• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN EKSPRESI B CELL LYMPHOMA-2 (Bcl-2) PADA TUMOR OVARIUM EPITELIAL TIPE JINAK, BORDERLINE DAN GANAS. Dr. dr. I Wayan Megadhana, Sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN EKSPRESI B CELL LYMPHOMA-2 (Bcl-2) PADA TUMOR OVARIUM EPITELIAL TIPE JINAK, BORDERLINE DAN GANAS. Dr. dr. I Wayan Megadhana, Sp."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN EKSPRESI B CELL LYMPHOMA-2

(Bcl-2) PADA TUMOR OVARIUM EPITELIAL TIPE

JINAK, BORDERLINE DAN GANAS

Dr. dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

(2)

i ABSTRAK

PERBANDINGAN EKSPRESI B CELL LYMPHOMA-2 (Bcl-2) PADA TUMOR OVARIUM EPITELIAL TIPE JINAK, BORDERLINE DAN

GANAS

Tumor ovarium merupakan masalah ginekologi onkologi di seluruh dunia dan keganasannya merupakan penyebab kematian terbanyak pada semua keganasan ginekologi. Pembagian tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas menyebabkan keragaman karakteristik tumor sehingga menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan suatu marker yang dapat digunakan untuk deteksi dini, prognosis dan pedoman dalam penatalaksanaannya sehingga diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita. Beberapa peneliti melakukan pendekatan secara genetika untuk mengungkap etiopatogenesis terjadinya suatu tumor. Salah satu gen yang berperan dalam terjadinya suatu tumor adalah Bcl-2 yang merupakan protein yang mengekspresikan gen BCL2. Dengan demikian maka dalam penelitian ini dilakukan perbandingan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas.

Penelitian ini merupakan studi cross-sectionaldi Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar yang dilakukan mulai Maret 2012 sampai Desember 2013 dengan sampelpenelitian sebanyak 49 buah blok parafin. Sampel blok parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas tipe tumor ovarium epitelial yaitu tipe jinak, borderline dan ganas. Masing-masing kelompok tipe tumor dilakukan pemeriksaan ekspresi Bcl-2 dengan teknik imunohistokimia,yang kemudian dilakukan perbandingan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas dengan menggunakan uji Chi-Square.

Penelitian ini memperoleh rerata umur, Indek Massa Tubuh (IMT) dan paritas pada ketiga kelompok tipe tumor ovarium epitelial adalah homogen. Ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas berturut-turut adalah 0%, 7,69% dan 35%. Berdasarkan uji Chi-Squarediperoleh perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak dengan ganas (p=0,009), tidak terdapat perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak dengan borderline(p=0,448) dan tidak terdapat perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe borderline dengan ganas (p=0,082).

Kata kunci: ekspresi Bcl-2, tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas.

(3)

ii ABSTRACT

THE COMPARATION OF B CELL LYMPHOMA-2 (Bcl-2) EXPRESSION IN BENIGN, BORDERLINE AND MALIGNANT TYPE OF OVARIAN

EPITHELIAL TUMOR

Ovarian tumor become one of the challenge in gynecology oncology and itsmalignancy accounts for more death than all other gynecologic malignancies combined. Classified as benign, borderline and malignant type of ovarian epithelial tumor cause a diversity of tumor characteristics itself and appears to create difficulty in treatment eventually. Numerous effort has done to find the tumor marker, early prognostic tools and guideline in treatment modalities that could decrease morbidity and mortality. Some of it through genetical approach in order to have a better understanding on tumor etiopathogenesis. One of the gene that plays role in tumor growth is Bcl-2, it is a protein that expressing BCL2 gene. This study aim to compare the Bcl-2 expression in benign, borderline and malignant type of ovarian epithelial tumor.

This was a crosssectional study at Obsteteric and Gynecology Department, Pathology Anatomy Department and Medical Record of Sanglah Hospital, held from March 2012 until December 2013 with 49 paraffin blocks as sample. The paraffin blocks sampel was classified based on histologic type of the ovarian epithelial tumor, as benign, borderline and malignant. Bcl-2 expression by immunohystochemistry technique examined in each of the tumor type. Comparation of Bcl-2 expression in the ovarian epithelial tumor type done with Chi-Square test.

The mean age, body mass index (BMI) and parity in these group was homogen. Bcl-2 expression in benign, borderline and malignant type of ovarian epithelial tumor was 0%, 7,69% and 35% respectivelly. There was a significant difference of Bcl-2 expression in benign and malignant type (p=0,009), there was no difference of Bcl-2 expression in benign and borderline type (p=0,448) nor in borderline and malignant type (p=0,082).

Key word : Bcl-2 expression, benign, borderline and malignant type of ovarian epithelial tumor.

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Neoplasma ovarium merupakan kelainan terbanyak dalam bidang ginekologi, sebagian besar merupakan lesi yang bersifat kistik, dengan gambaran patologi yang sangat beragam tergantung pada struktur sel asalnya. Kanker atau tumor

ganas ovarium termasuk dalam lima besar keganasan pada wanita,selain kanker

payudara, paru-paru, serviks, dan kolorektal. Kanker ovarium memiliki angka

kematian tertinggi diantara semua keganasan ginekologi.

Angka harapan hidup lima tahun untuk penderita kanker ovarium secara

keseluruhan masih sebesar 45% (Ayadidkk.,2010). Setiap tahunnya, di seluruh

dunia terdiagnosis 204.000 kasus baru, dan 125.000 wanita meninggal akibat

kanker ovarium (Schorgedkk., 2008). Kejadian kanker ovarium di Rumah Sakit

Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tahun 2005 sebesar 35% dari seluruh kanker

ginekologi, dengan angka harapan hidup selama lima tahunnya hanya 15%

(Karyana, 2004).Badan Registrasi Kanker menyatakan angka kejadian kanker

ovarium pada populasi adalah 5,99% (Badan Registrasi Kanker, 2006).

Kematian akibat kanker ovarium di Amerika Serikat terhitung terjadi pada

satu wanita dalam setiap 44 menit(Copeland, 2007). Prognosis yang rendah ini

sebagian diakibatkan oleh minimnya gejala kanker ovarium pada stadium awal

sehingga sebagian besar kanker ovarium baru terdiagnosis pada tahap lanjut.

(5)

melakukan deteksi dini kanker ovarium, akibat kurangnya pemahaman tentang

etiologi kanker ovarium. Angka kekambuhan yang tinggi juga dikaitkan dengan

resistensi terhadap terapi sitostatika. Pemahaman biologi tumor dalam

etiopatogenesis kanker ovarium yang masih belum dimengerti dengan jelas juga

berperan menjadi faktor penyebab.

Kanker ovariummerupakan tumor ganas yang secara histologis sangat

bervariasi dengan karakteristik klinis maupun

histopatologisnyamasing-masing.Tumor ovarium dapat berasal dari ketiga dermoblast yakni ektodermal,

mesodermal, dan endodermal. Berdasarkan struktur asalnya, tumor ovarium

dibagi menjadi 3 tipe, yaitu tipe epitelial yang merupakan 90-95% dari tumor

ganas ovarium,kemudian tumor ovarium tipe germinal(germ cell) serta tipe

mesenkim (sex cord-stromal) (Havrilesky, 2001; Schorgedkk.,2008). Berdasarkan

tipe histologisnya, neoplasma ovarium epitelial terdiri dari tipe serus, musinus,

endometrioid, clear cell, Brenner, dan tipe karsinoma undifferentiated (Berek,

2007; Stricker,2007). Berdasarkan luas proliferasi serta pola diferensiasi lapisan

epitelnya, tumor dibagi menjadi tumor jinak, tumor borderline atau Low

Malignant Potential (LMP), dan tumor ganas (Schorgedkk., 2008; Kumardkk., 2010).

Tumor ganas epitelial (karsinoma)tipe serus memiliki progresivitas tinggi

dengan metastase luas pada abdomen sehingga mempunyai angka survival yang

rendah. Sementara tumor musinusjarang melibatkan permukaan tumor dan jarang

terjadi bilateral namun cenderung memiliki massa tumor yang lebih besar.

(6)

dibandingkan tipe histologis lainnya, seperti pada tipe musinus, endometrioid dan

clear cell. Pada tipe non epitelial, tumor ganas germinal lebih sering ditemukan pada usia yang lebih muda dan terdiagnosis pada stadium yang lebih dini.

Prognosis yang lebih baik pada stadium lanjut juga membedakan tipe ini dari tipe

epitelial, yang disebabkan oleh sifat kemosensitifnya (Greene, 2002; Copeland,

2007).

Karsinogenesis merupakan proses bertahap pada tingkat genetik dan fenotip

sebagai hasil dari akumulasi mutasi yang terjadi berulangkali. Beberapa

perubahan diantaranya adalah: kemampuan self sufficiencyterhadap sinyal

pertumbuhan, insensitivitas terhadap sinyal inhibitor pertumbuhan, kemampuan

untuk menghindari mekanisme apoptosis, defek pada gen perbaikan

Deoxyribonucleic Acid(DNA), kemampuan yang tidak terbatas untuk bereplikasi, kemampuan angiogenesis yang berlangsung terus menerus,kemampuan invasi dan

metastasis, serta kemampuan untuk melepaskan diri dari sistem imunitas

(Hanahan, 2000; Kumardkk., 2010).

