PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENERAPAN SANKSI MENGENAI PENGGANDAAN BUKU TEKS UNTUK KEPENTINGAN PENDIDIKAN
A. Perlindungan Hukum dalam Penggandaan Buku Teks
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), terutama teknologi informasi yang sangat pesat dewasa ini ternyata mampu menembus batas-batas negara yang paling dirahasiakan. Manusia modern adalah setiap orang yang cenderung pada kemajuan dengan berkembangnya budaya teknologi (technology of culture). Kini tidak ada sesuatupun yang dapat disembunyikan oleh seseorang atau
suatu negara dengan maksud tertentu guna meraih keuntungan dengan cara-cara yang tidak terhormat yang merugikan orang atau negara lain melalui hasil ciptaan yang dilindungi oleh perangkat hukum. Perkembangan Iptek lambat laun akan mampu mengungkapkan adanya kecurangan yang terjadi selamai ini terhadap ciptaan yang bersifat ekonomis.
Buku merupakan salah satu perwujudan karya cipta tulis. Buku yang diterbitkan perlu mendapatkan perlindungan sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap penciptanya, sekalipun dalam praktiknya apresiasi dalam bentuk finansial lebih menonjol daripada apresiasi moral.
Sebuah karya cipta sudah sepatutnya mendapat perlindungan hukum. Penerbit sebagai pemegang hak cipta mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum tersebut. Perlu pengaturan hukum untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak penerbit. Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) telah mengatur perlindungan hukum bagi karya cipta tersebut dan pemegang hak cipta, namun sampai sekarang masih terjadi pelanggaran dalam penerbitan buku, salah satunya adalah penggandaan.
Tidak sepantasnya jika buku yang merupakan sumber ilmu dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, didapatkan dengan cara tidak baik.
Secara filosofis, perlindungan terhadap karya cipta sangat diperlukan, karena karya cipta merupakan hasil pemikiran, karya dan karsa seseorang yang diwujudkan dalam bentuk ciptaan, sehingga diperlukan sikap hidup yang menghormati dan menghargai karya cipta yang diwujudkan dalam pengakuan atas hak seseorang terhadap ciptaannya.
Permasalahan mengenai Hak Cipta akan menyentuh berbagai aspek seperti teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkatian dengan Hak Cipta tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelekutal, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan hukum.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh undang-undang guna mencegah terjadinya pelanggaran hak kekayaan intelektual oleh orang yang tidak berhak. Jika terjadi pelanggaran, maka pelanggar tersebut harus diproses secara hukum, dan bila terbukti melakukan pelanggaran, dia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang bidang hak kekayaan intelektual yang dilanggar itu.
Undang-undang bidang hak kekayaan intelektual mengatur jenis perbuatan pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun secara pidana.
Indonesia sebagai penganut Civil Law System, maka UndangUndang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam pembentukannya bertitik tolak dari pencipta. Di Indonesia perlindungan hak cipta hanya diberikan pada suatu karya cipta yang telah memiliki bentuk yang khas (material form), bersifat pribadi, menunjukan keasliannya yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian (mental effort) sehingga berwujud sebagai ciptaan yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap karya cipta dimaksudkan untuk merangsang kreativitas dari pencipta agar selalu menciptakan suatu karya yang bermanfaat dan dapat dikomersilkan. Selama karya cipta ini belum dieksploitasi atau belum terjadi interaksi yang bersifat mengikat antara pencipta dengan pengguna maka karya tersebut belum dapat menghasilkan nilai ekonomi yang maksimal. Oleh karena itu sangat diperlukan pemahaman yang benar tentang bagaimana cara memperlakukan karya cipta agar tetap terjaga dan terlindungi.
Perlindungan hukum terhadap suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan tersebut ada atau berwujud, bukan karena pendaftaran. Artinya, suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar tetap mendapat perlindungan hukum.19
Perlindungan hak cipta dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan terhadap hak moral dan perlindungan terhadap hak ekonomi.
Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihapus atau dihilangkan (inalienable) dengan alasan apapun, meskipun hak cipta atau hak terkait tersebut telah dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas suatu karya cipta serta produk hak terkait (neighring rights).20
Hak moral memberikan berbagai kontrol kepada pencipta terhadap penggunaan karya-karya ciptanya dengan memberikan hak kepada seorang pencipta untuk mengklaim hasil karyanya sebagai pencipta dari sebuah karya (asas attribution atau asas peternity) dan mencegah penggunaannya dengan cara yang oleh pencipta layak ditolak atau yang tidak disepakati (asas integrity).21
19 Lina Shabrina, Budi Santoso, Rinitami Njatrijani, Implementasi Perlindungan Karya Cipta Buku Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Studi Pada Toko Buku Di Area Stadion Diponegoro Semarang), (Diponegoro Law Journal, Vol. No. 2, 2017), hlm 3
20 Hendra Tanu Atmadja, Konsep Hak Ekonomi dan Hak Moral Pencipta Menurut Sistem Civil Law dan Common Law, (Jurnal Hukum No. 23 Vol. 10 Mei 2003), hlm. 154.
21 Ibid, hlm. 157
Hak moral memungkinkan pencipta dari ciptaan tersebut untuk:
a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;
b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
c. mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d. mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan
e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.22
Pengaturan mengenai hak moral berawal pada abad ke 19 di Perancis dan dalam perkembangannya tercantum dalam Pasal 6 bis revisi Kovensi Bern 1928 yang berbunyi
"Independently of the author's economic rights, and even after the transfer of the said rights, the author shall have the right to claim authorship of the work and to object to any distortion, mutilation or other modification of, or other derogatory action in relation to, the said work, would be prejudicial to his honour or reputation."
