Kajian Hukum Penggandaan Buku Teks Untuk Kepentingan Pendidikan Dalam Perspetif Hak Cipta.
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH
Devano Yohannes Sinaga NIM: 140200445
Departemen Hukum Ekonomi
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...ii
ABSTRAK ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan... 7
1. Pengertian Hak Cipta ... 7
2. Pengertian Penggandaan ... 8
3. Pengertian Buku Teks ... 8
F. Metode Penulisan ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : BATASAN PENGGANDAAN DEMI KEPENTINGAN BUKU TEKS PENDIDIKAN YANG TIDAK MERUGIKAN HAK EKONOMI PENERBIT DAN PENCIPTA ... 15
A. Hak Cipta di Indonesia ... 15
B. Penggandaan dalam Undang-Undang Hak Cipta ... 25
C. Batasan Penggandaan Demi Kepentingan Buku Teks Pendidikan Yang Tidak Merugikan Hak Ekonomi Penerbit Dan Pencipta ... 33
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENERAPAN SANKSI MENGENAI PENGGANDAAN BUKU TEKS UNTUK
KEPENTINGAN PENDIDIKAN ... 36
A. Perlindungan Hukum Dalam Penggandaan Buku Teks ... 36
B. Penggunaan Wajar (Fair Use) Dalam Hak Cipta ... 44
C. Sanksi Penggandaan Buku Teks ... 52
BAB IV : PERBANDINGAN PENGATURAN PENGGANDAAN DENGAN NEGARA LAIN ... 54
A. Pengaturan Penggandaan Dalam Hukum Negara Australia ... 54
B. Pengaturan Penggandaan Dalam Hukum Negara India ... 57
C. Perbandingan Hukum Dengan Hukum Indonesia ... 61
BAB V : PENUTUP ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 75
Daftar Pustaka ... v
ABSTRAK Devano Yohannes Sinaga1
T. Kezerina Devi Azwar2 Detania Sukarja3
Penggandaan buku sudah menjadi masalah lama di Indonesia. Dalam hal ini, berbagai pihak merugi dan masih ada undang-undang yang belum berjalan semestinya jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Permasalahan yang terjadi adalah 1) Bagaimana batasan penggandaan buku teks demi kepentingan pendidikan yang tidak merugikan hak ekonomi penerbit dan pencipta? 2) Bagaimanakah perlindungan hukum dan penerapan sanksi mengenai penggandaan buku teks untuk kepentingan pendidikan? 3) Bagaimana perbandingan peraturan tentang penggandaan dengan negara lain?
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif. Sifat penelitian yang digunakan adalah Penelitian Deskriptif. Jenis dan sumber datanya adalah Data Primer dan Data Sekunder. Tehnik dan alat pengumpul data berupa Studi Pustaka dan serta Studi Pustakan. Analisis data yang digunakan adalah Metode Analisis Kualitatif.
Penggunaan untuk kepentingan pendidikan, penggunaan untuk kepentingan pribadi dan tentu saja tanpa mengomersialkan buku teks tersebut adalah batasan penggandaan yang harusnya diketahui dan dilaksanakan demi kepentingan kedua belah pihak yang tidak merugikan hak ekonomi baik penerbit dan pencipta maupun konsumen. Perlindungan terhadap penggandaan termaktub dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pasal 113 dan 114 dengan sanksi berupa pidana penjata dan/atau denda. Penggandaan dalam hukum Indonesia mempunyai batasan-batasan tertentu, namun tidak terlalu spesifik dalam undang-undang sehingga menimbulkan keambiguan yang berefek kepada tetap terjadinya pelanggaran. Penggandaan dalam hukum Australia mempunyai aturan yang jelas dan ketat yang membuat semuanya menaati peraturan tersebut. Penggandaan dalam hukum India sama sekali tidak mengenal penggandaan dan mengkategorikan penggandaan diluar izin sang pencipta adalah pelanggaran hak cipta.
Kata kunci: Penggandaan, Hak Cipta, Buku Teks, Penggunaan Wajar
1 Mahasiswa Depertemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2 Dosen Pembimbing I, Depertemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3 Dosen Pembimbing II, Depertemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala sesuatu sudah hampir semuanya dalam bentuk digital di era Industri 4.0.4 ini. Namun buku masih sangat diminati dalam bentuk fisik. Industri buku di Indonesia dari data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menunjukkan pangsa pasar buku dalam negeri mencapai sekitar Rp 14,1 triliun pertahun. Sekitar 60 persen pasar buku berasal dari pembelian oleh pemerintah untuk sektor pendidikan. Setiap tahun ada 100.000 judul buku yang dimintakan International Series Book Number (ISBN) di Perpustakaan Nasional, namuan hanya 40 sampai 45 persen yang akhirnya benar- benar terbit.5
Dari data diatas, buku adalah salah satu benda yang vital untuk masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya. Dan terkhususnya lagi adalah buku teks yang digunakan untuk proses perkuliahan. Walau sudah banyak kampus yang menerapkan konsep digitalisasi dalam proses perkuliahan, buku teks adalah asah satu
“cara lama” yang mungkin akan masih ada sampai berpuluh tahun kedepan.
4 Industri 4.0 adalah nama tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik.
Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, Internet untuk segala, komputasi awan, dan komputasi kognitif.
5 https://www.voaindonesia.com/a/buku-di-indonesia-masihkah-dibaca-/4301275.html, diakses pada hari Sabtu 17 November 2018.
Buku teks yang dipakai mahasiswa bisa dibagi menjadi tiga jenis. Yang pertama adalah buku teks yang diterbitkan oleh penerbit besar. Yang kedua adalah buku teks yang diterbitkan oleh penerbit kecil. Dan yang terakhir adalah buku teks yang diterbitkan secara mandiri oleh dosen yang bersangkutan.
Ada kalanya ketika sebuah buku lama yang direkomendasikan oleh seorang dosen tidak bisa ditemukan lagi dengan kondisi baik. Solusi yang terpikir pertama kali dalam benak mahasiswa adalah dengan menggandakan dengan cara memfotokopi.
