• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Ulos Batak (Studi pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Ulos Batak (Studi pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad Zen Umar Purba., Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT Alumni, Bandung, Cet.1, 2005

Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Anthony D. Amato and Doris Estetle Long, International Intellectual Property Anthology, Anderson Publishing, Cincinnati, 1996.

Arif Lutviansori., Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, Cet.1, 2010.

Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta Dan Lembaga Manajemen Kolektif,2011.

Budi Agus Riswandi, Hal Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004.

Djumhana dan R. Djubaedilah IV., Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan

Prakteknya di Indonesia), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 2, 2003

Muhammad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Kekayaan Intelektual (sejarah, teori dan prakteknya di Indonesia Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Eddy Damian. Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional. Bandung: Alumni, 1999.

Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia: Analisis Teori dan Praktik. 2012. Bandung. Penerbit: PT Citra Aditya Bakti.

Kamus Besar Bahasa Indonesia ”Otak” berarti benak; sentral saraf; yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis.

(2)

Muhamad Ahkam Subroto dan Suprapedi., Pengenalan HKI (Hak Kekayaan

Intelektual), PT. Indeks, Jakarta, 2008

Muhamad Djumhana. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal 11

_________________. Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia). Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual “Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia”, Bandung: Alumni, 2003.

Sentosa Sembiring, Hak Kekayaan Intelektual Dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan, CV. Yrama Widya, Bandung, 2002.

Suhardo, Etty S., Implikasi Undang-Undang No.19 Tahun 2002 bagi Pengguna

Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Yogyakarta, 2009

Tim Lindsey (et.al)., Hak kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, kerjasama Asian Law Group Pty Ltd dan PT Alumni, Bandung, 2005.

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Makalah

Hak Cipta, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional menyikapi Problematika Hak Cipta dalam Dunia Usaha: Implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Semarang, 11 Desember 2003.

Peraturan Perundang-Undangan

(3)

Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No.M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam surat nomor 24/M/PAN/1/2000 indonesia/ , tanggal akses 1 April 2015

http://perlindungan-hak-atas-kekayaan-intelektual-tradisional-indonesia-dalam-perdagangan-bebas-dunia« New Blue Print.htm/ , tanggal akses 3 April 2015

http://pengetahuantradisional.blogspot.com/, tanggal akses 3 April 2015

(4)

Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTFK/IC/3/9,20, hal. 11,

(5)

E. Hak Cipta Merupakan Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual

Pengertian baku dari hak cipta telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta: “Hak Cipta adalah Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklatarif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan”.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak cipta adalah hak kebendaan yang bersifat eksklusif yang timbul secara otomatis bagi seorang pencipta atau penerima hak atas suatu karya atau ciptaannya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Sebagai suatu hak kebendaan pada umumnya.39

Hak eksklusif yang terkandung dalam hak cipta merupakan hak atas ciptaan yang tidak hanya bersifat industrialis, tetapi juga monopolistik. Namun, berbeda dengan hak monopoli di bidang paten yang bersifat absolut. Pemegang hak cipta hanya berhak membatasi pihak lain untuk meniru, memperbanyak, mengumumkan, atau menyewakan ciptaannya secara tanpa hak.40

Awal mulanya hak cipta diatur menurut Auteurswet Staatsblad 1912 Nomor 600, kemudian diubah dan diganti dengan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15,

39 Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia: Analisis Teori dan Praktik. 2012. Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 61

40

(6)

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3217), yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 April 1982, kemudian diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3362), disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1987, yang diubah lagi dengan Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 2 9, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2679), disahkan dan diundangkan pada tanggal 7 Mei 1997, diubah kembali menjadi Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4220), yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2002, selanjutnya disebut Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 (UU No. 19 Tahun 2002), dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Negara RI Nomor 28 Tahun 2014 (UU No. 28 tahun 2014) yang disahkan pada tanggal 16 Oktober 2014 (Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5599). Kata “hak cipta” merupakan kata

majemuk yang terdiri dari dua suku kata, yaitu “hak” dan “cipta”. Kata “hak”

berarti “kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang

-Undang”.

Sedangkan kata “cipta” menyangkut daya kesanggupan batin (pikiran)

untuk mengadakan sesuatu yang baru, terutama di lapangan kesenian.41 Istilah Hak Cipta merupakan pengganti Auteursrechts atau Copyrights yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, istilah Auteursrechts sendiri disadur dari istilah

(7)

bahasa Belanda yang mempunyai arti hak pengarang. Secara yuridis, istilah Hak Cipta telah dipergunakan dalam Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1982 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Bab I, Ketentuan Umum, tentang Hak Cipta memberikan pengertian bahwa:42“Hak Cipta adalah Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklatarif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan” (Pasal 1 ayat (1) UUHC). “Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi” (Pasal 1 ayat (2) UUHC). “Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata” (Pasal 1 ayat (3) UUHC). “Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak

dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah” (Pasal 1 ayat (4) UUHC).

Potret adalah karya fotografi dengan objek manusia” (Pasal 1 ayat (10)

UUHC).“Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu” (Pasal 1 ayat (20) UUHC).

(8)

Landasan filosofi HKI dimulai sejak dikemukakannya ide penghargaan bagi pencipta atau penemu atas kreasi intelektual mereka yang berguna bagi masyarakat dalam politik Aristotie pada masa abad ke-4 SM.143

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau yang disebut Intellectual Property

Rights (IPR) telah menjadi materi perhatian yang sangat penting. Karya-karya

intelektual memang member kontribusi yang besar bagi kemajuan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, sehingga para inventor dan kreator patut mendapat penghargaan melalui hak intelektualnya. Kemudian, perlunya perlindungan HKI tidak lagi sebatas kehendak individu pemilik HKI itu,tetapi sudah terkait dengan kepentingan negara. HKI ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, yang pada akhirnya berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat.

Selama bertahun-tahun, para ahli ekonomi telah mencoba untuk memberikan penjelasan mengenai mengapa sebagian perekonomian negara berkembang dengan pesat sedangkan sebagian lagi tidak. Secara umum, disepakati bahwa ilmu pengetahuan dan invensi memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi saat ini. Banyak negara di dunia ini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat karena keberhasilannya memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemudian mampu menggelorakan industri kreatif.44

43

Anthony D. Amato and Doris Estetle Long, International Intellectual Property Anthology, Anderson Publishing, Cincinnati, 1996, hlm 25-26

44 Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta Dan Lembaga Manajemen

(9)

Hak Cipta diundangkan sejak zaman Belanda yaitu melalui Auters Wet Tahun 1912 Staatsblad No.600, pada mulanya merupakan perlindungan hukum yang diberikan pada seorang pengarang.45

Pengaturan hukum nasional mengenai Hak Cipta sebagai berikut: a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982;

b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987; c. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997; d. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002; dan e. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014.

