• Tidak ada hasil yang ditemukan

USM PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN ANAK SECARA BERLANJUT DALAM PUTUSAN NO. 136/PID.SUS/2016/PN JPA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USM PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN ANAK SECARA BERLANJUT DALAM PUTUSAN NO. 136/PID.SUS/2016/PN JPA SKRIPSI"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

USM

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN ANAK SECARA BERLANJUT DALAM PUTUSAN NO. 136/PID.SUS/2016/PN JPA

SKRIPSI

Diajukanuntukmelengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan

Program Studi S1 Hukum

OLEH

NAMA : BAHIROTUL ‘AALIMAH NIM: A.131.15.0082

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

SEMARANG TAHUN 2019

(2)
(3)
(4)
(5)

v

DOKUMENTASI PERSPUSTAKAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang dengan ini menerangkan, bahwa skripsi dibawah ini :

Judul : Pemidanaan terhadap Tindak Pidana Persetubuhan Anak secara berlanjut dalam Putusan No. 136/Pid.sus/2016/PN.Jpa

Peneliti : Nama : Bahirotul „Aalimah Nim : A.131.15.0082

Telah didokumentasikan dengan nomor :... Di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang untuk dipergunakan sebagaimana semestinya

Semarang,26 Febuari 2019

Bagian Administrasi Perputakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang,

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “ Pemidanaan

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Anak Secara Berlanjut Dalam Putusan No. 136/Pid.Sus/2016/PN.Jpa.” Skripsi ini dapat terselesaikan

berkat dorongan, bantuan dan kerjasama dari banyak pihak. Dengan tidak mengurangi rasa terima kasih kepada orang-orang yang mungkin tidak disebutkan, ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan, terutama kepada yang terhomat :

1. Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M. selaku Rektor Universitas Semarang beserta jajarannya

2. Ibu. B. Rini Heryanti, S.H,. M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang beserta jajarannya

3. Bapak Dr. Amri Panahatan Sihotang, S,S., S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum Universitas Semarang beserta jajarannya

4. Ibu Ani Triwati, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan alasan kepada penulis dengan penuh kesabaran

5. Bapak Muhammad Iftar Aryaputra, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan watunya untuk membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dengan penuh kesabaran

6. Segenap Dosen Falkutas Hukum Universitas Semarang khususnya Bagian Hukum Pidana yang telah mengajar dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

(7)
(8)

viii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO :

“ Ilmu lebih utama daripada harta, sebab ilmu warisan para nabi adapun harta adalah warisan firauan dan lainnya. Ilmu lebih utama dari harta karena ilmu itu menjaga kamu, kalau harta kamulah yang menjaganya.”( Ali Bin Abi Thalib ) “ Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat” ( Al-Mujadalah :11 ) Kupersembahkan skripsi ini pada :

1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan semangat, bimbingan, nasihat serta doa dengan penuh kesabaran

2. Adek-adekku yang tersayang

3. Sahabat-sahabatku yang tercinta yang telah memberikan semangat dan doanya 4. Teman-teman seperjuangan khususnya Angkatan 2015

(9)

ix ABSTRACT

One of the child crimes that occurred and was decided by the District Court was an ongoing criminal offense. In this case in the District Court, through decision No.136 / Pid.Sus / 2016 / PN.Jpa. This study analyzes criminal sanctions against perpetrators of criminal acts of child custody in a continuous manner and convicts perpetrators of criminal acts of child custody in a continuous manner in Decision No.136 / Pid.Sus / 2016 / PN.Jpa. the approach method used in this research is juridical-normative. The type of data used in this study are primary and secondary data. The data collection methods used include library research. Based on the results of research on the continued conviction of child sexual intercourse, the Panel of Judges declared Defendant Z Bin M to have been proven legally and convincingly guilty of committing a criminal act of violence, forced the child to commit sexual intercourse, sentenced the defendant Z bin M to 10 years in prison (ten) years and a fine of Rp 100,000,000 (one hundred million rupiah) provided that the fine is not paid is replaced with a sentence of 3 (three) months;

(10)

x ABSTRAK

Salah satu tindak pidana anak yang terjadi dan diputus oleh Pengadilan Negeri adalah kasus tindak pidana pesetubuhan anak secara berlanjut.Dalam kasus

tersebut dalam Pengadilan Negeri, melalui putusan

No.136/Pid.Sus/2016/PN.Jpa.penelitian ini menganalisis tentang sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjutdalam Putusan No.136/Pid.Sus/2016/PN.Jpa. metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.Adapun metode pengumpulan data yang digunakan meliputi studi kepustakaan. Berdasarkan Hasil penelitian mengenai pemidanaan terhadap pelaku persetubuhan anak secara berlanjut adalah Majelis Hakim Menyatakan Terdakwa Z Bin M telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan;dijatuhkan pidana kepada terdakwa Z bin M dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Orisinalitas...ii

Halaman Pengesahan memperbanyak... iii

Halaman Pengesahan Ujian……….……….. iv

Kata Pengantar ...vii

Halaman Motto Dan Persembahan...viii

Abstrak...ix

Daftar Isi...xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Permasalahan...4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 4

1.4 Keaslian Penelitian...5

1.5 Sistematika Penulisan...6

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 tinjauan umum tentang tindak pidana ... 8