Progresivitas tumor ganas dikaitkan dengan kegagalan mekanisme normal

kematian sel yang difasilitasi oleh ekspresi protein-protein regulator apoptosis.

Keluarga protein Bcl-2 dikenal sebagai protein spesifik dalam regulasi apoptosis.

Peranan keluarga protein ini dalam proliferasi neoplasma adalah sebagai inhibitor

(Bcl-2,Bcl-xL,Bcl-w,mcl-1,Bcl-G)maupun pendukung apoptosis (Bax,Bcl-xS,Bak,

Bad, Bid,Bik,Bim) (Marx, 1998; Andersondkk.,2009).

Ekspresi Bcl-2 telah ditemukan pada beragam jaringan neoplastik, termasuk pada

(7)

Bcl-2 pada jaringan normal ditemukan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan

dengan jaringan neoplasma, dengan nilai median dan range ekspresi Ribonucleic

Acid(RNA) yang berbeda-beda pada berbagai tipe. Kecenderungan pola ekspresi yang sama ditemukan pada kanker lambung, namun pola ekspresi yang berbeda

ditemukan pada kanker mama dan prostat. Perbedaan pola ekspresi Bcl-2 pada

berbagaijenis kanker ini menandakan kemungkinan peranan yang berbeda dalam

proses apoptosis, serta mengindikasikan mekanisme ekspresi yang spesifik untuk

masing-masing jaringan (Maronedkk.,1998; Wheeler, 2001).

Pada epitel normal dan tumor jinakdari ovarium, ekspresi Bcl-2 ditemukan

lebih tinggi dibandingkan dengan spesimen kanker ovarium (Torredkk., 2007;

Andersondkk.,2009). Hasil temuan yang kontradiktif didapatkan pada penelitian

lainnya. Tingkat ekspresi Bcl-2pada kanker ovarium secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan dengan pada tumor jinak dan kontrol normal (Gang dkk.,2007;

Hogdaldkk, 2010).Penilaian terhadap sel yang mengalami overekspresi Bcl-2

menunjukkan bukti adanya ketidakstabilan genom, yang konsisten dengan

terganggunya proses apoptosis pada sel yang mengalami kerusakan. Ekspresi

Bcl-2 sebagai protein anti apoptosis mungkin berperan dalam progresivitas tumor

dengan mengurangi sitotoksisitas yang terjadi dalam sel, dan menghambat

kematian sel yang mengalami kerusakan oksidatif, dengan hasil akhir sel

mengalami kerusakan tetapi tidak mengalami kematian (Cox dan Hampton, 2007).

Ekspresi protein Bcl-2 memiliki peranan penting sebagai regulator dalam

proses kematian sel dalam konteks fisiologis maupun patologis.Protein Bcl-2

(8)

jaringan. Identifikasi perbedaan ekspresi protein Bcl-2sebagai anti apoptosis pada

berbagai tipe tumor ovarium menjadi tujuan penelitianini untuk pendekatan yang

lebih optimal dalam diagnosis serta penanganan kanker ovarium.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah ada ekspresi Bcl-2 pada tumor ovariumepitelialtipe jinak?

2. Apakah ada ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe borderline ?

3. Apakah ada ekspresiBcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe ganas ?

4. Apakah ada perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak,

borderline dan ganas ? 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui ekspresidan peran Bcl-2 dalampatogenesis tumorovarium.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahuiekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak.

2. Untuk mengetahui ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe

borderline.

3. Untuk mengetahui ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe ganas.

4. Untuk mengetahui perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovariumepitelial

tipe jinak, borderline dan ganas.

(9)

1.4.1 Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan

Untuk meningkatkan pemahaman tentang peranekspresi Bcl-2dalam

perkembangan tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline, dan ganas.

1.4.2 Manfaat bagi Pelayanan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk mengembangkan upaya

pemahaman tentang etiopatogenesis, pendekatan diagnosis, targetterapi, serta

(10)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Tumor Ovarium

2.1.1 Epidemiologi

Neoplasma ovarium merupakan kelainan terbanyak dalam bidang ginekologi, sebagian besar merupakan lesi yang bersifat kistik, dengan insidennya pada populasi berkisar antara 5-15%. Kasus neoplasma jinak merupakan kasus yang terbanyak, mencapai sepertiga kasus ginekologi setiap tahunnya. Tumor ovarium biasanya berkembang tanpa gejala dan baru ditemukan saat pemeriksaan ginekologi rutin atau dari pemeriksaan ultrasonografi oleh karena indikasi lain

(Schorge dkk., 2008). Berdasarkan struktur asalnya, tumor ovarium dibagi

menjadi 3 tipe, yaitu tipe epitelial yang merupakan 90-95% dari tumor ganas

ovarium,kemudian tumor ovarium tipe germinal(germ cell) serta tipe mesenkim

(sex cord-stromal). Berdasarkan luas proliferasi serta pola diferensiasi lapisan

epitelnya, tumor dibagi menjadi tumor jinak, tumor borderline atau Low

Malignant Potential (LMP), dan tumor ganas (Havrilesky, 2001;

Schorgedkk.,2008).

Tumor ganas atau kanker ovarium merupakan keganasan terbanyakkelima dari semua keganasan pada wanita, selain keganasan pada paru-paru, pankreas, payudara, dan kolorektal. Setiap tahunnya, di seluruh dunia terdiagnosis 204.000

kasus baru dan 125.000 wanita meninggal akibat kanker ovarium (Schorge dkk.,

(11)

keganasan pada wanita, dan yang tertinggi dari semua kaganasan ginekologi(Coleman, 2007; Nagell, 2008). Kematian akibat kanker ovarium di

Amerika Serikat terhitung terjadi pada satu wanita dalam setiap 44 menit, dengan

probabilitaspenderita kanker ovarium satu diantara 68 wanita. Minimnya

pemahaman tentangetiologi kanker ovarium berperan dalam menyebabkan angka

kematian yang tidak berkurang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir

(Copeland, 2007). Angka harapan hidup untuk lima tahun secara keseluruhan

masih sebesar 45% (Landen dkk.,2008; Ayadi dkk.,2010).

Insiden tumor ganas ovarium yang tertinggi adalah di Swedia dan Amerika

Serikat dengan insiden masing-masing 19,6/100.000 dan 15,4/100.000. Insiden

terendah adalah di Jepang dengan angka insiden 10,1/100.000 (Nagell, 2008;

Coleman, 2007). Kejadian kanker ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)

Sanglah pada tahun 2005 sebesar 35% dari seluruh kanker ginekologi, dengan

angka harapan hidup selama lima tahunnya sebesar 15% (Karyana, 2005). Badan

Registrasi Kanker menyatakan angka kejadian kanker ovarium pada populasi

adalah 5,99% (Badan Registrasi Kanker, 2006). Insiden kanker ovarium di

Amerika Serikat tertinggi pada wanita ras Kaukasia, diikuti Afrika Amerika, dan

terendah pada ras asli Amerika. Faktor-faktor yang dihubungkan dengan

peningkatan risiko kanker ovarium adalah usia, nulipara, dan adanya riwayat

kanker dalam keluarga (Coleman,2007; Nagell, 2008).

Kanker ovarium jarang terjadi sebelum usia 40 tahun, insidennya meningkat lebih

dari dua kali lipat setelah usia 60 tahun, dengan puncaknya pada usia 65 sampai

(12)

faktor terpenting dalam menentukan potensi keganasan (Disaia,2007). Wanita

dengan usia diatas 65 tahun cenderung terdiagnosis pada stadium yang lebih

lanjut, dengan angka harapan hidup yang jauh lebih rendah. Distribusi tipe

histologis kanker ovarium berdasarkan usia juga didapatkan sangat berbeda.

Kanker ovarium tipe germinal lebih sering ditemukan pada usia dibawah 20

tahun, sedangkan tipe epitelial sebagian besar ditemukan pada usia diatas 50

tahun(Copeland,2007).

Tabel 2.1 Distribusi Tumor Ovarium Primer berdasarkan Umur (tahun)

Tipe < 20 20-50 >50

Coelomic epithelium 29% 71% 81%

Germ cell 59% 14% 6%

Specialized gonadal stroma 8% 5% 4%

Non-spesific mesenchyme 4% 10% 9%

(Copeland,2007)

Paritas adalah faktor non genetik yang juga dianggap sebagai faktor risiko kanker

ovarium. Risiko kanker ovarium menurun secara progresif seiring peningkatan

jumlah kehamilan (Coleman,2007; Nagell, 2008).Wanita nulipara mempunyai

risiko dua kali lipat lebih besar untuk terjadinya kanker ovarium dibandingkan

wanita dengan paritas tiga atau lebih (Larma dkk.,2007; Granstrom, 2008). Dua

puluh lima sampai 30% karsinoma serus terjadi pada nulipara (Wheeler, 2001).

