• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama pada asma terkontrol sebagian dan

commit to user test)

9. Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama pada asma terkontrol sebagian dan

tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C

Hasil analisis statistik menunjukkan rerata eosinofil sebelum pemberian vitamin C pada asma terkontrol sebagian 3,93 ±2,66 dan kelompok asma tidak terkontrol 5,80±2,40 didapatkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,053).

Hasil analisis statistik menunjukkan rerata neutrofil sebelum pemberian vitamin C pada asma terkontrol sebagian 48,80±25,52 dan kelompok asma tidak terkontrol 56,13±22,79 didapatkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,414).

commit to user

67

Hasil analisis statistik menunjukkan rerata %VEP1 sebelum

pemberian vitamin C pada asma terkontrol sebagian 82,27±14,78 dan kelompok asma tidak terkontrol 56,13±22,79 didapatkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,378) (tabel 5).

Tabel 5. Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama antara asma terkontrol sebagian dengan asma tidak terkontrol sebelum pemberian vitamin C.

Keterangan: ATS: asma terkontrol sebagian, ATT: asma tidak ter-kontrol.

Analisis statistik pada asma terkontrol sebagian menunjukkan terjadi penurunan rerata eosinofil sebesar 0,86 (berbeda tidak bermakna/ p=0,126), sedangkan pada asma tidak terkontrol terjadi peningkatan rerata eosinofil sebesar 0,6 (berbeda tidak bermakna/ p=0,587) antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C.

Analisis statistik pada asma terkontrol sebagian menunjukkan terjadi penurunan rerata neutrofil sebesar 14,93 (berbeda bermakna/ p=0,030), sedangkan pada asma tidak terkontrol terjadi penurunan

commit to user

68

rerata neutrofil sebesar 7,26 (berbeda tidak bermakna/ p=0,349) antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C.

Analisis statistik pada asma terkontrol sebagian menunjukkan terjadi peningkatan rerata %VEP1 sebesar 4,71 (berbeda tidak bermakna/ p=0,355), sedangkan pada asma tidak terkontrol terjadi peningkatan rerata %VEP1 sebesar 9,12 (berbeda bermakna/ p=0,046) antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C (tabel 6).

Tabel 6. Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama pada asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C.

Keterangan: ATS: asma terkontrol sebagian, ATT: asma tidak ter- kontrol.

B. PEMBAHASAN

Inflamasi kronik pada saluran napas terlibat dalam proses penyakit asma. Reaksi inflamasi tersebut mengakibatkan peningkatan stres oksidatif yang berperan dalam patogenesis asma (Cho dan Moon 2010). Kehilangan kontrol oksidan di saluran napas menimbulkan inisiasi sel Th2 akibat

commit to user

69

peningkatan kadar ROS dalam APC. Kondisi stres oksidatif menyebabkan gangguan maturasi sel dendritik ditandai penurunan sekresi IL-12 dan IFN- yang berdampak down regulation terhadap Th1 (Kim et al. 2007, Kroening et

al. 2008). Pajanan oksidan terhadap sel dendritik terbukti meningkatkan

produksi IL-4, IL-8 dan

TNF-(Verhasselt et al. 1998). Sel makrofag yang mengalami stres oksidatif akan mengalami peningkatan produksi IL-6 dan IL-10 dan akan mendeferensiasi Th0 ke arah respons Th2 (Murata et al. 2002). Respon Th2 dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan perubahan fungsi enzimatik sehingga memperberat reaksi inflamasi dan cedera jaringan (Peterson et al. 1998).

Perkembangan dan kelangsungan inflamasi tersebut menimbulkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, kontraksi otot polos bronkus, dan sekresi mukus yang terkait dengan tingkat keparahan asma (Terada 2006, Fitzpatrick et al. 2009, Cho dan Moon 2010). Proses inflamasidalam saluran napas penderita asma menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivasi eosinofil (Filipofic dan Cekic 2001, Surjanto 2005, Apter dan Weiss 2008) serta neutrofil (Monteseirin 2009). Respons inflamasitersebut menimbulkan gejala klinis penurunan nilai faal paru berupa gambaran obstruksi (PDPI 2004, NHLBI 2009).

