• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

3. Vitamin C Sebagai Antioksidan Dalam Sistem Biologi

oksidasi senyawa lain. Reaksi ini akan menyebabkan vitamin C teroksidasi (Padayatty et al. 2003).

2. Peran Vitamin C Pada Sistem Imunitas

Terdapat bukti bahwa asam askorbat mempunyai aktivitas antibakteri in vivo dan in vitro. Kadar asam askorbat dalam leukosit (yang bertanggung jawab untuk pertahanan host) sekitar 80 kali lebih tinggi dibanding dalam plasma. Hasil penelitian tersebut mendukung peran asam askorbat dalam sistem imunitas (Ottoboni F dan Ottobani A 2005).

Insulin mengangkut glukosa dan asam askorbat ke semua sel tubuh, termasuk sel fagositosis. Sistem transportasi ini menimbulkan kompetisi antara glukosa dan asam askorbat. Kadar glukosa yang tinggi akan menghambat pengangkutan asam askorbat, sehingga apabila dibutuhkan efek asam askorbat dosis besar maka hambatan oleh glukosa harus diatasi. Glukosa tidak hanya menghambat pengangkutan asam askorbat ke semua sel tubuh tetapi juga menghambat stimulasi asam askorbat terhadap heksosa monofosfat (HMP) pada sistem imunitas (Ottoboni F dan Ottobani A 2005).

3. Vitamin C Sebagai Antioksidan Dalam Sistem Biologi

Vitamin C dapat teroksidasi oleh berbagai spesies radikal bebas yang terlibat dalam penyakit manusia. Spesies yang dapat menerima elektron dan direduksi oleh vitamin C, dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu: 1. Senyawa dengan elektron tidak berpasangan seperti ROS, sulfur radikal, dan RNS. 2. Senyawa yang reaktif tetapi bukan radikal, termasuk asam

commit to user

38

hipoklorit, nitrosamin dan senyawa nitrat yang lain, dan ozon. 3. Senyawa yang terbentuk oleh reaksi dengan salah satu dari dua kelas tersebut diatas kemudian bereaksi dengan vitamin C. Contoh reaksi tersebut adalah pembentukan radikal alfa tocopheroxyl, yang dihasilkan interaksi oksidan eksogen berinteraksi dengan alfa tokoferol dalam low

density lipoprotein (LDL). Radikal tocopheroxyl dapat direduksi kembali

menjadi alfa tokoferol oleh asam askorbat (Padayatty et al. 2003).4. Transisi reaksi yang dimediasi metal yang melibatkan zat besi dan tembaga, misalnya reduksi terutama besi oleh askorbat dapat menyebabkan pembentukan radikal lain melalui reaksi Fenton (Carr dan Frei 1999). Zat besi dalam bentuk tereduksi menguntungkan bagi tubuh karena penyerapan dalam usus meningkat (Padayatty et al. 2003). Antioksidan asam askorbat dapat melawan reaksi oksidasi pada lipid, protein, dan DNA. Reaksi oksidasi lipid dapat terjadi pada membran sel dan lipoprotein dalam sirkulasi seperti low density lipoprotein (LDL) mengakibatkan peroksidasi lipid. Asam askorbat dapat mengurangi ROS sehingga mampu menghambat terjadinnya peroksidasi lipid. Asam askorbat juga mencegah reaksi oksidasi lebih lanjut yang membentuk

lipid hydroperoxides. Protein mengalami oksidasi melalui beberapa

mekanisme (Berlett dan Stadtmant 1997). Sebuah rantai peptida dapat dipecah oleh oksidan dan asam amino spesifik juga dapat teroksidasi. Asam amino yang paling rentan terjadi reaksi oksidatif adalah sistein dan metionin. Asam amino lain yang juga rentan terjadi reaksi oksidasi

commit to user

39

adalah arginin, prolin, treonin, tirosin, histidin, triptofan, valin, dan lisin. Asam askorbat dapat mencegah oksidasi protein atau asam amino. Proses oksidatif dapat terjadi pada DNA secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui oksidasi lipid dan protein (Halliwell 2000). Mekanisme tidak langsung oleh oksidasi protein menyebabkan kerusakan pada repair enzim dan DNA polimerase. Reaksi ROS dengan lipid menghasilkan lipid peroksidasi yang bereaksi dengan DNA dapat menginduksi mutasi (Lee et al. 2001). Nitrogen reaktif species juga dapat merusak protein yang dibutuhkan untuk sistem pertahanan terhadap oksidan atau DNA repair sehingga dapat mengakibatkan kerusakan sel lebih lanjut. Oksidan diduga juga dapat menyebabkan kerusakan nukleotida dalam DNA secara langsung. Guanin paling rentan terhadap serangan oksidatif, membentuk 8 hydroxyguanine (8OHG/ 8-oxoG) dan derivatnya yaitu 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8OHdG/ 8-oxodG). Kedua senyawa ini dapat diukur secara langsung (Halliwell 2000).