Besarnya risiko seorang wanita menderita kanker ovarium sepanjang

hidupnya, dengan riwayat first relative (ibu,saudari,atau anak perempuan)

menderita kanker ovarium adalah 1,5-5%. Kejadian kanker ovarium

(13)

ovarium berkembang secara sporadis. Kanker ovarium familial menurunkan

mutasi genetik yang menjadi predisposisi untuk perkembangan kanker ovarium

(Coleman,2007; Nagell, 2008). Kanker ovarium familial dikategorikan menjadi

kanker ovarium yang site-specific, sindrom breast-ovarian cancer, dan sindrom

Lynch tipe II, dengan anggota keluarga yang memiliki riwayat kanker kolorektal,

endometrium dan ovarium (Copeland,2007).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat

meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Reeves, 2007). Penelitian ini

memperoleh hasil bahwa risiko relatif terjadinya kanker ovarium memiliki

kecenderungan meningkat sesuai dengan peningkatan IMT. Pada IMT kurang dari

18,5 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,09, IMT antara 18,5 sampai 24,9 kg/m2

memiliki risiko sebesar 1,00, IMT antara 25,0 sampai 29,9 kg/m2 memilki risiko

sebesar 1,43, dan IMT lebih dari 30,0 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,56 untuk

menderita kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh European Prospective

Investigation into Cancer and Nutrition (2006) mendapatkan wanita dengan IMT di atas 30 atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya

kanker ovarium dibandingan dengan wanita dengan IMT normal. Penelitian yang

berbeda memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada wanita premenopause

meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 1,72

(Schouten, 2008). Leitzmann (2009) juga memperoleh hasil bahwa risiko

terjadinya kanker ovarium pada wanita obesitas dengan IMT lebih dari 30 kg/m2

adalah sebesar 1,26. Faizal (2011) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,

(14)

risiko 2,036 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang memiliki IMT

yang kurang dari 30 kg/m2.

2.1.2 Histopatologi

Tumor ovarium merupakan tumor dengan patologi yang sangat beragam. Hal ini didasari oleh tiga jenis tipe sel yang membentuk struktur ovarium normal. Epitel coelomicatau mesotelium yang bersifat multipotensial yang membentuk lapisan epitel ovarium, sel-sel germinal yang bersifat pluripotensial, serta sel-sel stroma ovarium, termasuk didalamnya sex cord yang juga bersifat multipotensial (Kumar dkk., 2010).

Gambar 2.1 Pembagian tumor ovarium berdasarkan sel asalnya(Kumar

dkk.,2010)

Perkembangan awal ovarium dapat dibagi menjadi empat tahap utama. Pada tahap pertama, sel-sel germinal yang belum terdiferensiasi (primordial germ cells) terpisah dan bermigrasi dari tempat asalnya menuju genital ridges, suatu lokasi dimana terjadi penebalan secara bilateral lapisan epitel coelomic. Tahap yang kedua dimulai setelah sel-sel germinal sampai di genital ridges, dimana terjadi proliferasi dari epitel coelomic serta struktur mesenkim dibawahnya. Tahap

(15)

ketiga, ovarium terbagi menjadi korteks di bagian perifer dan medula di bagian tengah. Tahap keempat ditandai dengan perkembangan dari korteks dan involusi medula. Klasifikasi histologis neoplasma ovarium dibagi berdasarkan perkembangan dari sel-sel epitel coelomic, sel-sel germinal,serta mesenkim (Copeland, 2007).

Neoplasma ovarium yang berasal dari jaringan epitel atau mesothelium coelomic

merupakan 65-70% dari semua tumor ovarium, dan 90-95 % dari semua tumor

ganas ovarium (Havrilesky, 2001; Schorge dkk.,2008; Kumar dkk., 2010). Tumor

ovarium lebih sering terjadi pada wanita dengan usia diatas 40 tahun, dengan

bentuk ganas lebih sering ditemukan pada usia yang lebih lanjut. Berdasarkan tipe

histologisnya, neoplasma ganas epitelial (karsinoma) ovarium terdiri dari 75%

tipe serus, 20% tipe musinus, 2% endometrioid, dan kurang dari 1% merupakan

tipe clear cell, Brenner, dan jenis karsinoma undifferentiated (Kaku dkk., 2003;

Berek, 2007; Stricker,2007). Sriwidyani (2008) menemukan proporsi karsinoma

ovarium berdasarkan tipe histologisnya adalah tipe serus (40,6%), tipe clear cell

(31,3%), musinus (21,9%), dan endometrioid (6,3%).

Setiap tipe tumor menunjukkan pola histologis tersendiri yang merepresentasikan

gambaran mukosa alat reproduksi wanita. Tumor ovarium tipe serus memiliki

kemiripan histologis dengan epitel kelenjar dan tuba falopi. Tumor tipe musinus

mengandung sel yang sama dengan sel-sel kelenjar endoserviks, dan tumor tipe

endometrioid yang memiliki kemiripan dengan endometrium (Berek,2007).

Tabel 2.2 Klasifikasi Histologis Tumor Ovarium Epitelial-Stromal (WHO)

Klasifikasi Histologis Tumor Ovarium Epitelial-Stromal 1. Serous tumors

(16)

Benign (cystadenoma)

Borderline tumors (serous borderline tumor) Malignant (serous adenocarcinoma)

2. Mucinous tumors, endocervival-like and intestinal type Benign (cystadenoma)

Borderline tumors (mucinous borderline tumor) Malignant (mucinous adenocarcinoma)

3. Endometrioid tumors

Benign (cystadenoma)

Borderline tumor (endometrioid borderline tumor) Malignant (endometrioid adenocarcinoma)

4. Clear-cell tumors Benign

Borderline tumors

Malignant (clear cell adenocarcinoma) 5. Transitional cell tumors

Brenner tumor

Brenner tumor of borderline malignancy Malignant Brenner tumor

Transitional cell carcinoma (non-Brenner type) 6. Epithelial-stromal Adenosarcoma Malignant mixed müllerian tumor

(Kumar dkk.,2010)

Klasifikasi tumor ovarium epitelial dibuat berdasarkan pola diferensiasi dan

luas proliferasi lapisan epitel. Luas proliferasi epitel berhubungan dengan

perangai biologis tumor. Berdasarkan proliferasinya, tumor dibagi menjadi: (1)

Tumor jinak dengan proliferasi epitel minimal, (2) Tumor borderline atau Low

Malignant Potential (LMP) dengan proliferasi sedang, dan (3) Tumor ganas atau karsinoma dengan proliferasi nyata dan terjadinya invasi stroma (Kaku dkk.,

2003; Schorge dkk., 2008; Kumar dkk., 2010). Kelompok tumor

(17)

karakteristik biologi dan histopatologi yang berada diantara tumor jinak dan tumor

ganas (Copeland, 2007).

Tumor jinak memiliki proporsi 80%, dan muncul sebagian besar pada wanita

muda dengan rentang usia 20 sampai 45 tahun. Tumor borderline muncul pada

usia yang lebih tua, namun 15 tahun lebih muda dibandingkan dengan karsinoma

ovarium invasif. Tumor ganas lebih sering terjadi pada wanita berusia diantara 45

sampai 65 tahun (Schorge dkk., 2008; Kumar dkk., 2010).

Secara histologis, tumor borderline dapat dibedakan dari tumor jinak dengan

ditemukannya beberapa gambaran berikut, yakni: atipia inti, hiperplasi epitel

dalam bentuk psudostratifikasi epitel, terbentuknya gambaran micropapillary,

pleomorfisme seluler, dan peningkatan aktivitas mitosis. Tumor borderline

dibedakan dari karsinoma invasif dengan tidak ditemukannya gambaran invasi

stroma yang destruktif (Berek, 2007; Schorge dkk., 2008). Janovski dan

Paramananthon menyatakan minimal ditemukannya dua dari beberapa gambaran

diatas untuk klasifikasi tumor borderline (Copeland, 2007).

Proporsi tumor borderline dalam tumor ovarium epitelial adalah sekitar

10-15%. Prognosis pasien dengan tumor borderline sangat baik, dengan angka

kelangsungan hidup 5 tahun pada stadium IV sebesar 77%. Terdapat risiko

rekurensi sebesar 15% dalam 20 tahun setelah terapi akibat sifat dasar tumor

borderline yang memiliki kecepatan pertumbuhan lebih lambat (Berek, 2007; Schorge dkk., 2008). Penelitian ini akan meneliti tumor ovarium yang termasuk

dalam kelompok tumor epitelial tipe jinak, borderline dan ganas.