Vitamin C berperan sebagai antioksidan karena mampu bertindak sebagai donor elektron untuk membalikkan reaksi oksidasi (Padayatty et al. 2003), menetralisir polutan dan toksin serta mampu menghambat histamin,

commit to user

70

suatu senyawa penting yang dilepaskan selama reaksi alergi yang mendasari patogenesis asma (Ottobani F dan Ottobani A 2005). Vitamin C juga berperan dalam sistem regulasi intraselular (imunoregulator) yang mengakibatkan menurunnya ekspresi gen proinflamasi (Carcamo et al. 2002, Carcamo et al. 2004).

Pembahasan terhadap hasil penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh bukti penurunan jumlah eosinofil dan netrofil sputum serta

peningkatan %VEP1 sesudah pemberian vitamin C dibandingkan sebelum

pemberian vitamin C.

Karakteristik subyek penelitian

Subyek penelitian berjumlah 30 orang terdiri dari 9 laki-laki (30%) dan 21 perempuan (70%) menunjukkan sampel penelitian perempuan

penderita asma lebih banyak daripada laki-laki. Penelitian sebelumnnya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang dilakukan oleh Widysanto (2006) didapatkan perempuan lebih banyak (66%), dan penelitian Prasetyo (2012) juga didapatkan perempuan lebih banyak (65,7%)

Laporan penelitian Thompson et al. (2003) menyatakan bahwa di Amerika Serikat penyakit asma juga lebih banyak pada perempuan. Berdasarkan penelitian Shaheen et al. (1999) hormon estrogen terbukti berhubungan dengan kecenderungan kegemukan dan tingginya prevalensi asma pada perempuan.

commit to user

71

Rerata umur subyek penelitian keseluruhan adalah 42,13±12,342 tahun, lebih tua dibanding penelitian Widysanto (2006) dengan rerata umur 35,94 tahun, tetapi lebih muda dibanding penelitian Prasetyo (2012) dengan rerata umur 44,43 ± 11,31 tahun.

Klasifikasi tingkat kontrol asma berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini menunjukkan laki-laki kelompok asma tidak terkontrol terdiri dari 5 pasien (16,67%) lebih banyak dibanding pada kelompok asma terkontrol sebagian (4 pasien/ 13,33%). Penelitian sebelumnya oleh Prasetyo (2012) juga menunjukkan bahwa presentasi laki-laki pada kelompok asma tidak terkontrol lebih tinggi dibanding laki-laki pada kelompok asma terkontrol sebagian (28,6% : 5,7%).

Sebanyak 25 orang (83,33%) subyek penelitian mempunyai riwayat alergi terutama terhadap debu dan udara dingin. Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% penderita asma adalah asma alergi. Alergi merupakan faktor pejamu yang mempengaruhi perkembangan asma (NHLBI 2009).

Indeks massa tubuh (IMT) responden penelitian ini terbanyak adalah normal yaitu 19 orang (63,33%), disusul IMT lebih sebanyak 8 orang (26,67%)

dan IMT kurang sebanyak 3 (10%). Penelitian ini menunjukkan presentase IMT lebih pada wanita lebih banyak dibanding laki-laki (23,33% :

3,33%). Thompson dkk, menemukan meningkatnya obese pada perempuan

commit to user

72

(Thompson et al. 2003). Hormon estrogen berhubungan kecenderungan kegemukan dan prevalensi asma pada perempuan (Shaheen et al. 1999).

Subyek penelitian mengeluh batuk dan sesak napas sebanyak 27 pasien (90%) , mengeluh sesak napas saja tanpa batuk 3 orang (10%), tidak ada yang mengeluh batuk saja tanpa sesak (0%). Keluhan ini dirasakan terutama pada malam dan menjelang dini hari. Berdasarkan GINA keluhan respirasi yang sering muncul pada penderita asma adalah sesak napas, batuk, dan mengi terutama pada malam dan pagi hari (NHLBI 2009).

Seluruh subyek penelitian (30 pasien / 100%) memakai SABA dan kortikosteroid. Subyek yang memakai terapi golongan xantin sebanyak 26 orang (86,67%). Pada penelitian saat ini ditemukan golongan SABA yang rutin dipakai adalah salbutamol inhalasi dan salbutamol tablet. Kortikosteroid yang biasa dipakai oleh pasien penelitian ini adalah budesonide inhalasi dan metilprednisolone tablet. Golongan xantin yang dipakai yang rutin dipakai pasien penelitian ini adalah aminofilin tablet.

Berdasarkan GINA 2009 terapi pada asma berdasarkan step-step yang sesuai. Untuk mencapai tingkat asma terkontrol pada populasi asma terkontrol sebagian dan asma tidak terkontrol dibutuhkan beberapa jenis obat diantaranya inhalasi SABA kerja cepat, kortikosteroid inhalasi atau peroral, dan golongan teofilin lepas lambat (NHLBI 2009). Ketidak sesuaian terapi pasien penelitian ini dengan protokol terapi (penggunaan salbutamol tablet, aminofilin tablet, dan metilprednisolon tablet) karena pertimbangan biaya dan beberapa pesien peneltitian ini menggunkan kartu jaminan kesehatan yang

commit to user

73

tidak menjamin teofilin lepas lambat dan kortikosteroid inhalasi. Ketidaksesuaian terapi pada beberapa subyek penelitian dengan terapi standar sekaligus menjadi keterbatasan penelitian ini.

Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan %VEP1 pada

asma terkontrol sebagian terhadap pemberian vitamin C

Hasil uji parametrik t berpasangan pada asma terkontrol sebagian didapatkan perbedaan jumlah eosinofil yang tidak bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C (p=0,126). Penelitian ini menunjukkan ketidakmaknaan hasil penurunan jumlah eosinofil pada pasien asma terkontrol sebagian terhadap pemberian vitamin C. Peneliti sampai saat ini belum pernah mendapatkan penelitian yang sama sehingga tidak bisa membandingkan hasil tersebut.

Penelitian oleh Jeong et al. (2010) membuktikan bahwa pemberian vitamin C dosis 3-5 mg pada hewan coba tikus asma menyebabkan penurunan sel-sel inflamasi termasuk eosinofil dalam cairan BAL. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dosis per kilogram berat badan lebih besar (pada hewan) dapat menurunkan kadar eosinofil secara bermakna.

Berdasarkan penelitian tersebut diatas, kemungkinan salah satu penyebab ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan teori adalah pemberian dosis vitamin C kurang besar. Penurunan jumlah eosinofil terhadap pemberian vitamin C dosis tinggi pada pasien asma masih perlu diteliti lebih lanjut. Beberapa pendapat mengatakan perkembangan derajat asma bervariasi

commit to user

74

pada masing-masing individu. Saluran napas yang telah mengalami remodeling akan lebih sulit disembuhkan dan proses penyakit tetap berjalan selama bertahun-tahun. Penebalan membran subepitelial saluran napas berhubungan dengan inflamasi eosinofilik yang persisten (Wenzel 2003).

Hasil uji parametrik dengan uji t berpasangan pada asma terkontrol sebagian didapatkan perbedaan bermakna jumlah neutrofil antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C (p=0,030). Hasil penelitian ini menunjuk-kan penurunan jumlah neutrofil yang bermakna sesudah pemberian vitamin C dibanding sebelum pemberian vitamin C. Hasil ini mendukung bukti peran vitamin C dalam sistem regulasi intraselular (imunoregulator) yang mengakibatkan menurunnya ekspresi gen proinflamasi (Carcamo et al. 2002, Carcamo et al. 2004). Vitamin C juga bertindak sebagai donor elektron untuk membalikkan reaksi oksidasi sehingga bisa berfungsi sebagai antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas dan mendeaktivasi oksidan sebelum terjadi kerusakan pada protein atau lipid (Padayatty et al. 2003).