Pengaturan hukum internasional mengenai hak cipta antara lain: 1) Konvensi Bern 1886;

2) Konvensi Hak Cipta Universal 1955; 3) Konvensi Roma 1961;

4) Konvensi Jenewa 1971; 5) Konvensi Brussel 1974;

6) Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) yang dikaitkan dengan TRIPs 1994;

7) WIPO Copyright Treaty (WCT) Tahun 1996 diratifikasi Indonesia dengan

Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) Tahun 1996,

diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2004.46 World

45

(10)

Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan pengertian tentang Hak

Cipta sebagai berikut: “Hak Cipta adalah terminologi hukum yang menggambarkan hakhak yang diberikan pada pencipta untuk karya-karya mereka

dalam bidang seni dan sastra.”

Pasal 1 Austersweet 1912 menyebutkan:

“Hak Cipta adalah hak tunggal daripada pencipta, atau hak dari yang

mendapatkan hak tersebut atas hasil ciptaanya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan undang-undang.”

Pasal V Universal Copyright Convention menyatakan: “Hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.” Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta pengertian hak cipta dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

“Hak Cipta adalah Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis

berdasarkan prinsip deklatarif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

– undangan.”

Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di atas, maka hak cipta dapat didefinisikan sebagai suatu hak monopoli untuk memperbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta

(11)

lainnya yang dalam implementasinya memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, ciptaan yang dilindungi itu terdiri dari:

a. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lainnya;

c. Alat peraga yang digunakan untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d. Lagu dan/ atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama , drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,

kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; g. Karya seni terapan;

h. Karya arsitektur; i. Peta;

j. Karya seni batik atau seni motif lain; k. Karya fotografi;

l. Potret;

m. Karya sinematografi.

(12)

o. Terjemahan, adaptasi, arnsemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

p. Kompilasi ciptaan atau data,baik dalam format yang dapat dibaca dengan program computer maupun media lainnya;

q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

r. Permainan video; dan s. Program computer.

Di samping ciptaan di atas yang dilindungi ada lagi beberapa ciptaan yang dipegang oleh negara, sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1, 2, 3 dan 4), Undang–undang Hak Cipta yang menyatakan:

a. Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara;

b. Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekpresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

c. Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(13)

Hasil Karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi : a. Hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;

b. Setiap ide, prosedur, system, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah ciptaan; dan

c. Alat, benda, atau produk yang ciptaan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.

(14)

atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak ciptaan tersebut pertama kali dilakukan pengumuman, dan Hak Cipta atas Ciptaan yang dilaksanakan oleh pihak yang melakukan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dilakukan pengumuman,

Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, jadi tidak ada keharusan bagi pencipta untuk mendaftarkan Ciptaannya, namun apabila terjadi sengketa di Pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar, hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian yang nyata.

F. Jenis-Jenis Ulos

Ulos Batak di kenal sebagai jati diri orang Batak sesuai dengan Budaya

dan Adatnya. Suku Batak sering menyebut dirinya sebagai “Bangso” Batak. Hal

tersebut sesuai dengan sejarah yang melekat pada suku tersebut. Dahulu suku Batak sudah memiliki Kerajaan sendiri, hal tersebut di tandai dengan eksitensinya

sebaga suku yang telah “Mardebata Mulajadi Nabolon” (pencipta yang maha

(15)

Ulos Batak di anggap memiliki nilai-nilai tersendiri sesuai dengan makna dan fungsinya berdasarkan ragam dan jenisnya. Keragaman ulos tersebut telah di tetapkan masing-masing sesuai dengan makna dan tujuan pemberiannya.47

Salah satu hasil karya seni masyarakat etnis Batak Toba adalah “Ulos”.

Hasil karya yang penuh dengan nilai-nilai estetika dan sekaligus sebagai bagian dari hakekat dan keberadaan masyarakat suku itu sendiri. Sebagai sebuah hasil karya yang telah memiliki makna yang tinggi, ulos telah menjadi bagian dari sebuah identitas yang memiliki nilai kultur yang tinggi serta mengandung makna ekonomi dan juga makna sosial. Oleh karena itu peredaran ulos ini tidak akan berjalan dengan sembarangan tanpa mempedomani makna dan nilai yang telah ditetapkan berdasarkan aturan dan norma-norma adat yang telah disepakati.

Artinya “Ulos” sesuai dengan jenis dan maknanya akan di berikan dan di terima

oleh orang yang telah tepat berdasarkan norma dan aturan-aturan yang telah ada

dengan mempedomani Falsafah adat Batak “Dalihan Natolu”.48

(16)

1. Ulos Antak-Antak

Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).

2. Ulos Bintang Maratur

Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba yakni:

(17)

keberhasilan tersebut dianggap sebagai suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang disertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan.

Orang batak yang tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada kalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.

Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang.

3. Ulos Bolean

(18)

4. Ulos Mangiring

Ulos ini dipakai sebagai selendang, tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai Simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak diiringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai Parompa (alat gendong) untuk anak.

5. Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu

(19)

6. Ulos Pinuncaan

Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos. Kegunaannya antara lain:

a. Di pakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ di sandang oleh Raja-Raja Adat.

b. Di pakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).

c. Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari golongan hula-hula), ulos ini juga di pakai/ di lilit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).

(20)

ke dua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.

7. Ulos Ragi Hotang

Ulos ini di berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya di persunting atau diperistri oleh laki-laki yang telah di sebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini selalu di sertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.

9. Ulos Ragi Huting

(21)

Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hoba-hoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang ber-adat.

10.Ulos Sibolang Rasta Pamontari

(22)

11.Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar

Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan di pakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan).

12.Ulos Sitolu Tuho

(23)

13.Ulos Suri-suri Ganjang

Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hula-hula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe (berkat).

14.Ulos Simarinjam sisi

(24)

Panjoloani (mendahului di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.

15.Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan

Pada zaman dahulu di pakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan keluarga kaya, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan di saput (di selimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya yang di sebut Ragi Pakko karena memang warnanya hitam seperti Pakko.