(18)

Merupakan neoplasma kistik yang dilapisi sel-sel epitel kolumnar tinggi, bersilia

maupun tanpa silia, dengan cairan serus jernih di dalamnya. Tumor serus

merupakan 30% dari tumor ovarium, dan lebih dari 50% dari semua tumor

epitelial. Karsinoma serus merupakan tumor ganas tipe epitelial yang terbanyak,

40% dari semua kanker ovarium (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).

Karakteristik tumor serus merupakan lesi kistik dengan papil yang terkandung

dalam dinding fibrus kista bagian dalam atau pada permukaan ovarium. Tumor

jinak ditandai dengan kista berdinding tipis,licin dan mengkilat, tanpa penebalan

epitel atau dengan penonjolan papil-papil kecil. Kista ini memiliki potensi

pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar 50% dan pada permukaan luar

kista sebesar 5%. Penonjolan papil ini akan meningkat jumlahnya pada tumor

borderline. Tumor umumnya bilateral, terjadi pada 20% serous cystadenoma, pada 30% tumor serous borderline, dan pada 60% karsinoma serus (Sutoto,

2007;Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).Tumor serus adenofibroma sebagian besar

merupakan tumor solid yang terdiri dari jaringan ikat fibrus (Kaku dkk., 2003).

Secara histologis, tumor serus jinak berupa struktur kista dengan lapisan epitel

kolumnar dengan banyak silia, dan dapat ditemukannya papil mikroskopis.

Tumor serus borderline menunjukkan peningkatan kompleksitas proliferasi dari

stroma papil, stratifikasi epitel, dengan atipia inti ringan, tanpa adanya infiltrasi

destruktif pada stroma. Kecurigaan keganasan ditandai dengan massa tumor solid

dengan papil-papil dalam jumlah banyak, ireguler, serta fiksasi dan nodul pada

kapsul. Karakteristik tumor ganas ditandai dengan pola pertumbuhan yang lebih

(19)

atipik, dan multinukleasi. Struktur kalsifikasi konsentris (psammoma bodies) yang

juga disebut fokus material asing, berupa pengendapan kalsium dalam stroma

jaringan papiler, merupakan ciri khas tumor serus dan ditemukan pada 80%

karsinoma serus, namun tidak spesifik untuk neoplasia (Berek, 2007; Kumar dkk.,

2010).

Perangai biologis tergantung dari derajat diferensiasi, distribusi, dan

karakteristik pertumbuhannya pada peritoneum. Tumor serus borderline dapat

membentuk implantasi invasif dan non invasif.Implantasi non invasif muncul dari

atau meluas ke peritoneum dalam bentuk proliferasi papil dari sel-sel atipik yang

membentuk invaginasi, terlokalisir, tanpa gejala, penyebaran yang lambat, dan

setelah beberapa tahun dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau komplikasi

lainnya. Jenis implantasi invasif tumor serus borderlinememiliki ciri-ciri sel

atipik yang membentuk kelenjar yang ireguler dengan batas yang tegas, dianggap

sebagai lesi prekursor karsinoma serus derajat rendah, yang secara klinis memiliki

ciri progresivitas yang lambat dengansurvival yang lebih lama. Berbeda dengan

jenis karsinoma serus derajat tinggi yang memiliki progresivitas tinggi dengan

metastase luas pada abdomen pada saat terdiagnosis. Angka kelangsungan hidup

lima tahun pada tumor borderline dan ganas dengan massa terbatas pada ovarium

masing-masing adalah 100% dan 70%, dan angka ini berkurang menjadi 90% dan

25% jika ditemukanimplantasi pada peritoneum. Tumor borderline dapat rekuren

setelah beberapa tahun karena sifat pertumbuhannya yang lambat dan berlangsung

(20)

Faktor risiko yang hingga kini masih terus didalami pada karsinoma adalah

faktor genetik. Mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 dikatakan meningkatkan risiko

kanker ovarium. Mutasi BRCA1 ditemukan pada 5% pasien kanker ovarium yang

berusia dibawah 70 tahun. Perkiraan risiko wanita dengan mutasi gen BRCA1 dan

BRCA2 pada usia 70 tahun adalah 20 sampai 60% (Kumar dkk., 2010).

2.1.2.2 Tumor musinus

Merupakan 30% dari semua tumor ovarium, muncul pada wanita usia

pertengahan, jarang terjadi sebelum pubertas dan setelah menopause. Tumor jinak

dan borderline merupakan 80% kasus, dan 15% kasus adalah tumor ganas.

Karsinoma musinus primer relatif jarang ditemukan, kurang dari 5% dari semua

kanker ovarium.

Karakteristik morfologi dan biologi tumor musinus berbeda dengan tipe

serus, dimana tumor musinus jarang melibatkan permukaan tumor dan jarang

terjadi bilateral. Tumor dengan lesi intraovarium terjadi pada 95-98% kasus.

Tumor bilateral hanya terjadi pada 8-10% kasus. Tumor musinus lebih cenderung

memiliki massa tumor yang lebih besar dibandingkan tumor serus. Tampak

sebagai tumor multilokuler yang dilapisi oleh epitel dengan kandungan musin

intrasitoplasma, yang memiliki kemiripan dengan epitel endoserviks, atau

intestinal.Karsinoma musinus, begitu pula karsinoma endometrioid dan clear cell,

lebih cenderung ditemukan pada stadium yang lebih awal (Berek, 2007;

Copeland, 2007; Kumar dkk., 2010).

Secara histologis, tumor musinus jinak ditandai dengan lapisan sel epitel

(21)

Cystadenocarcinoma musinus mengandung mayoritas pertumbuhan tumor yang solid, area nekrosis dan hilangnya struktur kelenjar (Kaku dkk., 2003; Kumar

dkk.,2010).

Peudomyxoma peritonei didefinisikan sebagai temuan klinis berupa ascites musinus yang luas, implantasi epitel kista pada permukaan peritoneum, dan

disertai perlekatan, sehingga dapat menyebabkan obstruksi usus dan kematian.

Hal ini akibat potensi sel epitel untuk tumbuh membentuk struktur kelenjar,

kelenjar membentuk kista-kista baru, yang akan membentuk kista multilokuler.

Dikaitkan dengan tumor musinus primer ekstraovarium, umumnya karsinoma

appendiceal, dengan pertumbuhan sekunder pada ovarium dengan penyebaran pada peritoneum. Angka kelangsungan hidup 10 tahun pada karsinoma stadium I

non invasif dan invasif masing-masing adalah lebih dari 95% dan 90% (Wheeler,

2001; Sutoto, 2007; Kumar dkk., 2010).

Analisa perubahan genetik belum memberikan data yang memadai untuk

menjelaskan patogenesis tumor musinus seperti halnya pada tumor serus. Salah

satu temuan yang konsisten adalah mutasi protoonkogen KRAS. Mutasinya terjadi

pada 58% cystadenoma, 75-86% tumor borderline, dan 85% pada karsinoma

musinus primer (Kumar dkk., 2010).

2.1.2.3 Tumor endometrioid

Tumor endometrioid memiliki karakteristik adanya elemen epitel, elemen

stroma, atau kombinasi keduanya serupa dengan yang ada pada endometrium

(Kaku dkk., 2003). Karsinoma endometrioid merupakan 20% dari semua kanker

(22)

ini terjadi bilateral pada 40% kasus, dan berhubungan dengan ekstensi neoplasma

di luar saluran genital. Pada stadium I angka kelangsungan hidup untuk 5

tahunnya adalah 75% (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).

Tumor jenis ini dibedakan dari tumor serus dan musinus melalui adanya struktur

kelenjar tubuler yang memiliki kemiripan dengan endometrium. Tumor

endometrioid borderline dikaitkan dengan endometriosis, dan 15-30% karsinoma

endometrioid disertai dengan karsinoma endometrium. Kasus karsinoma

endometrioid yang berhubungan dengan endometriosis ditemukan terjadi pada

usia yang lebih muda 10 tahun dibandingkan dengan kasus yang tidak

berhubungan dengan endometriosis.

Tumor endometrioid borderline memiliki spektrum morfologi yang luas.

Tumor dapat memiliki kemiripan dengan polip endometrium atau kompleks

hiperplasia endometrial dengan kelenjar, atau memiliki komponen fibroma yang

jelas. Karsinoma endometrioid muncul dalam kombinasi tumor kistik dan solid,

berisi cairan berwarna coklat gelap, dengan karakteristik pola adenomatous serta

dalam bentuk berbagai potensi variasi epitel pada uterus (Kaku dkk.,2003; Berek,

2007; Kumar dkk., 2010). Tumor endometrioid berdiferensiasi buruk sulit

dibedakan dengan tumor serus, dan seringkali tumor jenis ini dikategorikan ke

dalam tumor serus. Hal ini menyebabkan tumor endometrioid secara keseluruhan

memiliki prognosis yang baik (Schorge dkk., 2008).

Meskipun kejadiannya lebih jarang dibandingkan dengan tumor serus dan

musinus, namun perubahan molekuler yang teridentifikasi dalam

(23)

sering ditemukan adalah mutasi pada tumor supressor gene PTEN dan onkogen

KRAS dan β-catenin, serta adanya microsatellite instability (Wheeler,

2001;Kumar dkk., 2010).