Sekilas cara diatas melanggar hak cipta dari penerbit dan pengarang buku tersebut. Menurut Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, hal tersebut merupakan penggandaan. Karena buku sebagai ciptaan digandakan. Terlebih lagi tidak ada izin kepada penerbit dan pengarang tersebut.
Namun dalam Pasal 46 dalam undang-undang yang sama, hal tersebut tidak melanggar hukum jika hanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan satu salinan yang boleh digandakan.
Persoalannya yang terjadi di beberapa daerah, khususnya sekitaran kampus USU, bukanya hanya satu salinan yang digandakan. Terkadang lebih dari satu, bahkan sampai membuat salinan untuk satu kelas yang notabene sering berisi diatas lima puluh orang.
Terkadang bukan hanya karena buku tersebut adalah buku yang langka. Untuk beberapa jurusan, buku tersebut ada di pasaran. Namun harganya sering kali tidak sesuai dengan kantong mahasiswa. Karena itu, menggandakan buku adalah solusi termudah yang bisa dilakukan mahasiswa demi menuntut ilmu.
Hal ini adalah ironi dalam dunia pendidikan. Buku yang merupakan sumber ilmu bagi mahasiswa didapat dengan cara yang kurang baik.
Jika ditarik dalam hal umum, memang bukan hanya buku saja yang dibajak di Indonesia. Hampir semua karya cipta yang bisa dibajak sudah di bajak di Indonesia.
Walau sudah ada hukum yang mengaturnya, namun para pelanggar hak cipta tersebut terus tetap melakukan hal tersebut.
Pencipta atau pemegang hak cipta memiliki kebebasan menggunakan ciptaannya untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Perlu diingat bahwa buku yang akan dijual dan diterbitkan bukanlah hasil dari proses plagiasi. Pengarang suatu buku teks memiliki hak untuk ekonomi untuk memilih suatu penerbit buku untuk mengalihkan hak ekonomi pengaran ke penerbit buku. Setelah mendapat persetujuan dari pengarang, maka penerbit buku dapat menggandakan buku tersebut, mendistribusikan buku tersebut, dan membagi keuntungan ekonomi dari hasil penggandaan serta penjualan kepada pengarang buku.6
Jika penggandaan tersebut dilakukan untuk kepentingan pendidikan tentunya tidak ada masalah. Namun dalam praktiknya masih banyak pelanggaran hak ekonomi
6 Rizky Pratama P. Karo, Analisis Yuridis Perlindungan Hak Ekonomi Terhadap Buku Teks Pada Penerbit Gajah Mada University Press Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, (Yogyakarta: Jurnal UGM Press No. 7, 2016), hlm 7.
dari pemilik hak cipta tersebut. Ironisnya, tidak banyak yang peduli terhadap fenomena ini. Padahal ada begitu banyak pihak-pihak yang dirugikan dalam pelanggaran ini. Apapun kepentingannya, seharusnya hak ekonomi dari pemilik hak cipta tidak boleh dilanggar, karena mereka sudah bersusah payah dalam penulisan dan penerbitan juga sebagai hak moralnya.
Oleh karena itu, akan dibahas lebih lanjut mengenai buku teks sebagai salah satu karya cipta yang dilindungi dan mempunyai perlindungan hak cipta, peraturan penggandaan yang tidak merugikan hak ekonomi pencipta, dan perbandingan peraturan penggandaan dengan negara lain.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kajian Hukum Penggandaan Buku Teks Untuk Kepentingan Pendidikan Dalam Perspetif Hak Cipta.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana batasan penggandaan buku teks demi kepentingan pendidikan yang tidak merugikan hak ekonomi penerbit dan pencipta?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum dan penerapan sanksi mengenai penggandaan buku teks untuk kepentingan pendidikan?
3. Bagaimana perbandingan peraturan tentang penggandaan dengan negara lain?
C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah yang ada diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui batasan penggandaan demi kepentingan pendidikan yang tidak merugikan hak ekonomi penerbit dan pencipta.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum dan penerapan sanksi menganai penggandaan buku teks untuk kepentingan pendidikan.
3. Untuk mengetahui perbandingan peraturan tentang penggandaan dengan negara lain.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Adalah menjadi sumbangan bagai ilmu pengetahuan hukum, terutama yang berkaitan dengan industri buku teks yang dekat dengan dunia kampus. Juga sebagai bahan perbandingan dan penelitan lanjutan tentang penggandaan buku teks menurut hak cipta.
2. Manfaat Praktis
Adalah menjadi tulisan yang membukakan wawasan dan pemikiran bagi praktisi dan akademisi hukum dalam industri buku menurut hak cipta.
D. Keaslian Penelitian
Untuk menghindari terjadinya duplikasi dan plagiat terhadapa penelitian ini, maka peneliti telah melakukan penelusuran dan pemeriksaan terhadap judul yang sama dengan judul “Kajian Hukum Penggandaan Buku Teks Untuk Kepentingan Pendidikan Dalam Perspetif Hak Cipta.”.
Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan judul yang berkenaan dengan judul di atas di Perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata judul dan rumusan masalah dalam penelitian ini belum pernah dilakukan. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang asli dan jauh dari unsur plagiat.
Dengan kata lain, penelitian ini sesuai dengan asas-asas keilmuan dan menjunjung tinggi kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Hal ini sesuai dengan
implikasi etis dan proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah pula.
E. Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Hak Cipta
Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 1 Butir 1, Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentu nyata tanpa mengurangi pembatasan sesui dengan ketentun peraturan perundang-undangan.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hak cipta dimaksudkan sebagai hak ekslusif bagi pencipta untuk mereproduksi karyanya sendiri atau memberi izin kepada pihak lain untuk melakukan tindakan tersebut dalam batasan hukum yang berlaku.7
7 Endang Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, (Jakatra:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 2
b. Pengertian Pengandaaan
Penggandaan juga terdapat dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, tepatnya pada Pasal 1 Butir 13. Penggandaan adalah proses, pembuatan, atau cara menggandakan satu salinan ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanan atau sementara.
