• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel Hasil Pengamatan Khemis dari 40 biji saga

Dalam dokumen LAPORAN RESMI PRAKTIKUM (Halaman 74-86)

PEMECAHAN DORMANSI DAN ZAT PENGHAMBAT PERKECAMBAHAN BIJI

A. Tabel Hasil Pengamatan Khemis dari 40 biji saga

Perlakuan Hari

ke-1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H20 0 0 0,167 0 0 0,027 0,023 0 0,018 0,017 H2SO4 1 menit 0,33 0,083 0,112 0,042 0,033 0,028 0 0 0,037 0,017 H2SO4 3 menit 0,33 0 0,167 0,042 0,067 0,028 0,023 0 0,037 0,033 H2SO4 6 menit 0,167 0,25 0,05 0,028 0,1 0,028 0,023 0,021 0,037 0,05 Mekanis Perlaku an Hari ke-1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Amplas 0,167 0,833 1,049 0,583 0,3 0,167 0 0 0 0 Control 0 0 0 0 0 0,112 0 0 0 0,017 3. Coumarin

Perlakuan 1 2 3 4 5 Hari ke-6 7 8 9 10 0% 0,33 0,92 2,38 1,75 0,33 0,29 0,14 0,06 0,02 0,05

25% 0,67 1 2,09 1,54 0,43 0,29 0,19 0 0,02 0,03

50% 0,67 1,08 1,37 1,46 0,33 0,22 0,22 0,02 0,02 0,08 100% 0 0,58 1,05 1,25 0,57 0,46 0,41 0,1 0,02 0,12

B.Pembahasan

Organisme hidup dapat memasuki keadaan tetap hidup meskipun tidak tumbuh selama jangka waktu yang lama, dan baru mulai tumbuh aktif bila kondisinya sudah sesuai. Biji adalah salah satu bagian dari tanaman yang biasanya melakukan suatu proses

dormansi. Dormansi adalah suatu keadaan berhenti tumbuh yang dialami organisme hidup atau bagiannya sebagai tanggapan atas suatu keadaan yang tidak mendukung pertumbuhan normal. Dengan demikian, dormansi merupakan suatu reaksi atas keadaan fisik atau lingkungan tertentu. Biji yang mengalami dormansi ditandai oleh rendahnya atau tidak adanya proses imbibisi air, proses respirasi tertekan atau terlambat, dan rendahnya proses metabolism cadangan makanan. Pemicu dormansi dapat bersifat mekanis, keadaan fisik lingkungan, atau kimiawi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dormansi, antara lain :

1. Tidak sempurnanya embrio (rudimentary embryo)

2. Embrio yang belum matang secara fisiologis (physiological immature embryo)

3. Kulit biji yang tebal (tahan terhadap pergerakkan mekanis) 4. Kulit biji impermeable (impermeable seed coat).

5. Adanya zat penghambat (inhibitor) untuk perkecambahan.

Untuk mengetahui dan membedakan/memisahkan apakah suatu benih yang tidak dapat berkecambah adalah dorman atau mati dan memperpendek waktu dormansi, maka dormansi perlu dipecahkan. Ada beberapa metode yang telah diketahui, yaitu :

Perlakuan mekanis

Perlakuan mekanis dilakukan dengan Skarifikasi. Skarifikasi mencakup cara-cara seperti mengkikir/menggosok kulit biji dengan kertas amplas, melubangi kulit biji dengan pisau, memecah kulit biji maupun dengan perlakuan goncangan untuk benih-benih yang memiliki sumbat gabus dan berkulit keras. Beberapa famili tanaman yang mempunyai biji berkulit keras antara lainakasia (Acacia auriculiformis), kacang tanah (Arachis hypogaea ) , bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea). Tujuan dari perlakuan mekanis ini adalah untuk melemahkan kulit biji yang keras sehingga lebih permeabel terhadap air atau gas.

Tujuan dari perlakuan kimia adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Khemikalia yang dapat menghilangkan zat penghambat dalam biji, antara lain H2SO4, HNO3, potassium hidroxide, asam hidroklorit, potassium nitrat dan Thiourea. Selain itu dapat juga digunakan hormon tumbuh antara lain: Cytokinin, Gibberelin dan iuxil (IAA).

Perlakuan perendaman dengan air

Perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Perendaman dengan air, yaitu dengan memasukkan benih ke dalam air panas pada suhu 60—70 ºC danͩ dibiarkan sampai air menjadi dingin, selama beberapa waktu.

Perlakuan dengan suhu.

Cara yang sering dipakai adalah dengan memberi temperatur rendah pada keadaan lembap (Stratifikasi). Selama stratifikasi terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat menghilangkan bahan-bahan penghambat perkecambahan atau terjadi pembentukan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan. Kebutuhan stratifikasi berbeda untuk setiap jenis tanaman, bahkan antar varietas dalam satu famili.

Pada percobaan ini, dilakukan perendaman pada biji saga (Abrus precatorius ) dalam H2SO4 pada berbagai perlakuan yaitu selama 0 menit, 1 menit, 3 menit dan 6 menit. Bentuk dormansi pada biji saga ini disebabkan oleh adanya kulit biji yang impermeabel terhadap air dan oksigen (O2). Menurut Hartmann et al. (2002) upaya pematahan dormansi untuk mengatasi impermeabilitas kulit biji ini adalah melalui perendaman dengan bahan kimia yaitu asam klorida, asam sulfat, KNO3, NaNO2, air panas, dan skarifikasi. Semakin lama direndam, maka masa dormansi pada biji semakin cepat dipatahkan. Berdasarkan grafik di atas pada pengamatan hari terakhir perlakuan perendaman terlihat bahwa pemberian H2SO4 dengan waktu paling lama terbukti mempercepat proses perkecambahan dengan gaya berkecambah yang paling tinggi dimana gaya berkecambah merupakan salah satu tolak ukur untuk dapat mengetahui apakah biji masih dapat berkecambah atau tidak. Asam sulfat ini menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan pada legum maupun non legume (Coppeland, 1980) sehingga dengan perlakuan perendaman yang lebih lama, kulit biji saga yang terkikis akan semakin banyak sehingga memungkinkan air dan oksigen semakin mudah untuk masuk ke dalam biji.

Menurut teori perendaman dengan H2SO4, semakin lama waktu perendaman semakin banyak biji yang berkecambah, yang berarti asam sulfat memang bersifat mematahkan dormansi biji. Pada percobaan yang kami lakukan adalah merendam biji saga dalam H2SO4. Indeks vigor tertinggi terdapat pada penambahan H2SO4 selama 6 menit. Hal ini telah sesuai dengan teori bahwa upaya pematahan dormansi untuk mengatasi impermeabilitas kulit biji ini dapat dilakukan dengan melalui perendaman dengan bahan kimia, salah satu contohnya adalah H2SO4.. Perlakuan perendaman yang lebih lama, kulit biji saga yang terkikis akan semakin banyak sehingga memungkinkan air dan oksigen semakin mudah untuk masuk ke dalam biji sehingga upaya pematahan dormansi dapat dipercepat.

Berdasarkan gafik Gaya Berkecanbah vs. Hari Pengamatan, dapat diketahui bahwa Gaya Berkecambah biji saga (Abrus precatorius) pada perlakuan mekanis dengan pengampelasan yaitu 88,33 % dan pada biji yang tidak diamplas (kontrol) yaitu 3,33%. Ini menunjukan bahwa pengamplasan dapat membantu memecah dormansi biji.

Biji saga memiliki kulit yang keras sehingga menyebabkan kulit bersifat impermeable terhadap air dan gas-gas yang diperlukan untuk perkecambahan. Selain itu kulit biji yang keras ini dapat juga menyebabkan dormansi. Kulit biji yang impermeable ini dapat dirangsang dengan skarifikasi – pengubahan kulit biji untuk membuatnya menjadi permeable terhadap gas-gas dan air.

Ini tercapai dengan bermacam-macam teknik, cara mekanik termasuk tindakan pengampelasan merupakan tindakan yang paling umum. Perlakuan mekanis berupa pengamplasan terbukti efektif memecah dormansi pada biji saga. Perlakuan ini juga terbukti menyebabkan kecepatan berkecambah biji menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa dormansi benih saga dapat dipecahkan dengan perlakuan skarifikasi (pengikisan kulit benih). Dengan perlakuan tersebut, daya berkecambah benih dapat mencapai 97% dibandingkan kontrol yang hanya 6% (Hasanah et al. 1993).

Berdasarkan gafik IV di atas terlihat bahwa biji saga perlakuan mekanis lebih banyak berkecambah dibandingkan dengan kontrol. Biji saga yang paling banyak berkecambah dapat kita lihat pada hari ke-3. Pengaruh pengamplasan pada biji adalah kulit biji yang mulanya keras menjadi lebih tipis dan ini memungkinkan air, udara, oksigen untuk masuk ke dalam biji. Biji yang mulanya bersifat impermeabel menjadi permeabel sehingga air , udara, oksigen dapat masuk kedalam biji dan menjadikan biji menjadi dapat berkecambah. Dapat dibuktikan pada grafik di atas bahwa hasil membuktikan biji yang berkecambah adalah biji yang mendapat perlakuan mekanis (diamplas), sedangkan pada biji kontrol atau biji yang tidak di amplas hasil perkecambahannya hampir semua 0.

Berdasarkan diagam batang (histogram) di atas dapat dilihat bahwa pemberian cairan daging buah (coumarin) pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat perkecambahan. Salah satu penyebab terjadinya dormansi pada biji adalah adanya zat penghambat perkecambahan. Cairan buah tertentu seperti jeruk dan tomat mengandung zat penghambat perkecambahan sehingga mencegah biji buah berkecambah ketika masih dalam tubuh (Latunra dkk., 2008).

Dari pengamatan yang sudah dilakukan gaya berkecambah biji padi paling rendah terjadi pada perlakuan coumarin 50% yaitu 74,64%, sementara pada kontrol gaya berkecambah coumarin yang paling tinggi mengalami perkecambahan, yaitu 87,33%. Akan tetapi, berdasarkan teori yang ada. Seharusnya gaya berkecambah yang paling rendah terjadi pada perlakuan coumarin 100%. Pada kondisi internal disebabkan oleh keberadaan zat tumbuh, zat penghambat tumbuh lainnya yang berada dalam biji, maupun daya adaptasi biji terhadap lingkunga. Adapun zat penghambat berupa cairan dagin buah yang digunakan dalam percobaan ini adalah coumarin yang terkandung dalam buah tomat. Coumarin dapat menghambat perombakan phytin oleh enzim phytiase sebagai sumber fosfor inorganik yang menyediakan energi untuk proses perkecambahan benih (Copeland, 1976 cit. Pian 1990). Sebab eksternal juga sangat berpengaruh terhadap kemampuan biji untuk berkecambah yaitu suhu yang fluktuatif yang tidak bisa diperkirakan, ketersediaan air, kelembaban dalam ruangan, dan sinar matahari.

Selain gaya berkecambah, juga akan diketahui indeks vigor suatu biji. Indeks vigor atau kecepatan berkecambah adalah banyaknya biji yang berkecambah dari sejumlah biji murni yang dikecambahkan

dinyatakan dalam waktu yang lebih pendek daripada waktu untuk menentukan gaya berkecambah. Indeks vigor menggambarkan keserempakan perkecambahan biji.

Gafik di atas menunjukkan bahwa pemberian cairan daging buah tomat (Coumarin) berpengaruh terhadap kecepatan berkecambah padi. Pada hari yang pertama coumarin yang 100% tidak mengalami perkecambahan, sedangkan untuk perlakuan yang lain mengalami perkecambahan. Pada hari kedua biji yang mengalami perkecambahan yang paling banyak terjadi pada larutan coumarin 50%, sedangkan yang mengalami perkecambahan paling rendah terjadi pada perlakuan coumarin 100%. Pada hari ketiga, puncak perkecambahan terjadi pada pada perlakuan kontrol dan coumarin 25%. Untuk perlakuan 50% dan 100% mengalami puncak perkacambahan pada hari ke empat. Setelah hari keempat keserempakan perkecambahan (Indeks Vigor) untuk semua perlakuan mengalami penurunan sampai akhir pengamatan.

Pemberian coumarin bertujuan untuk menghambat perkecambahan. Pada pemberian cuomarin 0% dan 25% keserempakan perkecambahan terjadi pada hari ketiga, sedangkan pada pemberian Coumarin 50% dan 100% keserempakan perkecambahan terjadi pada hari keempat, hal ini membuktikan bahwa pemberian Coumarin dalam

konsentrasi tinggi dapat menghambat perkecambahan. Pada grafik dapat dilihat bahwa indeks vigor tertinggi adalah pada coumarin konsentrasi 0%, sedangkan indeks vigor terendah adalah pada coumarin konsentrasi 100%.

KESIMPULAN

1. Dormansi biji dapat disebabkan olehkulit biji yang keras, adanya zat penghambat seperti coumarin, dan embrio yang dorman.

2. Perlakuan mekanis dengan mengamplas dapat mengurangi sifat impermeabel kulit dan perlakuan khemis seperti pemberian H2SO4

dapat membantu perkecambahan.

3. Cairan daging buah pada konsentrasi rendah mampu memacu perkecambahan biji sedangkan pada konsentrasi yang terlalu tinggi akan menghambat perkecambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology, Fourth Edition. Kluwer Academic Publisher, Massachusetts.

Irwanto. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan Benih. <http ://www.irwantoshut.net/seed_viability_factor.html>. Diakses tanggal 12 Mei 2012.

Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan Benih. Kanisius, Yogyakarta.

Saleh, M. S. 2004. Pematahan dormansi benih aren secara fisik pada berbagai lama ekstraksi buah. Agrosains 6:79—83.

Simpson, G. M. 1990. Seed Dormancy in Gasses. Cambridge University Press, Cambridge.

Yuniarti, N. 2002. Penentuan cara perlakuan pendahuluan benih saga pohon (Adenanthera sp.). Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8:97—101.

LAMPIRAN

Dalam dokumen LAPORAN RESMI PRAKTIKUM (Halaman 74-86)

Dokumen terkait