2.1.2.4 Tumor clear-cell

Karakteristik tumor ini adalah lapisan sel epitel dengan ukuran besar, dengan

sitoplasma jernih yang luas, yang memiliki kemiripan dengan endometrium

gestational yang mengalami hipersekresi. Diduga berasal dari perkembangan

duktus mülleri serta variasi dari karsinoma endometrioid. Dapat bersifat solid atau

kistik (Kumar dkk, 2010).

Secara histologis, dapat ditemukan beberapa pola pada adenokarsinoma clear

cell, dapat berupa tubulokistik, papil, recticular, dan solid. Tumor terdiri dari clear cell dan sel-sel hobnail dengan inti sel bulbous yang menonjol pada tepi sitoplasma. Sel berukuran tinggi dengan vakuola sitoplasma yang jernih akibat

disolusi glikogen, inti hiperkromatik yang ireguler, serta nukleoli dalam berbagai

ukuran (Berek, 2007; Schorge dkk., 2008).

Angka kelangsungan hidup 5 tahun untuk tumor ini adalah 65% jika tumor

masih dalam struktur ovarium, namun tumor ini cenderung bersifat agresif dengan

perluasan di luar ovarium (Kumar dkk., 2010). Rekurensinya terjadi melalui

penyebaran pada permukaan peritoneum, dengan metastase pada kelenjar limfe,

hepar, paru dan tulang yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan karsinoma

tipe serus (Wheeler, 2001).

Perubahan molekuler yang mendasari patogenesisnya masih sedikit yang

(24)

diploid maupun aneuploid, dimana pola variasi seperti ini sangat jarang

ditemukan pada karsinoma ovarium lainnya (Kumar dkk., 2010).

2.1.2.5 Tumor brenner/sel transisional

Tumorbrenner diklasifikasikan sebagai adenofibroma, terdiri dari matriks

fibromatus hiperplastik yang mengandung sarang-sarang sel epiteloid menyerupai

sel transisional pada saluran kemih. Sebagian besar (99%) tumor brenner

ditemukan dalam bentuk jinak dan unilateral (90%), dengan ukuran yang

bervariasi (Kumar dkk., 2010). Tumor brenner ganas merupakan area residu

proliferasi tumor jinak disertai komponen karsinoma epitelial infiltratif yang

ganas dengan gambaran histologis berupa sel transisional, sel skuamus, atau

undifferentiated (Berek, 2007).

Karsinoma sel transisional secara histologis ditandai dengan tidak

ditemukannya komponen tumor brenner, memiliki kemiripan dengan karsinoma

primer kandung kemih, namun dengan pola imunoreaktivitas yang konsisten

dengan ovarium. Karsinoma sel transisional memiliki perangai biologis yang

berbeda dengan tumor Brenner ganas. Karsinoma sel transisional lebih sering

terdiagnosis pada stadium yang lebih lanjut sehingga memiliki prognosis yang

lebih buruk. Karsinoma ovarium yang lebih dari 50% bagiannya merupakan

karsinoma sel transisional, ternyata menunjukkan sensitivitas yang lebih baik

terhadap kemoterapi sehingga memiliki prognosis yang baik jika dibandingkan

dengan jenis karsinoma ovarium poorly differentiated lainnya pada stadium yang

(25)

2.1.3 Patogenesis

Karsinogenesis merupakan proses bertahap pada tingkat genetik dan fenotip

sebagai hasil dari akumulasi mutasi yang terjadi berulangkali. Kerusakan genetik

merupakan mekanisme dasar dari proses karsinogenesis. Kerusakan ini dapat

diakibatkan oleh faktor lingkungan, seperti bahan kimiawi, radiasi, virus, atau

hasil pewarisan pada sifat germ line. Namun tidak semua mutasi diakibatkan oleh

faktor lingkungan karena beberapa dapat terjadi secara spontan. Target utama dari

kerusakan genetik ini adalah empat kelompok gen utama, yaitu protoonkogen

yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel normal, yang

kemudian hasil mutasinya disebut onkogen (HER2Neu,RAS,MYC,CDK1)

kemudian gen lainnya adalah tumor supressor gene yang berfungsi menghambat

proliferasi sel, gen yang mengatur mekanisme apoptosis, serta gen yang terlibat

dalam perbaikan DNA (Stricker, 2007).

Perubahan fundamental yang terjadi dalam karsinogenesis antara lain adalah

kemampuan self sufficiencyterhadap sinyal pertumbuhan yaitu kemampuan sel

tumor untuk berproliferasi tanpa membutuhkan sinyal pertumbuhan ataupun

rangsangan dari luar, hal ini merupakan akibat dari aktivasi onkogen. Perubahan

sifat lainnya adalah insensitivitas terhadap sinyal inhibitor pertumbuhan,

kemampuan untuk menghindari mekanisme apoptosis sebagai akibat inaktivasi

p53 maupun aktivasi gen antiapoptosis. Sel tumor juga memiliki kemampuan

yang tidak terbatas untuk bereplikasi, kemampuan angiogenesis yang berlangsung

terus menerus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigen, kemampuan invasi

(26)

yang juga memiliki peran penting dalam perkembangan tumor adalah

kemampuan untuk melepaskan diri dari mekanisme sistem kekebalan tubuh atau

imunitas (Hanahan, 2000; Tripathy, 2003; Stricker, 2007).

Gambar 2.2 Dasar Molekuler Karsinogenesis(Kumar dkk.,2010)

Keseimbangan antara mekanisme proliferasi sel dengan apoptosis atau

Programmed Cell Death (PCD) akan menjaga keberlangsungan jaringan normal. Mekanisme apoptosis merupakan proses aktif yang melibatkan energi yang

diawali oleh ekspresi gen-gen spesifik. Pertumbuhan tumor secara progresif

(27)

patogenesisnya sel kanker tidak hanya gagal bereaksi terhadap sinyal untuk

menghentikan proliferasinya, namun juga gagal dalam menerima sinyal fisiologis

untuk memulai mekanisme apoptosis. Apoptosis dipicu oleh banyak faktor antara

lain sinyal intraseluler dan rangsangan eksogen seperti paparan radiasi,

kemoterapi serta hormonal. Proses ini ditandai dengan perubahan-perubahan

secara histologis, biokimiawi dan biologi molekuler (Lowe, 2000;Berek,2007).

Karsinogenesis pada kanker ovarium, terutama kanker ovarium epitelial atau

karsinoma ovarium masih belum dapat diungkap secara jelas. Suatu model yang

diajukan Schorge dkk. (2008) membagi tumorigenesis kanker ovarium epitelial

menjadi tiga jalur utama. Jalur yang pertama merupakan hasil dari akumulasi

penyimpangan genetik yang menyebabkan perubahan keganasan dari kista jinak

menjadi tumor borderline atau Low Malignant Potential (LMP) dan kemudian

menjadi karsinoma ovarium yang invasif. Jenis tumor invasif yang termasuk

dalam jalur ini memiliki sifat pertumbuhan yang lambat dengan derajat

diferensiasi yang baik.

Jalur yang kedua merupakan hasil dari sifat-sifat yang diturunkan, dengan

frekuensi 5-10% dari kanker tipe epitelial. Kanker familial dengan mutasi gen

BRCA muncul pada usia 15 tahun lebih awal dari jenis kanker yang bersifat

sporadis. Mutasi gen BRCA menyebabkan terhentinya fungsi normal dari tumor

supressor gene BRCA. Penghentian fungsi normal ini berlangsung dalam mekanisme yang lebih cepat. Kanker ovarium dan peritoneum dengan mutasi

BRCA memiliki patogenesis molekuler yang khas, dimana dalam

(28)

supressor gene yang telah dipetakan pada kromosom 17. Produk proteinnya mencegah sel memasuki fase pembelahan selanjutnya dari siklus sel, sehingga

mencegah replikasi sel tumor yang tidak terkontrol. Mutasi dari gen p53 ini

dikaitkan dengan berbagai jenis kanker. Hilangnya fungsi normal gen BRCA dan

p53 ditemukan pada tahap dini sebelum terjadinya invasi, sehingga hal ini

menunjukkan peran penting gen ini dalam proses awal keganasan.

Jalur yang ketiga, merupakan mekanisme yang terjadi pada sebagian besar

karsinoma, berawal dari perubahan sel epitel permukaan ovarium pada kista

inklusi yang masuk ke dalam struktur stroma ovarium. Siklus perubahan

permukaan ovarium selama proses ovulasi dalam periode yang panjang dan

berulang-ulang menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan. Mutasi

p53 secara spontan yang muncul selama sintesis DNA yang menyertai proliferasi

berperan penting dalam jalur ini. Terdapat pula kemungkinan terjadinya inaktivasi

dini beberapa jenis gen lainnya.

