• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Harga Pokok Produksi Perusahaan dengan Full Costing

IV METODE PENELITIAN

B. Metode Variable Costing

6.4 Perbandingan Harga Pokok Produksi Perusahaan dengan Full Costing

dan Variable Costing

Dari hasil perhitungan yang dilakukan, memperlihatkan adanya perbedaan harga pokok antara metode perusahaan dengan perhitungan harga pokok metode

full costing maupun variable costing, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga bahan kimia makro dan mikro. Perbedaan penghitungan harga pokok ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam menganalisis biaya. Besarnya harga pokok produksi per bibit sebelum kenaikan harga bahan kimia (tahun 2007) dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Perbandingan Harga Pokok Produksi Per Bibit Krisan Tahun 2007

Bulan Perusahaan (Rp/bibit) Full Costing (Rp/bibit) Variable Costing (Rp/bibit) Januari 134,708 151,975 58,258 Februari 166,313 187,471 74,397 Maret 200,616 226,143 90,958 April 188,285 211,758 86,311 Mei 98,475 110,872 44,620 Juni 91,740 102,085 39,545 Juli 107,046 119,301 45,417 Agustus 137,552 153,513 58,692 Sepetember 84,257 94,522 35,926 Oktober 145,273 161,839 64,035 November 133,262 132,700 52,731 Desember 160,231 175,579 61,537 Rata-rata 137,313 152,313 59,369

Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa rata-rata harga pokok produksi dengan metode variable costing memiliki nilai terkecil memiliki nilai terkecil bila dibandingkan dengan metode perusahaan dan full costing. Untuk rata-rata harga pokok per bibit dengan menggunakan metode full costing menghasilkan nilai tertinggi, sedangkan rata-rata harga pokok per bibit dengan menggunakan metode perusahaan berada di antara metode full costing dan variable costing. Rata-rata

harga pokok per bibit dengan menggunakan metode perusahaan adalah sebesar Rp 137,313 per bibit, dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga pokok dengan variable costing yang hanya Rp 59,369 per bibit, sehingga dengan penggunaan metode variablecosting perusahaan dapat menghemat Rp 77,944 per bibitnya. Lain halnya jika perusahaan menggunakan metode full costing yang justru menghasilkan harga pokok yang lebih besar dibanding metode perusahaan, yaitu sebesar Rp 15 per bibitnya.

Sementara itu, perhitungan harga pokok produksi per bibit setelah kenaikan harga bahan kimia makro dan mikro (tahun 2008) dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Perbandingan Harga Pokok Produksi Per Bibit Krisan Tahun 2008

Bulan Perusahaan (Rp/bibit) Full Costing (Rp/bibit) Variable Costing (Rp/bibit) Januari 110,503 122,186 48,091 Februari 107,333 118,836 49,241 Maret 108,424 120,070 50,324 April 109,316 120,820 51,224 Mei 108,358 119,861 50,266 Juni 113,349 125,611 51,483 Juli 112,012 124,307 50,178 Agustus 110,574 122,870 49,824 Sepetember 105,883 118,220 47,791 Oktober 109,028 121,190 48,970 November 122,453 121,874 49,445 Desember 126,937 138,857 49,762 Rata-rata 112,014 122,892 49,717

Pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa rata-rata harga pokok produksi per bibit dengan metode variable costing menghasilkan nilai terendah bila dibandingkan dengan metode perusahaan maupun full costing. Untuk rata-rata harga pokok per bibit dengan menggunakan metode full costing menghasilkan nilai tertinggi yaitu sebesar Rp 122,892 per bibit, sedangkan rata-rata harga pokok

per bibit dengan menggunakan metode perusahaan berada di antara metode full costing dan variable costing. Rata-rata harga pokok per bibit dengan menggunakan metode metode perusahaan adalah sebesar Rp 112,014 per bibit, dua kali lipat lebih tinggi jika dibanding harga pokok dengan variable costing

yang hanya Rp 49,717 per bibit, sehingga dengan penggunaan metode variable costing perusahaan dapat menghemat Rp 62,297 per bibitnya. Lain halnya jika perusahaan menggunakan metode full costing yang justru menghasilkan harga pokok yang lebih besar dibanding metode perusahaan, yaitu sebesar Rp 10,878 per bibitnya.

Berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16, rata-rata harga pokok per bibit dengan metode variable costing menghasilkan harga pokok produksi yang paling kecil dibanding dengan metode perusahaan maupun full costing, sehingga dianggap paling tepat karena sesuai dengan tujuan sosial pemilik. Harga pokok yang terlalu tinggi akan menyebabkan harga jual yang tinggi pula, sehingga dikhawatirkan tidak sesuai dengan daya beli petani yang umumnya rendah.

Selain itu, pada kedua tabel tersebut menunjukkan adanya perbedaan rata- rata harga pokok per bibit pada tahun 2007 dengan tahun 2008, baik harga pokok dengan metode perusahaan, full costing, maupun variable costing. Rata-rata harga pokok pada tahun 2008 cenderung lebih rendah dibanding rata-rata harga pokok pada tahun 2007. Hal ini terkait adanya asumsi yang digunakan bahwa total produksi pada tahun 2008 adalah sama dengan kapasitas normal perusahaan, yaitu 120.000 bibit per bulan. Oleh karena itu, meskipun harga bahan baku pada tahun 2008 mengalami peningkatan jika dibanding tahun 2007, rata-rata harga pokok per bibit tahun 2008 justru lebih rendah dibanding tahun 2007.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Metode penentuan harga pokok produksi PT. Inggu Laut Abadi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tidak termasuk ke dalam metode Full Costing, Variable Costing, maupun Activity Based Costing. Penentuan harga pokok produksi perusahaan hanya didasarkan pada biaya aktual yang dikeluarkan perusahaan dalam periode berjalan (satu bulan), mulai dari kegiatan pembuatan media ½ MS sebagai bahan baku dalam kultur jaringan sampai dengan pemanenan bibit krisan yang sudah berakar. Pada perhitungan harga pokok produksi, perusahaan memasukkan biaya pembelian plastik packing, dus packing, dan lakban ke dalam biaya pengolahan. Di lain pihak, perusahaan tidak memasukkan biaya penyusutan ke dalam perhitungan harga pokok produksi. Penetapan harga pokok produksi sampai tahun 2007 masih memperhitungkan bahan kimia makro dan mikro dengan harga lama. Sementara itu, pada tahun 2008 perusahaan berencana melakukan pembelian bahan kimia makro dan mikro. Oleh karena itu, diperlukan perhitungan harga pokok produksi baru yang memperhitungkan kenaikan harga bahan kimia makro dan mikro pada tahun 2008.

2. Rata-rata harga pokok produksi, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga bahan kimia makro dan mikro dengan metode variable costing memiliki nilai terkecil bila dibandingkan dengan metode perusahaan maupun full costing. Untuk rata-rata harga pokok per bibit sebelum kenaikan dengan menggunakan metode full costing menghasilkan nilai tertinggi, sedangkan rata-rata harga pokok per bibit dengan menggunakan metode perusahaan

berada di antara metode full costing dan variable costing. Rata-rata harga pokok per bibit dengan menggunakan metode perusahaan adalah sebesar Rp 137,313 per bibit, dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga pokok dengan variable costing yang hanya Rp 59,369 per bibit. Metode

variable costing dapat menghasilkan penghematan sebesar Rp 77,944 per bibitnya, sedangkan metode full costing justru menghasilkan harga pokok yang lebih besar dibanding metode perusahaan, yaitu sebesar Rp 15 per bibitnya. Adapun untuk rata-rata harga pokok per bibit setelah kenaikan dengan menggunakan metode perusahaan adalah sebesar Rp 112,014 per bibit, dua kali lipat lebih tinggi jika dibanding harga pokok dengan variable costing

yang hanya Rp 49,717 per bibit. Metode variable costing dapat menghemat sebesar Rp 62,297 per bibitnya, sedangkan metode full costing justru menghasilkan harga pokok yang lebih besar dibanding metode perusahaan, yaitu sebesar Rp 10,878 per bibitnya.

3. Perhitungan harga pokok per bibit dengan menggunakan metode variable costing menghasilkan harga pokok produksi yang paling kecil dibanding dengan metode perusahaan maupun full costing, sehingga dianggap paling tepat karena sesuai dengan tujuan sosial pemilik.

Saran

1. Perusahaan sebaiknya tidak memasukkan biaya pembelian plastik packing, dus packing, dan lakban ke dalam perhitungan harga pokok produksi karena akan menyebabkan harga pokok produksi menjadi lebih tinggi.

2. Metode penetapan harga pokok produksi yang dapat disarankan kepada perusahaan yaitu metode variable costing karena metode ini menghasilkan

harga pokok terendah, sehingga diharapkan dapat memenuhi keinginan pemilik.

3. Untuk mempertahankan harga pokok produksi yang rendah perusahaan harus berupaya agar total produksi bibit per bulannya berada disekitar kapasitas normal perusahaan.

4. Perusahaan tidak menganggarkan biaya untuk perbaikan inventaris kantor, laboratorium, maupun green house, sehingga jika terjadi kerusakan pada inventaris tersebut akan dibebankan pada periode berjalan yang menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu, perusahaan sebaiknya meminimalkan biaya pemeliharaan dan perbaikan. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan pemeriksaan rutin terhadap inventaris laboratorium dan kantor, sehingga kerusakan dapat diketahui dengan segera dan langsung dapat diperbaiki jika terjadi kerusakan, tidak perlu menunggu sampai rusak berat. Jika telah terjadi kerusakan yang cukup parah, maka biaya untuk memperbaikinya akan bertambah besar.

Dokumen terkait