• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Hukum Dengan Hukum Indonesia

SANKSI MENGENAI PENGGANDAAN BUKU TEKS UNTUK KEPENTINGAN PENDIDIKAN

C. Perbandingan Hukum Dengan Hukum Indonesia

Istilah “perbandingan hukum” (bukan “hukum perbandingan”) itu sendiri telah jelas kiranya bahwa perbandingan hukum bukanlah hukum seperti hukum perdata., hukum pidana, hukum tata negara dan sebagainya, melainkan merupakan kegiatan memperbaindingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain. Yang dimaksudkan dengan memperbandingkan di sini ialah mencari dan mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non-hukum yang mana saja yang mempengaruhinya. Penjelasannya hanya dapat diketahui dalam sejarah hukumnya, sehingga perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan perbandingan

32 Op. Cit.

sejarah hukum (van Apeldoorn, 1954: 330).Jadi memperbandingkan hukum bukanlah sekedar untuk mengumpulkan peraturan perundang-undangan saja dan mencari perbedaan serta persamaannya saja. Akan tetapi perhatian yang paling mendasar dalam perbandingan hukum ditujukan kepada pertanyaan sampai seberapa jauh peraturan perundang-undangan atau kaidah yang tidak tertulis itu dilaksanakan di dalam masyarakat. Untuk itu dicarilah perbedaan dan persamaan. Dari perbandingan hukum ini dapat diketahui bahwa di samping banyaknya perbedaan juga ada

a. fungsi membebaskan dari chauvinisme hokum.

b. fungsi inspiratif memperoleh gambaran yang lebih baik tentang sistem hukum sendiri, karena dengan memperbandingkan kita melihat masalah- masalah tertentu untuk menyempurnakan pemecahan tertentu di dalam hukum sendiri.

3) merupakan alat bantu bagi disiplin-disiplin lain terutama bagi sosiologi hukum, antropoligi.

4) merupakan instrumen untuk menentukan perkembangan hokum.

5) perkembangan asas-asas umum hukum.

6) untuk meningkatkan saling pengertian di antara bangsa-bangsa.

7) membantu dalam pembagian sistem hukum dalam kelompok-kelompok.

8) membantu dalam pembagian sistem hukum dalam kelompok-kelompok.

9) sumbangan bagi doktrin.

b. Praktis

1) untuk kepentingan pembentukan undang-undang.

a. membantu dalam membentuk undang-undang baru.

b. persiapan dalam menyusun undang-undang yang uniform.

c. penelitian pendahuluan pada receptie perundang-undangan asing.

2) untuk kepentingan peradilan; mempunyai pengaruh terhadap peradilan pada umumnya.

3) penting dalam perjanjian internasional.

4) penting untuk terjemahan yuridis.

Yang menjadi objek perbandingan hukum ialah (sistem atau bidang) hukum di negara yang mempunyai lebih dari satu sistem hukum (misalnya hukum perdata dapat diperbandingkan dengan hukum perdata tertulis) atau bidang-bidang hukum di negara yang mempunyai satu sistem hukum (seperti misalnya syarat causalitas dalam hukum pidana dan perdata, konstruksi perwakilan dalam hukum perdata dan pidana atausistem (bidang) hukum asing diperbandingkan dengan sistem (bidang) hukum sendiri (misalnya law of contract dibandingkan dengan hukum perjanjian).

Uraian tentang sistem hukum asing semata-mata bukanlah merupakan perbandingan hukum, meskipun dalam menguraikan itu pada hakekatnya kita tidak dapat lepas dari pengaruh pandangan tentang hukum sendiri.Rhein stein membedakan antara uraian tentant system hokum asing yang disebutnya “Auslandsrechtskunde”

dengan “Rechtsvergleichung”.Dikatakannya bahwa Auslandsrechtskunde harus

dikuasai kalau kita hendak mengadakan perbandingan hukum, karena kita baru dapatmemperbandingkan hukum asing dengan hukum sendiri kalau menguasai juga hukum asing itu. Dalam pandangan Rheinstein ini maka Auslandsrechrtskunde ini harus dikuasai lebih dulu sebelum kita mulai dengan perbandingan hukum, yaitu lebih konkritnya dalam memperbandingkan hukum yang diteliti adalah hukum yang hidup (the law in action), jadi bukan semata-mata hanya hukum yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan atau yang diuraikan dalam buku-buku saja (the law in the books), tetapi juga penafsiran undang-undang atau penemuan hukum dalam

peradilan dan dalam kepustakaan.Jadi yang diperbandingkan adalah hukum sebagaimana nyata-nyata berfungsi di dalam masyarakat di tempat tertentu.Di sini perlu diteliti fungsi pemecahan yuridis dalam prakteknya serta adanya pengaruh faktor-faktor asing. Sara pendekatan hukum semacam ini dengan mempelajari hukum yang hidup, yang nyata-nyata berlaku disebut “functional approach”, suatu pendekatan hukum dengan memperhatikan berlakunya hukum secara fungsional.