16.Ulos Tumtuman

(25)

16. Ulos Tutur-Tutur.

Ulos ini dipakai sebagai tali-tali (ikat kepala) dan sebagai Hande-hande (selendang) yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya

G. Ulos Batak sebagai Bagian dari Pengetahuan Tradisional

Ulos diyakini ada sejak orang Batak ada dan kemudian terus mengalami perkembangan. Namun asal-usul ulos juga mempunyai legenda tersendiri bagi orang Batak, seperti yang terangkum dalam buku Lembaga Adat Dalihan Natolu yang mengisahkan sebagai berikut: sejarah Batak, ketika itu masih generasinya Tuan Sori Mangaraja hiduplah satu keluarga suami istri, yang laki-laki bernama Si Raja Purbalanig Guru Satia Bulan, dan yang perempuan namanya si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan. Setelah sekian lama berkeluarga, Si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan kemudian mengandung dan setelah tiba waktunya diapun melahirkan.

(26)

diapun melahirkan tetapi yang dilahirkan bukan juga seorang bayi melainkan seperangkat alat-alat untuk bertenun.

Walaupun demikian bagi si suami yaitu SiRaja Purbalaning Guru Satia Bulan tidak begitu kecewa dan bersedih meskipun istrinya melahirkan pustahai dan alat-alat tenun, karena peristiwa itu sebelumnya telah diketahui melalui mimpi. Untuk yang ketiga kalinya kemudian Si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan mengandung. Setelah tiba waktunya, Si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan melahirkan bayi yang marporhas (kembar) yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Laki-laki diberi nama Si Aji Donda Hatautan, dan yang perempuan diberi nama Si Boru Sopak Panaluan. Kedua anak itu tumbuh menjadi besar dan menjadi anak yang patuh dan rajin dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Si Aji Donda Hatautan sangat pandai dalam melakukan pekerjaan Hadatuon sesuai dengan pustahayang dilahirkan ibunya sedangkan Si Boru Sopak Panaluan menjadi sangat pintar bertenun dengan menggunakan alat-alat tenun yang telah dilahirkan ibunya sebelum dia dilahirkan. (Diterjemahkan oleh penulis). Adapun sejarah ulos lainnya berawal dari kisah Si Raja Batak, Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII adalah salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si RajaBuntal adalah generasi ke-20.

(27)

tradisional telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang sangat banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu, di tingkat internasional pengetahuan tradisional ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk memberikan perlindungan hukum. Istilah pengetahuan tradisional adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit sosial. Pengetahuan tradisional mulai berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaharuan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keragaman hayati

(intellectual property).50

World Intellectual Property Organization (WIPO) menggunakan istilah

pengetahuan tradisional untuk menunjuk pada kesusasteraan berbasis tradisi, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan, dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi lainnya yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah, kesusasteraan atau artistik. Gagasan "berbasis tradisi" menunjuk pada sistem pengetahuan, kreasi, inovasi dan ekspresi kultural yang umumnya telah disampaikan dari generasi ke generasi, umumnya dianggap berkaitan dengan masyarakat tertentu atau wilayahnya, umumnya telah

(28)

dikembangkan secara non sistematis, dan terus menerus sebagai respon pada lingkungan yang sedang berubah.51

Lingkup pengetahuan tradisional mencakup pengetahuan, pertanian, pengetahuan ilmiah, pengetahuan teknis, pengetahuan ekologis, pengetahuan medis (termasuk obat-obatan dan tindakan medis yang terkait), pengetahuan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, ekspresi cerita rakyat dalam bentuk musik, tarian, nyanyian, kerajinan tangan, nama-nama, indikasi geografis, dan simbol-simbol, serta benda-benda budaya yang dapat bergerak. Tidak termasuk dalam lingkup pengetahuan tradisional adalah item-item yang tidak disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri ilmiah/pengetahuan, kesusastraan atau bidang artistik seperti fosil manusia, bahasa secara umum.

Lingkup pengetahuan tradisional terdiri dari informasi pada penggunaan biologi dan bahan-bahan lainnya bagi pengobatan medis dan pertanian, proses produksi, desain, literatur, musik, upacara adat, dan teknik-teknik lainnya serta seni. Termasuk di dalamnya informasi tentang fungsi dan karakter estetika yang proses dan produknya dapat digunakan pada pertanian dan industri, seperti nilai budaya yang tidak berwujud.52

H. Pengaturan Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Motif Ulos Batak

Hukum Hak Cipta bertujuan melindungi ciptaan-ciptaan para Pencipta yang dapat terdiri dari pengarang, artis, musisi, dramawan, pemahat, programmer

51

Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTFK/IC/3/9,20, hlm. 11, diakses tanggal 2 Desember 2015.

52

(29)

computer dan sebagainya. Hak-hak para Pencipta ini perlu ilindungi dari perbuatan orang lain yang tanpa izin mengumumkan atau memperbanyak karya cipta Pencipta. Pada dasarnya, Hak Cipta adalah sejenis kepemilikan pribadi atas suatu Ciptaan yang berupa perwujudan dari suatu ide pencipta sebuah buku, Anda hanya membeli hak untuk menyimpan dan meminjamkan buku tersebut sesuai keinginan Anda. Buku tersebut wujud benda berupa buku. Namun, ketika Anda membeli buku ini, Anda tidak membeli Hak Cipta.53

Kreasi seni sebagaimana ketentuan pengaturan hak cipta. Pengaturan saat ini mengenai hak cipta adalah UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Yang dimaksudkan Hak Cipta adalah Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklatarif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan (Pasal 1 butir 1 UU No. 28 Tahun 2014). Hak ini memberikan perlindungan khusus kepada pencipta atas karyanya (ciptaanya) dalam lapangan ilmu, seni, dan sastera. Perlindungan hak cipta timbul bukan karena pendaftarannya melainkan karena pengumuman pertama kali. Dinyatakan pula bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 1). Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi

53

(30)

pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.

Pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.

Prinsip-prinsip Hak cipta meliputi: 1) yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli, 2) hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis), 3) suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta, 4) hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan, 5) hak cipta bukan hak mutlak.54

Ciptaan ialah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. (Pasal 1 butir 2 UU No. 28 Tahun 2014)

Adapun ciptaan yang dilindungi meliputi (Pasal 40) ;

1. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

2. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lainnya;

(31)

3. Alat peraga yang digunakan untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

4. Lagu dan/ atau musik dengan atau tanpa teks;

5. Drama , drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; 6. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,

kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; 7. Karya seni terapan;

8. Karya arsitektur; 9. Peta;

10.Karya seni batik atau seni motif lain; 11.Karya fotografi;

12.Potret;

13.Karya sinematografi.

14.Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

15.Terjemahan, adaptasi, arnsemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

16.Kompilasi ciptaan atau data,baik dalam format yang dapat dibaca dengan program computer maupun media lainnya;

17.Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

(32)

Untuk menentukan kepemilikan hak cipta penting pengertian mengenai pencipta. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara sendiri sendiri atau bersama-sama mengasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.

