• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 5. Rasio jumlah pohon kayu dan pohon buah

Berdasarkan Gambar 5 rasio perbandingan pohon berkayu dengan pohon berbuah menunjukkan jumlah pohon berkayu berada pada jumlah yang paling besar yaitu 570 pohon (85 %), sedangkan pohon berbuah berada pada jumlah yang paling kecil yaitu sebesar 103 pohon (15 %), atau perbandingan antara jumlah pohon berkayu dengan pohon berbuah adalah 1:6. Hal ini berarti pada hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok merupakan hutan rakyat yang mengutamakan kayu sebagai pemenuhan kebutuhan pasar. Sesuai dengan pendapat Suhardjito (2000) yang menyatakan bahwa kayu dari hutan rakyat, baik kayu gelondongan maupun kayu rencekan (kayu bakar) merupakan simpanan kekayaan (tabungan) yang akan dipanen bila petani sangat membutuhkan saja. Salah satu jenis pohon yang dipanen kayunya di 3 kecamatan ini adalah mahoni dan jati. kayu gelondongan biasanya digunakan sebagai bahan bangunan atau bahan baku mebel sedangkan kayu rencekan yaitu kayu yang diambil dari sisa pemanenan biasanya yang berdiameter 5-15 cm, yang digunakan sebagai kayu bakar.

Potensi Tegakan Hutan Rakyat

Taksiran potensi tegakan hutan rakyat pada setiap lahan responden dilakukan terhadap 14 KK petani hutan rakyat, dimana 5 KK masih memiliki hutan rakyat tetapi belum memanen kayunya. Taksiran volume total (potensi) hutan rakyat di 14 desa di kecamatan tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Taksiran potensi tegakan tanaman hutan rakyat pada setiap lahan responden No. Luas lahan

(Ha)

Volume total (m3) Bentuk

pengeloaan

Desa Volume kelas diameter (m³)

20cm 30cm 40cm 1 1 ha Agroforestri Mintakasih 12,2 5,6 6,1 14,1 38,0 2 2 ha Agroforestri Mintakasih 10,1 5,5 10,3 7,1 33,1 3 0.8 ha Agroforestri Turangi 4,8 14,0 5,5 0,0 24,3 4 2.5 ha Agroforestri Pernantian 0,0 0,0 0,0 9,1 9,1 5 1.5 ha Monokultur Pernantian 0,0 2,6 0,7 0,0 3,3 6 1.7 ha Campuran Pernantian 0,0 0,8 3,5 3,0 7,3 7 2 ha Campuran Sulkam 0,0 0,6 3,1 1,6 5,3 8 1 ha Agroforestri Sulkam 0,0 0,0 1,1 7,8 9,0 9 1 ha Agroforestri Sullkam 3,8 9,2 0,7 7,1 20,9 10 2 ha Campuran Sulkam 0,0 0,0 0,0 6,6 6,6 11 1.5 ha Monokultur Kendit 0,0 0,0 1,1 7,8 9,0 12 2 ha Agroforestri Kendit 0,0 0,0 4,1 6,9 11,1 13 2 ha Monokultur Kendit 0,0 0,8 3,3 7,2 11,4 14 2 ha Monokultur Kendit 4,4 10,0 1,0 6,4 21,7 Total 23 ha 32,6 49,2 40,6 84,7 209,8

Berdasarkan tabel 3 taksiran volume total (potensi) tegakan hutan rakyat yang diperoleh pada lokasi penelitian adalah sebesar 209 m3 dengan luas total mencapai 23 Ha dan potensi per hektar sebesar 14,98 m3.Total luas lahan hutan rakyat di empat desa tersebut tergolong rendah, demikian juga pada masing-masing luas lahan responden yang juga rendah. Data tersebut menunjukkan luas hutan rakyat yang masih ada atau tersisa di 14 desa. Diduga hal tersebut disebabkan sebagian besar masyarakat pemilik hutan rakyat di desa ini sudah memanen kayunya. Hasil wawancara yang telah dilakukan dengan Kepala Desa dan salah satu masyarakat/petani pemilik maupun pengelola hutan rakyat juga menunjukkan bahwa di tiga kecamatan ini sudah mulai memanen dan menjual kayu hutan rakyatnya tahun 2007-2008. Menurut Jaffar (1993), hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat/petani hutan rakyat di desa tersebut merasakan manfaatnya dalam bentuk pertambahan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan selain manfaat ekologis merehabilitasi lahan–lahan kritis yang terlantar.