Dalam praktik, masih sering terjadi penggandaan karya cipta (khususnya buku) secara ilegal dilakukan oleh masyarakat luas, termasuk oleh mahasiswa, dosen, dan/atau peneliti, yang berkepentingan untuk mendapatkan akses memanfaatkan karya cipta tersebut. Fenomena ini dapat dengan mudah dijumpai dari tumbuhnya usaha-usaha fotokopi di sekitar perguruan tinggi. Usaha jasa fotokopi ini biasanya sekaligus menyediakan buku-buku teks hasil penggandaan. Ironisnya, mereka secara terang-terangan berani memajangkan buku-buku hasil penggandaan itu, tanpa peduli apakah penulis buku-buku dimaksud adalah juga dosen-dosen di perguruan tinggi di lokasi itu. Tulisan ini secara khusus akan membahas problematika terkait penggandaan buku, sejalan dengan pengaturannya di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Menyangkut topik dalam skripsi ini, cara yang disorot dalam skripsi ini adalah dengan cara memfotokopi. Cara penggandaan seperti sebenarnya sudah sangat awam sekali dalam lingkungan apapun, termasuk lingkungan pendidikan. Namun yang sering sekali diabaaikan adalah tentang bagaimana seharusnya melakukan penggandaan yang benar dan sesuai dengan kaidah hukum, terutama hukum hak cipta.
c. Pengertian Buku Teks
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak dijelaskan langsung pengertian dari buku teks. Namun secara terpisah bisa dijelaskan. Buku adalah lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong. Sedangkan teks adalah naskah yang berupa bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya. Jadi buku teks dalam hal ini bisa diartikan sebagai lembar kertas yang berjilid yang berisikan naskah yang berupa bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran.
Beberapa ahli juga memberikan pendapatnya mengenai hal ini. Menurut Buckingham, (1958 :1523) buku teks adalah sarana belajar yang digunakan disekolah-sekolah dan di perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran.
Menurut Surahman dalam Fella tahun 2014, Secara umum buku dibagi menjadi empat jenis yang mana salah satunya adalah buku teks, yaitu buku yang disusun untuk proses pembelajaran, dan berisi bahan-bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan.
Menurut Tarigan dan Tarigan, (1986: 13) buku teks adalah buku pelajaran dalam bidang studi tertentu yang merupakan buku standar yang disusun oleh pakar dalam bidangnya untuk maksud-maksud dan tujuan instruksional yang dilengkapi dengan sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh pemakainya disekolah maupun diperguruan tinggi sehingga dapat menunjang sesuatu program pengajaran.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode-metode yang ilmiah dan menggunakan pemikiran tertentu, serta menganalisia. Maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:
a. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif.
Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian yang mengkaji dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang- undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian ini digunakan untuk menganalisis dan mendapatkan kejelasan tentang kajian hukum penggandaan buku teks untuk kepentingan pendidikan dalam perspetif hak cipta.
b. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Yaitu penelitian yang ditujukan untuk meneliti fenomena-fenomena yang ada. Dalam hal ini berkenaan dengan fenomena penggandaan buku teks terebut.
c. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penulisan ini terdiri dari dari data sekunder.
a. Data Sekunder, terdiri dari:
1. Bahan Hukum Primer
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
b. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang terkait lain.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya: buku, hasil-hasil penelitian dan yang relevan dengan skripsi ini.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks komulatif, internet dan seterusnya.
d. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka
Dalam studi pustaka dikumpulkan berbagai data yang berkaitan dengan data sekunder. Yang berupa bahan-bahan tertulis berupa bahan hukum yang mengikat, dalam hal ini berbagai undang- undang yang berkaitan dengan hak cipta. Kemudian ada berbagai
buku, hasil penelitian dan jurnal ilmiah tentang hak cipta. Juga yang ada dalam kamus, ensiklopedia, dan internet sebagai penunjang.
b. Alat Pengumpul Data
1. Studi Pustaka dan Studi Dokumen
Dalam studi pustaka dan studi dokumen, alat yang digunakan berupa berbagai sumber pustaka dan dokumen berupa undang- undang, peraturan-peratudan hukum, buku, penelitian, jurnal, kamus, ensiklopedia, dan artikel internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.
e. Analisis Data
Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif.
Analisis tersebut dilakukan dengan cara mengolah dan menganalisis data serta mendeskripsikannya dengna kata-kata sehingga diperoleh bajasan atau paparan dalam bentuk kalimat yang sistematis dan dapat dimengerti serta dapat ditarik suatu kesmpulan.
Adapun tujuan analisis data kualitatif adalah mencari makna dibalik data penelitian. Peneliti dihadapkan kepada berbagai objek penelitian yang semuanya menghasilkan data yang membutuhkan analisis. Data yang didapat dari objek penelitian memiliki kaitan yang masih belum jelas. Oleh karenanya, analisis diperlukan untuk mengungkapkan kaitan tersebut secara jelas sehingga menjadi pemahaman umum.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain.
Bab I berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir sistematika penulisan.
Bab II akan membahas mengenai batasan penggandaan buku teks demi kepentingan pendidikan yang tidak merugikan hak ekonomi penerbit dan pencipta.
Bab III akan membahas mengenai perlindungan hukum dan penerapan sanksi mengenai penggandaan buku teks untuk kepentingan pendidikan.
Bab IV akan membahas mengenai perbandingan peraturan tentang penggandaan dengan negara lain.
Bab V merupakan bab penutup yang membahas tentang kesimpulan dan saran. Merupakan ringkasan dari bab-bab yang berisi kesimpulan terhadap penelitian ini dan saran dari penulis terhadap pernamsalahan yang ada dalam penelitian ini.
BAB II
BATASAN PENGGANDAAN DEMI KEPENTINGAN BUKU TEKS PENDIDIKAN YANG TIDAK MERUGIKAN HAK
EKONOMI PENERBIT DAN PENCIPTA
A. Hak Cipta di Indonesia
Hak cipta adalah hak privat. Hak keperdataan yang melekat pada diri si pencipta. Pencipta boleh pribadi, kelompok orang, badan hukum publik atau badan hukum privat. Hak cipta lahir atas kreasi pencipta. Kreasi yang muncul dari “olah pikir” dan “olah hati”. Atau dalam terminologi-terminologi, hak yang lahir dari cipta, rasa, dan karsa manusia. Oleh karena itu, hak cipta haruslah benar-benar lahir dari kretivitas manusia, bukan yang terlah ada di luar aktivitas atau di luar hasil kreativitas manusia.8
Hak cipta menurut Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8 O. K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 191
Hak cipta bersifat deklaratif yakni pencipta atau penerima hak mendapatkan perlindungan hukum seketika setelah suatu ciptaan di lahirkan, dengan hal ini hak cipta tidak perlu di daftarkan ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), namun ciptaan dapat di daftarkan dan di catat dalam daftar umum ciptaan di Ditjen HKI guna memperkuat status hukumnya.