Penelitian sebelumnya oleh Sureda et al. (2007) tentang pemberian vitamin C 152 mg dikombinasi dengan vitamin E 50 mg pada subyek pelari maraton menunjukkan adanya penurunan kadar MPO neutrofil setelah

exercise. Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan bermakna jumlah

neutrofil tapi tidak terdapat penurunan yang bermakna jumlah eosinofil. Hal tersebut diduga karena vitamin C mempunyai afiliasi lebih tinggi terhadap sel neutrofil sehingga konsentrasi dalam neutrofil lebih tinggi untuk mengendalikan ROS. Terdapat bukti dari penelitian in vitro menunjukkan

commit to user

75

bahwa vitamin C memiliki pengaruh yang kuat pada regulasi ROS pada neutrofil (Peake dan Suzuki 2004).

Uji parametrik t berpasangan terhadap nilai %VEP1 pada asma terkontrol sebagian menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna (p=0,355) antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat peningkatan/ perbaikan nilai %VEP1 tapi tidak bermakna pada pasien asma terkontrol sebagian terhadap pemberian vitamin C. Peneliti sampai saat ini belum pernah mendapatkan penelitian yang serupa sehingga tidak bisa membandingkan hasil tersebut. Penelitian Ting et al. (1983) tentang pemberian vitamin C 500 mg empat kali sehari selama tiga hari dan 1000 mg menjelang pemeriksaan spirometri pada subyek asma ringan menunjukkan tidak ada perbaikan nilai VEP1 setelah pemberian vitamin C.

Hasil yang berbeda ditunjukkan penelitian Gilliland et al. (2003) membuktikan terdapat hubungan antara fungsi paru dengan asupan buah, sayuran, vitamin A, C, dan E pada anak. Asupan vitamin A, C, dan E rendah dikaitkan dengan penurunan KVP, VEP1, dan FEF 25-75 %. Tingkat fungsi paru lebih rendah pada anak juga dihubungkan dengan rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin antioksidan (Harik et al. 2004). Penelitian Mohsenin et al. (1983) menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dosis 1000 mg per oral pada penderita asma dapat meningkatkan dosis

metakolin yang dibutuhkan untuk menurunkan nilai VEP1 sebesar 40%

commit to user

76

per oral vitamin C 1000 mg / hari dapat menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi secara bermakna pada penderita asma.

Penyebab hasil yang tidak konsisten beberapa penelitian tersebut sulit dianalisis. Jumlah eosinofil sputum berhubungan dengan derajad obstruksi pada pemeriksaan faal paru (Surjanto et al. 2011). Apakah ketidakmaknaan penurunan jumlah eosinofil sputum pada penelitian ini menjadi penyebab ketidakmaknaan kenaikan nilai %VEP1 masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan %VEP1 pada

asma tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C

Hasil uji nonparametrik Wilcoxon test pada asma tidak terkontrol didapatkan jumlah eosinofil sebelum pemberian vitamin C 5,80±2,40 dan sesudah pemberian vitamin C meningkat menjadi 6,40±5,90%, didapatkan perbedaan tidak bermakna (p=0,587). Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang menyebutkan peran vitamin C dalam sistem regulasi intraselular yang mengakibatkan menurunnya ekspresi gen proinflamasi (Carcamo et al. 2002, Carcamo et al. 2004) serta perannya sebagai antioksidan yang mampu mendeaktivasi oksidan sebelum terjadi kerusakan pada protein atau lipid (Padayatty et al. 2003).

Terdapat hubungan antara aktivitas eosinofil dengan derajat asma. Sitokin dapat mengurangi terjadinya apoptosis eosinofil sehingga mampu bertahan lebih lama pada saluran napas. Saluran napas yang telah mengalami

commit to user

77

perubahan struktural (remodeling) berupa penebalan membran subepitelial berhubungan dengan inflamasi eosinofilik yang berlanjut (Ko et al. 2005). Berdasarkan uraian tersebut diatas salah satu kemungkinan penyebab ketidakmaknaan hasil penelitian ini adalah sudah terjadi perubahan struktural (remodeling) pada subyek penelitian.

Uji nonparametrik Wilcoxon test pada asma tidak terkontrol didapatkan perbedaan tidak bermakna jumlah neutrofil sebelum pemberian dan sesudah pemberian vitamin C (p=0,349). Hasil penelitian ini menunjukkan ada penurunan jumlah neutrofil tapi tidak bermakna pada asma tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C. Hasil ini berbeda dengan kelompok asma terkontrol sebagian yang terdapat perbedaan bermakna pada penurunan neutrofil. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan pendapat yang menyatakan bahwa asma dengan inflamasi neutrofilik cenderung menjadi lebih berat dengan destruksi jaringan dan airway remodeling (Holgate 2008).

Penelitian oleh Jeong et al. (2010) membuktikan bahwa pemberian vitamin C dosis 3-5 mg pada hewan coba tikus asma menyebabkan penurunan sel-sel inflamasi termasuk neutrofil dan eosinofil dalam cairan BAL. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dosis per kilogram berat badan lebih besar (pada hewan) dapat menurunkan kadar neutrofil dan eosinofil secara bermakna. Berdasarkan penelitian tersebut diatas, kemungkinan salah satu penyebab ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan teori adalah pemberian dosis vitamin C kurang besar. Penurunan jumlah eosinofil dan

commit to user

78

neutrofil terhadap pemberian vitamin C dosis tinggi pada pasien asma masih perlu diteliti lebih lanjut.

Uji parametrik t berpasangan terhadap nilai %VEP1 pada asma tidak

terkontrol menunjukkan perbedaan yang bermakna sesudah pemberian

vitamin C (p=0,046). Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan nilai %VEP1 yang bermakna pada pasien asma tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C. Hasil ini mendukung bukti penelitian sebelumnya yang menyatakan terdapat perbaikan nilai VEP1% terhadap pemberian vitamin C pada pasien asma.

Terdapat bukti hubungan antara fungsi paru dengan asupan buah, sayuran, vitamin A, C, dan E pada anak. Asupan vitamin A, C, dan E rendah dikaitkan dengan penurunan KVP, VEP1, dan FEF 25-75 % (Gilliland et al. 2003). Tingkat fungsi paru lebih rendah pada anak juga dihubungkan dengan rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin antioksidan (Harik et

al. 2004).Penelitian Mohsenin et al. (1983) menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dosis 1000 mg per oral pada penderita asma dapat meningkatkan dosis metakolin yang dibutuhkan untuk menurunkan nilai VEP1 sebesar 40%

(pD40).Penelitian Fogarty et al. (2006) juga menunjukkan bahwa pemberian

per oral vitamin C 1000 mg / hari secara bermakna dapat menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi pada penderita asma.

Peningkatan %VEP1 berhubungan dengan penurunan inflamasi di

saluran napas. Penyebab utama obstruksi adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi (Rahmawati et

commit to user

79

al. 2003). Hasil penelitian pada kelompok asma tidak terkontrol ini

menunjukkan bahwa walaupun tidak terdapat penurunan jumlah eosinofil dan neutrofil sputum yang bermakna tetapi terdapat kenaikan %VEP1 yang bermakna. Hal ini diduga adanya peran inhibisi vitamin C secara langsung terhadap histamin yang berpengaruh kontraksi otot polos bronkus. Penelitian Zuskin et al. (1972) membuktikan terdapat penurunan kadar histamin penyebab konstriksi saluran napas hewan coba babi terhadap pemberian vitamin C.

Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan %VEP1 pada

asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pemberian vitamin C rerata jumlah eosinofil sputum pada asma terkontrol sebagian lebih kecil dibanding asma tidak terkontrol, tapi perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0,053).

Rerata neutrofil sebelum pemberian vitamin C pada asma terkontrol sebagian juga lebih kecil dibanding asma tidak terkontrol, tapi perbedaan

tersebut tidak bermakna (p=0,414). Sedangkan rerata %VEP1 sebelum

pemberian vitamin C pada asma terkontrol sebagian lebih besar dibanding asma tidak terkontrol, tapi perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0,378).

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan nilai %VEP1 antara pasien

commit to user

80

asma terkontrol sebagian dengan tidak terkontrol sebelum pemberian vitamin C.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Shiota et al. (2011) yang membuktikan tidak ada hubungan antara jumlah eosinofil dan neutrofil sputum dengan tingkat kontrol asma yang diukur dengan asthma control test (ACT). Penelitian Senna et al. (2007) membuktikan bahwa walaupun VEP1 merupakan indikator obtruksi saluran napas yang reliabel tapi tidak berhubungan dengan nilai ACT dan derajat asma. Hal tersebut mungkin disebabkan perbedaan persepsi masing-masing pasien asma dalam menilai gejala (bersifat subyektif).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah eosinofil pada kedua kelompok (asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol) tidak berbeda bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C.

Jumlah neutrofil pada kelompok asma terkontrol sebagian mengalami penurunan bermakna, tetapi pada kelompok asma tidak terkontrol terdapat penurunan tidak bermakna sesudah pemberian vitamin C.

Hasil yang sebaliknya didapatkan kenaikan bermakna nilai %VEP1 pada kelompok asma tidak terkontrol, tetapi terdapat kenaikan yang tidak bermakna nilai %VEP1 pada kelompok asma terkontrol sebagian sesudah pemberian vitamin C.

Hasil yang tidak konsisten tersebut diduga disebabkan beberapa hal diantaranya terdapat bukti bahwa tingkat kontrol asma tidak berhubungan dengan derajat inflamasi di saluran napas (Shiota et al. 2011). Variasi

commit to user

81

individual mengenai respons terapi diduga juga berperan terhadap hasil yang tidak konsisten tersebut. Penelitian Cockroft dan Swystun (1996) membuktikan bahwa pada pasien asma tidak terkontrol yang sering eksaserbasi akut sedang sampai berat terkadang dapat diterapi dengan mudah

Kesesuaian hasil penelitian ini dengan teori mendukung peran vitamin C sebagai antioksidan dan imunoregulator. Sebagai antioksidan vitamin C dapat mengurangi kerusakan DNA dengan mereduksi spesies radikal secara langsung, menurunkan pembentukan reaktif spesies seperti hidroperoksida lipid atau mencegah serangan radikal terhadap protein dan DNA repair. Vitamin C sebagai antioksidan juga dapat mencegah pembentukan

nitrosamine, sehingga dapat mencegah pembentukan beberapa spesies

nitrogen reaktif yang dapat berakibat kerusakan gen (Padayatty et al. 2003). Sebagai imunoregulator vitamin C mampu menghambat jalur GMCSF serta

proinflamasi (Bowie dan 2000, Carcamo et al. 2002).

Ketidak sesuaian hasil penelitian ini dengan kajian teori dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penelitian ini tidak bisa memilih subyek yang mengalami defisiensi vitamin C, karena tidak dilakukan pengukuran kadar awal vitamin C serum. Variabel perancu berupa asupan makanan yang mengandung vitamin C pada diet pasien serta kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap imunitas pasien asma tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Karakteristik dasar pasien penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat terapi yang tidak sesuai dengan standar, sehingga

dimungkin-commit to user

82

kan berpengaruh terhadap variabel penelitian. Semua hal tersebut diatas sekaligus menjadi keterbatasan penelitian ini.

commit to user

83

Dokumen terkait