• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Tinjauan tentang perbuatan berlanjut

2.3.1 Perbarengan tindak pidana

Menurut Andi Sofyan dan Nur Azisa, istilah “perbarengan” merupakan terjemahan dari kata concursus (Latin) atau samenloop (Belanda). Selain penggunaan istilah “perbarengan” ada pula yang menggunakan istilah “gabungan”.15

Lebih lanjut, menurut Andi Sofyan dan Nur Azisa mengatakan bahwa:

Pada Bab VI Buku I KUHP yang dimaksud dengan concursus adalah “perbarengan” atau “gabungan” dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada seseorang (atau beberapa orang dalam rangka penyertaan) dan dari rangkaian tindak pidana yang dilakukannya belum ada yang diadili dan akan diadili sekaligus. Hal inilah yang membedakannya dengan recidive. Dalam hal recidive terjadi apabila seseorang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana oleh hakim yang telah berkekuatan hukum tetap kemudian melakukan lagi tindak pidana, sehingga untuk pemidanaan selanjutnya status recidive diperhitungkan sebagai alasan pemberatan pidana.16

Dalam hal concursus dapat saja terjadi hanya dengan satu perbuatan dan dengan satu perbuatan itu melanggar dua atau lebih ketentuan pidana. Pengertian concursus sebagaimana dikemukakan tersebut, sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo,

15 Andi Sofyan dan Nur Azisa, op.cit., halaman 210. 16Ibid.

15

yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbarengan perbuatan pidana (concursus) adalah:

Seseorang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus dan salah satu dari perbuatan itu belum dijatuhi putusan hakim.17

Concursus diatur dalam Buku I, Bab VI, Pasal 63 sampai Pasal 71 KUHP. Berdasarkan ketentuan pasal dalam KUHP tersebut, maka ada tiga jenis perbarengan tindak pidana, yaitu: (a) concursus idealis (Pasal 63 KUHP); (b) perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP); dan (c) concursus realis (Pasal 65-71 KUHP). Berikut ini akan dibahas konstruksi masing-masing dari ketiga jenis concursus.

a. Concursus Idealis

Concursus idealis diatur di dalam Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka yang dikenakan hanya satu dari ketentuan-ketentuan itu; jika hukumannya berbeda maka yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu ketentuan pidana umum,

tetapi termasuk juga dalam ketentuan pidana khusus, maka hanya yang khusus itu yang diterapkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 63 KUHP tersebut, maka yang dimaksud dengan concursus idealis apabila satu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.

17

16

Pemidanaan concursus idealis menggunakan sistem absorpsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.18 Menurut Andi Sofyan dan

Nur Azisa, mengatakan bahwa:

Apabila hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut Vos diterapkan pidana pokok dengan pidana tambahan yang paling berat. Sementara itu apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana yang terberat didasarkan pada urutan jenis pidana seperti tersebut dalam Pasal 10. Jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan, denda 5 juta rupiah maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.19

Dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1) dalam hal ini berlaku asas “lex specialis derogat legi generali”.20 Contohnya adalah sebagai berikut:

Seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam Pasal 338 KUHP (15 tahun penjara) dan Pasal 341 KUHP (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam Pasal 341 KUHP (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.21

b. Perbuatan Berlanjut

Perbuatan berlanjut diatur di dalam Pasal 64 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

(1) Jika antara beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungan sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai satu tindakan berlanjut, maka hanya satu ketentuan pidana yang diterapkan; jika berbeda maka

18

Andi Sofyan dan Nur Azisa, Ibid., halaman 216-217 19Ibid.

20 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Ibid. 21Ibid.

17

yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Begitu juga hanya diterapkan satu ketentuan pidana, jika orang dipersalahkan memalsu atau merusak mata uang, dan demikian juga menggunakan barang yang palsu atau yang dirusak itu. (3) Akan tetapi jika yang dilakukan itu kejahatan-kejahatan tersebut

dalam Pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat (1) sebagai perbuatan berlanjut sedangkan nilai jumlah kerugian yang ditimbulkan tidak melebihi Rp 250/Rp 250.000 (tafsir UU No 18 Prp. Tahun 1960 Jo Pasal 3 PERMA No 2 Tahun 2012) maka padanya diterapkan ketentuan pidana tersebut Pasal 362, 372, 378 dan 406.

Berdasarkan rumusan Pasal 64 KUHP tersebut, maka ada perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Unsur “ada hubungan sedemikian rupa” pada perbuatan berlanjut oleh Memorie van Toelichting (MvT) memberikan tiga syarat sebagai berikut:

1) Perbuatan-perbuatan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu keputusan kehendak yang sama

2) Delik-delik yang terjadi harus sejenis

3) Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.22

Pemidanaan perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorpsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda hukumannya maka dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.23

Andi Sofyan dan Nur Azisa, mengatakan bahwa:

Pengecualian dalam hal perbuatan yang tidak sejenis yang digolongkan sebagai perbuatan berlanjut yakni pemalsuan dan perusakan mata uang (Pasal 64 ayat 2 KUHP) tetap memakai sistem

22 Andi Sofyan dan Nur Azisa, ibid., halaman 214-215. 23Ibid, halaman 218.

18

absorpsi yakni melanggar Pasal 244 KUHP dengan ancaman pidana penjara 15 tahun dan Pasal 245 KUHP dengan ancaman pidana penjara 15 tahun maka maksimum pidananya ialah 15 tahun penjara.24

Lebih lanjut, terkait dengan pemidanaan perbuatan berlanjut ini, Andi Sofyan dan Nur Azisa mengatakan bahwa:

Dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat (1) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan ringan itu tidak lebih dari lebih Rp.250.000 maka menurut Pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Jadi yang dikenakan adalah Pasal 362, 372, 378 atau 406 KUHP.25

c. Concursus Realis

Concursus realis diatur di dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa: ”Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis hanya dijatuhkan satu pidana”. Selanjutnya, Pasal 66 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa:

Dalam perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejnis, maka dijatuhkan masing-masing pidana tersebut namun jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. 24 Ibid. 25 Ibid.