Lahan milik Muhammad Bangun memiliki potensi tegakan yang besar dengan volume total 18,1 m3 dengan luas lahan 1 Ha. Golongan Tarigan memiliki potensi tegakan yang paling kecil yaitu dengan volume total 1,56 m3 dengan luas lahan 1,5 Ha. Diameter tegakan hutan rakyat berdasarkan tabel 3 diatas, dapat dibagi menjadi 4 kelas diameter. Rata-rata dari 4 kelas diameter ini dapat dikatakan bahwa tegakan hutan rakyat ini belum layak tebang/panen, karena diameternya ± 11 cm (tidak memenuhi syarat minimal industri pembeli), akan tetapi ada diameter pohon yang mencapai 47 cm tetapi hanya sebagian pohon saja.

Hasil Hutan Kayu

Kayu yang dijual oleh masyarakat pemilik hutan rakyat di 14 desa, di tiga kecamatan, di Kabupaten Langkat, biasanya melalui agen kayu terlebih dahulu. Agen kayu adalah seseorang yang pekerjaannya adalah mencari dan menyediakan kayu dari lahan-lahan petani/pemilik hutan rakyat kepada pengusaha-pengusaha kayu rakyat (pembeli kayu), baik pengusaha industri kecil maupun besar untuk keperluan sumber bahan baku bagi industri tersebut. Agen kayu di desa ini dalam hal ini adalah seorang penduduk yang berdomisili di desa tersebut.

Agen kayu memiliki keahlian dalam mencari kayu dan menaksir/menghitung berapa kira-kira volume kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan rakyat yang benar-benar layak untuk dipasarkan, dengan demikian agen kayu ini dapat memberikan keterangan/informasi kepada pengusaha kayu yang sedang mencari kayu, yaitu berapa jumlah pohon dan volume kayu yang dapat dihasilkan di pabrik/kilang kayu. Agen kayu dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari pengusaha kayu atau dengan perkataan lain agen kayu merupakan penyedia jasa bagi para pengusaha kayu yang

memang benar–benar membutuhkan jasanya. Pengusaha kayu harus membayar jasa kepada agen kayu tersebut, dan besarnya nilai/nominal jasa yang harus dibayarkan tersebut adalah tergantung kesepakatan dan negosiasi diantara mereka.

Sistem penjualan kayu jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahagoni) di empat desa yang menjadi lokasi penelitian penulis melalui sistem borongan. Sistem ini dikatakan sistem borong bila pengusaha (pembeli) melalui agen kayu datang dan berminat membeli kayu-kayu tersebut kepada pemilik kayu, kemudian agen kayu akan menaksir/memperkirakan berapa kira-kira kubikasi kayu yang dapat dihasilkan dari kayu–kayu tersebut. Pembeli kayu membeli kayu-kayu tersebut dalam keadaan pohon berdiri lalu dihitung jumlahnya dan dikalikan dengan harga per pohonnya sesuai dengan kesepakatan antara pembeli dan pemilik, kemudian transaksi pun dilakukan antara pembeli kayu dengan pemilik kayu. Cara penjualan seperti ini banyak dilakukan petani karena dianggap mudah dan praktis, sehingga tidak menyusahkan petani sekaligus pemilik hutan rakyat.

Kesepakatan harga yang sudah didapat menunjukkan bahwa pemanenan dapat dilaksanakan. Pemilik lahan di desa ini biasanya dapat menerima bersih, yang berarti pengusaha/pembeli yang mengurus semua kegiatan operasional dan mengeluarkan biaya yang diperlukan dalam kegiatan penebangan, pengangkutan, pemasaran, dan termasuk perijinan. Perijinan dalam menebang pohon, mengangkut, dan memasarkan kayu dari hutan tanah milik harus dimiliki. Perijinan yang dimaksud adalah ijin pemanfaatan kayu pada tanah milik (IPKTM).

IPKTM merupakan surat ijin atau wewenang tertulis untuk kegiatan penebangan pohon, pengumpulan, pengangkutan dan pemasaran kayu yang menjadi suatu bukti kelegalitasan kayunya, atau surat keterangan yang menyatakan sahnya

pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. IPKTM dapat diberikan pada setiap orang atau badan hukum atau koperasi yang melakukan kegiatan pemanfaatan kayu pada tanah milik yang tumbuh hasil tanaman.

Prosedur penjualan dan sekaligus perijinan (IPKTM) yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Seseorang yang memiliki kayu dan mau menjualnya harus terlebih dahulu mengurus surat keterangan tanah (SKT) dari Kepala Desa. SKT berisikan bahwa pemilik benar memiliki suatu tanah/lahan yang disertai dengan luasnya dan diatasnya ditumbuhi jenis pohon yang disertai dengan jumlahnya.