Dalam memahami hak cipta dan HAKI terdapat perbedaan karena dalam hak cipta memang terbatas dalam kegiatan penggandaan suatu karya agar dapat di nikmati lebih banyak orang. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekaayaan intelektual, namun hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang merupakan perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili dalam suatu ciptaan tersebut.9
Secara hukum hak cipta mengandung beberapa elemen hak. Hak – hak yang di miliki oleh pemilik atau hak cipta adalah hak untuk:
Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut
Mengimpor dan mengekspor ciptaan
Ciptaan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum, menjual atau mengalihkan hak ekslusif tersebut kepada orang lain atau pihak lain.
9 https://meilabalwell.wordpress.com/pelanggaran-hukum-terhadap-hak-cipta/, diakses pada Minggu, 18 November 2018.
Hal yang di maksud dengan Hak ekslusif adalah bahwa hanya pemegang tahu pemilik hak ciptaan yang bebas melaksankan pemanfaatan hak cipta tersebut sementara orang atau pihak lain di larang melaksanakan pemanfaatan hak cipta tersebut tanpa izin pemegang hak cipta. Di Indonesia, hak ekslusif si pemegang hak cipta termasuk kegiatan- kegiatan menerjemahkan, mengadopsi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewa, meminjamkan, mengekspo, serta mengkomunikasikan suatu ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.
Hak hak ekslusif yang tercakup dalam hak cipta dapat dialih kan misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis pemilik hak cipta dapat pula mengijinkan pihak lain melakukan hak ekslusif nya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu. Ini terkait dengan hak ekonomi.
Hak Ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Pencipta mempunyai hak ekonomi untuk melakukan:
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan; dan i. penyewaan ciptaan.10
10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 9 Ayat (1).
Pada perkembangannya, Indonesia pernah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan dari zaman kolonial sampai saat ini. Yaitu, Auteurswet 1921, Undang-Undang 1982 tentang Hak Cipta, Undang-Undang 1997 tentang Hak Cipta, Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dan yang terakhir adalah Undang-Undang Hak Cipta No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.11
Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East- Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 s.d. 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam
11 R. Diah Imaningrum Susanti, Hak Cipta Kajian Filosofis dan Historis, (Malang: Setara Press, 2017), hlm. 80
UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.
Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No.
J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang merupakan undang-undang Indonesia pertama di bidang HKI. Berdasarkan pasal 24, UU No. 21 Th. 1961, yang berbunyi "Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Merek 1961 dan mulai berlaku satu bulan setelah undang-undang ini diundangkan". Undang- undang tersebut mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
Saat ini, setiap tanggal 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU No. 21 tahun 1961 juga telah ditetapkan sebagai Hari KI Nasional.
Pada tanggal 10 Mei1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)]
berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1).
Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air.
Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Tim Keppres 34 selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten.
Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.
Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut.
Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang- undangan, Departemen Kehakiman.
Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini
disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun demikian, ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem KI, termasuk paten, di Indonesia tidaklah semata-mata karena tekanan dunia internasional, namun juga karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HKI yang efektif.
Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang KI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.
Di penghujung tahun 2000, disahkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU No.
30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan di bidang KI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya.12
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi satu variable penting yang memberikan pengarah besar terhadap perubahan Undang- Undang Hak Cipta. Teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi memiliki peran strategis dalam perkembangan Hak Cipta, tetapi di sisi lain juga menjadi media pelanggaran hukum di bidang hak cipta. Pengaturan yang sangat proporsional sangat diperlukan, agar fungsinya dapat dioptimalkan dan dampak negatifnya dapat diminimalkan. Itu adalah salah satu alasan pemerintah kembali mengganti Undang- Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta denga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014.13
Pemerintah sebagai upara sungguh-sungguh dari negara untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pencipta dan pemlilih hak terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreativitas nasional. Alasannya adalah, teringkarinya hak ekonomi dan hak moral dapat mengikis motivasi para Pencipta dan pemilik hak terkait untuk berkreasi. Hilangnya motivasi seperti ini akan berdampak luas pada
12 http://www.dgip.go.id/sejarah-perkembangan-perlindungan-kekayaan-intelektual-ki, diakses pada hari Minggu, 18 November 2018.
13 O. K. Saidin, Op. Cit., hlm. 196.
runtuhnya kreativitas makro bangsa Indonesia. Bercermin kepada negara-negara maju tampak bahwa perlindungan yang memadai tehadap Hak Cipta telah berhasil membawa pertumbuhan ekonomi kreatif secara signifikan dan memberikan kontibusi nyata bagi perekonomian dan kesejahtraan rakyat.14
Dalam UUHC 2014 tersebut diatur lebih rinci bahwa hak cipta merupakan hak ekslusif yang tersdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum tersebut diwujudkan dalam jangka waktu perlundugnan untuk hak moral dan hak ekonomi. Dalam UUHC 2014, jangka waktu perlundungan bidang tertentu akan diperpanjang menjadi 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Hal ini akan berdampak pada jaminan perlindungan hak ekonomi yakni pembayaran royalti dengan masa yang lebih panjang.
14 Ibid, hm. 196-197
B. Penggandaan dalam Undang-Undang Hak Cipta
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sastra, sudah demikian pesat sehingga memerlukan peningkatan pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Jenis karya yang mendapat perlindungan ini antara lain adalah buku. Buku sebagai karya cipta juga harus dilindungi secara hukum agar terhindar dari pelanggaran. Perlindungan ini telah diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UndangUndang Hak Cipta. Dengan demikian maka setiap orang yang menggunakan ciptaan orang lain yang telah diakui hak ciptanya secara tidak sah adalah pelanggaran. Pelanggaran hak cipta buku di Indonesia menempati urutan ke-3 setelah perangkat lunak (software) dan musik. Bentuk pelanggaran hak cipta buku bisa beraneka ragam, di antaranya dengan penggandaan melalui sarana fotocopy.