Pengertian tersebut sebagai orang pertama yang mencipta suatu ciptaan yang memiliki hak pencipta/hak cipta, sebagai pencipta pertama. Penjelasan siapa yang menjadi pencipta pertama sebagai berikut:55

1. Seorang individu dapat secara mandiri menjadi pencipta pertama suatu ciptaan dengan cara menciptakan suatu ide dan mewujudkannya secara materiil. 2. Seorang majikan dapat menyuruh pegawainya yang bekerja penuh padanya

untuk membuat suatu ciptaan berdasarkan perintah kerja, dalam hal yang demikian si majikan adalah pencipta pertama yang diperintahkan kepada pekerjanya.

3. Dua atau lebih orang atau badan hukum/usaha dapat menjadi pencipta bersama dari suatu ciptaan pertama. Dalam UU Hak Cipta penguraian mengenai pencipta ditentukan dalam Pasal 31 s.d. Pasal 37. Kreasi seni juga dapat dilihat sebagai bagian dari pengetahuan tradisional. Upaya-upaya yang perlu dilakukan di Indonesia untuk pengaturan perlindungan pengetahuan tradisional. Posisi Indonesia mengenai masalah perlindungan dan pemanfaatan Pengetahuan Tradisional sampai dengan saat ini belum tegas. Indonesia hanya mengaturnya secara umum di dalam Pasal 38 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai berikut:

a. Hak cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

55

(33)

b. Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisonal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Di dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) tidak ada keterangan mengenai apa yang dimaksud dengan ekspresi budaya internasional. Sementara itu, di dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) hanya disebutkan bahwa tujuan ketentuan ini adalah untuk mencegah tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan dimaksud. Dengan melihat penjelasan tersebut, artinya Indonesia bahkan belum memiliki definisi yang diterima secara umum mengenai Pengetahuan Tradisional, atau paling tidak suatu pemahaman bersama mengenai jenis kekayaan intelektual tersebut. Sebagaimana diketahui, dalam hukum Indonesia tidak mungkin mengatur sesuatu jika sesuatu itu sendiri belum jelas bentuknya. Terlepas dari siapa yang menciptakan, sebenarnya HKI juga sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan beberapa alasan.

Pertama, adalah logis jika seseorang atau sekelompok orang yang menciptakan sesuatu yang bermanfaat dihargai baik secara moral maupun finansial karena mungkin telah mengeluarkan tenaga dan biaya yang sangat besar (bahkan tidak jarang dalam proses penemuan sesuatu, seseorang memepertaruhkan hidupnya seperti yang dilakukan oleh Wright bersaudara saat menguji penemuan mereka, yaitu pesawat terbang bermesin pertama di dunia).

Kedua, HKI mendorong berkembangnya budaya sportif dan kreatif karena menghargai karya orang lain.56

(34)

Ketiga, HKI dapat mendorong rasa kebanggaan terhadap diri seseorang atau suatu masyarakat, bahkan bangsa, yang akan mendorong semangat untuk meningkatkan kualitas dari ciptaan yang mereka hasilkan. Sebagai contoh, Indonesia tentu merasa bangga sebagai bangsa Indonesia jika misalnya kain Ulos digunakan di berbagai negara, walaupun Indonesia sendiri bukan bagian dari suku Batak. Keempat, berkaitan dengan Pengetahuan Tradisional dan Folklor, sistem HKI dapat mencegah pemanfaatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai komersial dari masyarakat pemilik HKI dimaksud, misalnya nilai-nilai kepercayaan atau tradisi. Kelima, HKI dapat mencegah terjadinya kesenjangan kesejahteraan antara pemilik Pengetahuan Tradisional dan Folklor dengan pihak-pihak yang memperoleh keuntungan sangat besar karena memanfaatkan kekayaan intelektual dimaksud. Di masa mendatanag, kesenjangan tersebut akan dapat memancing timbulnya provokasi dan konflik sosial antar anggota masyarakat.

Penguatan perlindungan atas seni batik Indonesia melalui Hak Cipta sudah mulai digalakkan. Hal ini berawal dari kasus pembajakan oleh Malaysia. Pemerintah Indonesia bereaksi dengan mendata berbagai corak batik khas Indonesia lalu mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di Medan. Kini, puluhan corak batik asal Indonesia telah “diamankan” melalui perlindungan Hak Cipta, termasuk ulos asal Batak Toba.

1. Milik bersama

(35)

rawan perdebatan. Alhasil, ulos, jika tampil murni sebagai karya tradisional tanpa

“sentuhan baru” dari individu yang masih hidup, juga adalah kekayaan tradisional

yang sudah jadi milik bersama. Inilah yang membuat perlindungan Hak Cipta yang kini berlaku bisa saja bicara, tetapi tidak banyak.

2. Hak Moral

Hak Cipta juga meliputi Hak Moral. Hak Moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si Pencipta. Hak Moral tercantum dalam Konvensi Bern dengan Malaysia dan Indonesia terikat di dalamnya. Hak Moral bukan hak ekonomi, tetapi ada untuk melindungi integritas ciptaan serta hak pencipta untuk tetap dicantumkan namanya, sekalipun ia sudah tidak lagi memiliki hak untuk menerima keuntungan ekonomi dari ciptaannya. Menurut Komen dan Verkade menyatakan bahwa hak moral yang dimiliki sorang pencipta itu meliputi:

a. Larangan mengadakan perubahan dalam ciptaan. b. Larangan mengubah judul.

c. Larangan mengubah penentuan pencipta. d. Hak untuk mengadakan perubahan. 3. Hak atas Indikasi Asal

(36)

Protection of Industrial Property of 1883). Perjanjian Paris melarang setiap

barang beredar dengan menggunakan Indikasi Asal yang salah atau menyesatkan. Dalam hukum nasional Indonesia, Indikasi Asal sebetulnya juga telah diatur. Sayangnya, pengaturannya hanya merupakan bagian kecil dari UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Itu membuat penafsiran umum yang sempit di kalangan pakar hukum nasional, jika ada pembicaraan soal Indikasi Asal, pasti yang

dibicarakan “hanyalah” sejenis merek dagang seperti Nike, Channel atau Prada.

Indikasi Asal diartikan sebagai bagian dari Indikasi Geografis dalam arti luas, hanya saja belum didaftar, sejarah dan akar budaya setempat, termasuk tradisi pembuatannya, justru adalah salah satu syarat utama perlindungan, di samping faktor alamiah lainnya.