Shih dan Kurman (2007) membagi model tumorigenesis karsinoma ovarium

berdasarkan profil morfologis dan genetiknya menjadi dua tipe tumorigenesis.

Tipe I merupakan perkembangan tumor yang berasal dari tumor borderline

dengan lesi perkursor yang telah diketahui. Tumorigenesis tipe I terjadi pada

karsinoma serus berdiferensiasi baik, karsinoma musinus, kersinoma

endometrioid, tumor brenner ganas, dan karsinoma clear cell. Tipe ini

berhubungan dengan mutasi BRAF dan KRAS pada tipe serus, mutasi KRAS

pada tipe musinus, mutasi b-catenin dan PTEN serta microsatellite instability

(29)

berdiferensiasi buruk, karsinosarkoma, dan karsinoma undifferentiated.

Cenderung terjadi pada tumor berdiferensiasi buruk, dengan lesi prekursor yang

belum teridentifikasi, sehingga dikenal dengan perkembangan de novo. Profil

genetiknya masih terbatas, namun diketahui memiliki kaitan dengan mutasi p53.

Seperti halnya pada tumor serus, patogenesis tumor musinus juga belum

diketahui dengan jelas. Analisa faktor risiko belum dapat menjelaskan perbedaan

tipe histologis yang ada. Beberapa penelitian menghubungkan tumor musinus

dengan faktor risiko yang berbeda dengan tumor serus seperti contohnya risiko

merokok. Analisa perubahan genetik tidak menunjukkan data yang memadai.

Salah satu temuan yang konsisten adalah mutasi protoonkogen KRAS. Mutasinya

terjadi pada 58% cystadenoma, 75-86% tumor borderline, dan 85% pada

karsinoma musinus primer (Kumar dkk., 2010;Pothuri,2010).

Etiologi dari perubahan seluler yang berperan dalam perkembangan tumor

ovarium epitelial didasari oleh perubahan yang terjadi pada tingkat molekuler

serta terjadinya defek yang spesifik. Hal ini menandakan bahwa perbedaan

gambaran dan pola histologis yang terjadi pada kanker ovarium berhubungan

dengan terjadinya defek yang berbeda-beda pada gen-gen yang mendasari setiap

tipe fenotip histologisnya (Wheeler, 2001;Karst,2010).

2.1.4 Apoptosis

Sel memiliki kemampuan mengaktifkan jalur mekanisme bunuh diri atau

Programmed Cell Death (PCD), yang dikenal dengan apoptosis. Apoptosis adalah proses yang meliputi pemecahan DNA oleh endonuklease serta pemecahan

(30)

terjadinya kondensasi kromatin serta penyusutan sel dengan pembentukan

cytoplasmic blebs, dan apoptotic bodies diikuti dengan proses fagositosis. Hal ini berbeda dengan proses nekrosis yang ditandai dengan hilangnya osmolaritas sel

serta pecahnya sel (Havrilesky, 2001).

Apoptosis,dalam fungsinya mengendalikan jumlah sel, juga berperan mencegah

perubahan keganasan dengan mengeliminasi sel-sel yang mengalami mutasi.

Sel-sel yang mengalami mutasi akibat rangsangan mutagen, termasuk radiasi dan zat

karsinogen, akan mengalami penghentian siklus sel untuk memperbaiki kerusakan

DNA yang terjadi. Jika perbaikan DNA gagal, maka sel akan mengalami

apoptosis. Mekanisme ini merupakan mekanisme perlindungan yang mencegah

sel-sel yang bermutasi mengalami perubahan keganasan lebih lanjut. Tumor

supressor gene p53 merupakan pemeran utama mekanisme penghentian siklus sel serta proses apoptosis dalam merespon kerusakan DNA. Apoptosis juga dapat

diaktifkan melalui jalur lainnya dalam kondisi yang berbeda (Havrilesky, 2001).

Proses apoptosis diaktivasi melalui dua jalur utama, yakni jalur intrinsik yang

diawali oleh kerusakan DNA, dan jalur ekstrinsik melalui aktivasi reseptor

Fas/CD95 (Stricker,2007).

Pada jalur ekstrinsik akan terbentuk kompleks protein reseptor dengan procaspase

8, yang kemudian akan mengaktifkan produk caspase 3, yang merupakan caspase

(31)

Gambar 2.3 Jalur apoptosis (Kumar dkk.,2010)

Jalur intrinsik diaktifkan oleh beberapa stimulus, antara lain stres dan cedera sel

akibat radiasi maupun rangsangan kimiawi. Aktivasi jalur intrinsik bekerja dengan

mempengaruhi permiabilitas membran mitokondria, memicu pelepasan

molekul-molekul, seperti sitokrom c yang akan mengawali apoptosis. Integritas membran

luar mitokondria dikendalikan oleh kelompok protein Bcl-2 yang bersifat pro

apoptosis dan anti apoptosis. Protein pro apoptosis, yakni Bax,Bad, Bcl-xS dan

Bak, secara langsung meningkatkan permiabilitas membran mitokondria.

Aktivitas ini dihambat oleh kelompok anti apoptosis seperti 2, mcl-1 dan

Bcl-xL. Kelompok proteinBH3-only, antara lain BAD,BID,dan PUMA, berfungsi

mengatur interaksi antara kelompok Bcl-2 yang pro dan anti apoptosis. Protein

BH3-only bekerja menetralisir kerja protein anti apoptosis seperti 2 dan Bcl-xL. Dalam ekspresinya, BH3-only akan mengaktifkan Bax dan Bak serta

(32)

dalam sitosol, berikatan dengan APAF-1, yang akan mengaktifkan caspase 9.

Seperti peran caspase 8 pada jalur ekstrinsik, caspase 9 bekerja memecah DNA

dan mengaktifkan caspase eksekutor atau caspase 3(Kumar dkk., 2010).

Jalur ini menggambarkan bagaimana sel kanker mengalami perubahan-perubahan

karsinogenesis dalam konteks proses apoptosis. Pada permukaan sel,

berkurangnya reseptor CD95 menyebabkan sel tumor kurang peka terhadap sinyal

apoptosis oleh Fas ligand (FasL). Inaktivasi kompleks sinyal yang menginduksi

kematian oleh protein FLICE (caspase 8;apoptosis-related cystein peptidase)

yang akan mencegah aktivasi caspase 8. Pada tingkat mitokondria, berkurangnya

sitokrom c dapat diakibatkan oleh peningkatan aktivitas Bcl-2, dan berkurangnya

Bax yang bersifat pro apoptosis akibat hilangnya fungsi normal p53. Hilangnya

apoptotic peptidase activating factor 1 (APAF-1) yang berperan mengaktifkan caspase 9 dengan berikatan dengan sitokrom c. Peningkatan Fas-Associated via

Death Domain (FADD) yang merupakan inhibitor apoptosis, bekerja dengan menghambat caspase 9 (Kumar dkk, 2010).

Mekanisme Bcl-2 serta protein mitokondria lainnya dalam menimbulkan

apoptosis masih belum jelas. Namun telah diketahui bahwa semua hal yang

menyebabkan peningkatan permiabilitas membran mitokondria akan merangsang

apoptosis, dan semua yang menurunkan permiabilitas membran akan mencegah

apoptosis. Aktivasi caspase, enzim proteolitik sitosol, ditemukan dalam proses

apoptosis, menyebabkan degradasi protein sel (Havrilesky, 2001).

Pemahaman tentang mekanisme seluler yang mendasari proses inhibisi

(33)

kanker, dan proses apoptosis diyakini mempunyai peranan dalam menghambat

terjadinya pertumbuhan tumor (Feldser, 2007). Peranan Bcl-2 dianggap sebagai

faktor penting dalam melindungi sel tumor dari proses apoptosis (Kumar

dkk.,2010).

2.2 Protein Bcl-2

Protein Bcl-2 merupakan suatu polipeptida yang diekspresikan atau dikode oleh

gen BCL2 yang berperan menekan proses apoptosis pada berbagai sistem seluler.

BCL2 adalah akronim dari B-cell lymphoma/leukemia-2. Sesuai dengan namanya,

gen ini pertamakali teridentifikasi pada limfomafolikuler sebagai hasil aktivasi

dari translokasi kromosom t(14;18) pada sebagian besar folikel pada non-Hodgkin

B-cell lymphoma. Pada translokasi ini, gen BCL2 berpindah dari lokasi normalnya pada kromosom 18q21 menuju lokasi yang sejajar dengan elemen

enhancer yang kuat dalam lokus Immunoglobulin Heavy-chain (IgH) pada kromosom 14q32. Hasil dari translokasi ini menciptakan gen BCL2 yang

mengalami deregulasi serta produksi berlebihan mRNA BCL2 dan protein-protein

yang dikode oleh gen ini.

Sebagai suatu onkogen, pada awalnya gen BCL2 ditemukan memiliki kemampuan

minimal untuk meningkatkan progresi siklus sel maupun proliferasi sel. Namun

terjadinya overekspresi dari BCL2secara spesifik mencegah sel untuk mengalami

apoptosis dalam responnya terhadap sejumlah rangsangan sehingga

memeperpanjang kelangsungan hidup sel. Overekspresi Bcl-2 pada sel limfoma

merupakan proses onkogenik primer yang bertanggungjawab menyebabkan sel

(34)

kemudian ditemukan pada sel-sel limfoid yang normal dan juga pada kelainan

limfoproliferatif tanpa adanya translokasi kromosom 14 dan 18 (Naim, 2006;

Muris, 2006; Walensky, 2008) .

Gen BCL2berlokasi di kromosom 18q21, dengan rentang lebih dari 230 kb DNA

dan terdiri dari 3 exon, dengan exon 2 serta sebagian kecil exon 3 merupakan

pengkode protein. BCL2 mengkode 2 mRNA, yaitu BCL2α dan BCL2β, dimana

hanya BCL2α yang memiliki relevansi biologis. Protein Bcl-2 merupakan protein membran dengan berat molekul 26-kDa, mempunyai rantai asam amino

hidrofobik, yang diperlukan untuk insersi pada membran sel, inti dan mitokondria.

Meskipun translokasi gen merupakan mekanisme utama untuk aktivasi gen BCL2,

namun telah dilaporkan pula terjadinya proses mutasi dan amplifikasi (Bronchud,

2004).

Secara ultrastruktural, protein Bcl-2 pertama kali ditemukan pada membran dalam

mitokondria. Pemeriksaan mikroskop elektron kemudian membuktikan bahwa

imunoreaktivitas Bcl-2 berlokasi pada membran luar mitokondria, membran

nukleus, juga pada membran sel dalam jumlah yang lebih minimal. Lokasinya

pada mitokondria mengindikasikan fungsi fisiologis Bcl-2 yang dimediasi oleh

fungsi metabolik dari organel sel ini (Rautureau dkk., 2010).

Protein ini meregulasi kematian sel dengan mempengaruhi permiabilitas membran

mitokondria, melalui keterlibatannya dalam mekanisme umpan balik caspase.

Protein Bcl-2 menghambat kerja caspase dengan mencegah pelepasan sitokrom c

dari mitokondria dan/atau melalui ikatannya dengan faktor aktivasi apoptosis

(35)

Gen BCL2 termasuk ke dalam kelompok gen regulator apoptosis yang

memproduksi protein agonis maupun antagonis apoptosis.Telah teridentifikasi

lebih dari 20 protein anggota keluarga Bcl-2, termasuk di dalamnya protein yang

antiapoptosis (Bcl-2,Bcl-xL,Bcl-w,mcl-1,Bcl-G) dan proapoptosis

(Bax,Bcl-xS,Bak,Bad, Bid,Bik,Bim). Keluarga protein ini telah dibuktikan peranannya

dalam mengatur proses apoptosis sebagai respon terhadap kemoterapi baik secara

in vitro maupun in vivo. Meskipun beberapa studi menyatakan bahwa Bcl-2 tidak selalu berfungsi sebagai penghambat apoptosis, namun overekspresi gen ini

menunjukkan kemampuannya dalam menghentikan atau menunda apoptosis dan

meningkatkan tingkat survivalsel tumor setelah pemberian berbagai stimulus,

termasuk dalam hal ini pemberian kemoterapi. Penemuan ini memunculkan suatu

konsep bahwa peningkatan ambang batas apoptosis memiliki peran penting dalam

tumorigenesis (Biroccio, 2000; Andersondkk., 2009; Pagedkk., 2010).

Saat ini telah dapat diidentifikasi protein homolog dari Bcl-2, dimana secara

struktural ditandai dengan adanya empat domainBCL2 homology

(BH1,BH2,BH3,BH4) yang sama-sama memiliki segmen α-helical. Kelompok

protein anti apoptosis (Bcl-2,Bcl-xL) memiliki rangkaian keempat domain yang

ada, sementara kelompok protein pro apoptosis dibagi menjadi kelompok

multi-BH domain (Bax,Bak) yang memiliki domain multi-BH1,multi-BH2, dan multi-BH3, serta kelompok BH3-only (Bim,Bad) yang hanya memiliki domain BH3. Protein

BH3-only merupakan struktur yang berperan penting memasangkan dan mengatur interaksi protein-protein ini (Walensky,2008).

(36)

Lokasi mutagenesis dari protein Bcl-2, yaitu domain BH1 dan BH2, menunjukkan

bahwa kedua lokasi ini penting untuk pengikatan Bcl-2 dengan Bax. Hal ini

memberikan kesan bahwa fungsi intrinsik dari Bcl-2 sebagai regulator apoptosis

yang menghambat maupun mengaktifkan apoptosis terjadi melalui interaksi

protein-protein yang saling mempengaruhi satu sama lain (Bronchud,

2004;Pagedkk.,2010). Kematian sel ditentukan oleh rasio antara protein-protein

yang pro dan anti apoptosis, dan ditemukan bahwa efek anti apoptosis dari Bcl-2

dihambat melalui hubungan timbal balik dengan ekspresi protein Bak

(Parkdkk.,2006).

Studi terkini membuktikan bahwa Bcl-2 ditemukan pula pada beberapa jaringan

non limfoid.Introduksi gen yang menghambat fungsi genBCL2dapat menginduksi

apoptosis pada sejumlah tipe tumor. Hal ini memunculkan suatu hipotesis bahwa

sel tumor secara kontinyu diatur oleh fungsi produk gen BCL2atau gen lain yang

berhubungan untuk mencegah kematian sel. Sesuai dengan hipotesis ini, ekspresi

BCL2dihubungkan dengan prognosis yang buruk pada kanker prostat, kanker

kolon, dan neuroblastoma (Naim, 2006;Muris, 2006). Hasil yang bertolak

belakang didapatkan pada kanker paru dan mamae, dimana dengan ekspresi BCL2

yang positif pasien memiliki prognosis yang lebih baik (Lukyanovadkk., 2000).

Pada kanker ovarium, overekspresi protein Bcl-2 berhubungan dengan

resistensi terhadap kemoterapi serta tingkat kelangsungan hidup pasienyang lebih

buruk (Gangdkk.,2007). Namun beberapa penelitian lainnya menghubungkan

ekspresi Bcl-2 dengan tingkat kelangsungan hidup pasien yang lebih lama

(37)

dengan ekspresi positif Bcl-2 pada ≥ 75% sel lebih rendah 30% dibandingkan

dengan pasien dengan ekspresi < 75% sel. Peran ini terutama ditemukan pada sel

tumor yang memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat sehingga mengurangi

risiko perubahan genetik lebih lanjut yang menyebabkan tumor kurang agresif

(Ayadi dkk., 2010). Hubungan Bcl-2 dengan prognosis yang lebih baik dapat

dijelaskan dengan kemampuan yang dimiliki oleh Bcl-2 dalam menunda sel

memasuki S phase, sehingga sel memiliki indeks proliferasi yang lebih rendah.

Ekspresi Bcl-2 pada jaringan normal ditemukan secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan dengan jaringan neoplasma, dengan nilai median dan range ekspresi

mRNAyang berbeda-beda pada berbagai tipe. Kecenderungan pola penurunan

ekspresi yang sama ditemukan pada kanker lambung, namun pola ekspresi yang

berlawanan ditemukan pada kanker payudara dan prostat.

Ekspresi Bcl-2 pada epitel ovarium normal dan tumor jinak ditemukan lebih

tinggi dibandingkan dengan spesimen kanker ovarium (Anderson,2009).

Berdasarkan tipe histologisnya, Torredkk. (2007) menemukan ekspresi Bcl-2 yang

tinggi (> 75% sel tumor) pada tumor ovarium tipe epitelial, dimana terdapat

perbedaan yang signifikan antara tumor jinak/ cystadenoma dan borderline

dibandingkan dengan jenis tumor ganas ovarium. Pewarnaan Bcl-2 yang positif

ditemukan pada jaringan ovarium normal, yakni pada sel teka interna dari korpus

luteum, sel granulosa dari folikel, dan pada stroma ovarium. Tingginya ekspresi

protein ini pada ovarium normal kemungkinan berkaitan dengan fungsi fisiologis

Bcl-2 dalam mencegah apoptosis dan peranannya dalam memacu pertumbuhan

(38)

dengan perkembangan dan progresivitas tumor merupakan akibat dari deregulasi

Bcl-2 dalam menjaga fungsi fisiologis dan integritas epitel perrmukaan ovarium

(Andersondkk., 2009).

Hasil temuan yang berbeda didapatkan pada penelitian lainnya. Gang dkk. (2007)

menemukan bahwa ekspresi positif Bcl-2 pada 54,2% kasus melalui pemeriksaan

imunohistokimia 72 kasus kanker ovarium epitelial. Tingkat ekspresinya pada

kanker ovarium secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan pada tumor

jinak dan kontrol normal. Dengan menggunakan nilai cut off 30% sebagai batas

untuk menilai overekspresi protein Bcl-2, ditemukan ekspresi yang positif pada

kanker ovarium lebih tinggi dibandingkan dengan tumor borderline (Hogdaldkk.,

2010). Hasil ini didukung oleh penelitian sebelumnya dimana ekspresinya pada

karsinoma ovarium lebih tinggi dari tumor borderline (Rauf, 2004).Bcl-2

berperan meningkatkan tumorigenesis dengan mencegah eliminasi sel yang rusak

yang salah satunya melalui mekanisme stres oksidatif sel (Cox, 2007).

