• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan SRI dengan Konvensional :

Dalam dokumen LAPORAN RESMI PRAKTIKUM (Halaman 40-49)

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

C. Perbedaan SRI dengan Konvensional :

Pembeda Metode Konvensional Metode SRI

Anjuran Dosis

pupuk Pupuk anorganik dan organik

Bahan organik 10 ton / ha

Varietas Varietas unggul baru dan varietas unggul hibrida Varietas lokal/unggul baru Seleksi

benih Pemilahan benih bernas dengan air garam / ZA (3%)

Pemilahan benih bernas dengan telur dan air garam

Pesemaian Pesemaian basah diaplikasi kompos, sekam, dan pupuk Pesemaian kering Jumlah

bibit/luban

g 1—3 bibit 1 bibit

Tanam bibit 10—21 hss 7—14 hss

Jarak

tanam VUB/VUTB 20×20 cmVUH 25×25 cm 30×30 cm Hama

penyakit

Bila perlu berdasarkan hasil monitoring dapat digunakan pestisida kimia, hayati, dan nabati, maupun

kombinasinya

Pengendalian hayati

Pengelolaa n gulma

Menggunakan landak dan herbisida kimia atau penyiangan

Penyiangan

mekanis/landak 4 kali

Pengairan Pengairan berselang

Tanah dipertahankan lembab hingga retak-retak selama

vegetatif Penangana

n pasca panen

Mesin perontok dan gebot disesuaikan dengan kondisi

petani Gebot

Metode

Kelembaga

an SIPT, KUAT, KUM Pemberdayaan kelompok Pendekatan

desimenasi Kelompok tani, hamparan, demfarm

Kelompok studi petani, individu, demplot

Hasil gabah 5,0—8,5 ton/ha GKG 6,9—8,5 ton/ha GKP Peningkata

n hasil 0,2—1,1 ton/ha 0,3—2,3 ton/ha

Dalam sistem SRI, jarak tanam lebih renggang, hal ini bertujuan untuk mengurangi kompetisi dalam memperebutkan makanan, yaitu sekitar 25-30 cm. Pada sistem konvensional jarak tanam lebih sempit, yaitu sekitar 20 cm dari pada sistem SRI. Hal ini diduga, penanaman dengan jarak tanam yang lebih lebar akan diperoleh populasi yang sedikit sehingga mengurangi kompetisi antar tanaman akan penyerapan sinar matahari, air, unsur hara tanah, dan kompetisi dalam tubuh tanaman akan hasil asimilasi, sehingga dapat mendukung proses perkecambahan dan pertumbuhan tanaman padi secara optimal.

Dalam metode SRI digunakan sistem pengairan macak-macak (irit air), hingga dimungkinkan tanah mengalami peretakan yang akhirnya memungkinkan aerasi tanah berjalan dengan lancar, begitupun dengan serapan nutrisi melalui perakaran yang baik menjadi optimal. Jika akar dengan baik, maka bibit padi mempunyai anakan lebih banyak. Karena anakannya banyak, dan adanya serapan air cukup (dalam artian mencukupi untuk penyerapan nutrisi dan unsur hara tanah) dan air yang mengendap di tanaman padi sedikit, maka berat kering (berat setelah dioven) menjadi lebih besar.

Perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap berat kering tanaman. Pada penanaman dengan jarak tanam lebar dapat meningkatkan berat kering tanaman secara nyata dibanding jarak tanam yang sempit dan jarak tanam sedang. Hal ini diduga, penanaman dengan jarak tanam lebar akan diperoleh populasi yang sedikit sehingga mengurangi kompetisi antar

tanaman akan penyerapan sinar matahari, air, unsur hara tanah dan kompetisi dalam tubuh tanaman akan hasil asimilasi, sehingga dapat mendukung proses perkecambahan dan pertumbuhan tanaman padi.

Pindah tanam pada metode SRI dilakukan pada usia padi yang muda yang bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan akar. Karena pada usia muda, akar memiliki potensi tumbuh yang tinggi. Penanaman bibit pada usia 15 hari sesudah penyemaian akan membuat potensi anakan menjadi tinggal 1/3 dari jumlah potensi anakan. Hal ini berarti, SRI menambah potensi anakannya sekitar 64%. Penanaman satu bibit per lubang tanam bertujuan untuk mengoptimalkan penyerapan nurisi oleh tanaman sehingga pertumbuhannya maksimal. Dengan dua bibit perlubang tanam, akan menimbulkan kompetisi untuk memperoleh nutrisi dengan demikian pertumbuhan kurang optimal. Selain itu, tanaman padi memerlukan tempat tumbuh yang cukup untuk pertumbuhannya agar dapat memperoleh cahaya matahari yang cukup.

Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa tanaman padi tertinggi pada pengamatan minggu ke-4 adalah padi dengan perlakuan 14 hss, kemudian diikuti padi dengan perlakuan 7 hss lalu 21 hss. Hasil dari percobaan ini tidak sesuai dengan teori

yang seharusnya, padi yang dipindah tanam pada usia muda memiliki kualitas benih yang lebih baik karena lebih mudah beradaptasi di lingkungan yang baru. Ini disebabkan pada usia muda, pertumbuhan akar memiliki potensi tumbuh yang lebih baik dan optimal

Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah daun tanaman padi terbanyak adalah padi dengan perlakuan 14 hss, kemudian diikuti padi dengan perlakuan 7 hss, dan 21 hss. Jumlah daun tersebut dapat digunakan untuk mengukur kualitas bibit yang tumbuh. Tanaman yang menghasilkan daun yang terbanyak berarti tanaman tersebut mempunyai daya tumbuh yang baik karena tanaman tersebut dapat menjalankan metabolisme yang terjadi dengan menumbuhkan organ-organ yang membantu dalam proses asimilasi makanan bagi pertumbuhan tanaman. Jumlah daun yang banyak berarti sarana untuk asimilasi makanan melalui fotosintesis yang tersedia sangat terpenuhi.

Berdasarkan histogam di atas, dapat diketahui bahwa berat segar dan berat kering tanaman tertinggi adalah tanaman dengan perlakuan 7 hss. Pengamatan berat kering tanaman dilakukan untuk mengetahui kualitas bibit melalui hasil fotosintesis yang dihasilkan. Berat kering yang tinggi mengindikasikan tanaman memiliki hasil asimilasi yang tinggi. Hasil asimilasi yang tinggi menggambarkan proses fotosintesis yang tinggi yang berarti biomasa tanaman tinggi. Jadi, semakin berat tanaman, maka kualitas pertumbuhan tanaman tersebut semakin baik.

SGR (Summed Gowth Ratio) adalah penggunaan ukuran relatif yang berfungsi untuk mengetahui apakah suatu bibit padi memiliki kualitas yang lebih baik dari yang lain atau tidak dengan menghitung rasio jumlah daun, rasio berat kering, dan rasio tinggi tanaman. Perhitungan SGR mengindikasikan benih itu berkualitas baik apabila nilai SGRnya lebih tinggi yaitu didapat ketika L’ (rasio jumlah daun), T’ (rasio berat kering ), dan H’ (rasio tinggi tanaman) menunjukkan nilai yang besar.

Pada hasil percobaan, Nilai SGR yang dihasilkan benih padi 14 hss paling tinggi dibanding tanaman padi dengan perlakuan 7 hss dan 21 hss. Perbandingan kualitas biji dapat dilihat dari perbandingan berat keringnya. Kualitas yang baik dapat dilihat dengan besarnya SGR atau dengan penimbangan berat kering akar dan daunnya. Nilai SGR menunjukkan hasil fotosintesis tanaman. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa proses fotosintesis yang terjadi pada benih dengan 14 hss berjalan paling baik.

Berdasarkan percobaan, perbedaan perlakuan akan menyebabkan kualitas benih yang dihasilkan berbeda. Seharusnya padi yang dipindah tanam pada usia muda memiliki kualitas benih yang lebih baik. Ini disebabkan pada usia muda, pertumbuhan akar memiliki potensi tumbuh yang lebih baik. Perakaran padi akan berkembang optimal pada usia muda. Selain itu dengan penanaman padi satu per lubang tanam membuat benih tumbuh optimal karena padi membutuhkan tempat tumbuh yang cukup besar untuk perkembangan optimal. Padi mendapatkan nutrisi, cahaya matahari, unsur hara dan bahan-bahan lain yang dibutuhkannya dengan optimal karena tidak ada persaingan antar tanaman yang terjadi.

V.KESIMPULAN

1. Semakin cepat pindah tanam, maka semakin besar berat kering tanaman yang dihasilkan.

2. Semakin tinggi berat kering suatu bibit, maka semakin baik kualitas bibit tersebut. 3. Metode SRI lebih baik dari pada metode konvensional karena lebih hemat air,

4. DAFTAR PUSTAKA

Kurniasih, A. dan W.Q. Mugnisjah. 2003. Pengaruh sistem tanaman padi (Oryza Sativa L.) dan populasi ikan terhadap pertumbuhan dan produksi pada sistem mina padi. Gakuryoku IX : 36—42.

Lorentz, O. A. dan D. N. Maynard. 1980. Vegetable Browers. JohnnWiley and sons, Inc., New York.

Mayer, A. M. dan A. Poljakof. 1975. The Germination of Seeds. Pergamon Press, New York.

Namara, R.E., P. Weligamage, dan R. Barker. 2003. Prospects for adopting system of Rice Intensification in Sri Langka : A Socioeconomic Assessment. International Water Management Institute, Sri Lanka.

Sutrimo. 2011. Budidaya Padi Model SRI. <http://epatani. deptan.go.id/budidaya/ budidaya-padi-model-sri-3007>. Diakses tanggal 26 April 2012.

Uphoff, N. 2008. The system of rice intensification (SRI) as a system of agiculture innovation. Jurnal Tanah dan Lingkungan 10 : 27— 40.

Wangiyah, W., V. F. A. Budianto, N. Farida, dan N. W. D. Dulur. 2010. Pertumbuhan dan hasil tanam padi (Oryza sativa L.) var. silungga pada berbagai teknik budidaya dan aplikasi kompos bokashi pupuk kandang sapi. Agoteksos 20 : 103—111.

LAMPIRAN

Dalam dokumen LAPORAN RESMI PRAKTIKUM (Halaman 40-49)

Dokumen terkait