(37)

D. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hak Cipta Atas Ulos Batak Menurut

Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014

Pelanggaran hak cipta timbul jika ada pihak lain yang melaksanakan apa yang menjadi hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta secara tanpa izin. Selain itu secara a contrario juga bisa dianggap ada pelanggaran jika pihak lain melanggar norma pembatasan (limitation) atau pengguna wajar (fair dealing). Pada dasarnya pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan menjadi pelanggaran langsung (direct infringement), pelanggaran atas dasar kewenangan (authorization

of infringements) dan pelanggaran tidak langsung (indirect infringement).

(38)

Kadang timbul kerancuan antara pelanggaran dan pelanggaran tidak langsung Suatu pelanggaran terhadap sebuah karya ciptaan terjadi apabila:57

1. Terjadi pengeksploitasian (pengumuman, penggandaan dan pengedaran) untuk kepentingan komersial sebuah karya cipta tanpa terlebih dahulu meminta izin atau mendapatkan lisensi dari penciptanya/ atau ahli warisnya. Termasuk di dalamnya tindakan penjiplakan.

2. Peniadaan nama pencipta pada ciptaannya.

3. Penggantian atau perubahan nama pencipta pada ciptaannya yang dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak ciptanya.

4. Penggantian atau perubahan judul sebuah ciptaan tanpa persetujuan dari penciptanya atau ahli warisnya.

Pelanggaran terhadap suatu hasil ciptaan selain dilakukan oleh orang perorangan, dalam kenyataannya banyak dilakukan pula oleh korporasi (corporate) atau badan hukum. Pertanggungjawaban pidana terhadap suatu korporasi yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar hak cipta seseorang atau badan hukum dapat dikenakan kepada badan hukum yang bersangkutan, dalam hal ini adalah pengurus dari badan hukum tersebut sesuai dengan pertanggung-jawabannya menurut AD/ART dari badan hukum tersebut.58

Undang-undang Hak Cipta juga telah menyediakan dua sarana hukum, yang dapat dipergunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui sarana instrumen hukum pidana dan hukum perdata, bahkan dalam

57

http://iroelshareblog.blogspot.co.id/2015/05/makalah-pelanggaran-hak-cipta.html, (diakses tanggal 1 Desember 2015)

(39)

Undang-undang Hak Cipta, penyelesaian sengketa di bidang hak cipta dapat dilakukan di luar pengadilan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dalam Pasal 106 Undang-undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014

dinyatakan bahwa: “hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 95, Pasal 96, 98, 99 dan Pasal 100 tidak mengurangi hak negara untuk

melakukan tuntutan terhadap pelanggaran hak cipta”.

Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau melanggar perjanjian. Berkaitan dengan perlindungan motif ulos batak ini, hak cipta melindungi motif ulos batak atau pemegang hak cipta atas motif tersebut dari pengumuman atau perbanyakan ciptaannya oleh pihak lain tanpa seizin pemegang hak cipta. (Pasal 1 butir 11 dan 12 UUHC). Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yaitu:

a. Merugikan pencipta,/pemegang hak cipta, misalnya memfotokopi sebagian atau seluruhnya ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada masyarakat luas.

b. Merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan.

(40)

Pasal 112 UU No.28 Tahun 2014 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang yang dibagi tiga kelompok, yaitu:

1. Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum.

2. Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta.

3. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.

Bentuk pelanggaran terhadap hak cipta pada dasarnya berkisar pada dua hal pokok:

(41)

2. Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum sesuatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta.59

E. Kendala-Kendala Perlindungan Hukum terhadap Motif Ulos Batak

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibe dakan menjadi dua, yaitu

1. Perlindungan hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan kepada pelaku usaha dalam melakukan kewajibannya.

2. Perlindungan hukum Reprensif

Perlindungan hukum reprensif merupakan perlindungan akhir berupa tanggung jawab perusahaan, denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau pelaku usaha melakukan pelanggaran.

Beberapa kendala dalam perlindungan hukum terhadap motif ulos batak, antara lain:60

1. Belum pesatnya perkembangan penciptaan terhadap motif-motif

59

Muhammad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Kekayaan Intelektual (sejarah, teori dan prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 94

(42)

Belum pesatnya perkembangan penciptaan terhadap motif-motif ulos batak baru ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan pengrajin partenunan ulos batak mengenai bahan, jenis pewarnaan, dan motif-motif yang berkembang dewasa ini, masih banyak para pengrajin yang mengunakan metode-Metode pembuatan dengan cara lama sehingga memperlambat perkembangan dari ragam motif yang dibuat.

2. Tidak adanya perhatian yang serius dari aparatur pemerintahan yang terkait mengenai pendaftaran hak cipta atas motif ulos batak

Ketidaktahuan mengenai Undang Undang Hak Cipta, jenis ciptaan yang dilindungi, dan perlindungan atas hak cipta tersebut, maka mengharapkan sikap pro-aktif dari pemerintah dalam hal pendaftaran hak cipta atas motif Ulos Batak. Budaya itu adalah milik masyarakat setempat, dan tak diketahui siapa penciptanya, inisiatif untuk mendaftar hak cipta dapat dilakukan oleh pemerintah daerah maupun DPRD setempat. Selain itu bukan hanya mengenai pendaftaran terhadap motif ulos batak saja, akan tetapi juga mengharapkan sikap pro-aktif pemerintah mengenai sosialisasi terhadap Undang Undang Hak Cipta.

F. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dalam Melindungi Ulos Batak Tradisional

(43)

agar sesuai dengan perkembangan, Lebih meningkatkan mutu, menyesuaikan jenis dan motif ulos batak agar sesuai dengan perkembangan61

1. Memperkuat Kelembagaan Hak Cipta

Kemampuan politik sebenarnya sudah ditunjukkan pemeritah dalam menyusun dan menyempurnakan UU Hak Cipta dari waktu ke waktu. Seperti pendapat para ahli, produk hukum (baca: undang-undang) adalah produk politik. Artinya, dibuat dalam suatu proses politik oleh lembaga politik dan diputuskan dengan mekanisme pengambilan keputusan politik. Dalam hal ini konstelasi politik sangat mewarnai proses kelahiran undang-undang, substansi dan arah implementasinya.

Berkenaan dengan kerangka sistem hukum, kelengkapan peraturan perundang-undangan saja dirasa tidak cukup menjamin adanya perlindungan hak.

