJ yang awalnya memiliki kewenangan atas pengawasan kini hanya menangani kebijakan, perumusan sistem moneter dan implementasinya.. Berbagai informasi tentang kondisi keuangan lembaga keuangan yang diperoleh BOJ tersebut sangat bermanfaat bagi BOJ, baik dalam hal menjaga stabilitas pembayaran (payment) dan sistem keuangan di

Jepang maupun dalam hal perumusan kebijakan moneter. Sehingga akan memperoleh kondisi perbankan secara akurat dan cepat. FSA yang awalnya dibentuk agar dapat membantu BOJ, dalam hal pengawasan belum memberikan kinerja yang efektif. Ini dibuktikan dengan masih adanya resiko sistemik yang tinggi dan penerapan prinsip prudensial yang belum ketat. Sehingga jika harus menjadi perbandingan dalam pembentukan OJK yang di Indonesia, tentunya memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan ini, tentunya dapat menarik kesimpulan bahwa FSA yang dipakai oleh Jepang, berbeda dengan OJK yang dibentuk pemerintah Indonesia. Sebab OJK yang dibentuk pemerintah Indonesia, tidak melakukan pengawasan dalam bidang moneter, namun dalam bidang pengawasan perbankan dan mengenai bidang moneter masih dalam genggaman Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan dan pengawasan.

4. Korea

Negara Korea juga salah satu negara yang memiliki lembaga jasa keuangan

yang diberi nama Financial Supervisory Service (FSS). Lembaga yang

didirikan oleh pemerintah Korea ini dipimpn oleh seorang Gubernur yang juga merangkap sebagai Gubernur Komisi Jasa Keuangan yang mempertanggung jawabkan tugasnya kepada pemerintah. Namun hal yang disayangkan adalah tatanan seperti ini menimbulkan persoalan independensi dan kerancuan koordinasi dengan otoritas moneter. Hal ini terjadi karena lembaga ini dipimpin oleh anggota pemerintahan, sehingga kekuasaan yang sangat besar ini tentunya menimbulkan ketimpangan dalam memberikan

keputusan. Keadaan FSS yang dimiliki oleh Korea ini cukup jauh berbeda dengan OJK yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. OJK yang didirikan oleh pemerintah Indonesia, memiliki independensi yang cukup baik, manakala para komisioner yang dikenal sebagai pemimpin OJK tidak berada dalam kedudukan pemerintahan. Namun pihak-pihak yang duduk didalam anggota komisioner di OJK adalah orang-orang yang mengetahui mengenai sistem perekonomian dunia dan berasal dari kalangan yang awalnya pemimpin dari lembaga keuangan, bukan dari anggota pemerintahan. Walaupun dalam pemilihan anggota komisioner OJK dipilih oleh lembaga legislatif (DPR), namun dalam mengambil keputusan tidak dipengaruhi oleh DPR, tetap pada kolektif kolegial dan berdiri sebagai lembaga independen.

Dokumen terkait