SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN
BANK GAGAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
SKRIPSI
Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai
persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
NIM : 090200230
KING RICHTER SINAGA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN
BANK GAGAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH
:
NIM : 090200230 KING RICHTER SINAGA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
NIP. 197501122005012002 Windha, SH, M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H
NIP: 195603291986011001 NIP: 197302202002121001 Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karna
atas berkat dan rahmat yang dilimpahkan-Nya dari awal hingga akhir penulisan
skripsi ini dapat selesai dengan baik.
Penulisan skripsi ini merupakan kewajiban tahap akhir studi yang disusun
dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan. Adapun judul yang penulis bahas adalah “Sistem Koordinasi Antara
Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”.
Penulis menyadari, sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan
dan kekurangan baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan Bapak
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam mengasuh serta membimbing penulis sejak masuk bangku
kuliah hingga akhir penulisan skripsi ini, maka penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Skripsi ini penulis persembahkan terkhusus buat kedua orang tuaku, Drs.
D. Sinaga dan A.F. Saragi S.Pd yang telah memberikan kasih sayang yang tak
terhingga kepada penulis, dan yang selalu mendoakan penulis, memberikan
Penulis juga menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu penulis
dalam menyusun skripsi ini, baik melalui bimbingan, doa dan bantuan lainnya.
Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M,Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Syafruddin, S.H,. M.H., D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dalam
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum
Ekonomi Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I
yang telah banyak membantu penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah
diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum Dosen Pembimbing II yang juga
telah banyak membantu penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi
ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada
8. Bapak Syarifuddin Siba, S.H. seaku Dosen Wali penulis semasa
perkuliahan
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama
masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta
seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
10.Saudara-saudaraku terkasih, kakakku Silvia Dewi Ita Sinaga, Lidya
Degrace Sinaga, dan adikku Dian Oktopin Sinaga, terima kasih atas doa
dan semua dukungannya.
11.Teman-temanku yang selalu mendukungku, Bram Manalu, Priadi Hutapea,
Evan Richardo Tambunan, Iksan Abdillah, Budi Bahrezy, Mhd. Subhi
Solih, Fauzul Asyura, Andi Azlan, Zulfadli Syarbaini, Yunita Panjaitan,
Ruth Paolin Marbun, Anita Veronika, Santi Hutauruk Dwi Hardi, Ahmad
Husein, Agry Purba, Haposan, David Klery, dan semua teman-teman
stambuk 2009 lainnya. Terima kasih atas semangat dan dukungan yang
telah diberikan selama ini.
12.Teman-teman diluar kegiatan kampus yang memberikan banyak inspirasi
13.Semua pihak yang membantu penulis dalam berbagai hal yang tidak dapat
disebut satu-persatu
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal atas
kasih, jerih payah, dan jasa-jasa mereka. Penulis mohon maaf kepada Bapak/Ibu
dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata-kata yang tidak
Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan dan segenap pembaca. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran
mengenai topik yang diangkat dalam penulisan skripsi ini karena penulis juga
menyadari kekurangan dan ketidaksempurnaan penulis. Semoga Tuhan
memberkati kita semua. Amin. Terima Kasih.
Medan, Oktober 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 10
D. Keaslian Penulisan ... 12
E. Tinjauan Kepustakaan ... 13
F. Metode Penelitian ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA YANG INDEPENDEN A. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ... 24
2. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ... 25
3. Tujuan Dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan ... 29
4. Perbandingan dengan Berbagai Negara ... 34
B. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Perbankan Nasional 1. Fungsi, Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ... 40
2. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Perbankan ... 43
C. Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Lembaga yang Independen
1. Pengertian Independen dan Lembaga Independen ... 47
2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan ... 51
3. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Lain ... 56
BAB III KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN SEBAGAI LEMBAGA YANG INDEPENDEN
A. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan
1. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan ... 62
2. Latar Belakang Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan .. 64
3. Tujuan Dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan ... 65
B. Kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Sistem
Perbankan Nasional
1. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Lembaga Penjamin
Simpanan ... 67
2. Kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan dalam
Sistem Perbankan Nasional ... 70
3. Lembaga Penjamin Simpanan dan Perlindungan
Terhadap Nasabah Bank ... 74
C. Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga yang
Independen
1. Independensi Lembaga Penjamin Simpanan ... 77
2. Hubungan Lembaga Penjamin Simpanan dengan
BAB IV SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN BANK GAGAL
A. Sistem Pengawasan Perbankan yang Dilakukan Oleh
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan ... 82
B. Penetapan Bank Gagal Yang Dilakukan Oleh Otoritas Jasa
Keuangan ... 93
C. Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga
Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal ... 100
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 112
ABSTRAKSI King Richter Sinaga *)
Bismar Nasution **)
Mahmul Siregar ***)
Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998 telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi pemerintah. Krisis tersebut berakibat semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang ada. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, maka pemerintah membentuk jaminan pemerintah yang
disebut blanket guarantee. Seiring berkembangnya jaman, maka jaminan
pemerintah tersebut sudah tidak efektif lagi, dan kemudian dibentuklah Lembaga Penjamin Simpanan. Tugas LPS adalah untuk melaksanakan penjaminan simpanan dan turut aktif menjaga stabilitas perbankan. selain itu, LPS juga bertugas untuk menangani bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak berdampak sistemik.
Penyempurnaan sistem perbankan atas dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 juga ingin membentuk lembaga pengawas sector jasa keuangan yang independen, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UU No. 23 Tahu 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 37 B ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempuyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan . keindependesian OJK akan sepenuhnya efektif apabila terdapat Good Corporate Governance didalam dunia keuangan dan perbankan. Karena
penerapan sistem Good Corporate Governance secara konsisten terbukti dapat
meningkatkan kualitas dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama.
Kata Kunci: OJK, LPS, Bank Gagal
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I
ABSTRAKSI King Richter Sinaga *)
Bismar Nasution **)
Mahmul Siregar ***)
Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998 telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi pemerintah. Krisis tersebut berakibat semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang ada. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, maka pemerintah membentuk jaminan pemerintah yang
disebut blanket guarantee. Seiring berkembangnya jaman, maka jaminan
pemerintah tersebut sudah tidak efektif lagi, dan kemudian dibentuklah Lembaga Penjamin Simpanan. Tugas LPS adalah untuk melaksanakan penjaminan simpanan dan turut aktif menjaga stabilitas perbankan. selain itu, LPS juga bertugas untuk menangani bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak berdampak sistemik.
Penyempurnaan sistem perbankan atas dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 juga ingin membentuk lembaga pengawas sector jasa keuangan yang independen, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UU No. 23 Tahu 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 37 B ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempuyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan . keindependesian OJK akan sepenuhnya efektif apabila terdapat Good Corporate Governance didalam dunia keuangan dan perbankan. Karena
penerapan sistem Good Corporate Governance secara konsisten terbukti dapat
meningkatkan kualitas dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama.
Kata Kunci: OJK, LPS, Bank Gagal
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah krisis moneter dan krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia
pada pertengahan tahun 1997, banyak kejadian-kejadian penting yang
menyangkut berbagai bank pemerintah maupun swasta nasional. Perkembangan
yang dialami dalam sektor perbankan nasional akhir-akhir ini sangat pesat.
Kejadian-kejadian pada sektor perbankan nasional tersebut ditandai dengan
munculnya program penyehatan didalam perbankan yang dilakukan oleh
pemerintah dan juga Bank Indonesia, seperti bank yang ikut program
rekapitalisasi, beberapa bank yang melakukan merger, dan berbagai bank yang
melakukan divestasi saham.
Selain tindakan-tindakan terhadap berbagai bank yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah juga melakukan penataan kembali terhadap
ketentuan-ketentuan baru didalam sektor perbankan, yakni menyusun Undang-Undang
Perbankan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Tidak
hanya itu, ketentuan mengenai Bank Indonesia juga mengalami perubahan, yakni
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, yang memberi
pemerintah tidak berhak lagi untuk ikut campur dalam pelaksanaan tugas-tugas
yang dilakukan oleh Bank Indonesia1
Bank Indonesia sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 adalah bank sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga
negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau
pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
undang-undang yang telah mengaturnya. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
1945, Bank Indonesia ditunjuk sebagai lembaga yang berwenang untuk
mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah sebagai alat pembayaran yang
sah. Disamping itu, Bank Indonesia juga diberikan kewenangan dan tanggung
jawab yang berkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar
masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat,
tepat dan juga aman.
.
Dalam rangka melaksanakan tugas terhadap pengaturan dan pengawasan
bank, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan dan
perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan sanksi
terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping itu, krisis keuangan dan perbankan yang terjadi pada tahun
1997-1998 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga atas pentingnya
penciptaan suatu kerangka stabilitas sistem keuangan dimana stabilitas sistem
keuangan ini merupakan suatu rangkaian dari proses dan kegiatan yang diawali
1
dengan pemantauan, pengidentifikasian kemungkinan timbulnya suatu krisis,
sampai dengan pencegahan terhadap krisis tersebut. Aspek pemantauan dan
identifikasi krisis merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas
sistem keuangan karena langkah preventif dan antisipatif dipandang sebagai
langkah yang lebih murah daripada penyelesaian krisis.2
Untuk meminimalkan terulangnya sistemic risk3
1. Penyempurnaan fungsi Bank Indoesia selaku lender of the last resort
(LOLR)
pada sektor keuangan
khususnya sistem perbankan, maka sistem perbankan yang ada perlu untuk lebih
disempunakan lagi. Penyempurnaan sistem perbankan dalam rangka kestabilan
sistem keuangan yang sudah/sedang dilakukan pemerintah saat ini meliputi dua
aspek besar, yaitu:
2. Penyempurnaan kelembagaan peran dan wewenang otoritas perbankan
sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia dan Pasal 37B ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana
telah dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu:
a. Pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia
b. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen, dan
2
Anwar Nasution, “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan di Indonesia”
3
Systemic Risk adalah resiko pasar yang mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Dalam
c. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, serta penyempurnaan
terhadap sistem perbankan yang meliputi kelembagaan bank,
kepemilikan bank, sumber daya manusia perbankan, produk perbankan
serta tegnologi perbankan. Keseluruhan aspek tersebut akan dirangkai
dalam kesatuan perangkat hukum yang jelas dan juga tegas.4
Oleh sebab itu industri perbankan merupakan salah satu komponen yang
sangat penting dalam perekonomian nasional dalam menjaga kestabilan, kemajuan
dan juga kesatuan terhadap ekonomi nasional. Dengan dilikuidasinya 16 bank
yang diikuti dengan krisis moneter pada tahun 1998 telah mengakibatkan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menurun. Oleh sebab itu,
tindak lanjut dari Pasal 37B UU Perbankan tersebut adalah dalam pembentukan
suatu lembaga yang baru, yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang
bertujuan untuk menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga
stabilitas sistem perbankan.5
Pada dasarnya, pendirian LPS ini dilakukan hanya sebagai upaya dalam
memberikan perlindungan terhadap dua resiko yaitu irrational run terhadap bank
dan sistemic risk. Dalam menjalankan usahanya, biasanya bank hanya menyisakan
sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila terjadi
penarikan dana oleh nasabah. Sementara itu bagian terbesar dari simpanan yang
ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini akan menyebabkan
perbankan tidak dapat memenuhi permintaan didalam jumlah yang besar dengan
4
Ibid.,hal. 12.
5
segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara
tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash ini
dikarenakan bank tidak dapat menarik segera pinjaman yang telah disalurkannya.
Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan oleh nasabah,
maka nasabah biasanya akan menjadi panik dan akan menutup rekeningnya pada
bank yang dimaksud, sekalipun sebenarnya bank tersebut adalah sehat. Sedangkan
resiko sistemik terjadi apabila kebangkrutan suatu bank berakibat buruk terhadap
bank lain, sehingga menghancurkan segmen terbesar dari sistem perbankan
tersebut.6
Oleh karena itu, LPS diharapkan dapat memelihara kepercayaan
masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimalisir munculnya
resiko yang akan membebani anggaran negara. Dalam rangka untuk terus
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, LPS tidak hanya
berperan sebagai lembaga yang akan menjamin simpanan nasabah dibank, namun
LPS juga berperan penting dalam ikut menjaga stabilitas sistem keuangan yang
ada di Indoensia.7
Tidak hanya LPS yang berperan dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan. Jika dilihat amanat dari Pasal 34(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indoenesia disebutkan bahwa:
6
Zulkarnain Sitompul, Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam
Sistem Perbankan,
http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/makalah_seminar-borobudur-24-1-07.pdf hal.6. (diakses tanggal 7 Oktober 2013)
7
Rudjito dkk, “5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas
“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
undang-undang.”
Jika dilihat dari isi Pasal 34(1) diatas, dapat dikatakan bahwa Pasal
tersebut menekankan kepada lembaga pengawasan itu untuk bertindak sebagai
dewan pengawas (supervisory board), dan dapat mengeluarkan ketentuan yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dan berkoordinasi dengan
Bank Indoensia. Pembentukan lembaga pengawas ini diamanatkan supaya
dibentuk dengan Undang-undang paling lambat 30 Desember 2010. Oleh karena
semakin banyaknya bank yang mulai bermunculan di Indonesia, ditambah lagi
permasalahan-permasalahan di sektor keuangan, maka akan semakin dibutuhkan
pula lembaga profesional yang lebih tinggi dan lebih baik dalam mendukung
kinerja perbankan yang ada di Indonesia. Untuk mengawasi dan mengatur kinerja
perbankan di Indonesia pastilah dibutuhkan suatu lembaga lain yang dapat
melaksanakan fungsi pengaturan dan juga pengawasan disektor jasa keuangan,
khususnya dibidang perbankan, maka dibentuklah Otoritas Jasa Keuangan.8
Dengan diundangkannya Undang-Undang Otoritas Jasa keuangan (OJK)
pada tanggal 22 November 2011, maka situasi perbankan di Indonesia telah
memasuki babak baru. Pengaturan dan pengawasan didalam sektor perbankan
tidak lagi berada pada Bank Indonesia namun dialihkan kepada OJK sebagai
lembaga yang independen dengan fungsi, tugas dan wewenang untuk melakukan
8
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap sektor jasa
keuangan di Indonesia.9
Didalam Pasal 6 UU OJK disebutkan salah satu tugas OJK adalah dalam
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan.10
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan didalam
sektor Perbankan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 huruf a, OJK
mempunyai wewenang:
1. pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana
kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi dan akusisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,
produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuidasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman
terhadap simpanan dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
9
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1
10
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;
d. pemeriksaan bank.11
Jika membahas mengenai kondisi dalam sektor perbankan, Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) juga mempunyai peranan yang penting dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Pada dasarnya LPS mempunyai dua
fungsi, yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau
penanganan terhadap bank gagal sebagai bagian dari pemeliharaan stabilitas
sistem perbankan Indonesia.12
Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk
menjadi peserta dalam LPS dan membayar premi pinjaman. Dalam hal bank tidak
dapat melanjutkan usahanya, dan harus dicabut izin usahanya, LPS akan
membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu.
Simpanan yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank.
Likuidasi ini merupakan tindak lanjut dalam penyelesaian bank yang mengalami
kesulitan keuangan LPS melakukan tindak penyelesaian atau penanganan bank
yang mengalami kesulitan keuangan dalam kerangka mekanisme kerja yang
terpadu, efisien, dan efektif untuk menciptakan ketahanan sektor keuangan
11
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
12
Indonesia atau disebut Indonesia Financial Safety Net (IFSN). LPS bersama
Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP)
menjadi anggota Komite Koordinasi sampai dengan terbentuknya LPP atau OJK
sesuai dengan amanat UU No. 3 Tahun 2004, fungsi LPP tetap dilaksanakan oleh
Bank Indonesia.13
Seperti penjelasan diatas bahwa tugas mengenai pengaturan dan
pengawasan mengenai kelembagaan bank, pengaturan dan pengawasan mengenai
kesehatan bank, pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,
dan pemeriksaan bank semuanya dilaksanakan oleh OJK. Namun disisi lain, LPS
juga mempunyai tugas yang hampir sama seperti yang dimiliki oleh OJK, salah
satunya adalah penyelesaian dan penanganan bank gagal.
Dari sini dapat dilihat bahwa adanya hubungan kerjasama antara OJK
dengan LPS dalam hal perbankan, terutama mengenai bank bermasalah. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 41 Undang-Undang Nmor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan:
“OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai
bank bermasalah yang sedangdalam upaya penyehatan oleh OJK
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan”.14
Pasal 42 juga mengatakan:
13
Ibid.,hal.. 178.
14
“Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap
bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta
berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”15
Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih
lanjut mengenai hubungan koordinasi antara OJK dengan LPS dalam hal
penanganan bank bermasalah, sehingga penulis mengangkat judul “Sistem
Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan
dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang diatas, maka
selanjutnya dikemukakanlah beberapa permasalahan yang muncul, yaitu:
1. Apakah Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang Independen?
2. Bagaimanakah kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga
yang Independen?
3. Bagaimana sistem koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga
Penjamin Simpanan dalam penanganan bank gagal?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai
berikut:
15
1. Untuk mengetahui independensi Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan tentang OJK
2. Untuk mengetahui Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga yang
independen.
3. Untuk mengetahui sistem koordinasi yang dilakukan antara OJK dengan LPS
dalam hal penanganan bank gagal berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 21 Tahun 2011
Disamping dari tujuan penulisan, adapaun manfaat yang ingin dicapai
oleh penulis. Dalam hal iniadalah manfaat teoritis dan juga manfaat praktis, yaitu:
1. Manfaat secara teoritis
Pembahasan terhadap permasalahan diatas diharapkan dapat menjadi
pemahaman dan pengertian bagi pembaca mengenai penanganan bank gagal yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan juga Lembaga Penjamin Simpanan
berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011
2. Manfaat secara praktis
Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua orang, dan
juga menjadi sumbangan pemikiran bagi hukum positif yang ada di Indonesia dan
dapat menjadi bahan referensi bagi penulisan karya ilmiah selanjutnya yang
D. Keaslian Penulisan
Adapun judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah skripsi yang
berjudul “Sistem Koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan
dalam Pengawasan Bank Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan” yang ditulis oleh Rebekka D Sinaga tahun
2013 yang didalamnya membahas kerjasama yang dilakukan antara Bank
Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan
sebagai pengawas perbankan, yang mana masing-masing mempunyai tugas dalam
pengawasan terhadap sistem perbankan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Sedangkan didalam skripsi ini hal yang dibahas adalah mengenai
hubungan kerjasama yang dilakukan antara Otoritas Jasa Keuangan dengan
Lembaga Penjamin Simpanan dalam pengawasan bank gagal berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Lembaga Penjamin Simpanan juga berfungsi dalam pengawasan bank, yang
secara khusus melakukan pengawasan terhadap simpanan yang ada didalam bank
itu sendiri. Otoritas Jasa Keuangan juga bertugas dalam pengawasan bank, dalam
hal ini melakukan pengawasan terhadap kesehatan bank, yang mana memiliki
hubungan yang sangat erat dengan simpanan yang ada didalam bank itu sendiri.
Karena penilaian terhadap kesehatan bank juga tidak terlepas dari bagaimana
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apa yang ada di dalam
skripsi ini adalah murni hasil karya si penulis sendiri dan bukan hasil jiplakan dari
skripsi orang lain. Skripsi ini juga diperoleh dari hasil pemikiran para praktisi,
refrensi buku-buku, makalah, hasil seminar, media cetak, media elektronik seperti
internet serta bantuan dari berbagai pihak yang berdasarkan pada asas keilmuan
yang jujur, rasional, dan terbuka. Sehingga hasil dari penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Sistem Koordinasi
Sistem koordinasi merupakan suatu aturan yang mengatur kerja sama
setiap setiap lembaga agar dapat bekerja dengan baik sesuai dengan
kewenangannya. Dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga keuangan yang ada
di Indonesia, dan untuk tetap menjaga stabilitas sistem perbankan, maka didalam
UU OJK mengatur harus adanya hubungan kerjasama ataupun koordinasi dengan
lembaga lain. Sistem koordinasi yang dapat dilakukan diantaranya koordinasi
antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan. Secara
singkat, OJK melakukan koordinasi dengan LPS dalam penganganan bank
bermasalah. OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang
sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana yang tercantum dala UU
OJK Pasal 41. Disamping itu, Bank Indonesia juga ikut turut campur dalam
menjaga stabilitas perbankan karena BI merupakan bank sentral. BI juga
menangani bank-bank yang bermasalah. OJK, BI, dan LPS waib membangun dan
memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi (Pasal 42 UU OJK)
2. Otoritas Jasa Keuangan
Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan merupakan sejarah baru bagi perkembangan sistem perekonomian di
Indonesia. Dengan keluarnya UU OJK, maka OJK itu sendiri sudah mempunyai
dasar hukum yang kuat. Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak
lain, kecuali untuk hal-hal yang ditur tegas didalam UU OJK. OJK berkedudukan
di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pembentukan OJK pada
umumnya adalah agar terselenggaranya keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu untuk
melindungi kepentingan konsumen dan juga masyarakat. Selain itu, OJK juga
berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
3. Lembaga Penjamin Simpanan
Dasar hukum Lembaga Penjamin Simpanan adalah pada Undang-undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. LPS dibentuk dalam
penyempurnaan sistem perbankan dan kestabilan sistem keuangan yang sudah
diamanatkan pada saat terjadi krisis moneter tahun 1998. Penyempurnaan
Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 37B ayat (2)
UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, yaituPembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, serta
penyempurnaan terhadap sistem perbankan yang meliputi kelembagaan bank,
kepemilikan bank, sumber daya manusia perbankan, produk perbankan serta
tegnologi perbankan. Keseluruhan aspek tersebut akan dirangkai dalam kesatuan
perangkat hukum yang jelas dan juga tegas. LPS adalah lembaga yang
independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. LPS juga ikut
turut serta dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya dan berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah di bank.
4. Bank gagal
Bank gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan
membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi
disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.16
Adapun yang disebut dengan bank gagal yang berdampak sistemik adalah
apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana
(rush) maupun terhadap kelancaran dan kelangsungan roda perekonomian.
Sedangkan bank yang tidak berdampak sistemik adalah kegagalan bank yang
tidak berdampak besar terhadap perekonomian yang ada.17
16
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan
Pasal 45 ayat 5
OJK, Bank Indonesia,
17
dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana
pertukaran informasi secara terintegrasi dalam menangani bank gagal yang
sistemik maupun tidak. LPS sebagai lembaga yang pemeriksa kesehatan bank
tentu akan melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau
tidak. Sehingga dapat disimpulkan apakah bank tersebut hanya bank bermasalah
atau bank gagal. Koordinasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diatur
dalam Pasal 41 UU OJK, mengatur bahwa OJK harus menginformasikan LPS
tentang bank-bank bermasalah yang sedang dalam penyehatan. Selain itu, LPS
dapat melakukan pemeriksaan bank dengan terlebih dahuu melakukan koordinasi
dengan OJK.
Dalam rangka membangun sistem keuangan perbankan yang mampu
menghadapi perkembangan ekonomi global yang cepat, maka UU Perbankan No.
7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 perlu
untuk disempurnakan lagi. Pengaturan sistem perbankan nasional tidak bisa hanya
dilakukan berdasarkan pendekatan domestik semata, tetapi perlu untuk
memperhatikan standar-standar internasional yang telah berkembang, baik berupa
standar yang dikeluarkan oleh lembaga multilateral, seperti Bank for International
Settlements (BIS) maupun praktek-praktek perbankan internasional yang selama
ini dilakukan sebagai international best practice,18
18
International best pactice adalah gagasan, tehnik, dan metode yang dilakukan oleh
negara luar yang mencapai keberhasilan luar biasa jika dibandingkan dengan gagasan, tehnik dan metode lainnya
pengaturan perbankan nasional dapat mendorong terciptanya individual bank yang
handal dan sistem perbankan nasional yang sehat, efisien, dan kompetitif. 19
Penyempurnaan terhadap UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 antara lain akan meliputi struktur
perbankan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, ketentuan kehati-hatian
serta aspek pengawasan bank. Peraturan perundang-undangan yang dapat
memperkuat sistem perbankan juga telah disusun. Lembaga-lembaga baru yang
akan dibentuk adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS).
Dalam rangka pengupayaan peningkatan efisien, keamanan dan
kestabilan disektor jasa keuangan dibidang pengawasan bank, maka pola
pengawasan bank perlu diubah. Pengawasan bank yang semula didasarkan pada
pola pendekatan pengawasan institusional oleh UU No. 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia diubah menjadi pola pendekatan pengawasan funsional.
Berkenaan dengan itu, maka Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem
pembayaran disatu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank disisi
lainnya. Dengan demikian sesuai dengan amanat UU tersebut, pada waktunya
Bank Indonesia sebagai bank sentral hanya akan menjalankan otoritasnya
dibidang kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan pada bidang
19
pengawasan dan pembinaan bank akan dilakukan oleh lembaga yang independen,
yaitu Otoritas Jasa Keuangan. 20
Dalam rangka menjaga integritas sistem perbankan nasional, otoritas
moneter dan sistem pembayaran serta otoritas pengawasan dan pembinaan bank
didukung oleh suatu skim asuransi deposito yang berfungsi sebagai penyedia
jaring pengaman sosial apabila terjadi kegagalan pada suatu bank. Tujuannya
adalah supaya nasabah kecil dapat terlindungi dan merasa aman, serta gagalnya
suatu bank dalam mengembalikan simpanan nasabahnya tidak meluas menjadi
krisis yang bersifat sistemik. Selain itu, dalam rangka menjaga kestabilan sistem
perbankan, LPS juga berperan sebagai second line of defence21 sebelum bank
sentral yang melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort.22
F. Metode Penulisan
Dalam membahas permasalahan yang ada didalam penulisan skripsi ini
tentu harus disertai dengan informasi yang benar dan akurat serta dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bobot keilmuan yang terdapat dalam
skripsi ini dipengaruhi oleh keakuratan data yang diperoleh untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Dalam melengkapi bahan-bahan bagi penelitian skripsi ini,
maka diadakan penelitian dalam pengumpulan data.23
20
Ibid.,hal. 15. 21
Satuan kerja dalam pengertian memberikan dukungan metodologi, sistem informasi, kerangka kerja, dan proses agregasi risiko, pada 8 Oktober 2013)
22
Anwar Nasution, Op.cit.,hal. 18. 23
Adapun metode yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normative, maka pendekatan
yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan dengan bertitik tolak
pada analisis terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini difokuskan terhadap sistem koordinasi
antara OJK dan LPS dengan bertitik tolak dari UU OJK itu sendiri. Hal ini
dapat ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan, atau studi
kepustakaan. Penelitian ini juga tidak terlepas dari penelitian terhadap bahan
media massa ataupun bahan dari internet. Selain itu, penulis juga
menggunakan metode penelitian yuridis, dengan melihat ketentuan-ketentuan
yang ada didalam masyarakat dan dampak ketentuan tersebut bagi masyarakat.
2. Bahan penelitian
a. Bahan hukum primer, yaitu: bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Undang-Undang Perbankan yaitu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia serta peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pengawasan dan penanganan bank.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang berhubungan dengan
bahan hukum primer yang ada. Bahan hukum yang diperoleh dapat berasal
dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus
hukum, serta sumber-sumber lainnya yang berasal dari internet yang
memiliki kaitan dengan pokok permasalahan.
c. Bahan hukum tersier, yaitu: bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain24
3. Pengumpulan Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan
melakukan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara
mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan
perundang-undangan, majalah, hasil seminar dan sumber-sumber lain yang
terkait dengan permasalahan yang ada.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, dianalisis dengan metode
deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara
menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Sedangkan
kuantitatif yaitu metode analisis data dengan mengelompokkan dan
menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya, dan
dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
sehingga didapatkan jawaban terhadap permasalahan yang ada.
24
G. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam skripsi ini dibagi kedalam 5 (lima) bab, dimana
masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab.
Adapun urutan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah; perumusan
masalah; tujuan dan manfaat penulisan; keaslian penulisan;
tinjauan kepustakaan; metode penulisan; dan sistematika penulisan.
BAB II OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA
YANG INDEPENDEN
Dalam bab ini menguraikan tentang pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan yang membahas tentang; pengertian Otoritas Jasa
Keuangan, latar belakang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan,
tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan, perbandingan berbagai
negara; Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem
Perbankan Nasional yang membahas tentang fungsi, tugas, dan
wewenang Otoritas Jasa Keuangan, kedudukan Otoritas Jasa
Keuangan dalam sistem perbankan, fungsi, tugas dan wewenang
Otoritas Jasa Keuangan di bidang perbankan; Otoritas Jasa
Keuangan Sebagai Lembaga yang Independen yang membahas
independensi Otoritas Jasa Keuangan, hubungan Otoritas Jasa
Keuangan dengan lembaga lain.
BAB III KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
SEBAGAI LEMBAGA YANG INDEPENDEN
Dalam bab ini menguraikan tentang Pembentukan Lembaga
Penjamin Simpanan yang membahas tentang pengertian Lembaga
Penjamin Simpanan, latar belakang pembentukan Lembaga
Penjamin Simpanan, tujuan dibentuknya Lembaga Penjamin
Simpanan; Kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Sistem
Perbankan Nasional yang membahas tentang fungsi, tugas dan
wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, kedudukan Lembaga
Penjamin Simpanan dalam sistem perbankan nasional, Lembaga
Penjamin Simpanan dan perlindungan terhadap nasabah bank;
Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Lembaga yang Independen
yang membahas tentang independensi Lembaga Penjamin
Simpanan, hubungan Lembaga Penjamin Simpanan dengan
lembaga lain.
BAB IV SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA
KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN BANK GAGAL
Dalam bab ini menguraikan tentang Sistem pengawasan perbankan
Penetapan bank gagal yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
Koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga
Penjamin Simpanan dalam penanganan bank gagal.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan yang diambil oleh
penulis atas bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan
ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang penulis
BAB II
OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA YANG
INDEPENDEN
A. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan
seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana
pensiun dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor
keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan
dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.25
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 menyebutkan:26
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat dengan OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. “
Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah
sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar
modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Pada
dasarnya UU tentang OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan
tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan
25
Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementrian Hukum
dan HAM RI, 2011, hal. 44
26
didalam pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena
itu, dengan dibentuknya OJK diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi
yang lebih efektif didalam penanganan masalah-masalah yang timbul didalam
sistem keuangan. Dengan demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas
sistem keuangan dan adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih
terintegrasi.27
2. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Berdasarkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(BI), pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa
keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010. Lembaga ini
bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal,
modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. 28
Alasan pembentukan OJK ini antara lain makin kompleks dan
bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan
jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu
alasan rencana pembentukan OJK adalah karena pemerintah beranggapan bahwa
BI, sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sekor perbankan.
27
Rebekka Dosma Sinaga, Sistem Koordinasi Antara Bank Indonesia Dan Otoritas Jasakeuangan Dalam Pengawasan Bank Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara,
2013, hlm 2
28
Afika Yumya, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan
Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi sarjana Fakultas Hukum Universitas
Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia
mulai pertengahan tahun 1997, dimana sebanyak 16 bank dilikuidasi pada saat
itu.29 Tujuan OJK dibentuk antara lain agar keseluruhan kegiatan didalam sektor
jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.30
Disamping itu tujuan pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan
moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan
sektor perekonomian.31
Jika dilihat sedikit kebelakang, sejarah pembentukan lembaga yang
independen ini terbilang sulit dan penuh dengan tantangan. Bahkan untuk
melahirkan pengawasan sistem keuangan inipun membutuhkan waktu hingga 12
tahun sampai lembaga ini lahir.32
Adapun kronologis lahirnya OJK dapat dijabarkan sebagai berikut:33
a. Tahun 1999
Pasca krisis ekonomi yang melumpuhkan industri perbankan pada tahun
1997-1998, pemerintah langsung berbenah. Gagasan pembentukan otoritas
dimasukkan dan menjadi perintah UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Didalam Pasal 34 disebutkan bahwa:
29
Ibid.
30
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 4
31
Afika Yumya, Op.cit,.hal. 29
32
Selamat datang wasit baru industri keuangan,
tanggal 19 Oktober 2013)
33
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002
b. Tahun 2004
Tenggat waktu yang diberikan sampai tahun 2002 dalam pembentukan OJK
tak juga lahir di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah dan DPR hanya bisa
merevisi UU BI. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank
Indonesia telah lahir. Didalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 terdapat bahasan tentang
OJK, yaitu:
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa, amandemen UU BI tersebut
merupakan sebuah perselisihan pandangan antara BI dengan Departemen
Keuangan (Kementrian Keuangan). Objek dari perselisihan ini berupa
perebutan wewenang dalam mengontrol industri perbankan. Hal inilah yang
mati-matian dilawan BI dan akhirnya berhasil. Dalam rumusan amandemen
yang telah disepakati, pemindahan kekuasaan industri perbankan dari BI ke
c. Tahun 2010
Lagi-lagi amandemen UU itu meleset dari yang diharapkan. Batas waktu
kembali terlewati. Sampai tutup buku tahun 2010, UU OJK masih belum juga
selesai. RUU OJK yang akan disahkan dalam rapat paripurna pada 17
Desember 2010 malah menemui jalan buntu, karena pemerintah dan DPR tak
menemukan kata sepakat terhadap struktur dan tata cara pembentukan Dewan
Komisioner OJK.
d. Tahun 2011
Tahun ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia, terutama bagi sistem keuangan
di Indonesia. Pimpinan DPR, Priyo Budi Santoso, akhirnya mengetuk palu
tanda disetujuinya pengesahan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa
keuangan (RUU OJK) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR,
pada Kamis 27 Oktober 2011. Dalam keputusan tersebut disebutkan supaya
panitia seleksi DK OJK harus terbentuk awal 2012.
e. Tahun 2012
Pada awal tahun 2012, Presiden telah membentuk Panitia Seleksi dalam
pemilihan calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa keuangan yang
secara keseluruhan terdiri dari 9 orang. Menteri Keuangan Agus
Martowardojo terpilih menjadi ketua seleksi sekaligus anggota, sedangkan
anggota lainnya adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin nasution,
Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany, Wakil Menteri BUMN Mahmuddin
Yasin, dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah. Kemudian Komisaris Bank
Direktur BEI Mas Achmad Daniri mewakili pasar modal, Komisaris Wana
Arthalife Ariyanti Suliyano mewakili asuransi/lembaga jasa keuangan non
bank, dan akademisi Muhammad Chatib Basri.
Pada pertengahan tahun 2012, anggota sekaligus Ketua DK OJK terpilih.
Seluruhnya berjumlah 9 orang dan dengan melewati proses seleksi yang ketat.
Pada bulan ini pula seluruhnya disahkan oleh Paripurna DPR.
f. Tahun 2013
Bapepam-LK akan melebur ke OJK dan sebagian besar pekerja dari lembaga
ini juga akan berubah status kepegawaiannya. Pada tahun ini jugalah OJK
akan mulai dalam penarikan iuran dari industri keuangan non bank.
g. Tahun 2014
Setelah masa transisi satu tahun Bapepam-LK melebur ke OJK, diharapkan
tahun ini adalah serah terimanya pengawasan perbankan dari tangan bank
sentral ke OJK
3. Tujuan Dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan
Sejak lama, pembentukan lembaga Otoritas Jasa Keuangan ini
diamanatkan oleh Undang-Undang Bank Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
sudah tepatkah pemindahan fungsi pengawasan perbankan yang semula ditangani
oleh Bank Indonesia.34
Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011,
pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank
Indonesia telah dialihkan pada Otoritas Jasa Keuangan. Dalam penjelasan
Undang-undang OJK disebutkan bahwa dibutuhkan lembaga pengaturan dan
pengawasan sektor jasa keuangan yang lebih terintegrasi dan komprehensif agar
dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam menangani
permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat menjamin
tercapainya stabilitas sistem keuangan.35
Dalam penjelasan tersebut di identifikasi beberapa permasalahan yang
melatarbelakangi dibutuhkannya sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi dalam suatu lembaga. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem
keuangan, pesatnya kemajuan di bidang tegnologi juga inovasi finansial telah
menciptakan sistem keuangan yang begitu kompleks, dinamis dan saling terkait
antar subjektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.
Disamping itu adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan
kepemilikan di berbagai subsektoral keuangan telah menambah kompleksitas
transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan didalam sistem keuangan.
34
Ahmad Taqiyuddin, Undang-Undang OJK Dalam Kajian Hukum dan Pembangunan
Ekonomi, (Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2012) hal.
15
35
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan
Selain alasan tersebut Undang-undang OJK dibuat dengan semangat untuk
mengurangi moral hazard36 dalam sektor jasa keuangan, kemudian
mengoptimalkan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.37
OJK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan
pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.38
Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa:39
“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil; dan
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Sesungguhnya tujuan OJK adalah untuk menyelenggarakan sektor jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan, akuntabel, yang mana mengingatkan
pemikiran pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (Good
Corporate Governance) yang terdiri dari 5 prinsip yang disingkat dengan TARIF,
yaitu:40
1. Transparency (keterbukaan informasi)
36
Moral hazard adalah suatu tindakan yang dilakukan bank untuk memanfaatkan celah
hukum dan keadaan demi keuntungan pribadi dan pihak lain dari adanya keterbukaan kebijakan
37
Ahmad Taqiyuddin. Op.cit.,hal. 15
38
Ibid., Pasal 1 angka 1
39
Ibid., Pasal 4
40
Bisdan Sigalingging, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan
Dengan Bank Indonesia (Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013) hal..
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu
2. Accuntability (akuntabilitas)
Yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem, kejelasan akan hak dan kewajiban serta wewenang dari elemen-elemen yang ada.
3. Responsibility ( pertanggungjawaban)
Yaitu kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pembayaran pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya
4. Independency (kemandirian)
Yaitu mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun maupun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
5. Fairness (kesetaraan atau kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak
shareholders dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
Tujuan lain dari pembentukan OJK ini adalah agar keseluruhan kegiatan
di dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Dalam konsep berkelanjutan dimaksud
adalah untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Sebagaimana menurut The World Business Council of for
Sustainable Development (WBSCSD) yang menggambarkan sebagai “business
commitment to contribute to sustainable economic development, working with
employees, their, the local community, and society at large to improve their
quality if life” yaitu suatu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai,
keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas
hidup bersama.41
41
Adapun pernyataan Ketua Dewan Direksi Ford Motor, William Clay
Ford, Jr., yang menyatakan bahwa adanya perbedaan antara perusahaan yang baik
dengan perusahaan yang sangat baik. Didalam perusahaan yang baik menawarkan
produk dan layanan yang memuaskan. Sedangkan perusahaan besar tidak hanya
menawarkan produk dan layanan yang memuaskan, tetapi juga turut berusaha
menciptakan dunia yang lebih baik.42
Berdasarkan pernyataan tersebut hendaknya menjadi pemikiran
mendalam bagi DK OJK untuk mencapai tujuan terselenggaranya sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. DK OJK juga harus
menyadari pentingnya tujuan pembentukan OJK untuk melindungi kepentingan
nasabah/konsumen dan masyarakat termasuk perlindungan terhadap pelanggaran
dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk
penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan. DK OJK juga diharapkan dapat
mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu
meningkatkan daya saing nasional, mampu menjaga kepentingan nasional
meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di
sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.43
Adapun maksud dari pembentukan Otoritas Jasa Keuangan menurut
beberapa ahli/pakar perbankan adalah sebagai berikut:44
1. Menkeu Agus Matroardojo:
42
Ibid.
43
Ibid.,hal. 109
44
Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global
dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen
pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia
2. Fuad Rahmany:
OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang
selama ini cenderung muncul. Sebab didalam OJK, fungsi pengawasan dan
pengaturan dibuat terpisah
3. Darmin Nasution
OJK adalah untuk mencari efesiensi di sektor perbankan, pasar modal dan
lembaga keuangan. Sebab suatu perekonomian yang kuat, stabil dan berdaya
saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan.
4. Deputi Gubernur BI Miliaman D Hadad:
Terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK.
Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua,
persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa
berdampak sistemik. Ketiga lembaga keuangan membuat surat wasiat jika
terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus
dijaga.
4. Perbandingan Dengan Berbagai Negara
Pembentukan OJK di Indonesia tidak terlepas dari akibat krisis ekonomi
pada tahun 1997 dan mengikuti trend Bank Sentral di beberapa negara antara lain
sentral independen, bebas dari campur tangan pihak manapun. OJK mengadopsi
beberapa sistem yang sudah digunakan oleh negara lain. Beberapa diantaranya
adalah dari yang berhasil hingga yang gagal menjalankan fungsinya dan kembali
ke wewenang semula. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mulaiman D Hadad
mengatakan bahwa sistem pengawasan dan perlindungan konsumen diadopsi dari
sejumlah negara, beberapa diantaranya antara Inggris, Australia dan Korea
Selatan.45
Adapun perbandingan yang diteliti terhadap beberapa negara yang
pernah menganut sistem yang sama seperti OJK yang ada di Indonesia,
diantaranya:46
1. Inggris
Latar belakang dibentuknya sistem pengawasan tunggal di Inggris adalah
kasus kegagalan beberapa bank di Inggris seperti Neural Banker dan Baring
Bank. Kegagalan kedua bank ini juga disertai dengan penutupan 12 bank
lainnya. Tepatnya pada 1 Juni 1998 dibentuklah OJK di Inggris yang
dinamakan Financial Supervisory Agency (FSA). FSA ini memiliki tugas
yaitu melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap lembaga keuangan,
(termasuk perbankan), perlindungan konsumen dan juga pelaksanaan hukum.
Hampir sama seperti yang terjadi di Indonesia, OJK didirikan karena
dilatarbelakangi oleh ditutupnya berbagai bank yang ada di Indonesia dan
45
Belajar yang baik dan buruk dari negeri orang,
tanggal 10 Oktober 2013).
46
Stehpanie Rebecca Ester, , Ironisme OJK: Gagal di Negara Maju, namun Diminati di
Indonesia,
tugas OJK juga sama-sama melakukan pengawasan terhadap sistem keuangan
yang ada. Tetapi, ada juga hal yang dapat menjadi pembeda antara OJK di
Indonesia dengan Financial Services Authority, yaitu:
a. Aspek pembiayaan,
Di Inggris, sumber dana untuk membiayai operasional FSA berasal dari
pungutan terhadap lembaga-lembaga yang diawasi oleh FSA melalui
mekanisme pungutan dan denda. Dalam mengenakan pungutan terhadap
Lembaga Keuangan, FSA harus mempertimbangkan kondisi finansial dan
intensitas kegiatan dari tiap-tiap Lembaga Keuangan dengan tujuan untuk
memastikan bahwa pungutan yang dikenakan bisa dibayar oleh Lembaga
Keuangan bersangkutan dan tidak memberatkan antara Lembaga
Keuangan satu dengan lainnya bisa saja berbeda. Sedangkan di Indonesia,
sumber dana untuk membiayai operasional OJK berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan dari pungutan atas Lembaga
Keuangan yang diawasi. Pungutan tersebut antara lain biaya perizinan,
persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan
digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan ini digunakan untuk membiayai
kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan asset serta kegiatan
pendukung lainnya dalam penyesuaian biaya-biaya yang dimaksud
terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan. Pembiayaan OJK
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan “Anggaran OJK
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
b. Sifat Independen Sebagai Lembaga Negara
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Lembaga Pengawas Sektor Jasa
Keuangan, OJK terlepas dari campur tangan pihak lain. Di dalam ayat (2)
tahun 2011 tentang OJK disebutkan bahwa “OJK adalah lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari
campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam Undang-Undang ini”.
Sedangkan di Inggris, FSA diberikan independensi dalam pelaksanaan
tugasnya, namun dalam kondisi tertentu, Departemen Keuangan
mempunyai kewenangan untuk memberikan perintah kepada FSA.
Departemen keuangan mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan
memberhentikan ketua dan anggota dewan komisioner. Departemen
Keuangan juga diberikan kewenangan memerintahkan kepada FSA untuk
merubah ketentuan-ketentuan dan pelaksanaan tugasnya, misalnya pada
saat terjadi kerugian yang disebabkan oleh kegagalan FSA dalam
mengawasi persaingan usaha atau ketika FSA gagal dalam penerapan
ketentuan-ketentuan tata kelola lembaga yang baik. Dari keterangan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menjalankan kewenangannya
sebagai lembaga pengawas jasa keuangan, FSA belum sepenuhnya
2. Australia
APRA adalah otoritas pengawas sektor keuangan di Australia dan mengambil
alih tugas Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Supernuation
Committee (ISC). Lembaga ini dibentuk pada 1 Juli 1998 yang menjalankan
fungsi pengawasan lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union,
building society, dan perusahaan asuransi. Disamping itu, APRA juga
menjalankan pengawasan terhadap industridana pensiun (superannuation
funds). APRA adalah lembaga yang pada awalnya dianggap pemerintah
Australia dapat membantu dalam mengatasi kebangkrutan yang dulu dialami
oleh konglomerat asuransi di Australia karena miss manajemen keuangan.
Namun, yang diharapkan pemerintah Australia berbeda jauh dengan
kenyataan, Pasalnya APRA mengakui kegagalanya dalam mendeteksi dan
mencegah kebangkrutan tersebut yang tidak lepas dari minimnya waktu untuk
menuntaskan transfer di atas, termasuk penyempurnaan sistem pengawasan.
3. Jepang
Didalam negara Jepang, Otoritas Jasa Keuangan lebih dikenal dengan
namaThe Financial Supervision Agency (FSA). FSA dibentuk tanggal 22 Juni
1998 oleh pemerintah Jepang demi membantu Bank of Japan (BOJ) dalam
melakukan fungsi pengawasan. BOJ yang awalnya memiliki kewenangan atas
pengawasan kini hanya menangani kebijakan, perumusan sistem moneter dan
implementasinya.. Berbagai informasi tentang kondisi keuangan lembaga
keuangan yang diperoleh BOJ tersebut sangat bermanfaat bagi BOJ, baik