Political will ditataran proses legislasi harus juga diikuti dengan komitmen untuk

mewujudkan enforcement yang efektif. Untuk itu, perlu pula memperkuat kelembagaan yang terkait dengan pelaksanaan UU Hak Cipta. Memperkuat kelembagaan pada dasarnya tidak terbatas pada aspekadministrasi yang terkait dengan pendaftaran ciptaan. Pendaftaran ciptaan sesungguhnya memiliki korelasi dengan hak atribusi karena akan mengukuhkan nama pencipta dalam ciptaannya. UU Hak Cipta bahkan menyatakan pembatalan pendaftaran harus ditempuh melalui pengadilan. Secara tidak langsung, ketentuan ini menunjukkan betapa kuatnya pengakuan dan perlindungan Hak Moral pencipta. Adagium hukum pun tidak berlaku dalam pembatalan Hak Cipta ini.

(44)

Dalam skala sistem perlindungan Hak Cipta, diperlukan pula kelembagaan yang kuat dan terpadu untuk dapat mengartikulasikan peran Hak Cipta sebagai salah satu engine of economic development. Ini berarti, tidak hanya menyangkut kelembagaan Ditjen HKI, tetapi juga kementrian atau lembaga dengan portofolio industri, perdagangan, penyiaran, dan pendidikan dan kebudayaan. Lembaga-lembaga tadi merupakan sebagian dari simpul-simpul produksi dan diseminasi karya seni, ilmu pengetahuan, maupun pelaku penggunaan ciptaan untuk kegiatan hiburan dan edukasi. Mereka juga harus dilibatkan dalam misi memfasilitasi perlindungan Hak Cipta, khususnya Hak Moral. Ini berarti harus diarahkan untuk mencegah dan turut mengeliminasi bibit-bibit pelanggaran Hak Mora, baik yang terkait dengan status kepemilikan ciptaan, maupun penggunaan atau pengelolaannya, penguatan kelembagaan seharusnya tidak terbatas pada struktur formal lembaga negara tetapi juga perguruan tinggi, LSM dan organisasi-organisasi di bidang Hak Cipta seperti ASIRI, ASIREVI, IKAPI, WAMI, dan YKCI. Yang tak kalah pentingnya adalah lembaga para pengacara dan praktisi hukum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan mendorong terwujudnya etika moral untuk menghormati dan menghargai Hak Cipta, termasuk khususnya Hak Moral pencipta.

2. Sosialisasi dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat a. Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hukum

(45)

kalangan asosiasi dan lembaga-lembaga resmi luar negeri telah pula secara optimal dimanfaatkan. Demikian pula bantuan dari negara-negara asing. Hasilnya memang telah mulai tampak. Setidaknya, pemahaman dan kesadaran masyarakat telah mulai tumbuh meski lebih pada dimensi Hak Ekonomi dan belum pada apresiasi terhadap Hak Moral.

Dari segi perlindungan Hak Moral, kurangnya pemahaman tampak dari sikap dan perilaku yang cenderung mengabaikan hak-hak orang lain. Hal itu menjadi faktor dan penyebab utama terjadinya pelanggaran tanpa ada yang menindak atau mengingatkan. Dikhawatirkan, jika sikap permisif seperti itu berlanjut, akan timbul anomalia budaya yang berbahaya bagi etika dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain secara umum. Selain peningkatan pemahaman aparat kejaksaan, kepolisian, serta jajaran hakim di berbagai tingkat peradilan, diperlukan pula upaya peningkatan kesadaran hukum masyarakat melalui sosialisasi yang sistematis dan terjadwal.

b. Mengintensifkan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat

(46)

Hak Moral sama maknanya dengan mematikan secara perlahan lahan eksistensi Hak Moral, yang juga penting untuk dihormati, dihargai, dan dilindungi.

Pemikiran dan upaya mengintensifkan kesadaran hukum masyarakat dilatarbelakangi fakta masih lemahnya, tingkat kesadaran hukum dan budaya hukum masyaraka. Sikap acuh dan bahkan apatis menjadi fenomena respons masyarakat atas upaya penanggulangan pelanggaran Hak Cipta. Maraknya pelanggaran Hak Cipta dari waktu ke waktu dan ketidakmampuan aparat mengatasinya, menjadikan masyarakat bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu. Mereka juga pesimis terhadap kampanye pemerintah melakukan perlawanan terhadap pelanggaran Hak Cipta, apalagi bila harus menambah fokus dengan isu mengatasi pelanggaran Hak Moral.

3. Penindakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Moral

(47)
(48)

C. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Bentuk-bentuk pelanggaran Hak Cipta atas Ulos Batak menurut Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014. Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau melanggar perjanjian

3. Kendala-kendala Perlindungan Hukum terhadap Motif Ulos Batak, antara lain belum pesatnya perkembangan penciptaan terhadap motif-motif, tidak adanya perhatian yang serius dari aparatur pemerintahan yang terkait mengenai pendaftaran hak cipta atas motif ulos batak

(49)

D. Saran

Sehubungan dengan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan penulis, maka beberapa rekomendasi yang dapat dikemukakan adalah

1. Kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal HKI, Kementerian Hukum dan HAM RI, agar lebih mensosialisasikan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014, karena Ulos Batak adalah budaya tradisional masyarakat yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia didaerah, yang belum mendapatkan perlindungan hukum, Karena ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya arti pendaftaran terhadap karya ciptanya tersebut.

2. Sebagai benda hasil karya seni, ulos Batak dalam batas-batas tertentu apabila ditinjau dan konteks historis, ulos Batak dapat dikatakan sebagai kesenian sekuler diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin seni dan desain kerajinan sebagai bagian dan budaya masyarakat Batak.

(50)

A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Secara historis, peraturan yang mengatur HKI di Indonesia, telah ada sejak Tahun 1840-an. Pada Tahun 1885, UU Merek mulai diberlakukan oleh pemerintah kolonial di Indonesia dan disusul dengan diberlakukannya UU Paten pada Tahun 1910.Dua tahun kemudian, UU Hak Cipta (Auteurswet 1912) juga diberlakukan di Indonesia. Untuk melengkapi Peraturan Perundang-undangan tersebut, pemerintah kolonial Belanda di Indonesia memutuskan untuk menjadi anggota Konvensi Paris pada tahun 1888 dan disusul dengan menjadi anggota Konvensi Berne pada tahun 1914.