2.2 tinjauan umum tentang tindak pidana persetubuhan ...11

2.3 Tinjauan tentang perbuatan berlanjut...14

2.3.1 Perbarengan tindak pidana...14

2.4 tinjauan tentang pidana dan pemidanaan ... 20

2.5 tinjauan tentang anak ...24

BAB 111 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis/Tipe Penelitian...27

(12)

xii

3.2 Spesifikasi Penelitian...27

3.3 Metode Pengumpulan Data...28

3.4 Metode Analisis Data...29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Anak Secara Berlanjut………..…..30

2. Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Anak Secara Berlanjut dalam putusan Nomor 136/Pid.Sus/201...33

2.1 Posisi Kasus………...33

2.2 Surat Dakwaan Penuntut Umum………....34

2.3 Pembuktian………...…40

2.4 Tuntutan Jaksa Penuntut Umum………...46

2.5 Pledoi/pembelaan Penasehat Hukum………...46

2.6 Unsur-Unsur Pasal yang terbukti berdasarkan fakta-fakta Persidangan………...…..47

BAB V PENUTUP A. Simpulan……….53

B. Saran………..54`

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindak pidana persetubuhan terhadap anakmerupakan suatu tindak pidana yang harus ditangani secara serius dan tegas, karenaanak adalah masa depan bangsa atas kelangsungan hidup, tumbuh,dan berkembang, berpartisipasi serta atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Dampak dari persetubuhan terhadap anak tidak hanya dapat menimbulkan dampak secara fisik saja tetapi juga dampak secara mental, namun dampak secara mental bisa mengakibatkan anak menjadi trauma dan akan membutuhkan waktu yang bertahun-tahun agar dapat pulih kembali, anak bisa sampai menderita masalah kejiwaan.

Perlindungan bagi anak harus menjadi suatu kebijakan nasional dan didukung oleh semua pihak, karena anak sangat rentan sebagai korban tindak pidana. Di Indonesia banyak kasus tindak pidana terhadap anak. Tiga tahun terakhir nampaknya menjadi tahun yang memperhatikan bagi dunia anak Indonesia. Pasalnya Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ratusan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan oleh orang terdekat sebagai pelaku. Komisier KPAI mengungkapkan data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus. “ Dalam data tersebut KPAI mengungkapkan pelakunya adalah orang terdekat seperti ayah tiri dan ayah kandung. 1Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa anak sangat rentan terhadap tindak pidana. Mengenai Penanganan hukum terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak terhadap anak sudah di atur dalam Undang-undang

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tindak pidana persetubuhan terhadap anak sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP)

1 sebagaimana di akses

(14)

2

dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang . Kelemahan peraturan dari tindak pidana persetubuhan terhadap anak dilihat dari ancaman hukum yang dikenakan kepada si pelaku apabila pelaku terbukti bersalah. Dalam KUHP dikenal batas hukuman minimum, yakni dalam hal lamanya hukuman penjara dan hukuman kurungan. Lamanya hukum penjara adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun. Begitupula lamanya hukuman kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun.ancaman hukuman minimal khusus dan maksimal. Diantaranya ancaman hukuman minimal membuat pelakumemiliki peluang mendapatkan hukuman yang ringan, namun dalam Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan hukuman minimal apabila terbukti bersalah, diantaranya pada Pasal 81 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 yang menyebutkan :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

(catatan : Pasal 76 D dalam UU 23/2002 berbunyi “ setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lan. ”)

(2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(15)

3

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya di tambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Hal tersebut dapat memberikan hukuman yang sesuai bagi pelaku kejahatan persetubuhan terhadap anak, yang diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dan mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana persetubuhan anak,karena adanya hukuman yang berat.

Salah satukasus tindak pidana persetubuhan anak terjadi di Jepara yaitu pelaku yang berinisial Z Bin M (alm) terhadap korban yang berinisial D Binti M. P. yang masih berumur 11 tahun atau masih anak yang disetubuhi secara berlanjut. Putusan tersebut, pada saat dijatuhkan masih menggunakan undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000,- (juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

Dari uraian di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk mengkaji putusan yang terkait tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut, dengan judul “ Pemidanaan terhadap Pelaku tindak pidana Persetubuhan Anak secara berlanjut dalam putusan No 136/Pid.Sus/2016/PN.Jpa”.

(16)

4 1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut ?

2. Bagaimana pemidanaan terhadap Pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dalam Putusan No.136/Pid.sus/2016/PN.Jpa ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara belanjut

b. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara belanjut dalam Putusan No.136/Pid.Sus/2016/PN.Jpa

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Pidana mengenai pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara belanjut b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

ilmu pengetahuan hukum pidana dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

a. Orang tua dan masyarakat agar lebih menjaga dan mengawasi pergaulan hidup anak.

(17)

5

b. Aparatur penegak hukum dan instansi terkait dalam menjalankan tugas dan wewenangnya khususnya dalam hal pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara belanjut.