2) Kepala desa meninjau lokasi untuk mengecek kebenaran keberadaan lahan dan kayu (pohon) di lahan pemilik tersebut.

3) Setelah SKT selesai diurus dan sudah diperoleh pemilik, lalu diurus akte tanah dari camat setempat.

4) Setelah akte tanah selesai diurus, maka SKT diserahkan kepada pembeli/pengusaha, lalu pembeli mengusulkan permohonan penebangan kayu ke Dinas Kehutanan dengan menyertakan SKT, surat jual beli yang sudah ditandatangani oleh si pemilik lahan dan si pembeli dilengkapi dengan kopi KTP.

5) Petugas Dinas Kehutanan akan datang ke lokasi/lahan hutan rakyat yang bersangkutan untuk melakukan cruising (peninjauan resmi ke lokasi).

6) Setelah cruising, maka IPKTM dapat dikeluarkan lalu penebangan kayu bisa dikerjakan. Biaya yang dikenakan dalam IPKTM ini adalah sebesar Rp 100.000 per surat.

Pengusaha kayu rakyat menjual kayu dari hasil hutan rakyat ke panglong (usaha dagang kayu) maupun industri pengolahan kayu skala kecil dan menengah, (misal industri kayu gergajian, industri mebel lokal dan lain-lain).

Kayu dari hutan rakyat diolah untuk berbagai kegunaan seperti bahan pertukangan, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Harga kayu yang dijual oleh pengusaha kayu rakyat di pabrik/industri pengolahan kayu adalah Rp 180.000 per meter kubik. Industri kayu gergajian misalnya, akan mengolah kayu log menjadi kayu gergajian, kemudian kayu gergajian tersebut akan dibeli oleh industri– industri mebel lokal sebagai bahan baku.

Hasil Hutan Non kayu

Langsat (Lansium domesticum)

Petani menjual langsat langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Petani biasanya hanya mengeluarkan biaya berupa upah panjat sebesar Rp. 50.000 per orang. Biasanya tenaga kerja yang dibutuhkan 4-5 orang. Pengangkutan buah langsat ditanggung oleh pedagang pengumpul sekitar Rp. 4.000/kg.

Coklat (Theobroma cacao)

Coklat yang dijual merupakan coklat yang sudah dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menjemur di halaman rumah. Harga coklat yang dijual ke pasar sekitar Rp. 20.000/kg. Pemasaran coklat kering ada dua bagian, pertama petani yang langsung menjual ke pasar sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang pengumpul yang membeli coklat kepada petani. Pada pemasaran coklat, jika rantai pemasaran diperpendek harga jual coklat hanya naik Rp. 1000/kg.

Hasil wawancara dengan responden (pemilik atau pengelola lahan) volume maksimal dari tanaman coklat yang diperoleh petani diperoleh petani setiap kali panen maksimal 40 kg. Petani yang memasarkan sendiri akan mendapatkan hasil yang tidak terlalu jauh perbedaannya jika dibandingkan dengan menjual ke pedagang pengumpul. Resiko yang dimiliki petani cukup besar karena menjual sendiri, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk bahan mentah dan secara kuantitas juga hasilnya tidak begitu besar, sehingga kebanyakan petani memutuskan untuk menjual pada pedagang pengumpul.

Durian (Durio zibethinus)

Rantai pemasaran durian tidak terlalu rumit, sama dengan pemasaran duku. Durian yang telah jatuh kemudian dikumpulkan oleh petani pada pondok-pondok kecil di lahan tersebut. Hasil yang terkumpul kemudian dijual pada pedagang pengumpul atau ada juga yang dibeli langsung oleh konsumen. Durian dijual dengan harga Rp. 4000- per gambang. Pembeli secara langsung menyediakan alat angkut untuk membawa durian.

Kelapa (Cocos nucifera)

Harga kelapa di tingkat pengumpul rendah dibandingkan bila kelapa dijual sendiri ke pasar. Jika dijual pada pedagang harganya Rp. 3000/kg, sementara di pasar harganya mencapai Rp. 5000/ kg.

Pinang (Areca catechu)

Pemasaran pinang memiliki jalur yang sama seperti kelapa, harga pinang di tingkat pengumpul rendah dibandingkan bila pinang dijual sendiri ke pasar. Jika dijual pada pedagang harganya Rp. 3000/kg. Sementara di pasar harganya mencapai Rp. 5000/ kg.