19

Kemudian ketentuan Pasal 70 KUHP menyebutkan bahwa: ”Jika ada perbarengan seperti tersebut Pasal 65 dan 66, baik perbarengan pelanggaran dengan kejahatan ataupun perbarengan dengan pelanggaran, maka tiap-tiap pelanggaran diancam masing-masing pidana tanpa dikurangi”. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, maka concursus realis dibagi atas:

1) Concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis (Pasal 65 KUHP);

2) Concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok yang tidak sejenis (Pasal 66 KUHP);

3) Concursus realis berupa perbarengan antara pelanggaran dengan kejahatan atau pelanggaran dengan pelangaran (Pasal 70 KUHP).26

Concursus realis dengan demikian terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) dan akan diadili sekaligus. Jadi dalam hal ini tidak perlu perbuatan itu sejenis atau berhubungan satu sama lain sebagaimana halnya pada perbuatan berlanjut. Sistem pemidanaan pada jenis concursus realis ini adalah sebagai berikut. Pertama, pemidanaan concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis berlaku Pasal 65 KUHP, yakni hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.27

Kedua, pemidanaan concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku Pasal 66 KUHP, yakni semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak

26

Andi Sofyan dan Nur Azisa, ibid., halaman 216-217. 27

20

boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Sistem ini disebut kumulasi diperlunak.28 Ketiga, pemidanaan concursus realis berupa

perbarengan antara pelanggaran dengan kejahatan atau pelanggaran dengan pelanggaran (Pasal 70 KUHP), yakni dijatuhkan semua hukuman yang diancamkan. Dengan demikian menggunakan sistem kumulasi. Namun menurut Pasal 70 ayat 2 KUHP, sistem kumulasi dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.29

Selanjutnya untuk concursus realis berupa kejahatan ringan khusus untuk Pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 pemidanaannya berlaku Pasal 70 bis KUHP yang menggunakan sistem kumulasi tetapi dengan pembatasan maksimum untuk penjara 8 bulan. Sementara itu untuk concursus realis baik kejahatan maupun pelanggaran yang diadili pada saat yang berlainan berlaku Pasal 71 KUHP,30 yang berbunyi sebagai berikut:

Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu maka pidana yang terdahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

2.4 Tinjauan tentang Pidana dan Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana.31 Kata “pidana” pada umumnya

diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

28

Ibid, halaman 219.

29Ibid., halaman 220.

30Ibid., halaman 220-221.

21

penghukuman.32 Menurut Mudzakkir, filsafat pemidanaan sebagai landasan

filosofis merumuskan ukuran atau dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks ini, pemidanaan erat hubungannya dengan proses penegakan hukum pidana.33

Pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut:

a. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang; b. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

c. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.34

Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S Belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP:

a. Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya di dalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.

b. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/ resosialisasi.35

32Ibid.

33 Mudzakkir, dkk, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana

Dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum Dan Pemidanaan) (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2008), halaman 10. 34 Amir Ilyas, op.cit., halaman 96.

22

Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dijelaskan sebagaimana berikut di bawah ini.

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/ vergeldings theorieen) Menurut teori ini, tujuan penjatuhan pidana itu adalah pembalasan atau pengimbalan kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan atau tindak pidana.36 Pidana merupakan akibat mutlak yang

harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Ciri-ciri yang terdapat di dalam teori absolut ini adalah:

1) tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan,

2) pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana untuk tujuan misalnya untuk kesejahteraan masyarakat,

3) kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana, 4) pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar.

5) pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali penjahat.37

b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doel theorieen)

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk balas dendam, melainkan untuk keadilan. Suatu pembalasan itu tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.38 Dasar dari

36Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 2002), halaman 7.

37Ibid., halaman 8.

23

pemidanaan pada teori ini adalah agar orang tersebut setelah dipidana dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Ciri-ciri yang terdapat di dalam teori relatif ini adalah:

1) tujuan dari pemidanaan adalah pencegahan,

2) pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu kesejahteraan masyarakat, 3) hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada pelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana, 4) pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat

untuk pencegahan kejahatan,

5) pidana melihat ke depan. Pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan masyarakat.39

c. Teori Gabungan

Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si pelaku tindak pidana,40 sehingga tujuan pemidanaan dari teori

ini selain disebabkan orang telah melakukan perbuatan pidana, juga supaya orang jangan sampai melakukan perbuatan pidana.

Pada hakikatnya, ketiga teori mengenai tujuan pemidanaan tersebut di atas, bertujuan untuk menciptakan ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur hubungan baik antar individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib, dan damai. Namun, KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan, sehingga pidana dijatuhkan ditafsirkan sesuai dengan pandangan aparat penegak

39Ibid., halaman 9.

40 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), halaman 4.

Dokumen terkait