Dalam memperbandingkan hukum dikenal dua cara, yaitu memperbandingkan secara makro dan secara mikro. Perbandingan secara makro adalah suatu cara memperbandingkan masalah-masalah hukum pada umumnya. Perbandingan secara mikro adalah suatu cara memperbandingkan masalah-masalah hukum tertentu. Tidak ada batasan tajam antara perbandingan secara makro dan mikro. Hukum yang telah diketahui yang akan diperbandingkan disebut “comparatum”, sedangkan hukum yang akan diperbandingkan dengan yang telah diketahui disebut “comparandum”. Setalah diketahui dua hukum itu perlu ditetapkan apa yang akan diperbandingakan itu,

misalnya mengenai perjanjian, perkawinan dan sebagainya. Ini disebut “tertium comparatum”.

Dalam hal ini akan dibandingkan secara makro saja antara peraturan penggandaan pada hukum Indonesia, Australia dan India.

Jelas dalam segi dasar hukum, Australia dan India sangat berbeda dengan hukum di Indonesia. Karena Indonesia menganut hukum Eropa kontinental yang merupakan turunan dari Belanda dengan asas konkordansi ketika menjajah Indonesia ratusan tahun lalu. Australia dan India yang keduanya cenderung mengikuti hukum dari Kerajaan Britania Raya yang menganut Common Law.

Dalam hukum hak cipta yang menjadi permasalahan, khususnya dalam penggandaan, terdapat banya perbedaan yang ada dalam hukum Indonesia dan hukum Australia dan India. Berikut akan dijabarkan perbedannya.

Dalam penggandaan di Indonesia, diatur dalam pasal 46, dimana dalam praktik, masih sering terjadi penggandaan karya cipta (khususnya buku) secara ilegal dilakukan oleh masyarakat luas, termasuk oleh mahasiswa, dosen, dan/atau peneliti, yang berkepentingan untuk mendapatkan akses memanfaatkan karya cipta tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tepatnya pada Pasal 9 ayat (3) dinyatakan: “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan”. Pasal 10 dari undang-undang yang sama berbunyi “Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang

basil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”.

Namun, menurut Pasal 44, tidaklah dianggap sebagai pelanggaran untuk tindakan atau kondisi sebagai berikut:

 Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: (a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b) keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; (c) ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau (d) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.

 Fasilitasi akses atas suatu ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.

 Dalam hal ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.

 Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi akses terhadap ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan menggunakan huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sementara pada Pasal 46 ayat (1) dijelaskan bahwa penggandaan untuk kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah dilakukan pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Lebih lanjut dalam ayat (2) penggandaan untuk kepentingan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencakup:

 karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau konstruksi lain;

 seluruh atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi musik;

 seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital;

 program komputer, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1);

dan

 penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. telah diatur tentang pelanggaran hak cipta terkait dengan penggandaan buku, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis.

Dalam pasal 44 tersebut dapat diketahui “kepentingan yang wajar” yang dimaksud adalah kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.

Selain itu, dapat diketahui pula beberapa perbuatan, yaitu: penggunn, pengambilan, penggandaan dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruhnya atau sebagian yang substansial, yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan yang diperbolehkan tersebut.33

Dan dalam Pasal 46 dapat diketahui bahwa penggandaan ciptaan untuk kepentingan pribadi diperbolehkan atau tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan dalam pasal tersebut.34

Dalam penggandaan di Australia, diatur di Copyright Act 1968 dan juga secara otomatis memberikan hak eksklusif kepada pencipta. Disini, hukum Hak Cipta berbeda dengan di Indonesia karena harus ada sebuah perjanjian untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak cipta yang bersifat internasional.