Asam askorbat dapat mengurangi kerusakan DNA dengan mereduksi spesies radikal secara langsung, menurunkan pembentukan reaktif spesies seperti hidroperoksida lipid atau mencegah serangan radikal terhadap protein dan DNA repair. Askorbat sebagai antioksidan juga dapat mencegah pembentukan nitrosamine, sehingga dapat mencegah pembentukan beberapa spesies nitrogen reaktif yang dapat berakibat kerusakan gen (Padayatty et al. 2003). Skema regulasi vitamin C pada stres oksidatif seperti terlihat pada gambar lima dan enam.

commit to user

40

Gambar 5. Skema regulasi vitamin C pada sel.

Dikutip dari (Carcamo et al. 2004)

Gambar 6. Skema inhibisi sinyal GM-CSF oleh vitamin C

commit to user

41 C. KERANGKA KONSEPTUAL

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas dapat disimpulkan bahwa stres oksidatif berperan penting dalam patogenesis asma. Kehilangan kontrol oksidan di saluran napas dapat menimbulkan inisiasi sel Th2 yang merupakan fase awal perkembangan inflamasi alergi dalam saluran napas. Peningkatan kadar ROS dalam APC mempengaruhi sistem imunitas akibat respon Th2 (Peterson et al. 1998). Kondisi stres oksidatif menyebabkan gangguan maturasi sel dendritik ditandai penurunan sekresi IL-12 dan IFN- yang berdampak down regulation terhadap Th1 (Kim et al. 2007, Kroening et al. 2010). Pajanan oksidan terhadap sel dendritik terbukti meningkatkan produksi IL-4, IL-8 dan

TNF-(Verhasselt et al. 1998). Sel makrofag yang mengalami stres oksidatif akan mengalami peningkatan produksi IL-6 dan IL-10 dan akan mendeferensiasi Th0 ke arah respons Th2 (Murata et al. 2002). Peningkatan stres oksidatif juga berkontribusi pada perkembangan atau kelangsungan inflamasi saluran napas, menimbulkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, stimulasi sekresi mukus, dan induksi berbagai mediator kimia proinflamasi. Semua hal tersebut diatas terkait dengan tingkat keparahan asma (Fitzpatrick et al. 2009).

Reaksi inflamasi dalam saluran napas penderita asma menyebabkan aktivasi eosinofil (Filipofic dan Cekic 2001, Surjanto 2005, Apter dan Weiss 2008) dan aktivasi neutrofil (Monteseirin 2009), sehingga jumlahnya meningkat di saluran napas. Respons inflamasi menimbukan gejala klinis asma berupa penurunan faal paru berupa gambaran obstruksi. Perbandingan

commit to user

42

VEP1 dengan KVP merupakan parameter untuk menentukan derajat obstruksi (Alsagaf dan Mangunnegoro 1993, Davies dan Moores 2003, Barreiro dan Perillo 2004). Peningkatan derajat inflamasi pada asma akan mempengaruhi derajat obstruksi (NHLBI 2009).

Mekanisme pertahanan antioksidan mampu memperbaiki kesetimbangan antara oksidan dan antioksidan serta menurunkan kondisi stres oksidatif. Vitamin C sebagai antioksidan bertindak sebagai donor elektron sehingga mampu menimbulkan reaksi reduksi terhadap beberapa senyawa (Padayatty

et al. 2003). Vitamin C juga bertindak sebagai inhibitor histamin, suatu

senyawa yang dilepaskan selama reaksi alergi. Sebagai antioksidan kuat dapat menetralisir radikal bebas dan membantu menetralisir polutan dan toksin. Kerangka konseptual secara ringkas terlihat pada gambar 7.

commit to user

43 Gambar 7. Kerangka konsep penelitian

Stres oksidatif pada asma menyebabkan gangguan maturasi sel dendritik, menimbulkan penurunan sekresi IL-12 dan IFN- serta peningkatan IL-6, IL-8, dan IL-10. Kondisi ini akan menyebabkan deferensiasi Tho kearah respon Th2, berakibat peningkatan inflamasi dan peningkatan obstruksi jalan napas.

commit to user

44 D. HIPOTESIS

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas ditetapkan hipotesis penelitian yaitu: 1. Pemberian vitamin C dapat menurunkan jumlah eosinofil dan neutrofil

sputum pada penderita asma terkontrol sebagian.

2. Pemberian vitamin C dapat meningkatkan nilai VEP1 pada penderita asma terkontrol sebagian.

3. Pemberian vitamin C dapat menurunkan jumlah eosinofil dan neutrofil sputum pada penderita asma tidak terkontrol.

4. Pemberian vitamin C dapat meningkatkan nilai VEP1 pada penderita asma tidak terkontrol.

commit to user

45

Dokumen terkait