Pelanggaran demikian lazimnya disebut dengan pembajakan. Pembajakan buku secara keseluruhannya tanpa izin dari pemegang hak cipta, memang bisa dilakukan oleh siapa saja yang membutuhkan buku tersebut sebagai literatur, baik dalam jumlah yang sangat terbatas (untuk kalangan sendiri) maupun dalam jumlah yang besar (untuk dibisniskan) seperti yang dipraktikkan oleh sekolah-sekolah dari berbagai tingkatan, bahkan oleh perpustakaan, copy center, institusi keagamaan, dan institusi kebudayaan.
Dalam praktik, masih sering terjadi penggandaan karya cipta (khususnya buku) secara ilegal dilakukan oleh masyarakat luas, termasuk oleh mahasiswa, dosen, dan/atau peneliti, yang berkepentingan untuk mendapatkan akses memanfaatkan karya cipta tersebut. Fenomena ini dapat dengan mudah dijumpai dari tumbuhnya
usaha-usaha fotokopi di sekitar perguruan tinggi. Usaha jasa fotokopi ini biasanya sekaligus menyediakan buku-buku teks hasil penggandaan. Ironisnya, usaha jasa fotokopi secara terang-terangan berani memajangkan bukubuku hasil penggandaan itu, tanpa peduli apakah penulis buku-buku dimaksud adalah juga dosen-dosen di perguruan tinggi di lokasi itu.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tepatnya pada Pasal 9 ayat (3) dinyatakan: “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan”. Pasal 10 dari undang-undang yang sama berbunyi “pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”
Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada Pasal 4 dinyatakan bahwa pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi, di mana hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta Pasal 5 ayat (1) dan pada Pasal 8 dijelaskan hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan, penggandaan, penerjemahan, pengadaptasian, pengaransemenan atau pentransformasian, pendistribusian, pengumuman, pertunjukan, komunikasi, dan penyewaan ciptaan. Dengan demikian sejauh menyangkut hak ekonomi penulisnya berhak untuk mengeksploitasi karya tulisnya.61 Bentuk-bentuk pembajakan yang diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta berkaitan dengan pelanggaran terhadap:
1. Penerbitan ciptaan (Pasal 9 ayat (1) huruf a);
2. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya (Pasal 9 ayat (1) huruf b);
3. Pendistribusian ciptaan atau salinannya (Pasal 9 ayat (1) huruf e);
4. Pengumuman ciptaan (Pasal 9 ayat (1) huruf g);
5. Penggandaan dan fiksasi pertunjukan dengan cara atau bentuk apapun (Pasal 23 ayat (2) huruf c);
6. Pendistribusian atas fiksasi pertunjukan atau salinannya (Pasal 23 ayat (2) huruf d);
7. Penggandaan atas fonogram dengan cara atau bentuk apapun (Pasal 24 ayat (2) huruf a).
8. Pendistribusian atas fonogram asli atau salinannya (Pasal 24 ayat (2) huruf b);
9. Penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik (Pasal 24 ayat (2) huruf d); dan
10. Penggandaan fiksasi siaran oleh lembaga penyiaran yang memiliki hak melaksanakan sendiri, memberikan izin dan melarang pihak lain (Pasal 25 ayat (2) huruf d).
Penggandaan yang dimaksud adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara. Sedangkan pendistribusian adalah penjualan, pengedaran, dan/atau penyebaran ciptaan dan/atau produk hak terkait.
Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tercantum dalam Pasal 4 bahwa pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi, dimana hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta Pasal 5 ayat (1) dan pada Pasal 8 dijelaskan hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan, penggandaan, penerjemahan, pengadaptasian, pengaransemenan atau
pentransformasian, pendistribusian, pengumuman, pertunjukan, komunikasi, dan penyewaan ciptaan. Dengan demikian sejauh menyangkut hak ekonomi penulisnya berhak untuk mengeksploitasi karya tulisnya.
Baik melalui penerbitan dalam buku maupun pemuatannya dalam media publikasi ilmiah maupun majalah populer lainnya pencipta dapat memperoleh royalti dari penerbitan bukunya atau mendapatkan honorarium bagi pemuatan artikelnya di media. Bila dikumpulkan dalam jumlah yang memadai tentunya tulisan-tulisan tersebut dapat dibukukan, penerbitan seperti ini akan memberikan tambahan income bagi penciptanya.
Apabila suatu ciptaan buku, karya tulis, lagu, musik tanpa atau dengan teks dialihkan tanpa batas waktu atau dengan perjanjian jual putus, maka hak ciptanya beralih kepada penciptanya pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun, hal ini tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Hak Cipta. Yang mana buku merupakan ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (terdapat dalam Pasal 40 ayat 1 huruf a). Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara keseluruhan atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan dan dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta Pasal 44 ayat (1) huruf a, keamanan serta penyelenggaraan pemerintah, legislatif, dan peradilan huruf b, ceramah untuk tujuan pendidikan dan
ilmu pengetahuan huruf c, pertunjukan/pementasan yang tidak dipungut bayaran apapun sepanjang tidak merugikan pencipta (huruf d). Penggandaan untuk kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah dilakukan pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dapat dilakukan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta Pasal 46 ayat (1) tetapi penggandaan untuk kepentingan pribadi tidak mencakup seluruh atau sebagian yang substansial dari buku atau notasi musik Pasal 46 ayat (2) huruf b. Masa berlaku hak ekonomi dalam suatu hak cipta atas ciptaan buku adalah berlaku seumur hidup ditambah 70 tahun setelah meninggal dunia, hal ini tercantum dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta.
Hak moral memberikan jaminan perlindungan terhadap pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaan dan dihargai karyanya dengan tidak mengubah atau mengeksploitasi yang berpotensi merugikan pencipta. Bentuk perlindungan akan menjadi nyata dan berwujud jika ada pelanggaran terhadap kedua esensi hak moral yang tidak dapat dipisahkan yakni right of paternity (hak paterniti) right of integrity (hak integritas). Ketika pelanggaran terjadi pencipta dapat melaksanakan haknya, yakni menuntut pelanggarnya untuk memulihkan hakhaknya dan kepentingannya.
Pelaksanaan hak tersebut difasilitasi dengan mekanisme penuntutan sebagaimana layaknya bila terjadi pelanggaran hak yang merugikan.
Dalam praktik, masih sering terjadi penggandaan karya cipta (khususnya buku) secara ilegal dilakukan oleh masyarakat luas, termasuk oleh mahasiswa, dosen, dan/atau peneliti, yang berkepentingan untuk mendapatkan akses memanfaatkan karya cipta tersebut. Fenomena ini dapat dengan mudah dijumpai dari tumbuhnya
usaha-usaha fotokopi di sekitar perguruan tinggi. Usaha jasa fotokopi ini biasanya sekaligus menyediakan buku-buku teks hasil penggandaan. Ironisnya, mereka secara terang-terangan berani memajangkan buku-buku hasil penggandaan itu, tanpa peduli apakah penulis buku-buku dimaksud adalah juga dosen-dosen di perguruan tinggi di lokasi itu.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tepatnya pada Pasal 9 ayat (3) dinyatakan: “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan”. Pasal 10 dari undang-undang yang sama berbunyi “Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang basil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”.
Namun, menurut Pasal 44, tidaklah dianggap sebagai pelanggaran untuk tindakan atau kondisi sebagai berikut:
Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: (a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b) keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; (c) ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau (d) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
Fasilitasi akses atas suatu ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai
pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
Dalam hal ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi akses terhadap ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan menggunakan huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara pada Pasal 46 ayat (1) dijelaskan bahwa penggandaan untuk kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah dilakukan pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Lebih lanjut dalam ayat (2) penggandaan untuk kepentingan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencakup:
karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau konstruksi lain;
seluruh atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi musik;
seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital;
program komputer, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1);
dan
penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. telah diatur tentang pelanggaran hak cipta terkait dengan penggandaan buku, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis.
Dalam pasal 44 tersebut dapat diketahui “kepentingan yang wajar” yang dimaksud adalah kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.
Selain itu, dapat diketahui pula beberapa perbuatan, yaitu: penggunn, pengambilan, penggandaan dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruhnya atau sebagian yang substansial, yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan yang diperbolehkan tersebut.15
Dan dalam Pasal 46 dapat diketahui bahwa penggandaan ciptaan untuk kepentingan pribadi diperbolehkan atau tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan dalam pasal tersebut.16
Harusnya dengan berbagai keringanan yang diberikan, akan minim terjadi pelanggaran. Namun pada kenyatannya belum berhasil terlaksana dengan baik, sebagaimana terihat dari masih maraknya penggandaan buku yang dilakukan.
Tentu akar permasalahan yang melatarbelakangi maraknya penggandaan buku, terutama oleh kalangan pelaku pendidikan dan peserta didik, perlu juga ditelusuri. Latar belakang yang paling banyak terlihat, khususnya untuk penggandaan di tingkat pendidikan tinggi adalah karena kesulitan mencari literatur tersebut di pasaran. Hal ini terutama berlaku untuk karya literatur asing. Penyebab lain, boleh jadi juga karena buku tersebut sudah tidak lagi dicetak ulang, sehingga pihak penerbit dan toko buku juga tidak lagi memiliki ketersediaan stok.
Hal lain lagi sebagai penyebab munculnya tindakan penggandaan adalah karena harga buku di Indoensia masih terbilang mahal menurut ukuran kantong
15 Bernard Nainggolan, Komentar Undang-Undang Hak Cipta, (Bandung: PT Alumni Bandung, 2016), hlm. 125
16 Ibid, hlm. 127
pelaku pendidikan dan peserta didik. Buku-buku di lapangan ilmu kedokteran termasuk dalam kategori ini. Repotnya lagi, buku-buku teks tersebut biasanya memuat gambar warna-warni. Untuk menjamin kualitas pewarnaannya, buku-buku itu harus dicetak dengan kertas khusus. Apabila digandakan, bahkan dengan teknik printing berwarna canggih sekalipun, hasilnya tidak akan pernah sebagus cetakan aslinya. Namun, terkadang pilihan untuk tetap menggandakan buku-buku itu tetap ditempuh oleh pelaku dan peserta didik kita, demi alasan efisiensi.17
C. Batasan Penggandaan Demi Kepentingan Buku Teks Pendidikan Yang Tidak Merugikan Hak Ekonomi Penerbit Dan Pencipta
Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), Penggandaan adalah "proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara."
Salah satu cara penggandaan yang banyak terjadi di sekitar kita adalah dengan fotokopi. Fotokopi buku pelajaran seringkali dilakukan oleh pelajar karena harganya yang jauh lebih murah daripada buku asli. Apakah tindakan ini melanggar hak cipta?
Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta memang menyebutkan, “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”
17 http://business-law.binus.ac.id/2016/04/30/penggandaan-buku-menurut-uu-hak-cipta-dan- permasalahannya/, diakses pada Hari Minggu, 18 November 2018.
Akan tetapi, terdapat suatu pembatasan hak cipta yang terdapat dalam Bab VI UU Hak Cipta itu sendiri. Pasal 44 ayat (1) poin a memberikan pengecualian di mana penggandaan untuk keperluan pendidikan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika menyebutkan sumbernya.
Bahkan, Pasal 46 menyebutkan “Penggandaan untuk kepentingan pribadi atas Ciptaan yang telah dilakukan Pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta”.
Permasalahan selanjutnya justru timbul dari tempat fotokopi itu sendiri, di mana ada tempat fotokopi yang menggandakan buku-buku untuk kemudian dijual kembali. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta, karena dilakukan untuk Penggunaan Komersial. Terkait dengan hal ini, Pasal 10 UU Hak Cipta menyebutkan,
“Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya.”
Pelanggar pasal 10 tersebut dapat dikenai pidana denda paling banyak Rp 100 juta (Pasal 114 UU Hak Cipta).
Di sisi lain, bisa saja dikatakan bahwa tindakan penggandaan buku-buku tersebut semata-mata hanya untuk memudahkan transaksi, agar saat ada yang datang dan ingin memfotokopi, ia tidak perlu lagi menunggu. Dalam menjawab persoalan
ini, sangat disayangkan bahwa dalam UU Hak Cipta tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 10 dan Pasal 114.
Keberadaan tempat fotokopi yang memberikan banyak manfaat memang tidak dapat dipungkiri. Selain menguntungkan secara ekonomi (baik bagi masyarakat maupun tukang fotokopi sebagai mata pencaharian), tempat-tempat ini juga menolong pengadaan buku-buku lama bagi pelajar yang sudah tidak diproduksi lagi.
Pasal 99 UU Hak Cipta menjelaskan bahwa pemegang Hak Cipta dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait.
Akan tetapi, dalam situasi penggandaan buku-buku lama, tidak ada lagi pihak yang dapat mengajukan gugatan.18
Penggunaan untuk kepentingan pendidikan, penggunaan untuk kepentingan pribadi dan tentu saja tanpa mengomersialkan buku teks tersebut adalah batasan penggandaan yang harusnya diketahui dan dilaksanakan demi kepentingan kedua belah pihak yang tidak merugikan hak ekonomi baik penerbit dan pencipta maupun konsumen.
18 http://www.sindikat.co.id/blog/apakah-penggandaan-buku-fotokopi-melanggar-hak-cipta, diakses pada Hari Minggu 18 November 2018.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENERAPAN SANKSI MENGENAI PENGGANDAAN BUKU TEKS UNTUK KEPENTINGAN PENDIDIKAN
A. Perlindungan Hukum dalam Penggandaan Buku Teks
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), terutama teknologi informasi yang sangat pesat dewasa ini ternyata mampu menembus batas-batas negara yang paling dirahasiakan. Manusia modern adalah setiap orang yang cenderung pada kemajuan dengan berkembangnya budaya teknologi (technology of culture). Kini tidak ada sesuatupun yang dapat disembunyikan oleh seseorang atau
suatu negara dengan maksud tertentu guna meraih keuntungan dengan cara-cara yang tidak terhormat yang merugikan orang atau negara lain melalui hasil ciptaan yang dilindungi oleh perangkat hukum. Perkembangan Iptek lambat laun akan mampu mengungkapkan adanya kecurangan yang terjadi selamai ini terhadap ciptaan yang bersifat ekonomis.
Buku merupakan salah satu perwujudan karya cipta tulis. Buku yang diterbitkan perlu mendapatkan perlindungan sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap penciptanya, sekalipun dalam praktiknya apresiasi dalam bentuk finansial lebih menonjol daripada apresiasi moral.
Sebuah karya cipta sudah sepatutnya mendapat perlindungan hukum. Penerbit sebagai pemegang hak cipta mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum tersebut. Perlu pengaturan hukum untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak penerbit. Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) telah mengatur perlindungan hukum bagi karya cipta tersebut dan pemegang hak cipta, namun sampai sekarang masih terjadi pelanggaran dalam penerbitan buku, salah satunya adalah penggandaan.
Tidak sepantasnya jika buku yang merupakan sumber ilmu dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, didapatkan dengan cara tidak baik.
Secara filosofis, perlindungan terhadap karya cipta sangat diperlukan, karena karya cipta merupakan hasil pemikiran, karya dan karsa seseorang yang diwujudkan dalam bentuk ciptaan, sehingga diperlukan sikap hidup yang menghormati dan menghargai karya cipta yang diwujudkan dalam pengakuan atas hak seseorang terhadap ciptaannya.
Permasalahan mengenai Hak Cipta akan menyentuh berbagai aspek seperti teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkatian dengan Hak Cipta tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelekutal, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan hukum.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh undang-undang guna mencegah terjadinya pelanggaran hak kekayaan intelektual oleh orang yang tidak berhak. Jika terjadi pelanggaran, maka pelanggar tersebut harus diproses secara hukum, dan bila terbukti melakukan pelanggaran, dia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang bidang hak kekayaan intelektual yang dilanggar itu.
Undang-undang bidang hak kekayaan intelektual mengatur jenis perbuatan pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun secara pidana.
Indonesia sebagai penganut Civil Law System, maka UndangUndang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam pembentukannya bertitik tolak dari pencipta. Di Indonesia perlindungan hak cipta hanya diberikan pada suatu karya cipta yang telah memiliki bentuk yang khas (material form), bersifat pribadi, menunjukan keasliannya yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian (mental effort) sehingga berwujud sebagai ciptaan yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap karya cipta dimaksudkan untuk merangsang kreativitas dari pencipta agar selalu menciptakan suatu karya yang bermanfaat dan dapat dikomersilkan. Selama karya cipta ini belum dieksploitasi atau belum terjadi interaksi yang bersifat mengikat antara pencipta dengan pengguna maka karya tersebut belum dapat menghasilkan nilai ekonomi yang maksimal. Oleh karena itu sangat diperlukan pemahaman yang benar tentang bagaimana cara memperlakukan karya cipta agar tetap terjaga dan terlindungi.
Perlindungan hukum terhadap suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan tersebut ada atau berwujud, bukan karena pendaftaran. Artinya, suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar tetap mendapat perlindungan hukum.19
Perlindungan hak cipta dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan terhadap hak moral dan perlindungan terhadap hak ekonomi.
Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihapus atau dihilangkan (inalienable) dengan alasan apapun, meskipun hak cipta atau hak terkait tersebut telah dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas suatu karya cipta serta produk hak terkait (neighring rights).20
Hak moral memberikan berbagai kontrol kepada pencipta terhadap penggunaan karya-karya ciptanya dengan memberikan hak kepada seorang pencipta untuk mengklaim hasil karyanya sebagai pencipta dari sebuah karya (asas attribution atau asas peternity) dan mencegah penggunaannya dengan cara yang oleh pencipta layak ditolak atau yang tidak disepakati (asas integrity).21
19 Lina Shabrina, Budi Santoso, Rinitami Njatrijani, Implementasi Perlindungan Karya Cipta Buku Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Studi Pada Toko Buku Di Area Stadion Diponegoro Semarang), (Diponegoro Law Journal, Vol. No. 2, 2017), hlm 3
20 Hendra Tanu Atmadja, Konsep Hak Ekonomi dan Hak Moral Pencipta Menurut Sistem Civil Law dan Common Law, (Jurnal Hukum No. 23 Vol. 10 Mei 2003), hlm. 154.
21 Ibid, hlm. 157
Hak moral memungkinkan pencipta dari ciptaan tersebut untuk:
a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;
b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
c. mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d. mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan
e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.22
Pengaturan mengenai hak moral berawal pada abad ke 19 di Perancis dan dalam perkembangannya tercantum dalam Pasal 6 bis revisi Kovensi Bern 1928 yang berbunyi
"Independently of the author's economic rights, and even after the transfer of the said rights, the author shall have the right to claim authorship of the work and to object to any distortion, mutilation or other modification of, or other derogatory action in relation to, the said work, would be prejudicial to his honour or reputation."
Berdasar rumusan pasal tersebut, maka substansi hak moral meliputi:
a. The right to claim authorship, yaitu hak untuk mendapatkan pengakuan sebagai pencipta. Hal itu dilakukan antara lain dengan menyebutkan atau mencantumkan nama pencipta dalam ciptaan.
b. The right to object to any distortion, mutilation, or other modification of the work, yaitu hak pencipta untuk menolak tindakan yang dapat mendistorsi, memotong, atau menghilangkan sebagian dari ciptaan ataupun memodifikasi ciptaan secara sedemikian rupa sehingga merusak atau merugikan reputasi dan kehormatan pencipta.
c. The right to object other derogatory action in relation to the said work, yaitu hak pencipta untuk menolak segala bentuk tindakan atau perlakuan yang dapat mengganggu atau merendahkan kehormatan dan reputasi pencipta.
22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 5 Ayat (1).
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa pencipta memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas karyanya dan mengajukan keberatan atas perubahan, pemotongan, pengurangan, atau modifikasi lain, serta aksi pelanggaran lain yang berkaitan dengan karyanya, dimana hal-hal tersebut merugikan kehormatan atau reputasi si pencipta.
Di era globalisasi ini makin marak terjadi kasus pelanggaran hak cipta di ranah komersial, seperti pembajakan lagu, novel, hingga desain kebaya milik perancang terkenal yang diduplikasi. Pelanggaran hak cipta tersebut sangat jelas bermotif ekonomi. Akibatnya penghargaan akan integritas dan identitas seorang pencipta menjadi terabaikan. Fenomena ini semakin menguatkan kebutuhan akan pertindungan hak moral bagi pencipta atas karya-karya ciptaannya, karena sampai saat ini cenderung masih mengutamakan pemenuhan hak ekonomi pencipta semata.
Padahal, hak moral seharusnya dilindungi bersamaan dengan hak ekonomi. Karya cipta adalah suatu perwujudan dari rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia, karena suatu ciptaan lahir dari sejumlah pengorbanan yang dilakukan oleh penciptanya. Hal tersebut seharusnya dijadikan landasan terhadap konsep pertindungan hak moral yang mestinya dilindungi dan dipenuhi bersama dengan hak ekonomi yang melekat pada suatu ciptaan. Nilai budaya dan etika menjadi poin penting dalam konsep pertindungan ini.
Perlindungan dan pemenuhan hak moral erat kaitannya dengan penghormatan terhadap integritas dan identitas pencipta atas ciptaannya. Meskipun Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi dari perjanjian intemasional yang telah
diratifikasi (asas pacta sun servanda) khususnya di bidang HKI, namun seharusnya konsep mengenai pertindungan dan pemenuhan hak moral tetap didasarkan pada nilai - nilai budaya, kaidah dan norma bangsa Indonesia. Apabila pemenuhan dan pertindungan akan hak moral ini berjalan dengan baik, maka hak dari pencipta akan lebih dihargai oleh para pengguna ciptaan sehingga berdampak baik pula terhadap pemenuhan hak ekonomi atas ciptaan yang mereka miliki.
Hak Ekonomi atau economy right adalah hak yang dimiliki oleh Pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas Ciptaannya. Pada umumnya hak ekonomi ini mencakup: Hak Reproduksi atau penggadaan (Reproduction Right)/ perbanyakan;
Hak Adaptasi (Adaptation Right); Hak Distribusi (Distribution Right); Hak Pertunjukan (Public Performance Right); Hak Penyiaran (Broadcasting Right); Hak Program Kabel (Cable Casting Right); Hak Pinjam Masyarakat (Public Lending Right). Hak ini di miliki oleh Pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan,
yaitu ia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang di ciptakaannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah.
Hak ekonomi dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum, sehingga orang atau badan hukum itu yang berhak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari suatu ciptaan untuk di gunakan sendiri atau dikomersilkan dalam jangka waktu tertentu dan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati.
Sedangkan hak ekonomi memungkinkan pencipta dari ciptaan tersebut untuk:
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan; dan i. penyewaan ciptaan.23
Perlindungan hukum sangat dibutuhkan bagi penulis sebagai bentuk penghargaan terhadap intelektualnya. Perlindungan karya cipta buku dapat dilihat dari sisi moral, hukum, dan kemanfaatan bagi penulis dan penerbit buku. Secara moral perlindungan karya cipta buku dilakukan untuk memenuhi kewajiban moral kepada penulis atau penerbit buku dan untuk mencegah pembajakan. Secara hukum, perlindungan karya cipta buku dilakukan untuk memenuhi hak moral dan hak ekonomi penulis atau penerbit buku. Sedangkan secara kemanfaatan, perlindungan karya cipta buku dilakukan untuk kesejahteraan ekonomi penulis atau penerbit buku dan untuk kesejahteraan serta keuntungan ekonomi nasional.
Dilihat dari segi ekonominya, tindakan pembajakan buku berdampak merugikan banyak para pihak, antara lain yaitu penulis, penerbit dan negara. Dengan berkurangnya pajak penghasilan Negara (Pph), sehingga negara tidak memperoleh pajak secara maksimal dan terutama bagi penulis itu sendiri yaitu royalti penulis berkurang.
Maraknya penggandaan, membuat penulis semakin terjepit. Di satu sisi, mereka dituntut untuk terus berkarya meskipun bayaran yang diterimanya tidak
23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 9 Ayat (1).