1.4 Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, mengenai keaslian penelitian penulis menemukan judul yang hampir sama di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang dan dari internet diantaranya tentang :

1) “Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain berdasarkan putusan nomor 112/pid.sus/2015/PN.SMG”, ditulis oleh Fendy Tumus Raharjo pada tahun 2016 Universitas Semarang yang mengulas tentang pengaturan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. Perbedaan dengan skripsi penulis yaitu membahas mengenai pemberian pidana dan proses pemidanaan terhadap tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dalam putusan nomor 136/pid.sus/2016/PN.JPA

2) “ Tinjauan yuridis persetubuhan terhadap anak yang dilakukan secara berlanjut ( Studi Kasus No. 137/pid.sus/2014/PN.PLP) ‟‟, ditulis oleh Aidir Ali Said pada tahun 2016 Universitas Hasanuddin Makasar yang mengulas tentang penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana

(18)

6

persetubuhan terhadap anak yang dilakukan secara berlanjut dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan secara berlanjut . Perbedaan dengan penelitian penulis adalah bagaimana pidana dan proses pemidanaannya.

Dalam penelitian skripsi ini, penulis mengambil judul pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dalam putusan nomor 136/pid.sus/2016/PN.JPA merupakan karya tulis asli belum diteliti oleh penulis lain. Kajian penelitian ini berbeda dengan peneliti lain. Penulis mengkaji dan mengambil rumusan masalah tentang pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dan pemidanaan terhadap tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut yang di periksa oleh Pengadilan Negeri Jepara dalam putusan nomor 136/pid.sus/2016/PN.JPA.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini, terdiri atas 5 (lima) bab yang kemudian diuraikan kedalam sub bab, dengan sistematika penulisan sebagai berkut :

a. BAB I

Bab pendahuluan yang berisikan uraian Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, keaslian penelitian dan Sistematika.

b. BAB II

Bab tinjauan pustaka yang berisikan uraian tentangTinjauan umum tentang Tindak Pidana, Tinjauan umum tentang Tindak Pidana Persetubuhan, Tinjauan tentang Perbuatan Berlanjut, Tinjauan tentang Pidana dan Pemidanaan, Tinjauan tentang Anak.

(19)

7 c. BAB III

Bab metode penelitian yang meliputi uraian Jenis/Tipe Penelitian, Spesifikasi Penelitian, Metode Pengumpulan Data, dan Metode Analisis Data.

d. BAB IV

Menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dalam putusan No.136/Pid.Sus/2016/PN.JPA

e. BAB V

(20)

8 BAB 11

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan umum tentang Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti “ strafbaar feit”. tindak pidana biasanya juga disebut sebagai delik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delik didefinisikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.2 Jadi

istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).3

Sudarto mengatakan bahwa tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Tindak Pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau vebrechen atau misdaad) yang diartkan secara yuridis atau secara kriminologis. Di indonesia, sesudah Perang Dunia II persoalan ini di “ hangatkan” oleh Moeljatno, guru besar Hukum Pidana pada Universitas Gadjah Mada dalam pidato beliau pada dies natalis universitas tersebut pada tahun 1955 yang berjudul “ Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana.” Beliau membedakan dengan tegas “ dapat dipidananya perbuatan” dan “dapat dipidanyanya orang”, dan sejalan dengan ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” dan “pertanggungjawaban pidana.”4

Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana. Pandangan beliau dapat disebut pandangan dualistic mengenai perbuatan pidana.

2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “ KBBI Daring” (Online), (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/delik, diakses 18 Oktober 2018), 2018.

3 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana (Jakarta : Mitra Wacana Media,2015), halaman 5-6

(21)

9

Pandangan ini adalah penyimpangan dari pandangan yang disebut oleh beliau sebagai pandangan yang monistic, yang dianggapnya kuno. Pandangan monistic ini melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Para sarjana yang tergolong memiliki pandangan monistic di antaranya adalah E. Mezger, Wirjono Prodjodikoro, dan karni. 5

Berikut ini adalah pendapat para sarjana yang memiliki pandangan monistic yaitu :

a. E. Mezger

Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Dengan demikan unsur-unsur tindak pidana ialah :

1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan)

2. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektf maupun subjektif) 3. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang

4. Diancam dengan pidana.6

b. Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman mati. Dan pelaku ini dapat dilakukan merupakan “subjek” tindak pidana.7

c. Karni

Delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna

5

ibid

6ibid

7 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Idonesia ( Bandung : Refika Aditama, 2003), halaman 59

(22)

10

akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya yang dimasukkan sebagai golongan yang mempunyai pandangan dualistic tentang syarat-syarat pemidanaan diantaranya adalah W.P.J. Pompe dan Moeljatno.

a. W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “ menurut hukum positif stafbaar feit adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.” stafbaar feit adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi di samping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan.8

b. Moeljatno

Beliau memberi arti kepada “ perbuatan pidana” sebagai perbuatan yang di larang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.” Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur 9 :

1. Perbuatan (manusia)

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (merupakan syarat formil)

3. Bersifat melawan hukum (merupakan syarat materil) Moeljatno berpendapat, bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.10 Jadi, tidak cukup seseorang hanya melakukan perbuatan

pidana saja, namun disamping itu pada orang tersebut ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.

8 Sudarto, Op.Cit, halaman 71 9Ibid, halaman 70-73

(23)

11

Diantara pandangan monistic dan pandangan dualistic, penulis lebih cenderung kepandangan dualistic karena berdasarkan rumusan tindak pidana melibatkan unsur perbuatan dan kesalahan. Selain itu kesalahan merupakan bagian dari suatu perbuatan yang terjadi karena kesengajaan dan kealpaan pada diri seseorang sehingga orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan mengenai perbuatannya itu.

2.2 Tinjauantentang Tindak Pidana Persetubuhan

Dalam kasus lengkap Bahasa Indonesia modern kata “bersetubuh” artinya sebagai berikut : “ berhubungan badan, hubungan intim, kontak badan (hubungan suami istri, hubungan sepasang manusia)”. 11

Dalam Kamus Bahasa Indonesia Persetubuhan merupakan dari kata bersetubuh yang bersanggama; bersebadan; menyebadani;12

Pengertian persetubuhan dapat diartikan sebagai hubungan badan yang dilakukan dengan cara memasukan vagina perempuan dengan alat vital laki-laki. Tindak pidana persetubuhan berarti perbuatan yang dilarang oleh norma agama, norma hukum yang berkaitan dengan persetubuhan yang disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, dan bagi siapa yang melanggar hukum.

Pengertian persetubuhan menurut :

11

Arnas Dwijayanto, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan Yang Dilakukan

Oleh Anak Terhadap Anak :Studi Kasus No. 1157/Pid.B/2012/PN,MKS”, ( Skripsi Falkutas

Hukum, Universitas Hasanudin,2014),halaman 15.

(24)

12 1. KUHP

Pengertian persetubuhan menurut rumusan KUHP adalah sesuai Arrest Hoge Raad sebagaimana dikutip Andi Zainal Abidin Farid,disebutkan : tindakan memasukan kemaluan laki-laki kedalam kemaluan permpuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan.13

Dalam pasal-pasal KUHP tidak ada secara jelas yang menjelaskan pengertian mengenai persetubuhan namun ada Pasal yang memunculkan kata bersetubuh yaitu dalam Pasal 285, pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, dan Pasal 290 di antara Pasal tersebut ada yang dilakukan terhadap anak, yakni :

a. Pasal 287

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu kawin, diancam, dengan pidana penjara paling lamasembilan bulan.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan Pasal 294.

b. Pasal 288

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam pernikahan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa yang sebelum mampu kawin, diancam, apabila perbuatan mengakibatkan luka, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling

lama dua belas tahun c. Pasal 290

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

13 A.Wira Pratiwi, “ Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak secara

Berlanju”: Studi Kasus Putusan No.794/Pid.B/2012/PN.MKS” (skripsi Falkutas Hukum,

(25)

13

Ke-1 barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; Ke-2 barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya

belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa

belum mampu dikawin;

Ke-3 barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar pernikahan dengan orang lain.14

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang

Persetubuhan terhadap anak terdapat pengaturan yang lebih khusus dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang tersebut, pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam Pasal 76 D No 35 tahun 2014 sebagai berikut :

a. Pasal 76D, yang berbunyi “Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”

b. Pasal 76 E, yang berbunyi “ setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu

14

(26)

14

muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

2.3 Tinjauan tentang Perbuatan Berlanjut

2.3.1 Perbarengan Tindak Pidana

Menurut Andi Sofyan dan Nur Azisa, istilah “perbarengan” merupakan terjemahan dari kata concursus (Latin) atau samenloop (Belanda). Selain penggunaan istilah “perbarengan” ada pula yang menggunakan istilah “gabungan”.15

Lebih lanjut, menurut Andi Sofyan dan Nur Azisa mengatakan bahwa:

Pada Bab VI Buku I KUHP yang dimaksud dengan concursus adalah “perbarengan” atau “gabungan” dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada seseorang (atau beberapa orang dalam rangka penyertaan) dan dari rangkaian tindak pidana yang dilakukannya belum ada yang diadili dan akan diadili sekaligus. Hal inilah yang membedakannya dengan recidive. Dalam hal recidive terjadi apabila seseorang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana oleh hakim yang telah berkekuatan hukum tetap kemudian melakukan lagi tindak pidana, sehingga untuk pemidanaan selanjutnya status recidive diperhitungkan sebagai alasan pemberatan pidana.16

Dalam hal concursus dapat saja terjadi hanya dengan satu perbuatan dan dengan satu perbuatan itu melanggar dua atau lebih ketentuan pidana. Pengertian concursus sebagaimana dikemukakan tersebut, sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo,

15 Andi Sofyan dan Nur Azisa, op.cit., halaman 210. 16Ibid.

(27)

15

yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbarengan perbuatan pidana (concursus) adalah:

Seseorang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus dan salah satu dari perbuatan itu belum dijatuhi putusan hakim.17

Concursus diatur dalam Buku I, Bab VI, Pasal 63 sampai Pasal 71 KUHP. Berdasarkan ketentuan pasal dalam KUHP tersebut, maka ada tiga jenis perbarengan tindak pidana, yaitu: (a) concursus idealis (Pasal 63 KUHP); (b) perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP); dan (c) concursus realis (Pasal 65-71 KUHP). Berikut ini akan dibahas konstruksi masing-masing dari ketiga jenis concursus.

a. Concursus Idealis

Concursus idealis diatur di dalam Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka yang dikenakan hanya satu dari ketentuan-ketentuan itu; jika hukumannya berbeda maka yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu ketentuan pidana umum,

tetapi termasuk juga dalam ketentuan pidana khusus, maka hanya yang khusus itu yang diterapkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 63 KUHP tersebut, maka yang dimaksud dengan concursus idealis apabila satu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.