Tipe histologis adalah salah satu faktor prognostik signifikan dan independen

pada kanker ovarium yang berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup

secara umum (Greene, 2002). Beberapa penelitian menemukan hubungan yang

bermakna antara ekspresi positif Bcl-2 dengan tipe histologis kanker ovarium

(Sagarradkk., 2002; Kupryjanczykdkk.,2003), namun penelitian lainnya tidak

menemukan hubungan ini (Rauf, 2004; Hogdal dkk., 2010). Pola ekspresi yang

berbeda ditemukan berdasarkan subtipe histologisnya, dimana ekspresi Bcl-2

yang lebih tinggi ditemukan pada tipe endometrioid dan clear cell carcinomajika

(39)

Perbedaan ekspresi Bcl-2 pada berbagaijenisneoplasia ini menandakan

kemungkinan peranan yang berbeda-beda dalam proses apoptosis serta

mengindikasikan mekanisme ekspresi yang spesifik untuk masing-masing

jaringan (Wheeler, 2001). Page dkk. (2010) mempertimbangkan perlunya

pendekatan studi tentang protein penanda biologis yang berbeda-beda untuk

subtipe-subtipe tumor ovarium epitelial sebagai kasus yang berbeda dan berdiri

(40)

37 BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Tumor ganas atau kanker ovarium merupakan keganasan terbanyakkelima dari semua keganasan pada wanita dengan angka kematian yang tertinggi. Prognosis yang buruk pada stadium lanjut berhubungan dengan kesulitan diagnosis pada stadium awal, serta deteksi dini efektifyang hingga kini belum dapat dilakukan.

Tumor ovarium secara histologis sangat bervariasi, dengan karakteristik klinis

maupun histopatologisnya masing-masing. Berdasarkan struktur asalnya,

neoplasia ovarium dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:tipe epitelial, tipe germinal serta

mesenkim/sex cord-stromal. Berdasarkan luas proliferasi dan pola diferensiasi

lapisan epitelnya, tumor ovarium dibagi menjadi: tumor jinak, borderline dan

ganas.

Karsinogenesis merupakan proses bertahap pada tingkat genetik dan fenotip

sebagai hasil dari akumulasi mutasi yang terjadi berulangkali, dan kerusakan

genetik merupakan mekanisme dasar dari proses karsinogenesis. Target utama

kerusakan genetik ini adalah empat kelompok gen utama, yaitu protoonkogen

yang meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel, yang kemudian hasil

mutasinya disebut onkogen, mutasi pada tumor supressor gene yang berfungsi

menghambat pertumbuhan sel, gen yang mengatur mekanisme apoptosis, serta

(41)

disebabkan oleh ketidakseimbangan antara proliferasi dan kematian sel. Sel

kanker tidak hanya gagal bereaksi terhadap sinyal untuk menghentikan

proliferasinya, namun juga gagal dalam menerima sinyal fisiologis untuk memulai

mekanisme apoptosis.

Protein Bcl-2 merupakan suatu polipeptida yang diekspresikan atau dikode oleh

gen BCL2 yang berperan menekan proses apoptosis pada berbagai sistem seluler.

Protein ini meregulasi kematian sel dengan mempengaruhi permiabilitas membran

mitokondria, melalui keterlibatannya dalam mekanisme umpan balik caspase.

Ekspresi Bcl-2 pada epitel ovarium normal dan tumor jinak ditemukan lebih

tinggi dibandingkan dengan spesimen kanker ovarium. Hasil penelitian

lainmenyatakan tingkat ekspresinya pada kanker ovarium secara signifikan lebih

tinggi dibandingkan dengan pada tumor jinak dan kontrol normalPenilaian

terhadap sel yang mengalami overekspresi Bcl-2 menunjukkan bukti adanya

ketidakstabilan genom, yang konsisten dengan terganggunya proses apoptosis

pada sel yang mengalami kerusakan.

Perbedaan ekspresi Bcl-2 pada berbagaijenisneoplasia ini menandakan

kemungkinan peranan yang berbeda dalam proses apoptosis serta

mengindikasikan mekanisme ekspresi yang spesifik untuk masing-masing

jaringan.

(42)

Konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Ada ekspresi Bcl-2 pada tumor ovariumepitelialtipe jinak

2. Ada ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe borderline

3. Ada ekspresiBcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe ganas

4. Ada perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe

jinak,borderline dan ganas

Jinak Perubahan gen apoptosis Bcl-2 Proliferasi sel tidak terkontrol

Tumor Ovarium Epitelial

Penurunan apoptosis

Genetik

Onkogen Mutasi DNA

repairgenes Inaktivasi tumor supressor genes HER2neu, RAS,MYC CDK1 BRCA1 BRCA2 BRCA2 p53 Borderline Ganas

(43)

40 BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan pada penelitian ini adalah observasional analitik (cross-sectional).

Secara sistematik rencangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini melibatkan Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Patologi

Anatomi, dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah,

Denpasar. Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2012 sampai

Desember 2013.

Tumor Ovarium Epitelial

Bcl-2↑

Jinak Borderline Ganas

(44)

4.3 Populasi Penelitian

Populasi target penelitian adalah semua pasien dengan tumor ovarium. Populasi

tarjangkau penelitian adalah semua pasien tumor ovarium epitelial yang telah

menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2010 sampai 2012, dan

jaringan hasil pembedahan tumor ovarium epitelial telah dibuat blok parafin di

Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah.

4.4 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah blok parafin tumor ovarium di Bagian Patologi

Anatomi RSUP Sanglah yang dibuat dalam periode waktu 2010 sampai 2012 serta

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4.1 Kriteria inklusi

Kriteria inklusi penelitian adalah sebagai berikut.

a. Blok parafin dari tumor ovarium tipe jinak, borderline maupun ganas.

b. Data rekam medis yang lengkap, meliputi: identitas, umur, paritas, IMT,

tipe histologis, serta riwayat keluarga kanker ovarium, mamae dan kolon.

4.4.2 Kriteria eksklusi

Kriteria ekslusi penelitian adalah sebagai berikut.

a. Blok parafin dari pasien yang pernah menjalani kemoterapi atau radiasi

(neoadjuvant) sebelum pembedahan.

(45)

4.4.3 Perhitungan besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Arraoye, 2003) : Zα2(pq) n = …..………...(1) d2 Keterangan : 𝑛 : besar sampel Zα : 1,96 (α = 0,05)

p : 15% (prevalensi tumor ovarium di populasi)

q : 85% ( 1 – p )

d : 10% (penyimpangan absolut penelitian)

Berdasarkan perhitungan rumus di atas, didapatkan besar sampel penelitian adalah

48,98 sampel. Penelitian ini akan menggunakan sampel sebanyak 49 sampel.

4.4.4 Cara pengambilan sampel

Cara pengambilan sampel adalah blok parafin tumor ovarium di Bagian Patologi

Anatomi RSUP Sanglah yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,

kemudian dipilih dengan cara random sampling sebanyak 49 sampel.

4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi variabel

Identifikasi variabel adalah sebagai berikut.

4.5.1.1 Variabel bebas : ekspresi Bcl-2

4.5.1.2 Variabel tergantung : tumor ovarium tipe jinak,

Gambar

Gambar 2.1 Pembagian tumor ovarium berdasarkan sel asalnya(Kumar  dkk.,2010)
Gambar 2.2 Dasar Molekuler Karsinogenesis (Kumar dkk.,2010) Keseimbangan  antara  mekanisme  proliferasi  sel  dengan  apoptosis  atau  Programmed Cell Death (PCD) akan menjaga keberlangsungan jaringan normal
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari data-data yang diperoleh penulis berdasarkan analisis Balanced Scorecard dapat diketahui bahwa kinerja perusahaan berada dalam kondisi cukup baik. Hal ini dapat dilihat

[r]

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui besarnya harga jual yang ditetapkan berdasarkan harga pokok produksi menurut perusahaan dan metode full costing, sehingga dapat

Metode yang digunakan oleh Perusahaan dan metode Cost-plus pricing menggunakan informasi biaya yang sama ( BBB, BTKL, BOP, Biaya Administrasi dan Umum, dan Biaya pemasaran ),

Keenam sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palembang Tahun 2013 ‒ 2018, yaitu ” Melanjutkan Pembangunan Kota Palembang

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi sumberdaya perikanan kakap merah di Pantai Selatan Tasikmalaya, meliputi hubungan antara

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkat perlindungan, bimbingan serta karuniaNya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang