• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Ekspresi Bcl-2 pada Tumor Ovarium Epitelial Tipe Borderline dan Ganas

HASIL PENELITIAN

5.5 Perbandingan Ekspresi Bcl-2 pada Tumor Ovarium Epitelial Tipe Borderline dan Ganas

Perbandingan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe borderline dan

ganas diperoleh dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil analisis disajikan

Tabel 5.5

Perbandingan Ekspresi Bcl-2 pada Tumor Ovarium Epitelial Tipe Borderline dan Ganas Bcl-2 X2 p Positif Negatif Tumor Ovarium Epitelial Ganas 7 13 3,19 0,082 Borderline 1 12

Tabel 5.5 menunjukkan tidak terdapat perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor

52 BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Peningkatan umur akan meningkatkan kejadian tumor ovarium. Insiden tumor

ovarium ganas di Indonesia menempati urutan kedua terbanyak setelah kanker

serviks dengan angka insiden tahun 2008 sebesar 9664 kasus, dimanakelompok

umur 41 - 50 tahun merupakan kelompok terbanyak menderita tumor ovarium

dengan insiden 62,7%, sedangkan pada kelompok umur 31 - 40 tahun hanya

sebesar 10,8% (IARC, 2012). Angka kejadian tumor ovarium akan meningkat

pada umur lebih dari 45 tahun (Ovarian Cancer National Alliance. statistic of

ovarian cancer, 2009). Hamdi & Saleem (2012) mendapatkan rerata umur penderita tumor ovarium adalah 43,88 tahun, 31,5% didapatkan pada dekade

kelima. Arik & Kulacoglu (2011) dan Anderson dkk. (2009) menemukan tidak

ada perbedaan bermakna dalam parameter usia, dengan rerata usia pada karsinoma

ovarium adalah 58,6 tahun, pada tumor jinak adalah 50,3 tahun, dan pada tumor

borderline adalah 48,0 tahun.

Pada penelitian ini rerata umur pada kelompok tumor ovarium epitelial tipe jinak

adalah 38,62±9,20, tipe borderline adalah 42,08±12,27, dan tipe ganas adalah

46,00±11,45.Bertambahnya umur seorang wanita akan menyebabkan terjadinya

peristiwa ovulasi yang berulang-ulang sehingga menyebabkan terperangkapnya

fragmenepitel permukaan ovarium pada invaginasi dan badan inklusi lapisan luar

trauma berulang pada ovarium selama proses ovulasi, menyebabkan epitel

ovarium mudah terpapar oleh berbagai faktor risiko sehingga dapat menyebabkan

terjadinya abnormalitas genetik.Beberapa penelitian membuktikan hubungan

antara frekuensi metaplasia dan neoplasma pada lokasi ovarium yang mengalami

invaginasi dan pada tempat terbentuknya badan inklusi (Choi dkk., 2007).

Multiparitas dihubungkan dengan penurunan risiko tumor ovarium. Nulipara

meningkatkan risiko tumor ovarium 2,12 kali lebih besar dibandingkan dengan

wanita yang telah memiliki 3 anak, dan paritas yang rendah akan meningkatkan

terjadinya tumor ovarium. Wanita yang pernah melahirkan anak sebanyak 1 kali

akan menurunkan risiko tumor ovarium sebesar 40% dibandingkan dengan wanita

nulipara (Granstrom,2008).

Penelitian ini memperoleh rerata paritaspada tumor epitelial tipe jinak adalah

2,25±1,24,rerata tipe borderline2,00±1,23, dan rerata tipeganas 1,65±1,18. Paritas

adalah banyaknya kelahiran hidup atau jumlah anak yang dimiliki oleh seorang

wanita. Etiologi paritas dengan kanker ovarium belum begitu jelas, walaupun ada

beberapa hipotesis yang menghubungkan antara paritas dengan kanker ovarium.

Beberapa hipotesis mengungkapkan bahwa tingginya paritas justru menjadi faktor

protektif terhadap kanker ovarium. Pada saat terjadinya ovulasi akan terjadi

kerusakan pada epitel ovarium dan untuk proses perbaikan kerusakan ini maka

diperlukan periode waktu tertentu. Apabila kerusakan epitel ini terjadi

berulangkali terutama jika penyembuhan sempurna belum tercapai, atau dengan

mengalami gangguan sehingga dapat terjadi transformasi menjadi sel-sel

neoplastik.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat

meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Reeves, 2007). Penelitian ini

memperoleh hasil bahwa risiko relatif terjadinya kanker ovarium memiliki

kecenderungan meningkat sesuai dengan peningkatan IMT. Pada IMT kurang dari

18,5 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,09, IMT antara 18,5 sampai 24,9 kg/m2

memiliki risiko sebesar 1,00, IMT antara 25,0 sampai 29,9 kg/m2 memilki risiko

sebesar 1,43, dan IMT lebih dari 30,0 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,56 untuk

menderita kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh European Prospective

Investigation into Cancer and Nutrition (2006) mendapatkan wanita dengan IMT di atas 30 atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya

kanker ovarium dibandingan dengan wanita dengan IMT normal (Lahmann,

2009). Penelitian yang berbeda memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada

wanita premenopause meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan

risiko relatif sebesar 1,72 (Schouten, 2008). Leitzmann (2009) juga memperoleh

hasil bahwa risiko terjadinya kanker ovarium pada wanita obesitas dengan IMT

lebih dari 30 kg/m2 adalah sebesar 1,26. Faizal (2011) di Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo, Makasar memperoleh hasil dimana pada IMT yang lebih dari 30

kg/m2 memiliki risiko 2,036 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang

memiliki IMT yang kurang dari 30 kg/m2. Penelitian ini memperoleh rerata Indek

kelompok tumor ovarium jinak adalah 22,26±3,09 kg/m2, tumor borderline

adalah 21,92±3,68 kg/m2, dan tumor ganas adalah 22,84±4,30 kg/m2.

Obesitas menyebabkan kadar estrogen dalam tubuh meningkat, serta beberapa

zat lemak dapat menghasilkan estrogen dalam bentuk estrion, maupun estradiol.

Mekanisme perubahan dari zat lemak atau kolesterol dapat dijelaskan melalui

biosintesis hormonal, dimana semua hormon steroid termasuk estrogen berasal

dari kolesterol. Adanya cadangan lemak di dalam tubuh memainkan peran besar

dalam produksi hormonal, khususnya estrogen. Pada wanita dengan jumlah lemak

tubuh yang rendah cenderung memiliki kadar hormon seks yang rendah pula.

Pada kondisi di mana cadangan lemak yang tinggi, dinilai melalui IMT yang

tinggi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar estrogen. Peningkatan

kadar estrogen mengakibatkan aktivasi jalur Phosphatidylinositol-3-kinase

(PI3K), MitogeniActivated Protein Kinase (MAPK), dan faktor transkripsi

c-myc, dan melalui reseptor estrogen jalur lain seperti Insulin-like growth factor-1

(IGF-1), Transforming growth factor- α (TGF-α), dan Epidermal Growth Factor

Receptor (EGFR). Estrogen juga bekerja melalui jalur anti-apoptosis yaitu Bcl-2, yang merupakan suatu protein anti-apoptosis dan meningkatkan kemampuan

invasif sel melalui protein fibulin-1, cathepsin D, dan kallikreins (Choi dkk.,

2001).

Berbagai penelitian telah mengemukakan bahwa Estrogen Reseptor-α (ER-α)

bertanggung jawab dalam proses proliferasi ovarium, sementara Estrogen

Reseptor-β (ER-β) bertanggung jawab dalam proses modulasi dan differensiasi

ovarium. Peningkatan estrogen tersebut meningkatkan Vascular Endothelial

Growth Factor (VEGF), meningkatkan kemampuan adhesi sel, dan meningkatkan kemampuan migrasi sel. Semua hal tersebut berdampak pada proliferasi abnormal

pada sel yang membelah sehingga sel akan masuk dalam proses transformasi

keganasan (Beral, 2007).

6.2 Perbandingan Ekspresi Protein Bcl-2 Pada Tumor Ovarium Epitelial

Dokumen terkait