17

(28)

16

Pemidanaan concursus idealis menggunakan sistem absorpsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.18 Menurut Andi Sofyan dan

Nur Azisa, mengatakan bahwa:

Apabila hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut Vos diterapkan pidana pokok dengan pidana tambahan yang paling berat. Sementara itu apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana yang terberat didasarkan pada urutan jenis pidana seperti tersebut dalam Pasal 10. Jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan, denda 5 juta rupiah maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.19

Dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1) dalam hal ini berlaku asas “lex specialis derogat legi generali”.20 Contohnya adalah sebagai berikut:

Seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam Pasal 338 KUHP (15 tahun penjara) dan Pasal 341 KUHP (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam Pasal 341 KUHP (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.21

b. Perbuatan Berlanjut

Perbuatan berlanjut diatur di dalam Pasal 64 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

(1) Jika antara beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungan sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai satu tindakan berlanjut, maka hanya satu ketentuan pidana yang diterapkan; jika berbeda maka

18

Andi Sofyan dan Nur Azisa, Ibid., halaman 216-217 19Ibid.

20 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Ibid. 21Ibid.

(29)

17

yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Begitu juga hanya diterapkan satu ketentuan pidana, jika orang dipersalahkan memalsu atau merusak mata uang, dan demikian juga menggunakan barang yang palsu atau yang dirusak itu. (3) Akan tetapi jika yang dilakukan itu kejahatan-kejahatan tersebut

dalam Pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat (1) sebagai perbuatan berlanjut sedangkan nilai jumlah kerugian yang ditimbulkan tidak melebihi Rp 250/Rp 250.000 (tafsir UU No 18 Prp. Tahun 1960 Jo Pasal 3 PERMA No 2 Tahun 2012) maka padanya diterapkan ketentuan pidana tersebut Pasal 362, 372, 378 dan 406.

Berdasarkan rumusan Pasal 64 KUHP tersebut, maka ada perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Unsur “ada hubungan sedemikian rupa” pada perbuatan berlanjut oleh Memorie van Toelichting (MvT) memberikan tiga syarat sebagai berikut:

1) Perbuatan-perbuatan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu keputusan kehendak yang sama

2) Delik-delik yang terjadi harus sejenis

3) Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.22

Pemidanaan perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorpsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda hukumannya maka dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.23

Andi Sofyan dan Nur Azisa, mengatakan bahwa:

Pengecualian dalam hal perbuatan yang tidak sejenis yang digolongkan sebagai perbuatan berlanjut yakni pemalsuan dan perusakan mata uang (Pasal 64 ayat 2 KUHP) tetap memakai sistem

22 Andi Sofyan dan Nur Azisa, ibid., halaman 214-215. 23Ibid, halaman 218.

(30)

18

absorpsi yakni melanggar Pasal 244 KUHP dengan ancaman pidana penjara 15 tahun dan Pasal 245 KUHP dengan ancaman pidana penjara 15 tahun maka maksimum pidananya ialah 15 tahun penjara.24

Lebih lanjut, terkait dengan pemidanaan perbuatan berlanjut ini, Andi Sofyan dan Nur Azisa mengatakan bahwa:

Dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat (1) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan ringan itu tidak lebih dari lebih Rp.250.000 maka menurut Pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Jadi yang dikenakan adalah Pasal 362, 372, 378 atau 406 KUHP.25

c. Concursus Realis

Concursus realis diatur di dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa: ”Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis hanya dijatuhkan satu pidana”. Selanjutnya, Pasal 66 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa:

Dalam perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejnis, maka dijatuhkan masing-masing pidana tersebut namun jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. 24 Ibid. 25 Ibid.

(31)

19

Kemudian ketentuan Pasal 70 KUHP menyebutkan bahwa: ”Jika ada perbarengan seperti tersebut Pasal 65 dan 66, baik perbarengan pelanggaran dengan kejahatan ataupun perbarengan dengan pelanggaran, maka tiap-tiap pelanggaran diancam masing-masing pidana tanpa dikurangi”. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, maka concursus realis dibagi atas:

1) Concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis (Pasal 65 KUHP);

2) Concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok yang tidak sejenis (Pasal 66 KUHP);

3) Concursus realis berupa perbarengan antara pelanggaran dengan kejahatan atau pelanggaran dengan pelangaran (Pasal 70 KUHP).26

Concursus realis dengan demikian terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) dan akan diadili sekaligus. Jadi dalam hal ini tidak perlu perbuatan itu sejenis atau berhubungan satu sama lain sebagaimana halnya pada perbuatan berlanjut. Sistem pemidanaan pada jenis concursus realis ini adalah sebagai berikut. Pertama, pemidanaan concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis berlaku Pasal 65 KUHP, yakni hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.27

Kedua, pemidanaan concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku Pasal 66 KUHP, yakni semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak

26

Andi Sofyan dan Nur Azisa, ibid., halaman 216-217. 27

(32)

20

boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Sistem ini disebut kumulasi diperlunak.28 Ketiga, pemidanaan concursus realis berupa

perbarengan antara pelanggaran dengan kejahatan atau pelanggaran dengan pelanggaran (Pasal 70 KUHP), yakni dijatuhkan semua hukuman yang diancamkan. Dengan demikian menggunakan sistem kumulasi. Namun menurut Pasal 70 ayat 2 KUHP, sistem kumulasi dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.29

Selanjutnya untuk concursus realis berupa kejahatan ringan khusus untuk Pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 pemidanaannya berlaku Pasal 70 bis KUHP yang menggunakan sistem kumulasi tetapi dengan pembatasan maksimum untuk penjara 8 bulan. Sementara itu untuk concursus realis baik kejahatan maupun pelanggaran yang diadili pada saat yang berlainan berlaku Pasal 71 KUHP,30 yang berbunyi sebagai berikut:

Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu maka pidana yang terdahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

2.4 Tinjauan tentang Pidana dan Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana.31 Kata “pidana” pada umumnya

diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

28

Ibid, halaman 219.

29Ibid., halaman 220. 30Ibid., halaman 220-221.

(33)

21

penghukuman.32 Menurut Mudzakkir, filsafat pemidanaan sebagai landasan

filosofis merumuskan ukuran atau dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks ini, pemidanaan erat hubungannya dengan proses penegakan hukum pidana.33

Pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut:

a. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang; b. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

c. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.34

Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S Belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP:

a. Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya di dalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.

b. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/ resosialisasi.35

32Ibid.

33 Mudzakkir, dkk, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana

Dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum Dan Pemidanaan) (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2008), halaman 10. 34 Amir Ilyas, op.cit., halaman 96.

(34)

22

Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dijelaskan sebagaimana berikut di bawah ini.

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/ vergeldings theorieen) Menurut teori ini, tujuan penjatuhan pidana itu adalah pembalasan atau pengimbalan kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan atau tindak pidana.36 Pidana merupakan akibat mutlak yang

harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Ciri-ciri yang terdapat di dalam teori absolut ini adalah:

1) tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan,

2) pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana untuk tujuan misalnya untuk kesejahteraan masyarakat,

3) kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana, 4) pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar.

5) pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali penjahat.37

b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doel theorieen)

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk balas dendam, melainkan untuk keadilan. Suatu pembalasan itu tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.38 Dasar dari

36Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 2002), halaman 7.

37Ibid., halaman 8. 38Ibid.

(35)

23

pemidanaan pada teori ini adalah agar orang tersebut setelah dipidana dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Ciri-ciri yang terdapat di dalam teori relatif ini adalah:

1) tujuan dari pemidanaan adalah pencegahan,

2) pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu kesejahteraan masyarakat, 3) hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada pelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana, 4) pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat

untuk pencegahan kejahatan,

5) pidana melihat ke depan. Pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan masyarakat.39

c. Teori Gabungan

Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si pelaku tindak pidana,40 sehingga tujuan pemidanaan dari teori

ini selain disebabkan orang telah melakukan perbuatan pidana, juga supaya orang jangan sampai melakukan perbuatan pidana.

Pada hakikatnya, ketiga teori mengenai tujuan pemidanaan tersebut di atas, bertujuan untuk menciptakan ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur hubungan baik antar individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib, dan damai. Namun, KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan, sehingga pidana dijatuhkan ditafsirkan sesuai dengan pandangan aparat penegak

39Ibid., halaman 9.

40 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), halaman 4.

(36)

24

hukum dan hakim yang masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda.41

2.5 Tinjauan tentang Anak

Pengertian anak secara khusus dapat diartikan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang yaitu Pasal 1 ayat (1), bahwa dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu dipersiapkan sejak dini melalui hak-haknya yakni hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan diri kekerasan dan deskriminasi.

Anak dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa. Berikut ini uraian tentang pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan :

(37)

25

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian seorang anak yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian anak dalam hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya anak tersebut berkah atas kesejahteraan yang layak

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, terdapat dalam Bab 1 Ketentuan Umum. Pasal 1 angka 2 menyebutkan “ anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat dalam Bab 1 Ketentuan Umum. Pasal 1 angka 5 menyebutkan “ anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapanbelas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingan”. 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.

Dalam sistem peradilan pidana anak ada tiga jenis anak, anak yang berkonflik dengan hukum yaitu yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,

(38)

26

tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, anak yang menjadi korban tindak pidana yaitu yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dan anak menjadi saksi tindak pidana yaitu yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

5.Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang

Pengertian anak terdapat dalam Bab 1 Ketentuan Umum. Pasal 1 angka 1 menyebutkan bawha “ Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

(39)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis/Tipe Penelitian

Jenis/tipe penelitian ini adalah yuridis normatif,penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti atau mempelajari masalah dilihat dari segi aturan hukumnya, meneliti bahan pustaka atau data sekunder.42 dengan

pendekatan kasus (case study research) karena penelitian ini dimaksudkan untukmenganalisis Putusan Nomor :136/Pid.Sus/2016/PN.Jepara, mengenai pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut, dikaitkan dengan peraturan dan teori-teori hukum pidana yang berlaku.

3.2 Spesiikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.Penelitian deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum yang menyangkut permasalahan dalam penelitian.43

Deskriptifdisini dimaksudkan untukmenggambar Putusan Nomor: 136/Pid.Sus/2016/PN Jepara, tentang pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut, dikaitkan dengan teori-teori hukum dan

42 Soejono dan H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), halaman 56.

(40)

28

praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut perumusan masalah yang diteliti.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan atau dokumen (library research). Studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder, yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan dari data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah ter-dokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari Putusan Pengadilan Negeri Jepara nomor 136/Pid.Sus/2016/PN.JPA dan pengaturan Perundang-undangan seperti :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 3. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan

(41)

29

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang

b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti :

a. Buku-buku hukum dan non hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Hasil-hasil penelitian maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer dan tersier, seperti :

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia

b. Jurnal-jurnal hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini, yang kemudian dilakukan inventarisasi sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan.

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yaitu analisis yang sifatnya non-statistik atau non-matematis. Data yang ada baik yang diperoleh dari hasil studi kepustakaana atau perundang-undangan, secara yuridis akan dipaparkan dan dianalisis dengan berlandaskan pada teori hukum pidana dan peraturan hukum yang berlaku, sehingga dari sini akan diperoleh simpulan yang benar dan objektif tentang pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dalam Putusan Nomor 136/ Pid.Sus/ 2016/ PN.Jpa

(42)

30 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. SanksiPidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Anak Secara Berlanjut

Sanksi pidana yang diberikan pelaku tindak pidana persetubuhan anak secara berlanjut dapat dijerat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (untuk selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Anak). Orangtua yang memperkosa anaknya dapat dijerat dengan Pasal 294 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun tentang kejahatan seksual terhadap anak. Namun praktiknya pelaku dapat dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak tentang kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan sebagai berikut :

Pasal 81 Undang-Undang No 17 Tahun 2016 yang menyebutkan :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

(43)

31

(catatan : Pasal 76 D dalam UU 35/2014 berbunyi “ setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lan. ”)

(2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya di tambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana di maksud pada ayat (3), penambahan 1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana di maksud dalam Pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reporduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup , atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. (6) Selain dikenai pidana sebagaimana di maksud pada ayat

(1), ayat (3). Ayat (4) dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.

Sanksi/ancaman pidana bagi pelaku persetubuhan anak mengenal minimal khusus Pasal 81 ayat (1)menentukan bahwa untuk minimal khususnya adalah 5 tahun penjara. selanjutnya maksimal adalah 15 tahun penjara dan ditambah denda. Kata “dan” dalam Pasal 81 ayat (1)

(44)

32

menunjukkan bahwa penjatuhan pidana penjara dan denda bersifat komulatif.

Perbuatan berlanjut diatur di dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan bahwa:

(1)Jika antara beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungan sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai satu tindakan berlanjut, maka hanya satu ketentuan pidana yang diterapkan; jika berbeda maka yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

Berdasarkan rumusan Pasal 64 KUHP tersebut, maka ada perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Unsur “ada hubungan sedemikian rupa” pada perbuatan berlanjut oleh Memorie van Toelichting (MvT) memberikan tiga syarat sebagai berikut:

a. Perbuatan-perbuatan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu keputusan kehendak yang sama

b. Delik-delik yang terjadi harus sejenis

c. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.44

Pengenaan sansksi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorpsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda hukumannya maka dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.45

44

Andi Sofyan dan Nur Azisa, ibid., halaman 214-215. 45

(45)

33

Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan anak yang dilakukan secara berlanjut di jerat Pasal 81 ayat (1) junto Pasal 64 ayat (1) dengan Pidana Penjara pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dan dikenai tindakan berupa tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.namun dengan demikian Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara kurang dari ancaman minimal khusus. Selain ini hakim juga wajib menjatuhkan pidana denda karena ancaman dalam Pasal 81 ayat (1) bersifat komulatif yang ditandai dengan adanya kata “dan”

2. Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Anak Secara Berlanjut Dalam Putusan Nomor 136/Pid.Sus/PN.Jpa

2.1 Posisi Kasus

Berdasarkan Putusan Nomor 136/Pid.Sus/2016/PN.JPA bahwa Terdakwa Z Bin M ada hari, tanggal, dan bulan yang sudah tidak ingat lagi pada tahun 2011, dan pada hari, tanggal dan bulan yang sudah tidak ingat lagi tahun 2012 sekira pukul 04.30 wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu antara tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 ada hubungannya sedemikian setidak-tidaknya pada suatu waktu antara tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, bertempat di Kel. Bapangan Rt. 03/Rw.03 Kec. Jepara Kab. Jepara atau setidak-tidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jepara, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

(46)

34

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan Korban Bernama Diah Sari Melani. saksi korban Diah bisa disetubuhi oleh terdakwa walaupun saksi korban Diah telah memberontak dengan berusaha menendang terdakwa tetapi karena saksi korban Diah kalah kuat dari terdakwa sehngga terdakwa berhasil menyetubuhi saksi korban Diah sehingga membuat saksi korban Diah bertindak diluar kemauan saksi korban Diah yaitu disetubuhi oleh terdakwa.

2.2 Surat Dakwaan Penuntut Umum

Surat dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, karena itu surat dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Pasal 143 ayat (2) KUHAP menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat dakwaan, yakni syarat-syarat yang berkenaan dengan tanggal, tanda tangan Penuntut Umum dan identitas lengkap terdakwa. Syarat-syarat dimaksud dalam praktek disebut sebagai syarat formil.

Sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, syarat formil meliputi:

a. Surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum pembuat surat dakwaan;

b. Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.

Di samping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu

(47)

35

tindak pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktek tersebut sebagai syarat materiil. Sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, syarat materiil meliputi:

a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa.46

Dengan menempatkan kata "cermat" paling depan dari rumusan Pasal 143 (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan selalu bersikap korek dan teliti. Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam surat dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik-baiknya. Uraian secara lengkap, berarti surat dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) tindak pidana yang didakwakan. Unsur-unsur tersebut harus terlukis di dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan.47

Secara materiil, suatu surat dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila surat dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang:

a. tindak pidana yang dilakukan;

b. siapa yang melakukan tindak pidana tersebut; c. dimana tindak pidana dilakukan;

46

Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, halaman 3.

47

(48)

36

d. bilamana/kapan tindak pidana dilakukan; e. bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan;

f. akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiil).

g. apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut (delik-delik tertentu);

h. ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan.48

Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan surat dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi surat dakwaan. Untuk keabsahan surat dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan dakwaan batal demi hukum.49 Ketentuan ini diatur dalam

Pasal 143 ayat (3) KUHAP. Menurut Yahya Harahap, Pasal 143 ayat (3) KUHAP ini mengancam dengan tegas surat dakwaan yang tidak lengkap memuat syarat materiil dakwaan, mengakibatkan surat dakwaan “batal demi hukum”.

Jadi surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materiil adalah merupakan surat dakwaan yang null and avoid atau van rechtswege nietig. Namun demikian, sifat batal demi hukum yang ditentukan Pasal 143 ayat (3) KUHAP adalah tidak murni secara mutlak. Masih diperlukan adanya pernyataan batal dari hakim yang memeriksa perkara, sehingga sifat surat dakwaan yang batal demi hukum, pada hakikatnya dalam praktik adalah dinyatakan batal atau vernietig baar atau annulment.50 48 Ibid. 49 Ibid.

50 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

(49)

37

Undang-undang tidak menetapkan bentuk surat dakwaan, namun dalam prakteknya dikenal berbagai bentuk surat dakwaan, yaitu:51

a. Surat dakwaan tunggal

Dalam surat dakwaan ini hanya satu tindak pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.

Misalnya terdakwa hanya didakwakan tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP).

b. Surat dakwaan alternatif

Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan apabila belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Misalnya terdakwa didakwakan:

Pertama : Pencurian (Pasal 362 KUHP), atau

Kedua : Penadahan (Pasal 480 KUHP).

c. Surat dakwaan subsidair

Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai

51

Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1993, op.cit., halaman 4-5.

(50)

38

pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti.

Misalnya terdakwa didakwakan :

Primair : Pembunuhan berencana (Pasal 340

KUHP),

Subsidair : Pembunuhan (Pasal 338 KUHP),

Lebih Subsidair : Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (Pasal 351 ayat (3) KUHP).

d. Surat dakwaan kumulatif

Dalam surat dakwaan kumulatif ini, terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dan kesemua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.

Misalnya terdakwa didakwakan :

Kesatu : Pembunuhan (Pasal 338 KUHP), dan

Kedua : Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP), dan

Ketiga : Perkosaan (Pasal 285 KUHP).

(51)

39

Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair. Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.

Misalnya terdakwa didakwakan: Kesatu :

Primair : Pembunuh berencana (Pasal 340 KUHP), Subsidair : Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP), Lebih Subsidair : Penganiayaan yang mengakibatkan

matinya orang (Pasal 351 (3) KUHP),

Kedua :

Primair : Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP),

Subsidair : Pencurian (Pasal 362 KUHP), dan

Ketiga : : Perkosaan (Pasal 285 KUHP).

Berdasarkan putusan No 136/Pd.Sus/2016/PN.JPA bentuk dakwaan alternatif, dengan pasal yang di dakwakan sebagai berikut :

Kesatu :

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang RI NO. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1).

Atau

Referensi

Dokumen terkait

dalam ekstrak biji kokossan terkandung satu atau lebih senyawa antifeedant. Aktivitas antifeedant dapat dijadikan suatu evaluasi awal untuk penemuan senyawa baru yang

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :

Multiphase motor possess several advantages, such as reduced the amplitude and increased the frequency of torque pulsations, reduced rotor harmonics currents,

Untuk merubah image perpustakaan dimulai dari pustakawan yang mampu mengembangkan diri menjadi yang lebih baik dengan segala potensi yang dimiliki, bukan sekedar menjadi

Alone berasal dari bahasa Inggris yang artinya „sendirian‟. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Inggris. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Inggris. Kata

Pero cuando el dolor que produce la institución (en especial cuando es de dominación u opresión, como en el caso del Estado liberal que obliga a los trabajadores del capitalismo

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

[r]