BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER YANG
A. Perbuatan euthanasia yang dapat dilindungi
Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan yang berasal dari dan berdasarkan hukum. Cukup beralasan bahwa di negara Indonesia ini setiap warga negara dijamin kehidupannya dan dilindungi oleh hukum, mengingat Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rech staat), sebagaimana dikemukakan penjelasan tentang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demikian juga Pasal 27 UUD 1945 dinyatakan bahwa: segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan".
Setiap warga negara dilindungi oleh hukum dan wajib menjunjung/tunduk pada hukum. Hal ini juga membawa konsekwensi bahwa pelanggaran terhadap hukum itu akan dikenai sanksi.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
1. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup
pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
2. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
3. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:
a. Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
b. Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita
sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
c. Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.24
Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
24
“Hukum Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia, http://www.google.com, diakses tanggal 05 Nopember 209
a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin. d. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien,
hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.25
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
25
Kini kita memasuki inti permasalahan yaitu bahwa euthanasia adalah jelas merupakan delik terutama apabila kita lihat dari sudut perundang-undangan kita yang berlaku sekarang ini, di mana Pasal 344 KUHPidana dapat kita anggap sebagai pasal yang mengatur tentang delik
euthanasia, tetapi juga harus dicarikan upaya-upaya perlindungan hukum
terhadap orang yang melakukannya.
Jadi di negara hukum seperti di Indonesia, hukum itu berusaha melindungi dan mengayomi masyarakat, bahkan sekalipun seseorang itu telah melakukan pelanggaran atau kejahatan. "Azas praduga tak bersalah" sebagaimana yang di atur penjelasan umum kitab undang- undang hukum acara pidana dan yang tersirat dari Pasal 66-nya yang isinya "tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian."
Selain apa yang telah diuraikan di atas, maka sehubungan dengan inti permasalahan yang telah di kemukakan tadi, pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa orang yang melakukan euthanasia itu perlu dilindungi. Jawaban atas pertanyaan ini adalah berkaitan erat dengan sifat dan hakekat dari pada euthanasia itu sendiri, di mana sebenarnya euthanasia tersebut tidaklah secara mutlak universal sebagai suatu delik.
Artinya bahwa tidak semua negara bersikap keras terhadap
harus di hukum misalnya KUHPidana Indonesia, tetapi ada juga yang menerimanya yang bukan sebagai delik, Misalnya: Uruguay yang merupakan satu-satunya negara yang sampai sekarang memberi kebebasan melakukan tindakan euthanasia itu sendiri.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Uruguay telah cukup melangkah jauh di dalam masalah euthanasia, undang-undang tersebut menyatakan: hakim dapat menganggap seseorang itu tidak bersalah bila la melakukan perbuatan membunuh yang bermotivasi perasaan kasihan, sebagaimana kelanjutan dari permintaan si korban kepadanya yang berulang-ulang.
Dibeberapa negara maju, seperti Amerika Serikat misalnya,
euthanasia tersebut dapat terjadi atas permintaan pasien yang menderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, di mana permintaan tersebut didasarkan atas hak untuk mati yang menurut anggapan umum yang berkembang di sana adalah merupakan bagian dari hak azasi juga, seiring dengan hak untuk hidup dokter yang mengabaikan permintaan tersebut mempunyai kekebalan terhadap kriminal liability (tanggung jawab pidana) maupun terhadap civil liability (tanggung jawab perdata).
Jika ditinjau dari KUHPidana yang berlaku sekarang ini, maka setiap delik adalah terbatas dengan aturan-aturannya dan saksi-saksinya,
dan kelonggaran-kelonggaran hanya mungkin didapatkan dengan alasan pengecualian dari hukuman (strafutsluiting gronden).
Alasan-alasan pengecualian dari hukuman ini ada yang diatur perundang-undangan (Pasal 44-51 KUHPidana) dan ada yang diatur di luar perundang-undangan di luar KUHPidana.
Alasan pengecualian dari hukuman yang terdapat di luar perundang-undangan misalnya adalah abortus provocatus. Menurut perundang-undangan, abortus provocatus tersebut adalah illegal sifatnya atau dilarang tanpa mengenal kekecualian.26
Namun oleh yurisprudensi dan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum diakui dan dibenarkan adanya abortus provocatus theurapeuticus, yaitu
abor us yang dilakukan semata-mata atas pertimbangan medis untuk
menyelamatkan nyawa si ibu. Theurapeuticus ini merupakan alasan pengecualian dari hukuman.
Paralel dengan soal ubortus provocatus maka jalannya yurispdensi kehidupan hukum, melalui yurisprudensi terhadap persoalan euthanasia, yang keadaan dan persyaratan tertentu masih di buka kemungkinan untuk melakukan euthanasia, yang tampaknya mutlak sifatnya itu.
26
Bambang Poernomo dan Aruan Sakidjo mengatakan:
Di mana Indonesia sendiri belum tampak perkara euthanasia yang diajukan maka perkembangan yurisprudensi dari perundang- undangan mengenai euthanasia di negara-negara lain yang seminar itu dapat dikemukakan untuk mengadakan suatu komparas.27
Beliau mengemukakan contoh kasus yang terjadi di Leewarden, yang di kenal dengan putusan 1973, yaitu: Putusan Pengadilan
Leewarden sering dinamakan dokter Nj. G. E. Postma Van Boven (tanggal
21 Februari 1973. Nj. 1973, No. 183 ataupun proses euthanasia
Leewarden), di mana dokter tersebut, yang memberikan kepada ibunya
yang sakit dan sangat menderita atas perminta ibunya sendiri suatu dosis morfine yang mematikan.28
1. la mengenal seorang pasien, yang karena sakit ataupun suatu kecelakaan yang tidak dapat disembuhkan lagi atau yang di pandang secara medis tidak dapat disembuhkan lagi.
In Causa dokter wanita tersebut dihukum dengan bersyarat satu
minggu walaupun berdasarkan keterangan sanksi ahli (dokter) dikemukakan 5 syarat dapat meniadakan Hukuman tersebut bagi dokter yang melakukan euthanasia. Lima persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
2. Penderitaan fisik ataupun rohani secara subyektif adalah serius ataupun tak bertahan.
3. Pasien yang bersangkutan, secara tertulis sebelumnya ingin mengatakan untuk mengakhiri hidupnya atau setidak-tidaknya
27
Aruan Sakidjo dan Bambang Peornomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, Jakarta, 1988, hal. 75
28
dilepaskan dari penderitaan.
4. Saat ataupun periode sekarang maut ataupun pasien meninggal menurut pertimbangan medis sudah dimasuki.
5. Perbuatan seorang medicus ialah seorang dokter yang menangani mengobati atau seorang dokter spesialis ataupun dengan mengadakan konsultasi dengan dokter tersebut”.29
Kelima persyaratan tersebut, yang diajukan perkara di Leewarden oleh seorang saksi ahli medicus dijadikan dasar untuk dapat membenarkan atau memperbolehkan euthanasia yang pada umumnya dilarang oleh perundang-undangan. Sama halnya dengan abortus
provocatus theurapeuticus, maka kelima persyaratan tersebut apabila
dipenuhi digariskan oleh yurisprudensi dan ilmu kedokteran, merupakan dasar untuk meniadakan pidana (alasan mengecualikan dari hukuman) terhadap medicus (dokter) yang melakukan euthanasia.
Euthanasia baru disinggung oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KEKI) dalam penjelasan resmi, yang seolah-olah merupakan larangan mutlak yang tak mengenal pengecualian.
Bambang Poernomo dan Aruan Sakidjo, selanjutnya mengatakan: “Ketentuan secara yurisprudensi bahwa masih terbuka kemungkinan bagi suatu kekecualian dengan lima persyaratan di atas, di Indonesia baru merupakan persoalan akademis belaka, sehingga sampai sekarang belum ada terdapat perkara euthanasia. Apabila timbul persoalan ini dimuka
29
pengadilan, maka kelima persyaratan yang dipergunakan sebagai dasar untuk meniadakan pidana yang tidak tertulis sifatnya, patut mendapat perhatian dari pengadilan sebagai suatu perkembangan baru mengenai hukum melalui yurisprudensi”.30
Hal semacam ini bukan tidak mungkin terjadi, bahkan kemungkinan itu terjadi sangatlah besar terutama apabila pasien atau keluarganya telah yakin akan pendapat dokter dan juga telah melihat sendiri bahwa
Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau mengenai jenis jenis
euthanasia dan berbagai pendapat mengenai euthanasia tersebut, dan
dari jenis jenis euthanasia ini dapat kita lihat jauh bahwa kemungkinan terjadinya euthanasia tersebut lebih terbuka dari pada apa yang luput dari perhatian kita selama ini.
Seorang pasien misalnya, yang telah berada dalam keadaan penyakitnya, dan menurut pertimbangan dokter tidak mungkin disembuhkan lagi, atas permintaan pasien sendiri mau oleh keluarganya, ataupun atas anjuran dokter agar pasien tersebut dirawat di rumah sakit telah dihentikan, maka akhirnya si pasien mininggal dunia, tindakan dokter tersebut telah merupakan euthanasia (pasif) oleh karena pengobatan dirasakan tidak berpotensi lagi, sehingga dokter menghentikannya dan pasien atau keluarganya menyetujuinya.
30
kemungkinan untuk sembuh sangat tipis, sehingga usaha-usaha yang akan di tempuh akan menjurus kearah sia-sia belaka.
Pasien berkeyakinan bahwa hal semacam itu telah pernah terjadi, hanya saja penerapan hukum terhadap peristiwa semacam itu sulit di lakukan. Sulitnya melakukan penuntutan terhadap perbuatan dokter tersebut di atas di tinjau dari KUHPidana, yaitu harus adanya unsur pemerintah yang dinyatakan dengan kesungguhan hati oleh si pasien itu sendiri. Bagaimana kalau penghentian pengobatan/perawatan tersebut terjadi atas anjuran atau usul dari dokter dan kemudian disetujui oleh pasien atau keluarganya. Tentu saja hal ini bukan lagi termasuk ketentuan yang di atur Pasal 344 KUHPidana.
Kemudian delik euthanasia sebagai delik biasa (bukan delik aduan) adalah sulit dibuktikan serta sulit dilakukan penuntutan, terutama apabila pihak pasien/dokter menghentikan perawatan/pengobatan yang dapat mengakibatkan kematian segera bagi si pasien. Pihak korban maupun keluarganya dan dokter tersebut tidak mungkin mengungkit atau mempermasalahkan tindakan yang telah di tempuh oleh dokter tersebut, oleh karena tindakan tersebut telah mereka kehendaki antara kedua belah pihak. Lalu sejauh manakah tindakan euthanasia itu perlu mendapat perlindungan hukum?
Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang oleh karena
euthanasia tersebut menyangkut perampasan nyawa orang lain, dan oleh
karenanya usaha-usaha perlindungan hukum terhadap perbuatan
euthanasia tersebut akan berbenturan dengan prinsip-prinsip dasar,
hukum dasar dan hak-hak azasi, terutama dengan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945, serta dengan perundang-undangan positif yang berlaku sekarang ini di Indonesia.
Perampasan nyawa orang lain adalah dengan perampasan hak untuk hidup dari orang lain, sedangkan hak untuk hidup tersebut adalah hak yang paling azasi dari pada hak untuk hidup tersebut adalah hak yang paling azasi dari pada suatu makhluk hidup (terutama manusia sebagai makhluk yang tinggi tingkatannya). Dan nyawa manusia adalah sama nilai dan tingkat keluhurannya antara yang satu dengan yang lain, serta dihargai dan selalu dipertahankan akan kelangsungannya.
Namun akan halnya dengan euthanasia, perampasan nyawa tersebut hal ini punya latar belakang yang berbeda dengan perampasan nyawa yang kita kenal secara umum. euthanasia, pemikiran untuk mengakhiri hidup (merampas nyawa) orang lain dapat timbul dengan sebagai berikut:
a. Penderitaan yang tak tertahankan lagi
c. Cacat yang tak dapat diperbaiki lagi yang membawa si penderita kepada invalid berat.
d. Cacat yang dibawa lahir yang tak rnungkin dinormalkan, dan lain-lain.31
Dari berbagai pendapat tersebut dapatlah kita ketahui bahwa prinsip-prinsip euthanasia tersebut telah dapat diterima dari berbagai kasus yang terjadi di luar negeri, walaupun demikian masih berlangsung pro dan kontra antara para sarjana mengenai diterimanya prinsip-prinsip
euthanasia tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Yang tidak menyetujui tindakan euthanasia
Golongan ini berpendapat behwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung, karenanya tindakan ini secara langsung bertentangan dengan kehendak Tuhan.
2. Yang menyetujui euthanasia.
Golongan ini menyatakan euthanasia baik yang positif maupun yang negatif boleh dilakukan dengan pertimbangan tersebut disetujui oleh pasien, keluarga dan dokternya.32
Masyarakat juga berbeda-beda anggapannya mengenai euthanasia tersebut. Sebagian besar mereka menganggap bahwa euthanasia menghilangkan kesamaan hak manusia. Semua manusia sama-sama
31
Ibid., hal. 10
32
berhak menikmati hidupnya. Euthanasia dapat diartikan manusia telah menghilangkan hak manusia lain, yaitu hak untuk hidup.
Bagi kelompok yang menyetujui adanya euthanasia itu disertai dengan argumentasi bahwa perbuatan demikian terpaksa di lakukan atas dasar prikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepada mereka (dokternya) agar penderitaannya itu diakhiri saja. Dr. R. Soerarjo, Direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi, di Semarang memberikan contoh sebagai berikut:
1. Seorang wanita yang telah hamil tua, kemudian mengalami suatu kecelakaan yang sangat parah, sehingga lehernya putus. Dengan demikian wanita tersebut mati masalahnya sekarang bagaimana dengan bayi yang masih berada di kandungan perut sang ibu itu, yang menurut pemeriksaan dokter diperkirakan masih hidup. Bagaimana sikap dokter menghadapi sikap yang demikian? sedangkan dokter dituntut untuk bertindak. Apakah harus membuka perut si wanita tadi, dan mengambil bayinya, ataukah membiarkannya begitu saja, jadi merupakan suatu yang sangat dilematis. Di antara para dokter, yang menyatakan:
a. Harus dibuka demi keselamatan dan kelangsungan hidup si bayi itu.
b. Biarkan saja, biar Tuhan sendiri yang melahirkannya.
2. Seorang yang menderita penyakit kanker yang ganas, pada stadium permulaan memang tidak terasa sakit, namun pada stadium terakhir sakitnya bukan main dan hampir mendekati dosis kematian. Hal demikian, ada sebagian dokter yang beranggapan sebaiknya diberikan obat penghilang kesadaran dosis tinggi, sehingga orang tersebut akhirnya mati, juga untuk menghindari agar jangan supaya terjadi penular penyakit ini. Dipihak lain menghendaki agar jangan diberi obat itu, dan jika terpaksa diberinya, maka setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakitnya saja, dan dokter tetap melindungi kehidupan pasien ini.33
33
Apabila kita tinjau dari segi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini, maka perbuatan euthanasia tersebut jelas di larang dan diancam dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun (Pasal 344 KUHPidana). Namun apa yang diatur Pasal 344 KUHPidana tersebut hanyalah mengenai euthanasia tersebut. Lalu bagaimana halnya dengan euthanasia pusif? Apakah secara diam-diam euthanasia pusif diterima, dalam arti tidak dilarang oleh Undang-undang. Oleh karena itulah, apabila timbul kasus yang menganggap euthanasia pasif'selama masih berlakunya Pasal 344 KUHPidana yang mengatur tentang
euthanasia, maka apabila kasus tersebut sampai ke Pengadilan, si pelaku euthanasia tersebut harus dilindungi, , manakala terdapat alasan dari
pihak korban/pasien untuk mengajukan si pelaku euthanasia tersebut (hal ini dokter) ke sidang Pengadilan.
Namun, mengenai euthanasia pasif tersebut harus ditinjau juga mengenai latar belakangnya, alasan-alasannya serta indikasi-indikasi yang ada pada diri si pasien serta standart profesi medis, yang membawa pemikiran dokter maupun pasien atau keluarganya hingga sampai kepada keputusan diambilnya tindakan euthanasia pasif tersebut.
Tindakan sepihak dari dokter saja tidak cukup dan malah wajar bila dilarang, terjadinya euthanasia pasif tersebut, oleh karena menghentikan
pengobatan oleh dokter tanpa persetujuan pasien berarti dokter telah melanggar kewajibannya sebagai dokter dan juga telah melanggar sumpahnya, dan dari segi perdata dokter tersebut telah melakukan wanprestasi terhadap pasien/keluarganya.
Sedangkan mengenai euthanasia aktif, sampai sekarang masih dianggap sebagai suatu pembunuhan, sebagai suatu delik yang harus dihukum. Namun perkembangan hukum sekarang ini ditambah dengan perkembangan dibidang ilmu pengetahuan kedokteran yang sangat pesat maka penerimaan terhadap prinsip-prinsip euthanasia tersebut disebut juga mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup hangat dibicarakan, terutama oleh karena perkembangan yang terjadi dibeberapa negara maju yang sedikit banyak pasti membawa pengaruh terhadap perkembangan-perkembangan hukum di negara-negara lainnya.
Negara Belanda sebagaimana telah disebutkan pada uraian sebelumnya bahwa euthanasia tersebut khusus dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri atas atau tidak atas permintaannya. Sekitar 35 persen dari masyarakat di negeri Belanda berpendapat bahwa
Yussieve Euthanasia dapat diterima.
Pada pasien yang sakitnya tidak dapat disembuhkan pase mendekati mati, euthanasia pasif di terima jika permintaan pasien
malahan diharuskan, yaitu jika pasien mengalami penderitaan yang tidak tertahankan lagi di mana pengobatan untuk penyembuhan sudah tidak memadai lagi. Sedangkan euthanasia aktif adalah suatu bentuk perbuatan yang melanggar hukum. Di dalam KEKI dan KUHPidana kita euthanasia
pasif tidak dikenal. Malahan euthanasia belum pernah terjadi di Indonesia,
karena jelas para dokter di Indonesia yang terhimpun IDI sesuai dengan KEKI manganut faham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak manusia melainkan hak dari Tuhan yang maha Esa.