33 Bernard Nainggolan, Komentar Undang-Undang Hak Cipta, (Bandung: PT Alumni Bandung, 2016), hlm. 125

34 Ibid, hlm. 127

Perpustakaan pada Universitas Wollongong memiliki beberapa bentuk perlindungan yang sangat ketat pada perpustakaan, seperti Kebijakan Hak Cipta perpustakaan, Copyright Basic, dan Aturan Kode Etik perpustakaan.

Sedangkan dasar Hak Cipta dari peraturan perpustakaan di UOW menjelaskan bahan yang dapat disalin untuk kepentingan:

e. Studi atau penelitian;

f. Kritik atau tinjauan;

g. Parodi atau satir;

h. Bahan pengajaran.

Terdapat syarat dan aturan bahwa kita tidak bisa menyalin atau mengkopi apabila: di dalam undang-undang Hak Cipta yang memungkinkan untuk menyalin waktu, ruang, tujuan format yang bergeser. Namun, apabila, seluruh staf dan mahasiswa dilarang secara tegas untuk menggunakan infrastruktur untuk menyalin atau berkomunikasi materi untuk tujuan hiburan.

Dalam batasan menyalin buku tersebut. tepatnya Universitas Wollongong, terdapat batasan maksimal yaitu 5 halaman saja, jika para pihak yang secara tidak sengaja diketahui menyalin lebih dari 5 halaman maka seluruh dari salinan tersebut akan dirobek-robek.

Undang-undang Hak Cipta di India diatur untuk diubah dengan pengenalan ketentuan untuk Informasi Anti-Pengelakan dan Informasi Manajemen Hak di rezim Hak Cipta India meskipun India tidak berkewajiban untuk memperkenalkan perubahan ini karena ini bukan penandatangan WCT atau WPPT.

Dengan amandemen Copyright Act 1994, yang mulai berlaku pada 10 Mei 1995, situasi yang berkaitan dengan penegakan hak cipta di India telah meningkat.

Contohnya masalah pembajakan yang berkaitan dengan buku teks kedokteran sebelum undang-undang itu diubah. Pada saat itu banyak ditemukan bahwa sementara hukum berada di pihak pemerintah, perlu untuk mendapatkan perintah pengadilan untuk mencari dan ini berarti bahwa ada pemberitahuan yang cukup untuk pembajak untuk mengambil tindakan defensif sebelum perintah pengadilan dapat dilaksanakan.

Oleh karena itu pemerintah lebih memilih untuk menerima situasi dan tidak melakukan apa pun. Sejak perubahan yang membuat pelanggaran hak cipta dapat dikenali dengan mudah, telah dimungkinkan untuk menggunakan mekanisme hukum sebagai pencegah.

Pasal 64 dari Copyright Act 1957 menyatakan bahwa "Setiap petugas kepolisian, tidak di bawah pangkat inspektur, dapat, jika dia puas bahwa suatu pelanggaran berdasarkan Bagian 63 sehubungan dengan pelanggaran hak cipta dalam pekerjaan apa pun telah dilakukan, sedang, atau kemungkinan akan, berkomitmen, merampas tanpa surat perintah, semua salinan karya, di mana pun ditemukan, dan semua salinan dan cakram yang digunakan untuk tujuan membuat salinan pekerjaan

yang melanggar, di mana pun ditemukan, dan semua salinan dan cakram sehingga disita, sesegera mungkin, diproses di hadapan hakim."

Menyalin sebuah buku mirip dengan mencuri perhiasan seseorang. Penyalinan berskala besar adalah seperti merampok toko perhiasan atau bank. Tapi kemudian, ada perbedaan besar. Dalam kasus perampokan bank, koran penuh dengan berita yang sensasional dan Seluruh kekuatan Negara, terutama polisi, bergegas pergi untuk menangkap pelakunya, ada tekanan opini publik bahkan pada hakim yang mencoba kasus tersebut. Efeknya benar-benar mengejutkan.

Di sisi lain, dalam pembajakan buku, polisi membenarkan kelambanan mereka dibandingkan dengan perkara pembunuhan. Negara mengalihkan permohonan putus asa pemilik Hak Cipta dengan sikap acuh tak acuh dan hakim duduk dengan sikap 'jadi apa' sementara para pelanggar tetap melakukan pelanggarannya.

Hak cipta tidak melindungi ide tetapi melindungi keterampilan dan kerja yang dilakukan oleh penulis dalam menghasilkan karya. Seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas pelanggaran hak cipta jika dia hanya mengambil ide yang terlibat dalam pekerjaan dan diberikan berekspresi terhadap ide dengan caranya sendiri. Dua penulis dapat menghasilkan dua karya yang berbeda dari sumber informasi umum masing-masing dari mereka mengatur informasi itu dengan caranya sendiri dan menggunakan bahasanya sendiri. Pengaturan informasi dan bahasa yang digunakan tidak boleh disalin dari sebuah karya di mana hak cipta hidup.

Harus dijelaskan bahwa meskipun berbagai kasus yang ada, tidak banyak pembajakan buku di India. Pada umumnya, untuk menyelamatkan kepentingan bisnis mereka, penerbit dan distributor mencoba untuk menegakkan hak cipta untuk yang terbaik dari kemampuan mereka. Namun, pembajakan sangat menyakitkan mereka karena buku-buku yang mendapatkan bajakan selalu sedikit dengan margin yang baik dan permintaan yang tinggi. Dirampas dari laba dari buku-buku terlaris seperti itu, industri buku kekurangan modal yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan investasi dalam karya-karya sastra yang signifikan tetapi potensi penjualan yang rendah, terutama oleh para penulis yang akan datang. Oleh karena itu, tindakan yang lebih keras diperlukan untuk membatasi pembajakan.

India sama sekali tidak membenarkan penggandaan dalam karya cipta. Namun seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas pelanggaran hak cipta jika dia hanya mengambil ide yang terlibat dalam pekerjaan dan diberikan berekspresi terhadap ide dengan caranya sendiri.

Bisa disimpulkan bahwa penggandaan dalam hukum Indonesia mempunyai batasan-batasan tertentu, namun tidak terlalu spesifik dalam undang-undang sehingga menimbulkan keambiguan yang berefek kepada tetap terjadinya pelanggaran.

Sedangkan Penggandaan dalam hukum Australia mempunyai aturan yang jelas dan ketat yang membuat semuanya menaati peraturan tersebut. Dan penggandaan dalam hukum India, sama sekali tidak mengenal penggandaan dan mengkategorikan penggandaan diluar izin sang pencipta adalah pelanggaran hak cipta, dengan rasio pelanggaran yang tidak sebanyak di Indonesia.

Pada akhirnya, pemerintah sebenarnya memiliki peran dalam menekan angka pembajakan dengan mengeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Negara menjamin sepenuhnya perlindungan segala macam ciptaan yang merupakan karya intelektual manusia sebagai produk olah pikirannya baik di bidang ilmu pengetahuan maupun seni dan sastra. Walaupun sudah merebaknya jasa fotocopy untuk menyediakan jasa memperbanyak buku secara utuh di kalangan mahasiswa, tetapi belum ada tindakan yang tegas dari pihak terkait untuk mengurangi kegiatan pelanggaran hak cipta tersebut, baik dari pemerintah yang mempunyai alat berupa Undang-Undang Hak Cipta maupun dari pihak universitas sendiri. Adanya anggapan sebagian kecil masyarakat bahwa harga buku asli yang lebih mahal daripada buku bajakan, hal ini tentu berpengaruh pada semakin beredarnya buku bajakan dan akan semakin diminati oleh masyarakat.

Mayoritas pelaku penggandaan ini adalah kalangan pelajar dan mahasiswa, sehingga cenderung lebih memilih harga yang lebih murah untuk menyesuaikan dengan kemampuan kantongnya. Anggapan para masyarakat tentang “Jika ada yang lebih murah, kenapa harus pilih yang mahal“, membuat masyarakat cenderung memilih barang yang lebih murah, tanpa mementingkan kualitasnya.

Kendala dalam pemberian perlindungan hak ekonomi pencipta dan atau pemegang hak cipta ini juga didukung oleh faktor penegak hukumnya itu sendiri.

Bahkan bisa dikatakan faktor dari peraturan yang ada. Di mana ketika pembajakan adalah hanya sebagai delik aduan, maka ketika tidak ada aduan dari pihak-pihak terkait, namun jelas tindakan itu melawan hukum, tidak ada tindakan yang tegas dan sanksi yang mengikat. Upaya perlindungan terhadap hak ekonomi pencipta, yaitu berupa tuntutan akan keadaan dan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi, mengharuskan mereka untuk membajak karya cipta milik orang lain dan menikmati hasil bajakan karya cipta orang lain dalam bentuk buku bajakan.

BAB V

Dokumen terkait