Manggis (Garcinia mangostana)

Pemasaran manggis tidak terlalu rumit, pada setiap panen biasanya penadah (pengumpul) membeli manggis langsung ke petani per pohon, harganya tergantung dari jumlah manggis per pohon. Penadah nantinya menjual langsung ke pasar. Harga manggis yang dibeli penadah biasanya berkisar Rp. 300/buah.

Rambutan (Nephelium lappaceum)

Sistem pemasaran buah rambutan juga sama seperti pada buah manggis. Setiap panen biasanya penadah (pengumpul) membeli rambutan langsung ke petani per pohonnya, harganya tergantung dari jumlah rambutan per pohon. Penadah nantinya menjual langsung ke pasar. Harga manggis yang dibeli penadah per pohon biasanya berkisar Rp. 300.000/pohon.

Kuweni (Mangifera odorata)

Petani menjual kueni langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Petani biasanya hanya mengeluarkan biaya berupa upah panjat sebesar Rp. 70.000 per pohon. Biasanya tenaga kerja yang dibutuhkan 3-4 orang. Pengangkutan buah kueni ditanggung oleh pedagang pengumpul sekitar Rp. 4.500/kg.

Rambe (Lansium domesticum)

Petani menjual rambe langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Petani tidak mengeluarkan biaya tenaga kerja dan angkutan lagi. Biasanya petani menjual rambe per pohon dengan harga Rp. 500.000/pohon.

Sawit (Elaeis guineensis)

Petani menjual sawit langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Dengan rantai pemasaran sama dengan pemasaran langsat. Petani biasanya tidak mengeluarkan biaya berupa upah karena mereka melakukan pemungutan sendiri. Pengangkutan buah

sawit ditanggung oleh pedagang pengumpul (penadah). dengan harga berkisar rata-rata Rp.750/ kg.

Karet (Havea brassiliensis)

Hasil dari komoditas karet yang dijual berupa getah yang sudah padat atau menggumpal. Harga getah karet di pasar mencapai Rp. 7500/ kg. Pemasaran karet sama dengan pemasaran coklat, pertama petani yang langsung menjual ke pasar sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang pengumpul yang membeli getah karet kepada petani. Harga jual di pasaran adalah Rp. 8.000/kg. Resiko yang dimiliki petani cukup besar karena menjual sendiri, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk bahan mentah dan secara kuantitas juga hasilnya tidak begitu besar. Untuk model pemasaran getah karet sama dengan pemasaran coklat.

Manfaat Ekonomis yang Diperoleh dari Hutan Rakyat

Hutan rakyat sebenarnya sudah ada sejak zaman nenek moyang dahulu. Dimana hutan rakyat ini memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Banyak manfaat yang mereka rasakan atas keberadaan hutan rakyat, baik itu manfaat intangible dan tangible. Manfaat intangible adalah manfaat hutan yang tidak terwujud tetapi hanya dapat dirasakan oleh masyararakat.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat terdapat manfaat intagible dapat dirasakan masyarakat. Hutan rakyat memiliki fungsi berarti sebagai penahan erosi atau banjir, tempat penyimpanan air, longsor dan sebagai kawasan perladangan. Manfaat tangible adalah manfaat hasil hutan yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, manfaat tangible yang dapat dirasakan mawyarakat dari hutan rakyat adalah dapat menjadi tabungan untuk

masyarakat di masa depan. Karena masa panennya yang cukup lama, selain ittu sebagai sumber makanan dan tanaman obat.

Kawasan hutan rakyat Juga merupakan daerah tangkapan air yang dapat menjadi sumber mata air untuk keperluan sehari-hari, mereka tidak perlu membuat sumur hanya untuk sekedar mendapatkan air. Karena air yang mengalir dari hutan cukup berlimpah untuk dimanfaatkan bagi masyarakat hutan. Tujuan pembangunan hutan rakyat menurut Jaffar (1993) adalah:

1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari

2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat 3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku

industri serta kayu bakar

4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya

5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di 3 kecamatan (Salapian, Kutambaru dan Bahorok) terhadap 14 kepala keluarga (KK) pemilik hutan rakyat (petani hutan rakyat), ternyata pada tahun 2009 terdapat 8 KK yang sudah memanen hasil hutan rakyat dan 6 KK lagi belum memanen hasil hutan rakyat. Kontribusi penambahan pendapatan petani dari hutan rakyat (hasil hutan kayu dan non kayu) pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 820.040.000 atau menambah pendapatan masyarakat sebesar 40,74 %.

Hutan rakyat dapat memberikan manfaat ganda dan dampak yang cukup besar dalam menambah pendapatan petani baik berupa kayu maupun non kayu. Kontribusi yang diberikan hutan rakyat di desa ini di sajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga petani Hutan rakyat murni (Rp) Hutan rakyat campuran (Rp) Hutan rakyat agroforestri (Rp) Gaji/Upah (Rp) Jumlah (Rp) 190.410.000 118.870.000 24.870.000 456.000.000 820.040.000 (23,22 %) (14,49 %) (3,03 %) (55,60 %) (100 %)

Tabel 4 menunjukan bahwa hutan rakyat memiliki peringkat ke-2 setelah sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa petani belum sepenuhnya menggantungkan kehidupannya dari sektor kehutanan (hutan rakyat) khususnya dari hasil kayunya. Kontribusi dari hutan rakyat hanya sebesar 3,03 %, hal ini disebabkan karena:

Pengusahaan kayu yang murah dan relatif lama

Tanaman kehutanan memiliki umur 5-8 tahun baru bisa ditebang. Bagi pemilik lahan ketika mindi dipanen dengan sistem tebang habis, namun pada kenyataannya para petani memanen tanaman berkayu pada umur 5-6 tahun. Pada umur 5-6 tahun kayunya dijual dengan harga yang relatif murah, sehingga kontribusi yang diperoleh petani relatif kecil. Petani lebih cenderung untuk mengusahakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan seperti coklat (Theobroma cacao), langsat (Lansium domesticum), manggis (Garcinia mangostana), rambutan (Nephelium

lappaceum) karena tanaman campuran ini memiliki masa panen lebih dari dua kali

dalam setahun.

Tanaman langsat misalnya, biasanya dapat menghasilkan 2-3 kali dalam setahun, coklat 40 kali dalam setahun, dan sebagainya. Selama jangka waktu 5-8 tahun secara ekonomis sektor pertanian dapat menjadi sumbangsih yang terbesar.

Luas lahan yang semakin berkurang

Budidaya hutan rakyat yang dilakukan oleh masing-masing petani tidak dapat menjamin kelestarian hasil, dimana sistem penjualan tegakan sering dilakukan secara borongan dan penebangan sering dilakukan secara tebang habis. Hal ini salah satunya disebabkan karena kondisi ekonomi petani yang cukup rendah sehingga sering petani menjual tegakan hutan rakyat yang belum masak tebang (diameter <16 cm). Hal ini membuat kondisi luas hutan rakyat semakin cepat berkurang sehingga akhirnya kontribusi yang diberikan hutan rakyat pun semakin menurun.

Akses terhadap pasar lemah

Petani hutan rakyat biasanya menjual hasil kayunya dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem borongan. Pengusaha yang berminat membeli mendatangi lokasi hutan rakyat, kemudian melakukan inventarisasi untuk menentukan volume kayu. Sistem penjualan seperti ini banyak dilakukan oleh petani karena dianggap lebih praktis.

Harga borongan ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah volume/kubikasi, kualitas kayu, aksesibilitas, topografi, dan sebagainya yang sangat menentukan biaya penebangan. Posisi tawar petani dalam hal ini cenderung rendah karena petani menerima bersih dari hasil penjualan kayu tanpa harus mengeluarkan biaya/upah untuk penebangan. Pengusaha mempunyai kewenangan yang cukup besar sebagai penentu harga dengan adanya faktor-faktor tersebut, namun petani dimudahkan karena tidak perlu memasarkannya ke panglong/penerima.

Secara teori petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika mampu mengolah sendiri kayu tersebut karena produksi kayu dari hutan rakyat cukup besar. Hal

ini berkaitan dengan lemahnya akses pasar dimana petani tidak mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam memasarkan hasil kayunya. Hal ini terkait dengan lemahnya petani terhadap akses pasar terutama harga, terbatasnya pengusaha sebagai pembeli, serta kemudahan dan kepraktisan yang diperoleh petani dengan sistem pemasaran yang ada sehingga petani tidak bisa memasarkan kayu langsung kepada konsumen.

Hutan rakyat masih dapat menjadi sumber penghasilan yang cukup dalam menambah pendapatan petani atau dengan kata lain hutan rakyat sangat membantu dalam perekonomian petani. Hal ini didukung dengan pernyataan Jaffar (1993), yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pembangunan hutan rakyat adalah meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari dan meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

Dokumen terkait