Pada jaman pendudukan Jepang, peraturan di bidang HKI tersebut tetap diberlakukan.Kebijakan pemberlakuan peraturan HKI produk Kolonial ini tetap dipertahankan saat Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, kecuali Undang-Undang Paten (Octrooiwet). Adapun alasan tidak diberlakukannya Undang-Undang tersebut adalah karena salah satu Pasalnya bertentangan dengan Kedaulatan RI.Di samping itu Indonesia masih memerlukan teknologi untuk pembangunan perekonomian yang masih dalam taraf perkembangan.13

Setelah Indonesia merdeka pemerintah Indonesia mengundangkan UU Merek Tahun 1961 (UU No.21 Tahun 1961), yang disusul dengan UU Hak Cipta

13

(51)

Nasional yang pertama pada tahun 1982 (UU No. 6 Tahun 1982). Setelah mengalami beberapa kali perubahan sebagai konvensi Internasional, diantaranya perjanjian TRIPs, UU HKI terkini dari ketiga cabang utama tersebut adalah UU Hak Cipta Tahun 2002 (UU No. 19 Tahun 2002), UU Paten Tahun 2001 (UU No. 14 Tahun 2001) dan UU Merek Tahun 2001 (UU No. 15 Tahun 2001). Untuk melengkapi keberadaan UU HKI, pemerintah telah membuat 4 (empat) UU HKI lainnya, yaitu UU Perlindungan Varietas Tanaman (UU No. 29 Tahun 2000), UU Rahasia Dagang (UU No. 30 Tahun 2000), UU Desain Industri (UU No. 31 Tahun 2000), dan UU Desain Tata Letak Terpadu (UU No. 32 Tahun 2000) dan sekarang UUHC telah mengalami perubahan kembali yaitu Undang Undang Hak cipta Nomor 28 Tahun 2014.14

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah bukan hal asing bagi masyarakat pada umumnya. Perkembangan HKI itu sendiri memang sudah bukan merupakan hal baru mengingat bahwa HKI mengalami indikasi perkembangan yang signifikan sebagai suatu fenomena baru yang dapat memberikan nuansa baru dalam kerangka pengaturan di bidangnya.

Perkembangan lain yang mewarnai sejarah hak milik intelektual pada akhir abad ke-19, yaitu pada Konvensi Hak Milik Perindustrian dan Konvensi Hak Cipta. Satu hal yang mendapat perhatian bersama adalah bahwa kedua konvensi ini lahir karena satu kebutuhan akan pentingnya perlindungan hak milik intelektual secara Internasional dan juga merupakan realisasi terhadap perlunya suatu peraturan yang bersifat global dan menyeluruh di bidang hak milik

14

(52)

intelektual. Namun demikian, perlindungan hukum hak cipta pertama kali dalam sejarah sebenarnya telah dimulai pada tahun 1709 oleh kerajaan Inggris. Di Inggris, perlindungan hukum terhadap hak cipta menjadi isu menarik semenjak 1476, ketika usaha-usaha di bidang penulisan dan seni tidak berkembang, dan karenanya memerlukan perlindungan hak cipta. Sementara itu, perlindungan terhadap kekayaan intelektual dibidang industri malah dimulai sejak abad ke-16,

yaitu dengan adanya pemberian paten atau “oktroi”. Saat itu, paten diberikan

sebagai perlindungan oleh raja kepada orang asing yang membawa pengetahuan dan kecakapan pembuatan barang dengan cara baru, bukan sebagai pengakuan atas hak seperti sekarang ini.15

Adapun pengaturan HKI di Indonesia berdasarkan sejarahnya yakni:16 1. Zaman Hindia Belanda

a. Octroii Wet No. 136. Staatblad 1911 No. 313

b. Industrial Eigendom Kolonien 1912 c. Auter Wet 1912 Staatblad 1912 No. 600 2. Setelah kemerdekaan

a. Pengumuman Menteri Kehakiman RI No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten.

b. UU No. 21 Tahun 1987 tentang Merek. c. UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta

15

Arif Lutviansori., Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, Cet.1, 2010, hlm.28

16Djumhana dan R. Djubaedilah IV., Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan

(53)

d. UU No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.

e. UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek menggantikan UU yang sebelumnya.

3. Tahun 1997

a. UU No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta.

b. UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.

c. UU No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.

4. Tahun 2000

a. UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang b. UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

c. UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

5. Tahun 2001

a. UU No. 14 Tahun 2001 tentang UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.

(54)

6. Tahun 2002

UU No. 19 Tahun 2002 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta

7. Tahun 2014

UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

B. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) adalah terjemahan resmi Intellectual Property Rights (IPR). Berdasarkan substansinya, HKI berhubungan erat dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya Intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. World Intellectual Property

Organization (WIPO), sebuah lembaga internasional di bawah PBB yang

menangani masalah HKI mendefinisikan HKI sebagai “Kreasi yang dihasilkan dari pikiran manusia yang meliputi: invensi, karya sastra, simbol, nama, citra dan desain yang digunakan di dalam perdagangan.

Hak Kekayaan Intelektual17 adalah suatu sistem yang saat ini melekat pada tata kehidupan modern. Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu konsep yang baru bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Namun pada ujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 tercapai kesepakatan negara-negara untuk

17 Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No.M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam surat nomor 24/M/PAN/1/2000 istilah Hak Kekayaan Intelektual (tanpa ”Atas”), telah resmi

(55)

mengangkat konsep HKI kearah kesepakatan bersama dalam wujud Agreement

Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement).18

Defenisi yang bersifat lebih umum dikemukakan oleh Jill Mc Keough dan

Andrew Stewart mendefenisikan HKI sebagai “Sekumpulan hak yang diberikan

oleh hukum untuk melindungi investasi ekonomi dari usaha-usaha yang kreatif”. Defenisi HKI yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh United Nations

Conference On Trade And Development (UNCTAD) International Centre for

Trade and Sustainable Development (ICTSD). Menurut kedua lembaga tersebut,

HKI merupakan “Hasil-hasil usaha manusia kreatif yang dilindungi oleh

hukum.”19

HKI sulit untuk didefinisikan, karena memang jika dilihat dari semua referensi dan catatan-catatan yang berkaitan dengan asal-usul kata ”Intellectual” (Intelektual) yang ditempelkan pada kata ”Property Rights” (Hak Kekayaan) akan sangat sulit kita temui tulisan yang membahas tentang asal-usul kata HKI.

immaterial atau benda tidak berwujud. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan

sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis.

(56)

sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika, karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis.22 Hak Kekayaan Intelektual juga dapat didefinisikan dengan kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia baik berupa karya dibidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.23

Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tidak semua orang dapat menghasilkan Intellectual Property Rights (IPR). Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya secara maksimal yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai Intellectual Property Rights.

Kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual

Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

menjadi ”Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya lebih tepat kalau diterjemahkan

menjadi ”Hak atas Kekayaan Intelektual”.24 Alasannya adalah ”Hak Milik”

sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum.25

Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan kedalam berbagai kategori yaitu benda berwujud dan benda tidak berwujud. Jika ditelusuri lebih lanjut maka Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immaterial) karena berupa sebuah hak atas suatu objek, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

22OK. Saidin., Op. Cit., hlm.10 23

Muhamad Ahkam Subroto dan Suprapedi., Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), PT. Indeks, Jakarta, 2008, hlm.14

24OK. Saidin., Op. Cit., hlm.11 25

(57)

dimaksud dengan benda yaitu tiap-tiap barang dan hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.26

C. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual

Untuk memahami lingkup Hak Kekayaan Intelektual (HKI), perlu diketahui lebih dahulu jenis-jenis benda, yaitu benda berwujud (material) dan benda yang tidak berwujud (immaterial) seperti ditentukan dalam Pasal 503 KUHPerdata. Benda tidak berwujud ini dalam Pasal 499 KUHPerdata disebut hak. Contoh Hak adalah Hak Tagih, Hak Guna Usaha, Hak Tanggungan, Hak Kekayaan Intelektual.Baik benda berwujud maupun tidak berwujud (hak) dapat menjadi objek hak. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat menjadi objek hak, apalagi bila ikut serta dimanfaatkan oleh pihak lain melalui lisensi. Hak atas benda berwujud disebut hak absolute atas suatu benda, sedangkan hak atas benda tidak berwujud disebut hak absolute atas suatu hak.27

Pengembangan suatu doktrin dan teori akan melandaskan pada bidang yang menjadi bidang penerapannya. Artinya, seseorang yang akan melahirkan doktrin dan teori tersebut harus memperhatikan ruang lingkup di mana doktrin dan teori itu akan diterapkannya. Dengan demikian, ruang lingkup, sifat-sifat dan prinsip-prinsip HKI akan menjadi perhatian dari seseorang yang akan melahirkan suatu doktrin atau teorinya.28

26 Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 27

Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.3

28 Muhamad Djumhana. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan

(58)

Dalam perkembangan lahirnya suatu doktrin dan teori di bidang HKI tidak hanya menyangkut aspek substansi materi semata-mata, tetapi juga merambah pada aspek formalnya, baik menyangkut kelembagaannya maupun aspek acaranya. Dalam aspek kelembagaan, sekarang ini penyelesaian sengketa perdata di bidang HKI harus melalui Pengadilan Niaga. Dalam aspek formal lainnya, yaitu aspek hukum acara dalam rangka penegakan hukum sebagai cara mempertahankan hukum materiilnya, saat ini telah diperkenalkan dalam Hukum Indonesia yang disebut penetapan sementara, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang esensi pengaturannya bahwa penetapan hakim diberikan sebelum perkara masuk ke pengadilan. Mengingat hal tersebut merupakan ketentuan yang baru, perlu kiranya pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya penetapan sementara merupakan hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia, yaitu penetapan yang diberikan oleh hakim sebelum ada perkara pokok. Hal ini dibentuk untuk memenuhi standar perjanjian TRIPs Agreement.

Tujuan dari penetapan sementara adalah untuk:

a. Mencegah berlanjutnya pelanggaran hak cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar hak cipta atau hak terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi.

(59)

c. Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan untuk memberikan bukti yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas hak cipta atau hak terkait dan hak pemohon tersebut memang sedang dilanggar.29

Penetapan sementara yang telah ditentukan undang-undang sebagaimana diatur oleh undang-undang Paten, Merek dan Hak Cipta sampai sekarang belum ada yang menggunakannya karena adanya ketentuan bahwa apabila penetapan sementara nantinya dibatalkan oleh hakim, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara tersebut. Dalam rangka melindungi HKI, selain memperhatikan cakupan dari HKI itu sendiri, juga perlindungan tersebut dapat didasarkan pada hukum yang berada di luar HKI. Beberapa negara seperti Amerika Serikat telah memperkenalkan hukum Anti Monopoli yang mencoba mengisi beberapa jurang pemisah dalam kaitannya dengan perlindungan yang tidak tercakup dalam hukum HKI sehingga penghargaan dapat diberikan kepada orang-orang yang telah menanamkan modalnya untuk mendapatkan informasi atau mencipta sesuatu yang untuk alasan-alasan tertentu, tidak dilindungi berdasarkan prinsip-prinsip tradisional HKI. Kondisi seperti itu juga dilakukan di Indonesia pada saat sebelum Rahasia Dagang resmi dimasukkan dalam hukum HKI di Indonesia, dan lahir Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Rahasia Dagang telah diakui sebagai bagian dari HKI melalui ketentuan Pasal 50 b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Ketentuan pasal tersebut selengkapnya berbunyi “ Yang dikecualikan dari

29

(60)

ketentuan undang-undang ini adalah perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian

yang berkaitan dengan waralaba”Dengan pesatnya keterkaitan dan perluasan

ruang lingkup HKI, maka salah satu HKI yang berupa traditional knowledge semakin tergali dan tampak besar keterkaitannya dengan aspek dan bidang lainnya, seperti kehutanan, pertanian, kesehatan dan sosial budaya.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan HKI ini adalah terpisahnya HKI itu sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Jadi yang dilindungi adalah haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Misalnya, hak cipta dalam hal pengetahuan tradisional (berupa hak kekayaan intelektual) dan hasil materi yang menjadi bentuk jelmaannya adalah benda-benda seni dan kebudayaan-kebudayaan lainnya.

Jadi HKI berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang memiliki nilai komersial. HKI adalah kekayaan pribadi yang dapat dimiliki dan diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya. Banyak hal yang dapat dilindungi oleh HKI temasuk novel, karya seni, fotografi. musik, rekaman suara, film, piranti lunak dan piranti keras komputer, situs internet, desain untuk barang-barang yang diproduksi secara massal, mahluk hidup hasil rekayasa genetika, obat-obatan baru, rahasia dagang, pengetahuan teknik, merek.30

Meskipun demikian HKI tidak diperluas terhadap setiap situasi dimana seseorang yang melakukan usaha atau sumber daya kedalam sesuatu yang

30

Referensi

Dokumen terkait

Pembatasan tersebut tercantum dalam Pasal 28J Ayat (2) yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan

• Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya

Perlindungan hak cipta tidak diberikan kepada kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi, menunjukan keaslian

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/ atau tiga

Pasal 72 ayat (2) : Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak

Berdasrkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUHC, ditentukan bahwa jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja, maka pihak yang membuat karya cipta tersebut dianggap sebagai Pencipta dan

Upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran hak cipta di Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali ada dua upaya yaitu melalui upaya

dan penemuan-penemuan lain yang sejenis.19 Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu