• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Pengaturan Tanggung Jawab Direksi Dalam

BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKTUR DALAM

B. Perbandingan Pengaturan Tanggung Jawab Direksi Dalam

103

103

Robert N. Corley, Principles of Business Law, (New Jersey, USA: Prentice-Hall, Inc, 1971), h. 924.

untuk dibebankan tanggung jawab, direksi tersebut harus telah melakukan hal-hal berikut ini terhadap tindakan perusahaan, yaitu : 104

a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau

c. ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut.

Terhadap transaksi yang dilakukan atas nama dewan Direksi, dalam keadaan tertentu di Amerika Serikat, seorang direktur bahkan bertanggung jawab pribadi sungguhpun dia keberatan dan voting menolaknya.

Menurut RMBCA Section 8.24 (d), seorang direktur di presumsi menyetujui terhadap perbuatan terhadap perbuatan dewan direksi dan karenanya harus bertanggung jawab secara hukum, kecuali dia voting untuk menolaknya dan penolakannya dicatat menurut cara-cara tertentu.

Selanjutnya menurut RMBCA Section 8.30 (b dan c), kecuali jika seorang direktur mempunyai pengalaman atau expertise terhadap perbuatan tersebut, maka seorang direktur lepas dari tanggung jawab pribadi jika tindakannya itu didasari atas : 1. pendapat tertulis dari legal counsel untuk perusahaan tersebut;

2. financial report yang disiapkan oleh auditor atau accountant;

3. pernyataan oleh pegawai perusahaan dalam hubungan dengan masalah dalam lingkup tugasnya.

4. reports dari committee tertentu dalam perusahaan tersebut.

104

Ronald A. Anderson, Business Law, (Ohio, USA: South Western Publishing, 1983), h. 800.

Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal pranata “fiduciary relation”. Sehingga hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara “trustee” dengan “beneficiary” seperti dalam common law system. Dalam sisten hukum civil law seperti di Indonesia, hubungan tersebut hanya merupakan hubungan antara pemberi kuasa (perusahaan) dengan penerima kuasa (direktur). Atau jika direktur diberi upah, maka secara legal hubungan tersebut merupakan juga hubungan perburuhan.105

Karena hubungannya adalah “pemberi kuasa”, maka direktur sebagai penerima kuasa hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya melebihi dari kuasa yang diberikan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan. Karena itu, secara konkret dapat dikatakan jika dalam common law system direktur bertindak menurut standar tertentu sebagai

trustee, maka menurut sistem civil law seorang direktur pada prinsipnya bertindak

hanya dengan memperlihatkan anggaran dasar perusahaan.

Menurut sistem hukum, misalnya setelah PT berdiri terjadi pengisuan saham baru, disebutkan disetor penuh, padahal sebenarnya tidak disetor penuh, maka direktur tidaklah dapat diminta tanggung jawab pribadi karena biasanya ditentukan dalam Anggaran Dasar bahwa saham baru tersebut akan diisukan setelah adanya Rapat Umum Pemegang Sahan, dan ketika Anggaran Dasar dibuat atau diubah karena pengisuan saham, siapa saja (direktur, pemegang saham atau komisaris) yang

105

HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum dagang Indonesia, jilid 2 (Jakarta: Djambatan, 1991), h. 149.

memberikan keterangan tidak benar kepada notaris ketika Anggaran Dasar dibuat atau diubah, padahal dia mengetahuinya atau patut mengetahuinya bahwa keterangan tersebut tidak benar, maka akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana pemalsuan surat vide Pasal 163, 264, atau 266 KUH Pidana. Selanjutnya menurut hukum di Indonesia, seorang direktur akan bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh dewan direksi atau oleh perusahaan. Tidak ada ketentuan dalam sistem hukum Indonesia yang melepaskan tanggung jawab seorang direktur hanya karena alasan bahwa terhadap perbuatan tersebut dia tidak setuju, tidak telah mengizinkan, menyetujui, berpartisipasi atau mendasari tindakannya atas pendapat profesional tersebut dapat pula dimintakan tanggung jawabnya secara hukum karena malapraktek apabila dia telah memberikan keterangan secara salah.

Maka, usaha untuk mengelak dari tanggung jawab tersebut menurut sistem hukum Indonesia hanya mungkin dilakukan apabila direktur yang tidak setuju tersebut berhenti dan direktur sebelum tindakan tersebut direalisasi.

C. Kasus Mengenai Tanggung Jawab Direksi

Salah satu kasus mengenai taggung jawab Direksi di Amerika Serikat yang menganut common law system dalam penerapan prinsip duty of care adalah dalam kasus Francis v. United Jersey bank, 392 A.2d. 1233 (1978). John J. Francis et.al, selaku penggugat adalah pengurus dalam proses kepailitan dari Pritchard & Baird Intermedies Corp., dan tiga perusahaan terkait lainnya. United Jersey Bank adalah tergugat yang merupakan administrator atas tanah milik Charles Pritchard. Perkara ini

menyangkut Pritchard & Baird Intermedies Corp. Pritchard & Baird suatu perusahaan yang bergerak dalam bisnis broker reasuransi perusahaan perantara efek). Charles Pritchard Sr., pendiri perusahaan yang selama beberapa tahun adalah pemegang saham utama dan sekaligus pemgendali perusahaan. Pada tahun 1970 Charles Pritchard Sr. mengajak anak-anaknya Charles Jr. dan William turut mengelola perusahaan dan pada saat Pritchard Sr. meninggal pada tahun 1973 kedua anaknya tersebut mengambil alih kendali perusahaan.

Charles Jr. dan William adalah pengusaha yang inkompeten dan hampir tidak memiliki pengendalian diri maupun moralitas dalam menjalankan usahanya. Pada akhir tahun 1975, mereka telah menjerumuskan Pritchard & Baird dan perusahaan- perusahaan terkait lainnya ke dalam kepailitan. Keduanya telah menggelapkan uang perusahaan dalam bentuk “pinjaman pemegang saham” dan pembayaran-pembayaran yang tidak pada tempatnya (improper) kepada anggota keluarga. Pengeluaran uang ini tercermin dalam laporan keuangan perusahaan sebagai “pinjaman pemegang saham”. Akibat transaksi ini perusahaan menjadi insolven, dan pada akhir tahun 1975 bangkrut.

Alasan dasar pihak Penggugat dalam mengajukan kasus ini ke depan Pengadilan adalah karena pembukuan perusahaan mencatat pembayaran ini sebagai “pinjaman”, maka dana itu harus diperlakukan sebagai pinjaman, dan oleh karenanya menimbulkan kewajiban kepada pihak, ataupun tanah hak milik dari pihak yang diberikan pinjaman tersebut, untuk mengembalikannya. Dalam upaya memenuhi kewajiban perusahaan, Francis menggugat, Pertama, Warisan Pritchard Sr. yang

bertindak selaku administraturnya adalah United Jersey, Kedua, warisan Lilian Pritchard, isteri Pritchard Sr. selaku Direktur perusahaan sejak saat perusahaan berdiri sampai bangkrut. Dalam kasus ini pendapat pengadilan sebagai berikut.

Direktur bertanggungjawab atas manajemen perusahaan secara umum, dan bertanggung jawab khusus dalam kaitannya dengan distribusi aset kepada pemegang saham dan pemberian pinjaman kepada staf dan direksi. Benar bahwa Mrs. Pritchard tidak pernah terlibat dalam bisnis perusahaan dan hampir tidak memiliki pengetahuan mengenai kegiatan perusahaan. Tergugat jarang datang ke perusahaan dan tidak pernah membaca dan mendapatkan laporan keuangan. Tergugat juga sudah tua dan tidak mengerti seluk beluk asuransi.

Laporan keuangan Pritchard & Baird disusun setiap tahun. Bentuk laporan keuangan ini sederhana tidak lebih dari tiga atau empat halaman. Laporan keuangan tahunan perusahaan secara jelas memuat tentang pembayaran yang dilakukan kepada keluarga Pritchard dan juga secara jelas mencerminkan kesulitan keuangan perusahaan. Singkatnya, siapa saja yang melihat laporan keuangan tersebut dan mengetahui sedikit tentang kegiatan perusahaan akan mengetahui bahwa Charles Jr. dan William telah mencuri uang perusahaan yang seharusnya dibayarkan kepada klien perusahaan.

Pengadilan menyatakan bahwa secara inheren tugas direktur adalah yang bersangkutan harus mengetahui usaha apa yang dilakukan perusahaan dan harus memiliki ide dasar tentang ruang lingkup kegiatan perusahaan. Dalam hubungan ini, Mrs. Pritchard harus mengetahui bahwa Pritchard & Baird melakukan bisnis broker

reasuransi (perusahaan perantara efek) dan setiap tahun menangani jutaan dolar yang dimiliki oleh atau harus dipertanggungjawabkan kepada banyak nasabah. Dengan demikian pengadilan berpendapat bahwa seorang direktur pada posisi Mrs. Pritchard memiliki “bare minimal” untuk meminta dan membaca laporan keuangan tahunan perusahaan dan bereaksi segera setalah membacanya.

Pengadilan menyatakan bahwa tergugat mampu mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh anak tergugat. Mendeteksi penyalahgunaan uang tidak memerlukan keahlian khusus atau kepintaran luar biasa. Dengan membaca sepintas laporan keuangan akan dapat mengetahui perbuatan tersebut. Dengan demikian apabila Tergugat membaca laporan keuangan, tergugat akan mengetahui bahwa anaknya telah melakukan penggelapan uang.

Pengadilan berpendapat bahwa Tergugat wajib membaca laporan keuangan dan melakukan usaha-usaha secukupnya untuk mendeteksi dan mencegah perbuatan melanggar hukum pejabat dan direktur lainnya. Tergugat memiliki kewajiban untuk melindungi nasabah perusahaan terhadap kebijakan dan praktik-praktik yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan uang yang dipercayakan kepada perusahaan. Dalam hal ini Tergugat telah melanggar kewajibannya tersebut. Tergugat dikatakan sebagai

“figurehead director”. Argumentasi ini tidak dapat diterima, karena dalam

kontemplasi hukum tidak dikenal “figurehead director”.

Mahkamah Agung, Divisi Hukum yang diwakili oleh Stanton J.C.C. (yang ditugaskan sementara), memutuskan bahwa, Pertama, pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan tidak dapat dianggap sebagai “pinjaman”, walaupun pembayaran ini

telah dicatatkan ke dalam pembukuan perusahaan. Kedua, pembayaran yang diserahkan kepada anggota keluarga dari pemegang saham mayoritas perusahaan, atau untuk tanah hak miliknya, tanpa pertimbangan yang adil, ketika perusahaan insolven (memiliki kinerja buruk), tidak bisa dikategorikan sebagai gaji, pendapatan, deviden, keuntungan, pinjaman atau pembagian lainnya, dan perusahaan kreditur harus mengesampingkan pembayaran tersebut dari pengurusan kepailitannya, dan Pengurus yang mewakili kreditur harus mengadakan penilaian atas pembayaran yang diberikan kepada si penerima dana. Ketiga, istri dan bekas pemegang saham mayoritas dari perusahaan itu, yang sama sekali tidak menjalankan tugasnya sebagai kreditur, padahal ia sepatutnya mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh putra- putranya, yang mengendalikan perusahaan setelah ayahnya meninggal dunia, dan bisa mengambil langkah-langkah yang efektif untuk menghentikan kesalahan itu, telah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang direktur, dan Pengurus harus mengeluarkan biaya penggantian kerugian yang diderita atas pengurusan tanah direktur perusahan tersebut.

Dalam kasus ini jelaslah bahwa Lilian Pritchard telah bertindak sembrono

(negligently) sebagai direksi, sehingga tidak mengetahui dan tidak menghentikan

perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak-anaknya. Selaku Direksi, dia harus bertanggung jawab atas manajemen perusahaan secara umum dan bertanggung jawab khusus dalam kaitannya dengan distribusi aset kepada pemegang saham dan pemberian pinjaman kepada para staf Mrs. Pritchard tidak pernah terlibat dalam bisnis perusahan dan hampir tidak memiliki pengetahuan mengenai kegiatan

perusahaan. Dia juga jarang datang ke perusahaan dan tidak pernah membaca dan mendapatkan laporan keuangan perusahaan. Dalam kaitannya tersebut dia telah melanggar duty of care-nya. Dalam hal ini Mrs Pritchard dapat dikatakan hanya sebagai “figurehead director” atau direktur pajangan.

Pengadilan berpendapat bahwa hukum tidak akan memberi maaf kepada para figurehead director apabila tidak berlaku sebagaimana layaknya seorang direksi yang sesungguhnya. Pengadilan menegaskan bahwa Mrs. Pritchard telah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai Direksi Pritchard & Baird.

Apabila yang bersangkutan melakukan tugasnya denga hati-hati (due care) dia akan mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh kedua anaknya itu. Kelalaiannya tersebut telah menyebabkan kerugian pada nasabah. Dengan demikian warisannya harus dipergunakan untuk membayar kewajiban perusahaan.

Yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat dalam kasus ini menawarkan pedoman yang sangat berguna untuk dijadikan pegangan bagi setiap anggota Direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota Direksi harus : 106

a) Memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis perseroan yang dipimpinnya;

b) Dari waktu ke waktu mengetahui mengenai kegiatan usaha perseroan; c) Melakukan pemantauan kegiatan perseroan;

d) Menghadiri rapat-rapat Direksi secara teratur;

e) Melakukan review atas laporan-laporan keuangan perseroan secara teratur;

f) Menanyakan apabila menjumpai masalah-masalah yang meragukan; g) Menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan

yang jelas-jelas melanggar hukum;

h) Berkonsultasi dengan penasehat (counsel) perseroan;

106

i) Mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan ternyata tidak dilakukan.

Dalam kasus PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA) yang terjadi di Indonesia yang menganut civil law system mengenai penolakan penyewaan pesawat CN 235 oleh Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines (MNA).

Merpati Nusantara Airlines (MNA) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga menteri berwenang menentukan kebijaksanaan apa saja. Direktur MNA disuruh menyewa pesawat CN 235 buatan IPTN. Harganya lebih mahal ketimbang menyewa Boeing 737-200. Sudah terbukti pula bahwa rute Jakarta- Bandung yang memakai CN 235, kalau penuh saja masih merugi. Direktur MNA menolak, karena dia merasa bahwa misinya adalah mengelola MNA secara komersial, sehingga kalu sudah jelas-jelas merugi, tidak mau. 107

Di sini Direktur ditempatkan dalam dilema yang besar, karena disatu pihak menurut Pasal 97 UUPT, dia harus bertanggung jawab sepenuhnya atas kelalaiannya yang ditimbulkan pada perseroan. Sedangkan di pihak lain, Direktur MNA justru memahami isi dan jiwa Pasal 97 UUPT tersebut, sebab ia menolak perintah Menteri Perhubungan untuk meyewa pesawat terbang CN 235 dengan alasan jika perintah tersebut dijalankan pasti akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.

Kasus ini jelas memperlihatkan bahwa ukuran seorang Direksi beritikad baik tidak diatur secara rinci (bersifat sumir) oleh UUPT. Dengan kata lain, bahwa UUPT,

107

baik pasal-pasalnya maupun penjelasannya, tidak memberikan jabaran lebih jauh mengenai maksud dan kandungan konsep “itikad baik dan penuh tanggung jawab”.

Oleh karena UUPT tidak memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan “itikad baik dan penuh tanggung jawab” itu, maka perlu dilakukan kajian mengenai konsep tersebut. Kajiannya dapat dilakukan dengan menggali pustaka hukum dan putusan-putusan pengadilan yang serupa yang dianut di negara lain, khususnya negara yang menganut common law system (Amerika Serikat).

Dokumen terkait