Berdasar rumusan pasal tersebut, maka substansi hak moral meliputi:
a. The right to claim authorship, yaitu hak untuk mendapatkan pengakuan sebagai pencipta. Hal itu dilakukan antara lain dengan menyebutkan atau mencantumkan nama pencipta dalam ciptaan.
b. The right to object to any distortion, mutilation, or other modification of the work, yaitu hak pencipta untuk menolak tindakan yang dapat mendistorsi, memotong, atau menghilangkan sebagian dari ciptaan ataupun memodifikasi ciptaan secara sedemikian rupa sehingga merusak atau merugikan reputasi dan kehormatan pencipta.
c. The right to object other derogatory action in relation to the said work, yaitu hak pencipta untuk menolak segala bentuk tindakan atau perlakuan yang dapat mengganggu atau merendahkan kehormatan dan reputasi pencipta.
22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 5 Ayat (1).
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa pencipta memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas karyanya dan mengajukan keberatan atas perubahan, pemotongan, pengurangan, atau modifikasi lain, serta aksi pelanggaran lain yang berkaitan dengan karyanya, dimana hal-hal tersebut merugikan kehormatan atau reputasi si pencipta.
Di era globalisasi ini makin marak terjadi kasus pelanggaran hak cipta di ranah komersial, seperti pembajakan lagu, novel, hingga desain kebaya milik perancang terkenal yang diduplikasi. Pelanggaran hak cipta tersebut sangat jelas bermotif ekonomi. Akibatnya penghargaan akan integritas dan identitas seorang pencipta menjadi terabaikan. Fenomena ini semakin menguatkan kebutuhan akan pertindungan hak moral bagi pencipta atas karya-karya ciptaannya, karena sampai saat ini cenderung masih mengutamakan pemenuhan hak ekonomi pencipta semata.
Padahal, hak moral seharusnya dilindungi bersamaan dengan hak ekonomi. Karya cipta adalah suatu perwujudan dari rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia, karena suatu ciptaan lahir dari sejumlah pengorbanan yang dilakukan oleh penciptanya. Hal tersebut seharusnya dijadikan landasan terhadap konsep pertindungan hak moral yang mestinya dilindungi dan dipenuhi bersama dengan hak ekonomi yang melekat pada suatu ciptaan. Nilai budaya dan etika menjadi poin penting dalam konsep pertindungan ini.
Perlindungan dan pemenuhan hak moral erat kaitannya dengan penghormatan terhadap integritas dan identitas pencipta atas ciptaannya. Meskipun Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi dari perjanjian intemasional yang telah
diratifikasi (asas pacta sun servanda) khususnya di bidang HKI, namun seharusnya konsep mengenai pertindungan dan pemenuhan hak moral tetap didasarkan pada nilai - nilai budaya, kaidah dan norma bangsa Indonesia. Apabila pemenuhan dan pertindungan akan hak moral ini berjalan dengan baik, maka hak dari pencipta akan lebih dihargai oleh para pengguna ciptaan sehingga berdampak baik pula terhadap pemenuhan hak ekonomi atas ciptaan yang mereka miliki.
Hak Ekonomi atau economy right adalah hak yang dimiliki oleh Pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas Ciptaannya. Pada umumnya hak ekonomi ini mencakup: Hak Reproduksi atau penggadaan (Reproduction Right)/ perbanyakan;
Hak Adaptasi (Adaptation Right); Hak Distribusi (Distribution Right); Hak Pertunjukan (Public Performance Right); Hak Penyiaran (Broadcasting Right); Hak Program Kabel (Cable Casting Right); Hak Pinjam Masyarakat (Public Lending Right). Hak ini di miliki oleh Pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan,
yaitu ia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang di ciptakaannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah.
Hak ekonomi dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum, sehingga orang atau badan hukum itu yang berhak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari suatu ciptaan untuk di gunakan sendiri atau dikomersilkan dalam jangka waktu tertentu dan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati.
Sedangkan hak ekonomi memungkinkan pencipta dari ciptaan tersebut untuk:
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan; dan i. penyewaan ciptaan.23
Perlindungan hukum sangat dibutuhkan bagi penulis sebagai bentuk penghargaan terhadap intelektualnya. Perlindungan karya cipta buku dapat dilihat dari sisi moral, hukum, dan kemanfaatan bagi penulis dan penerbit buku. Secara moral perlindungan karya cipta buku dilakukan untuk memenuhi kewajiban moral kepada penulis atau penerbit buku dan untuk mencegah pembajakan. Secara hukum, perlindungan karya cipta buku dilakukan untuk memenuhi hak moral dan hak ekonomi penulis atau penerbit buku. Sedangkan secara kemanfaatan, perlindungan karya cipta buku dilakukan untuk kesejahteraan ekonomi penulis atau penerbit buku dan untuk kesejahteraan serta keuntungan ekonomi nasional.
Dilihat dari segi ekonominya, tindakan pembajakan buku berdampak merugikan banyak para pihak, antara lain yaitu penulis, penerbit dan negara. Dengan berkurangnya pajak penghasilan Negara (Pph), sehingga negara tidak memperoleh pajak secara maksimal dan terutama bagi penulis itu sendiri yaitu royalti penulis berkurang.
Maraknya penggandaan, membuat penulis semakin terjepit. Di satu sisi, mereka dituntut untuk terus berkarya meskipun bayaran yang diterimanya tidak
23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 9 Ayat (1).
seberapa. Di sisi lain, dengan penggandaan buku dapat mematikan penghasilan penulis.