PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA DOKTER YANG
MELAKUKAN EUTHANASIA TERHADAP PASIEN
SKRIPSI
Diajukan guna melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
HERDHENY SARI MANIK NIM : 040200197
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan
kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah
memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa
penulis panjatkan kepada junjungan nabi muhammad saw yang telah
memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan
yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.
Skripsi ini berjudul: Perlunya Perlindungan Hukum Bagi Para Dokter
Yang Melakukan Euthanasia Terhadap Pasien, yang diajukan untuk
melengkapi tugas dan syarat menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas
Hukum, Bagian Hukum Pidana, Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak
mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan,
serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat
membangun di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan,
bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum USU.
4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu
Dekan II Fakultas Hukum USU.
5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum USU.
6. Bapak Abul Khair, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I, terima
kasih atas bimbingan dan dukungan bapak ini kepada penulis.
8. Dra.Marlina, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih
atas bimbingan dan dukungan bapak ini kepada penulis.
9. Ibu Afnila, SH, M.Hum sebagai Dosen Penasehat Akademik selama
penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum USU.
10. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
11. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
12. Ayahanda Junaidi Sari Manik dan Nurmi Butar-Butar,S.Pd, yang tercinta,
sembah sujud ananda haturkan atas curahan dan belaian kasih sayang yang tulus
dan dengan susah payah dan segala upaya telah membesarkan dan mendidik
seluruh keluarga besar yang memberikan dorongan semangat kepada penulis
selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.
13. Adinda Nurwinda Sari Manik, terima kasih atas dukungannya.
14. Buat seseorang yang kusayangi Almh.Yessie Karlina Nst. Yang selalu
mendukung disaat perkuliahan dan memberikan motivasi yang besar, Semoga
amal ibadahnya diterima disisi-Nya.
15. Buat teman-temanku Dedy Nst cool, Nofan Jablay anak Pak Affan, Ilmi
Negro, Sandi, dan juga teman-teman lain yang tidak bisa di sebutkn satu persatu,
kalian akan selalu dihatiku.
16. Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan, 14 Maret 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
DAFTAR ISI ……….. ii
ABSTRAKSI ……….. iii
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Permasalahan ……….. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 7
D. Keaslian Penulisan ……….. 8
E. Tinjaun Pustaka……… 9
F. Metode Penelitian ……… 14
1. Pendekatan Penelitian ……… 14
2. Alat Pengumpul Data ………. 14
3. Analisa Data ………... 14
G. Sistematika Penulisan……… 16
BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA ……….. 18
A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis ………… 18
B. Tanggung Jawab Dokter Yang Menurut KUHPidana ……. 24
BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA ………. 30
A. Perbuatan euthanasia yang dapat dilindungi ………... 30
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……… 53
A. Kesimpulan ………... 53
B. Saran ………. 56
ABSTRAKSI
Dokter melakukan euthanasia setelah adanya permintaan yang
sungguh-sungguh dari pasien atau keluarganya. Memang bisa terjadi
seseorang meminta kepada dokter agar dicabut nyawanya, misalnya
karena faktor frustasi atau kegagalan hidup yang dialaminya, ataupun
karena kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Namun, apabila dokter
mengabulkan permintaan tersebut la telah melanggar Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan juga lafal Sumpah Dokter dan perbuatan
tersebut dapat di golongkan kepadanya pembunuhan.
Bahwa perlindungan hukum diperlukan dokter melakukan
euthanasia oleh karena:Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas Hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtstaat).Sifat dan hakekat dari pada euthanasia
tidaklah secara mutlak universal merupakan delik yang harus dihukum.
Bahwa pengaturan Pasal 344 KUHPidana mengenai euthanasia
mempunyai kelemahan antara lain: Adanya unsur: atas permintaan orang
itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, yang mempersulit
pembuktian dan penuntutan.Pasal 344 KUHPidana adalah mengenai
euthanasiu aktif, sedangkan mengenai euthanasia pasif tidak ada di atur
Undang-undang.Delik euthanasia adalah delik biasa, dan bukan delik
aduan, sehingga dituntut keuletan dan ketajaman aparat penyelidik dan
penyidik untuk mengungkapkan apakah sesuatu perbuatan euthanasia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan
masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan
waktu. Oleh karena itu timbullah bermacam corak dan aneka ragam
perbuatan kehidupan masyarakat, sehingga dapat saja timbul suatu
perbuatan Undang-undang Hukum Pidana dilarang, karena dianggap
tercela oleh pembentuk undang-undang.1
Dari hasil kemajuan zaman ini masyarakat tidak perlu lagi
memikirkan kematian dirinya sendiri. Manusia sudah menempuh kematian
tanpa melakukan penyiksaan terhadap dirinya. Apabila seseorang tidak
dapat lagi menahan penderitaannya karena sakit maka dengan kemajuan
peralatan kedokteran ia dapat meminta kepada dokter untuk
menghilangkan jiwanya.
Dengan demikian semakin majunya zaman maka tentu saja pola
fikir manusia juga semakin maju, dengan majunya teknologi yang dimi1iki
tentu saja merupakan suatu kemajuan bagi masyarakat untuk mengenal
berbagai kemajuan zaman.
1
Permintaan untuk menghilangkan jiwa tersebut Ilmu Hukum Pidana
dikenal dengan perbuatan euthanasia. Di mana euthanasia ini secara
jelas di atur Pasal 344 KUHPidana: “Barang siapa merampas nyawa
orang lain atas perrnintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.
Ketentuan Pasal 344 KUHPidana ini merupakan suatu perbuatan
yang menghilangkan jiwa orang lain yang harus dikenakan hukuman,
untuk seorang dokter harus lebih berhati-hati untuk melakukan euthanasia
tersebut. Adanya permintaan dari pasien untuk menghilangkan jiwanya
maka dokter perlu dilindungi demi menjaga nama baik seorang dokter, di
mana menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari seorang dokter terikat
dengan sumpah jabatan dan kode etik yang digariskan kepadanya.
Peneliti berkeyakinan bahwa euthanasia bukan tidak pernah terjadi
di Indonesia terutama apabila si pasien tidak mungkin lagi disembuhkan
atau pengobatannya diberikan tidak berpotensi lagi. Kasus euthanasia ini
dianggap tidak pernah terungkap. Euthanasia sekarang di sebut dengan
Mercy Killing (mati otak) KUHPidana di atur Pasal 344.
Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan
seorang dokter itu telah melakukan euthanasia, terlebih bila si pasien
telah berada dalam keadaan incompetent (tidak mampu berkomunikasi)
menyatakan kehendaknya, menolak atau menyetujui jiwanya dihilangkan,
serta keadaan In a Persistent Vegetative State (mati tidak hidup pun
tidak), bagaimana mungkin untuk membuktikan adanya permintaan orang
itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.2
1. Adanya penyakit yang diderita pasien yang menurut dokter tidak
dapat lagi di sembuhkan dan di mana si penderita atau keluarganya
harus mengeluarkan biaya pengobatan yang besar dengan sia-sia
saja.
Apabila kita memandang dari segi pandangan agama kematian itu
bukanlah merupakan kehendak manusia akan tetapi dapat dinyatakan
bahwa kematian itu sudah merupakan suatu kewajiban bagi orang yang
hidup dan semua manusia yang hidup pasti akan menuju kematian.
Adapun alasan-alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan dokter
melakukan euthanasia adalah sebagai berikut:
2. Adanya rasa frustasi atau kegagalan hidup dari si pasien, sehingga
si pasien tidak lagi ingin untuk hidup.3
2
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 19
3
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat tentang jenis
ataupun bentuk euthanasia, seperti halnya:
1. Vrijwillige euthanasia yang maksudnya euthanasia yang dilaksanakan dengan adanya permintaan yang nyata dan sungguh-sungguh dari si pasien.
2. Onvrijwillige euthanasia yang maksudnya tidak adanya pennintaan yang nyata dan sungguh-sungguh dari si pasien.
3. Passieve euthanasia yang maksudnya hal ini tidak atau tidak lagi digunakan alat alat ataupun perbuatan yang dapat memperpanjang hidup si pasien.
4. Active euthanasia yang maksudnya itu menggunakan alat-alat ataupun perbuatan yang memperpendek hidup si pasien.4
Dr. H. Akbar mengemukakan, Euthanasia aktif dan euthanasia
pasif, penderita gawat dan darurat dirawat di rumah sakit atau dibagian
rumah sakit gawat darurat dengan peralatan yang majemuk untuk
menolong jantung, pernapasan dan cairan tubuh, sehingga alat-alat tubuh
itu dapat berfungsi dengan baik.5
4 Soerjono Soekanto, “Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 47
5
Ibid. hal., 45
Euthanasia aktif dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat
pembantu ini, sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan
akan berhenti berfungsi, atau memberikan obat penenang dengan dosis
yang melebihi, yang juga akan menghentikan fungsi jantung. Euthanasia
Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan
bahwa euthanasia aktif maupun euthanasia pasif adalah merupakan
pembunuhan secara langsung.
Dr. R. Soeprono membagi euthanasia empat bentuk yaitu:
1. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia) pasien meminta, membei izin/persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.
2. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu) membiarkan pasien mati tanpa
3. sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.
4. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing) dengan sepengetahuan dan
5. persetujuan pasien diambil tindakan yang menyebabkan kematian. 6. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing) tindakan sengaja
di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian.6
Dengan demikian euthanasia mempunyai pengertian yang luas
karena bukan hanya atas permintaan pasien saja, melainkan juga tanpa
persetujuan pasien atau keluarga. Di Belanda, perumusan euthanasia dari
Koniklijke Nederlanclche Matschuppij Geneeskunst (KNNG) lebih
memandang euthanasia tersebut dari kepentingan si pasien: tersebut
bersifat aktif (caution). Dari tindakan yang aktif ini seorang pasien akan
mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat
yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dosis yang
tinggi dan lain-lain.
6
Antara jenis euthanasia yang pertama dengan yang ketiga ini,
sama-sama didasarkan atas permintaan pasien atau keluarganya kepada
dokter. Hanya saja pada jenis pertama dokter bersifat pasif, sedang pada
jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif bertindak untuk mempercepat
terjadinya kematian.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa dokter yang melakukan
euthanasia tersebut perlu dilindungi mengingat profesinya sebagai dokter,
dan perlindungan tersebut adalah perlindungan yang bersangkut paut
dengan hukum. Berdasarkan paparan tersebut di atas penelitian akan di
beri judul: "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA DOKTER YANG
MELAKUKAN EUTHANASIA TERHADAP PASIEN".
B. Permasalahan
Dalam sebuah penelitian diperlukan adanya perumusan masalah
yang akan dibahas. Adapun perumusan masalah pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pertanggungjawaban terhadap dokter yang melakukan
Euthanisa ?
2. Bagaimanakah perlindungan terhadap dokter yang melakukan
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dalam rangka penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan
yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan lebih terarah serta
dapat mengenai sasarannya. Tujuan utama daripada penulisan skripsi ini
adalah sebagai sarana untuk melengkapi tugas akhir dan syarat untuk
memperoleh gelar sarjana “Sarjana Hukum” dari Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Selain itu, adapun tujuan lain daripada
penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dokter yang
melakukan melakukan euthanasia dan sampai di mana tanggung
jawab dokter yang melakukan euthanisa.
2. Untuk mengetahui apakah dokter yang melakukan euthanasia
tersebut dapat (perlu dilindungi) dan perlindungan yang bagaimana
dapat digunakan.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi ini, perlu pula diketahui
bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan yang cukup
berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, dan
ilmu hukum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah di
memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan di
bidang hukum pidana.
2. Secara praktis
Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan
masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi aparat
penegak hukum dan masyarakat sehingga akan lebih mengetahui
apa saja yang menyebabkan dokter melakukan euthanasia. Serta
dapat mengetahui sampai di mana tanggung jawab dokter yang
melakukan euthanasia tersebut menurut KUHPidana, serta apakah
dokter yang melakukan euthanasia tersebut dapat atau perlu
dilindungi.
D. Keaslian Penulisan
Tulisan yang berjudul Perlunya Perlindungan Hukum Bagi Para
Dokter Yang Melakukan Euthanasia Terhadap Pasien merupakan hasil
dari penelitian penulis. Penulis telah melakukan penelusuran di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak ada
skripsi mahasiswa yang menulis tentang judul tulisan ini. Karena para
mahasiswa belum ada yang menulis, maka tulisan ini asli dari buah pikiran
penulis. Jika dikemudian hari telah nyata ada skripsi yang sama dengan
skripsi ini, sebelum skripsi ini dibuat, maka saya akan bertanggung jawab
E. Tinjauan Pustaka
Euthanasia secara singkat dapat diartikan mati dengan tenang
tanpa suatu penderitaan. 7
a. Orthothunasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses
alamiah.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara
terjadinya maka ilmu pengetahuan membedakannya tiga jenis kematian,
yaitu:
b. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
c. Euthanasia, yaitu suatu yang terjadi dengan pertolongan atau
tidak dengan pertolongan.8
Kematian yang ketiga yaitu Euthanasia, mulai menarik perhatian
dan mendapat sorotan dunia lebih-lebih setelah dilangsungkannya
konfrensi hukum sedunia, yang diselenggarakan oleh World Pace
Thorough Law Center di Manila (Pilipina) tanggal 22 dan 23 Agustus
1977.9
1. Pengertian Euthanasia Secara Agama
Dilihat dari segi agama, baik Islam, Kristen, Katholik dan
sebagainya, maka euthanasia merupakan perbuatan yang di larang,
sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari
penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi perbuatan-perbuatan yang
7
Parlaungan Ritonga, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Bartong Jaya, Medan, 2006. hal. 27
8
Ibid.
9
menjurus kepada tindakan penghentian hidup merupakan tindakan yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.
Agama Islam yang mayoritas dianut oleh Bangsa Indonesia jelas
melarang euthanasia. Hadist Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan
oleh Annas r.a. menyebutkan sebagai berikut:
Bahwa Rasullullah Pernah berkata: “Janganlah tiap-tiap orang dari kamu meminta-minta mati, karena kesukaran yang menimpanya. Jika memang sangat perlu dia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut: Ya Allah panjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku menakala memang lebih baik bagiku.“10
“Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan curang, kecuali dengan cara perdagangan yang berlaku dengan suka rela diantaramu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang Padamu”.
Apabila jika dilihat dari bunyi hadist di atas, dinyatakan secara jelas
bahwa euthanasia itu di larang ajaran Islam. Di samping itu masih banyak
ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadist-hadist Nabi Muhammad lain yang
melarang bunuh diri (suicide) yang mirip dengan euthanasia, misalnya
karena kebosanan akan hidup dan umumnya karena takut akan tanggung
jawab hidup.
Tindakan demikian ini sangat diharamkan oleh Agama Islam,
misalnya dalam Surat An Nisa ayat 29:
11
“Katakanlah! Marilah kubacakan apa-apa yang telah diharamkan Tuhan padamu, yakni: janganlah kamu mempersekutukan dia Surat Al An'am ayat 15l:
10
Ibid., hal. 63
11
dengan sesuatupun, berbaktilah kepada kedua orang tuamu. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka juga. Janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji dan terang maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu buruk jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syari'at. Begitulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu memikirkannya”.12
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar”.
Surat Al Isra' ayat 3l:
13
“25.Sebab itu aku berkata kepadamu: janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan Surat A1 `Araf ayat 34: “Bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu
tertentu (ajal/mati), sebab itu bila datang waktunya itu, mereka tidak dapat
mengulurkan barang seketika maupun mempercepatnya.
Jadi jelaslah terutama dari surat Al'Araf ayat 34 tersebut di atas
diajarkan bahwa masalah mati dan hidup manusia itu ada di tangan
Tuhan, sehingga manusia tidak dapat menentukannya.
Ditinjau dari segi ajaran Agama Kristen (katholik dan Protestan)
yang juga banyak di anut oleh bangsa Indonesia hal semacam ini yang
diuraikan di atas pun merupakan suatu tindakan di larang. Di samping itu
diajarkan pula bahwa soal hidup dan matinya seseorang berada di tangan
Tuhan, misalnya Kitab Injil Perjanjian Baru karangan Martius Bab 6:
12
Ibid., hal. 64
13
apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian”.
26. Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya di dunia.14
2. Pengertian Euthanasia Secara Pidana
Apabila dilihat dari ajaran ini dapat di ambil kesimpulan, bahwa
masalah nyawa seseorang itu lebih penting dari hal-hal lainnya, dan hidup
serta matinya seseorang itu ada di tangan Tuhan, manusia tidak akan
dapat mempercepat ataupun memperlambatnya barang sedikit pun.
Dilihat dari segi perundang-undang dewasa ini belum ada
peraturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini menyangkut
keselamatan manusia, maka harus di cari pengaturannya atau pasal yang
sekurang-kurangnya mendekati masalah euthanasia adalah apa yang di
atur Buku 11, Bab IX Pasal 344 KUHPidana.
Sejarah pembentukan KUHPidana, pembentukan undang-undang
pada zaman Belanda menganggap bahwa jiwa manusia sebagai milik
yang paling berharga dibanding milik manusia lainnya, sebab itu setiap
perbuatan itu mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia,
dianggap sebagai kejahatan besar oleh negara.
Dilihat dari aspek Hukum Pidana, euthanasia aktif maupun
euthanasia pasif apapun di larang, euthanasia akfif maupun euthanasia
14
pusif atas permintaan, dilarang menurut Pasal 344 KUHPidana, yang
berbunyi:
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan
pidana penjara selama lamanya dua belas tahun.
Bunyi pasal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain walaupun
atas permintaan orang itu sendiri.
Dengan demikian euthanasia mempunyai pengertian yang luas
karena bukan hanya atas permintaan pasien saja, melainkan juga tanpa
persetujuan pasien atau keluarga. Di Belanda, perumusan euthanasia dari
Koniklijke Nederlanclche Matschuppij Geneeskunst (KNNG) lebih
memandang euthanasia tersebut dari kepentingan si pasien: tersebut
bersifat aktif (caution). Dari tindakan yang aktif ini seorang pasien akan
mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat
yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dosis yang
tinggi dan lain-lain.
Antara jenis euthanasia yang pertama dengan yang ketiga ini,
sama-sama didasarkan atas permintaan pasien atau keluarganya kepada
jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif bertindak untuk mempercepat
terjadinya kematian.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penulisan dalam skripsi ini, tentunya akan melakukan penelitian
untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Hal ini akan menggunakan
metode penelitian yang bersifat normatif. Hal ini ditempuh dengan cara
melakukan penelitian kepustakaan (library research), atau biasa dikenal
dengan sebutan studi kepustakaan, walaupun demikian penelitian
dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan,
yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun dari internet.
Penelitian kepustakaan yang normatif adalah penelitian dengan mengolah
dan menggunakan bahan hukum primer dan juga bahan hukum sekunder
yang berkaitan dengan aspek hukum pidana yang berkaitan dengan
masalah Euthanasia.
2. Alat Pengumpul Data
Materi dalam skripsi ini diambil dari bahan hukum seperti yang
a. Bahan hukum primer, yaitu :
Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya
mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, Dalam tulisan
ini antara lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu:
Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer, dan
dapat digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum
primer yang ada. Semua dokumen yang merupakan informasi atau
hasil kajian tentang Ethanasia, seperti hasil seminar atau makalah
para pakar hukum kesehatan, surat kabar, majalah, dan juga
sumber-sumber dari dunia maya internet yang tentunya memiliki kaitan erat
dengan persoalan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tertier atau penunjang, yang mencakup kamus
bahasa, untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai
alat bantu pengalih bahasa beberapa literatur asing.15
3. Analisa Data
Bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula
bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, kemudian
15
akan dianalisis secara perspektif atau menggunakan analisis perspektif dengan
menggunakan metode-metode sebagai berikut:16
a. Metode kualitatif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi
khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu
kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam
hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca,
ditafsirkan, dibandingkan, dan diteliti sedemikian rupa sebelum
dituangkan dalam menarik satu kesimpulan akhir.
b. Metode kuantitatif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran
ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya
tidak perlu diragukan lagi, dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan
baru) yang bersifat lebih khusus.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini, dalam garis besarnya akan dibagi ke dalam 5
(lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya, mulai dari bab
Pendahuluan, bab Tanggung jawab Dokter yang Melakukan Euthanasia
Menurut KUH Pidana, bab Perlindungan Dokter Yang Melakukan Euthanasia
16
bab Penutup. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. BAB I yaitu Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang
masalah yang menjadi dasar penulisan skripsi. Kemudian berdasarkan
kepada latar belakang penulisan tersebut, dibuatlah perumusan
masalah dan tujuan penulisan. Selain itu, dalam bab ini juga
diterangkan mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
2. BAB II yaitu Tanggung jawab Dokter yang Melakukan Euthanasia Menurut
KUH Pidana, yang membahas mulai dari tanggung jawab dokter dalam
profesi sampai dengan tanggung jawab dokter yang melakukan
Euthanasia menurut KUHPidana.
3. BAB III yaitu, Perlindungan Dokter Yang Melakukan Euthanasia, yang
membahas mulai dari Perbuatan Euthanasia yang dapat dilindungi dan
bagaimana perlindungan hukumnya.
4. BAB IV yaitu PENUTUP, yang berisikan mulai dari Kesimpulan dan
BAB II
TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA
A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.
Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain
menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat
ditinjau dari sudut pandang medis-etis-yuridis. Masalah yang dimaksud,
antara lain: transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi,
bayi tabung, Abortus provocatus, dan euthanasia. Dari keenam masalah
tersebut di atas maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan
tenaga kesehatan pada situasi yang sangat sulit, karena sampai sekarang
masih terus menjadi bahan perdebatan baik para ahli dari komponen
agama, medis, dan etis belum memperoleh kesepakatan, akibat situasi ini
semakin menempatkan dokter pada posisi yang sulit.
Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa euthanasia adalah
suatu pembunuhan yang terselubung, sehingga bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah
semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau
institusi manapun yang berhak mencabutnya. Dengan demikian manusia
sebagai ciptaan Tuhan yang tidak memiliki hak untuk mati. Kelompok yang
persetujuan dan tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien.
Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pandapat
bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan
utamanya adalah meringankan penderitaan pasien dengan resiko
hidupnya diperbaiki.
Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini
rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika.
Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep
kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi
antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta
teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.17
17
Wirjono Prodjo Dikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung., 2008, hal. 36
Masalah euthanasia, terlepas dari faktor-faktor yang melatar
belakangi dokter untuk melakukannya, bukanlah semata-mata merupakan
permasalahan medical ethis saja, tetapi persoalannya adalah juga bio
ethics dan karenanya bersifat interdisipliner. Lebih jauh dari itu, masalah
euthanasia tidaklah akan terlepas dari jangkauan hukum yang
mengaturnya, oleh karena euthanasia tersebut menyangkut keselamatan
Manusia memerlukan jasa seorang dokter untuk menyembuhkan
penyakitnya. Seorang dokter dengan segala kemampuan yang ada
padanya dan berdasar sumpahnya akan memberikan pertolongan kepada
pasiennya. Tujuan utamanya bukan semata-mata mencari uang, tetapi
lebih memandang tugasnya sebagai keharusan sosial dan
menyelamatkan pasiennya dari penyakit dan tidak menguntungkan diri
sendiri.
Menurut Oemar Seno Adji, Pekerjaan dokter adalah:
Sebagai suatu panggilan untuk melayani sesama yang sakit dan yang memerlukan bantuan. Untuk itu tuntutan pada profesi kedokteran harus meningkatkan pengetahuan dan keahlian terus menerus yang merupakan ethos kedokteran modern.18
1. Dokter Umum.
Menjalankan profesinya, dokter dibedakan atas:
Yang dimaksud dengan dokter umum adalah seorang yang telah
memenuhi seluruh tuntutan pendidikannya di Fakultas
Kedokteran, sehingga la dapat berpraktek sebagai dokter umum.
2. Dokter Spesialis.
Yang dimaksud dokter spesialis adalah seorang dokter yang
telah memenuhi seluruh tuntutan pendidikannya di Fakultas
Kedokteran dan kemudian melanjutkan pendidikannya untuk
mengambil bidang spesialisasi yang dimintanya.
18
Oleh karena makin luas dan rumitnya ilmu kedokteran, maka
seorang dokter tidak mungkin mengetahui semuanya. Karena itu seorang
dokter perlu memperlancar hubungan anggota sebagai seorang profesi
medis, konsultasi dengan kolega atau dokter spesialis, baik menyangkut
penyembuhan penyakit maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan
profesi medis.
Mengenai tugas dokter, secara umum tercermin dari Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KEKI), yang tercantum empat kewajiban, yaitu:
1. Kewajiban Umum
2. Kewajiban Dokter terhadap pasien
3. Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat
4. Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri
Keempat kewajiban ini merupakan pedoman bagi dokter untuk
melaksanakan tugas mulia dan luhur profesi medis tersebut. Di dalam
kewajiban itu, yang menjadi tugas pokok sehari-hari adalah kewajiban
dokter terhadap pasien karena hubungan dengan pengobatan dan
penyembuhan penyakit pasien.
Tanggung jawab seorang dokter adalah harus menunaikan
kewajibannya dengan sungguh-sungguh dan dengan keinsyafan akan
beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Seorang dokter menjalankan
serta tanggung jawab kepada Tuhan (tanggung jawab religius), juga
dibebani tanggung jawab hukum.
Kemampuan profesional dokter biasanya diukur dari kemahiran
serta wewenang untuk melaksanakan profesinya. Suatu kesalahan
mungkin terjadi apabila yang bersangkutan kurang pengalaman, kurang
pengetahuan dan pengertian. Dengan demikian seorang dokter
melakukan kesalahan apabila la tidak memeriksa, menilai, berbuat atau
meninggalkan hal-hal yang harus diperiksa, dinilai, diperbuat atau
ditinggalkan oleh para dokter pada umumnya disituasi yang sama.
Jadi, suatu kesalahan profesional belum tentu mengakibatkan
terjadinya tanggung jawab hukum. Tetapi tanggung jawab hukum
dasarnya adalah tanggung jawab profesional. Tanggungjawab hukum
seorang dokter profesinya dapat berupa;
1. Tanggung jawab Pidana
2. Tanggung jawab Perdata
3. Tanggung jawab Administratif
Tanggung jawab pidana terjadi misalnya apabila terdapat
kesalahan dokter yang menimbulkan kematian atau luka-luka terhadap
pasien. Faktornya adalah faktor kelalaian, dan bukan kesengajaan seperti
Pidana, kesalahan (schuld) dapat disebabkan oleh kesengajaan (obzet)
atau oleh kelalaian.
Untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria
diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang
dibuat oleh para ahli di bidang kedokteran adalah berdasarkan konsep
“permanent of heart beating and respiration is death”. Setelah
ditemukannya respirator yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru
dan jantung maka disusunlah kriteria baru berdasarkan pada kansep
“brain death is death”. Terakhir, konsep diagnostik tersebut diperbaiki lagi
menjadi “brain stem death is death”.19
Seorang filosof Yunani yang meletakkan landasan legisme bagi
sumpah dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para
muridnya untuk bersumpah tidak melakukan euthanasia dan pengguguran
kandungan, kemudian PP Thun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan
Nomor 336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati
apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti
(irreversible), atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
19
Indonesia yang bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan
Deklarasi Sydney 1968.20
Pasien yang kemudian menghubungi dokter untuk minta bantuan
medis dan dokter kemudian mengobatinya, maka terjadilah
kontrak/persetujuan. Dengan demikian tuntutan ganti rugi kepada dokter
adalah karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Tanggung Agar timbul tanggung jawab pidana, maka pertama-tama harus
dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan diagnosis
atau kesalahan cara-cara pengobatan/penyembuhan. Untuk menentukan
adanya kesalahan profesional tersebut diperlukan pendapat para ahli
yang dapat memberikan data profesional kepada hakim. Jadi menurut ilmu
kedokteran, terlebih dahulu harus ada ketetapan mengenai kesalahan
tersebut, untuk kemudian ditetapkan hakim apakah kesalahan tersebut
mengakibatkan terjadinya tanggung jawab pidana.
Tanggung jawab perdata terjadi apabila misalnya seorang pasien
menggugat dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang
merugikan pasien tersebut. Pada umumnya seorang dokter yang
berpraktek mengadakan suatu penawaran umum (open baar aan bod)
mengenai pekerjaan yang dapat di lakukan untuk menyembuhkan
orang-orang sakit.
20
jawab di bidang hukum administrasi terjadi misalnya apabila seseorang
dokter melakukan praktek tanpa izin.21
B. Tanggung Jawab Dokter Yang Menurut KUHPidana
Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada
pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi
bagaimana pun juga, karena masalah euthanasia menyangkut soal
keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang
sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Satu-satunya
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah Kitab
Undang--undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya mengenai kejahatan yang
menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati adalah Pasal 344
KUHPidana.22
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika
pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar
hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345
KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan
sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU
21
Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Pemerintah No. 36/1964
22
RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal
32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.
Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau pengertian euthanasia
dari berbagai pendapat, apabila dikaitkan dengan ketiga jenis euthanasia
di atas, maka rumusan yang terdapat Pasal 344 KUHPidana adalah
sesuai dengan jenis euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang
bersifat aktif.
Pasal 344 KUHPidana tersebut berbunyi sebagai berikut: Barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua betas tahun.
Mengenai perampasan nyawa/jiwa orang lain di atur juga Pasal 340
KUHPidana sebagai berikut: Barang siapa sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan berencana (moord), dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.
Ketiga pasal tersebut di atas mengandung makna larangan untuk
membunuh. Namun Pasal 338 KUHPidana yang mengandung
pembunuhan biasa (doodslag,) merupakan aturan umum tentang
pembunuhan berencana. Demikian juga Pasal 338 KUHPidana tersebut di
muat unsur "atas permintaan orang itu sendiri menyatakan dengan
kesungguhan hati".
Apabila seorang dokter melakukan euthanasia yang tentu saja di
Indonesia mengandalkan Pasal 344 KUHPidana maka dokter tersebut
haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur yang terdapat Pasal 344
KUHPidana tersebut. Jaksa harus membuktikan adanya unsur
"permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati".
Bahwa perumusan ini menimbulkan suatu kesulitan sudahlah pasti,
oleh karena dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan dengan
kesungguhan hati tu sudah pulang kealam baka. Oleh sebab itu,
pernyataan "dengan kesungguhan hati" itu tidak boleh diucapkan secara
lisan, sebaiknya bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh saksi-saksi,
sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat
pernyataan ini dapat di pakal sebagai alat bukti seperti yang di atur Pasal
184 KUHAP yang mengakui upaya bukti berupa: saksi-saksi ahli,
surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Adanya unsur "atas permintaan orang itu sendiri", juga
menimbulkan masalah, manakala yang bersangkutan tidak mampu lagi
tidak, hidup pun tidak (in a persistent vegetative state) atau in competent
(tidak mampu berkomunikasi menyatakan kehendaknya).
Seperti contoh yang sangat populer adalah yang terjadi di Amerika
Serikat, yaitu kasus: Karen aan quinlan, pada tahun 1976 di New Jcrsey si
gadis manis Karen berusia 21 tahun, yang dipungut oleh keluarga quinlan,
berada dalam keadaan in a persistent vegetative state, Karen hanya dapat
bertahan dengan bantuan sebuah respirator.23
Dunia hukum tidak dapat dan tidak boleh mempunyai pretensi
untuk menentukan fomulasi pengertian mati. Bahkan kedokteran sendiri
masih berada di persimpangan jalan tentang pengertian mati, terutama
sejak tahun 1967, ketika diadakan operasi transplantasi jantung yang
pertama kali. Jadi masih belum ada kata sepakat untuk menentukan
pengertian mati atas dasar konsep brain death ataupun heart death. Pada
kasus ini pemeriksaan menunjukkan bahwa Karen tidak dalam keadaan Keadaannya bagaikan kerangka mayat saja, tidak dapat bicara lagi.
Janganlah makan, bernafas pun sudah payah, pendeknya segala untuk
hidup dan yang menghidupinya, tergantung dari mesin-mesin modem
yang serba ruet. Karen terbujur melengkung, tanpa bisa bergerak sendiri,
bagaikan sebuah mayat hidup tanpa perasaan. Apakah Karen dengan
demikian dapat dikatakan sudah mati?
23
brain death. Para ahli kedokteran mengatakan bahwa apabila respirator
tersebut dilepaskan, akan berakibat lebih lanjut terhadap otaknya dan
Karen akan segera mati. Tetapi hal ini para dokter menolak untuk
menghentikan penggunaan respirator tersebut.
Quinlan (ayah angkatnya) kemudian menuntut agar Karen
dinyatakan sebagai in cokpetent dan Quinlah yang ditunjuk sebagai
guardian tersebut, tetapi New Jersey Supreme Court menyatakan putusan
banding, bahwa seseorang mempunyai hak yang disebut right to privacy
dan khusus di dalam kasus Karen ini, bila mana Karen dapat
melakukannya, dia pasti menolak penggunaan respirator karena
penderitaan yang dialaminya sangat berat.
Karen membutuhkan 24 Jam terus menerus perawatan intensif, anti
piotiks, bantuan respirator, catheter dan feeding tube. Jadi jelas ini
kepentingan Karena melebihi kepentingan para dokter yang merawatnya
dan negara. Pada akhirnya supreme court memerintahkan agar the life
support apparatus dicabut tanpa adanya pertanggung jawaban sipil
maupun kriminal.
Kasus tersebut di atas memang terjadi di Amerika Serikat, di mana
memerintahkan agar respirator yang digunakan Karen selama ini di cabut
tanpa menuntut pertanggung jawaban.
Apabila kasus tersebut di atas terjadi di Indonesia, maka sudah
jelas dokter yang mencabut respirator tersebut, yang mengakibatkan
kematian bagi pasien, walaupun dengan persetujuan sendiri, dapat
dimintakan pertanggung jawabannya menurut Pasal 344 KUHPidana. Dan
apa yang dikemukakan/diuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulannya,
bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang.
Larangan ini terdapat Pasal 344 KUHPidana, yang sampai
sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan Pasal 344 KUHPidana
tersebut dapat menimbulkan kesulitan Jaksa untuk menerapkannya atau
mengadakan penuntutan.
Oleh karena itulah, maka sebaiknya bunyi Pasal 344 KUHPidana
tersebut dapatlah kiranya dirumuskan kembali, berdasarkan atas
kenyataan-kenyataan yang sekarang, yang telah disesuaikan dengan
perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat
BAB III
PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN
EUTHANASIA
A. Perbuatan euthanasia yang dapat dilindungi
Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa
perlindungan hukum adalah perlindungan yang berasal dari dan
berdasarkan hukum. Cukup beralasan bahwa di negara Indonesia ini
setiap warga negara dijamin kehidupannya dan dilindungi oleh hukum,
mengingat Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum (rech staat), sebagaimana dikemukakan penjelasan tentang
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demikian juga Pasal
27 UUD 1945 dinyatakan bahwa: segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan".
Setiap warga negara dilindungi oleh hukum dan wajib
menjunjung/tunduk pada hukum. Hal ini juga membawa konsekwensi
bahwa pelanggaran terhadap hukum itu akan dikenai sanksi.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah
dimengerti adalah:
1. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau
pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang
telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
2. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja
tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat
sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
3. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar
untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan
tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto
euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia,
diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:
a. Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena,
misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat
mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh
keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
b. Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati
sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada
pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
c. Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan &
alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh
diri.24
Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah
meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak
yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam
pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama,
moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri
hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata &
sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat,
euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”.
Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang
adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara
lain:
24
a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar
sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya
kecil & tinggal menunggu kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga
penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
d. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien,
hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar
penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat
tidaknya dilaksanakan euthanasia.25
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat
dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan
sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima
tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu”
karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap
sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai
perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau
berjalan secara alamiah.
25
Kini kita memasuki inti permasalahan yaitu bahwa euthanasia
adalah jelas merupakan delik terutama apabila kita lihat dari sudut
perundang-undangan kita yang berlaku sekarang ini, di mana Pasal 344
KUHPidana dapat kita anggap sebagai pasal yang mengatur tentang delik
euthanasia, tetapi juga harus dicarikan upaya-upaya perlindungan hukum
terhadap orang yang melakukannya.
Jadi di negara hukum seperti di Indonesia, hukum itu berusaha
melindungi dan mengayomi masyarakat, bahkan sekalipun seseorang itu
telah melakukan pelanggaran atau kejahatan. "Azas praduga tak
bersalah" sebagaimana yang di atur penjelasan umum kitab
undang-undang hukum acara pidana dan yang tersirat dari Pasal 66-nya yang
isinya "tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian."
Selain apa yang telah diuraikan di atas, maka sehubungan dengan
inti permasalahan yang telah di kemukakan tadi, pertanyaan selanjutnya
adalah: mengapa orang yang melakukan euthanasia itu perlu dilindungi.
Jawaban atas pertanyaan ini adalah berkaitan erat dengan sifat dan
hakekat dari pada euthanasia itu sendiri, di mana sebenarnya euthanasia
tersebut tidaklah secara mutlak universal sebagai suatu delik.
Artinya bahwa tidak semua negara bersikap keras terhadap
harus di hukum misalnya KUHPidana Indonesia, tetapi ada juga yang
menerimanya yang bukan sebagai delik, Misalnya: Uruguay yang
merupakan satu-satunya negara yang sampai sekarang memberi
kebebasan melakukan tindakan euthanasia itu sendiri.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Uruguay telah cukup
melangkah jauh di dalam masalah euthanasia, undang-undang tersebut
menyatakan: hakim dapat menganggap seseorang itu tidak bersalah bila
la melakukan perbuatan membunuh yang bermotivasi perasaan kasihan,
sebagaimana kelanjutan dari permintaan si korban kepadanya yang
berulang-ulang.
Dibeberapa negara maju, seperti Amerika Serikat misalnya,
euthanasia tersebut dapat terjadi atas permintaan pasien yang menderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, di mana permintaan tersebut
didasarkan atas hak untuk mati yang menurut anggapan umum yang
berkembang di sana adalah merupakan bagian dari hak azasi juga, seiring
dengan hak untuk hidup dokter yang mengabaikan permintaan tersebut
mempunyai kekebalan terhadap kriminal liability (tanggung jawab pidana)
maupun terhadap civil liability (tanggung jawab perdata).
Jika ditinjau dari KUHPidana yang berlaku sekarang ini, maka
dan kelonggaran-kelonggaran hanya mungkin didapatkan dengan alasan
pengecualian dari hukuman (strafutsluiting gronden).
Alasan-alasan pengecualian dari hukuman ini ada yang diatur
perundang-undangan (Pasal 44-51 KUHPidana) dan ada yang diatur di
luar perundang-undangan di luar KUHPidana.
Alasan pengecualian dari hukuman yang terdapat di luar
perundang-undangan misalnya adalah abortus provocatus. Menurut
perundang-undangan, abortus provocatus tersebut adalah illegal sifatnya
atau dilarang tanpa mengenal kekecualian.26
Namun oleh yurisprudensi dan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum
diakui dan dibenarkan adanya abortus provocatus theurapeuticus, yaitu
abor us yang dilakukan semata-mata atas pertimbangan medis untuk
menyelamatkan nyawa si ibu. Theurapeuticus ini merupakan alasan
pengecualian dari hukuman.
Paralel dengan soal ubortus provocatus maka jalannya yurispdensi
kehidupan hukum, melalui yurisprudensi terhadap persoalan euthanasia,
yang keadaan dan persyaratan tertentu masih di buka kemungkinan untuk
melakukan euthanasia, yang tampaknya mutlak sifatnya itu.
26
Bambang Poernomo dan Aruan Sakidjo mengatakan:
Di mana Indonesia sendiri belum tampak perkara euthanasia yang diajukan maka perkembangan yurisprudensi dari perundang-undangan mengenai euthanasia di negara-negara lain yang seminar itu dapat dikemukakan untuk mengadakan suatu komparas.27
Beliau mengemukakan contoh kasus yang terjadi di Leewarden,
yang di kenal dengan putusan 1973, yaitu: Putusan Pengadilan
Leewarden sering dinamakan dokter Nj. G. E. Postma Van Boven (tanggal
21 Februari 1973. Nj. 1973, No. 183 ataupun proses euthanasia
Leewarden), di mana dokter tersebut, yang memberikan kepada ibunya
yang sakit dan sangat menderita atas perminta ibunya sendiri suatu dosis
morfine yang mematikan.28
1. la mengenal seorang pasien, yang karena sakit ataupun suatu kecelakaan yang tidak dapat disembuhkan lagi atau yang di pandang secara medis tidak dapat disembuhkan lagi.
In Causa dokter wanita tersebut dihukum dengan bersyarat satu
minggu walaupun berdasarkan keterangan sanksi ahli (dokter)
dikemukakan 5 syarat dapat meniadakan Hukuman tersebut bagi dokter
yang melakukan euthanasia. Lima persyaratan tersebut adalah sebagai
berikut:
2. Penderitaan fisik ataupun rohani secara subyektif adalah serius ataupun tak bertahan.
3. Pasien yang bersangkutan, secara tertulis sebelumnya ingin mengatakan untuk mengakhiri hidupnya atau setidak-tidaknya
27
Aruan Sakidjo dan Bambang Peornomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, Jakarta, 1988, hal. 75
28
dilepaskan dari penderitaan.
4. Saat ataupun periode sekarang maut ataupun pasien meninggal menurut pertimbangan medis sudah dimasuki.
5. Perbuatan seorang medicus ialah seorang dokter yang menangani mengobati atau seorang dokter spesialis ataupun dengan mengadakan konsultasi dengan dokter tersebut”.29
Kelima persyaratan tersebut, yang diajukan perkara di Leewarden
oleh seorang saksi ahli medicus dijadikan dasar untuk dapat
membenarkan atau memperbolehkan euthanasia yang pada umumnya
dilarang oleh perundang-undangan. Sama halnya dengan abortus
provocatus theurapeuticus, maka kelima persyaratan tersebut apabila
dipenuhi digariskan oleh yurisprudensi dan ilmu kedokteran, merupakan
dasar untuk meniadakan pidana (alasan mengecualikan dari hukuman)
terhadap medicus (dokter) yang melakukan euthanasia.
Euthanasia baru disinggung oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KEKI) dalam penjelasan resmi, yang seolah-olah merupakan larangan
mutlak yang tak mengenal pengecualian.
Bambang Poernomo dan Aruan Sakidjo, selanjutnya mengatakan:
“Ketentuan secara yurisprudensi bahwa masih terbuka kemungkinan bagi
suatu kekecualian dengan lima persyaratan di atas, di Indonesia baru
merupakan persoalan akademis belaka, sehingga sampai sekarang belum
ada terdapat perkara euthanasia. Apabila timbul persoalan ini dimuka
29
pengadilan, maka kelima persyaratan yang dipergunakan sebagai dasar
untuk meniadakan pidana yang tidak tertulis sifatnya, patut mendapat
perhatian dari pengadilan sebagai suatu perkembangan baru mengenai
hukum melalui yurisprudensi”.30
Hal semacam ini bukan tidak mungkin terjadi, bahkan kemungkinan
itu terjadi sangatlah besar terutama apabila pasien atau keluarganya telah
yakin akan pendapat dokter dan juga telah melihat sendiri bahwa Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau mengenai jenis jenis
euthanasia dan berbagai pendapat mengenai euthanasia tersebut, dan
dari jenis jenis euthanasia ini dapat kita lihat jauh bahwa kemungkinan
terjadinya euthanasia tersebut lebih terbuka dari pada apa yang luput dari
perhatian kita selama ini.
Seorang pasien misalnya, yang telah berada dalam keadaan
penyakitnya, dan menurut pertimbangan dokter tidak mungkin
disembuhkan lagi, atas permintaan pasien sendiri mau oleh keluarganya,
ataupun atas anjuran dokter agar pasien tersebut dirawat di rumah sakit
telah dihentikan, maka akhirnya si pasien mininggal dunia, tindakan dokter
tersebut telah merupakan euthanasia (pasif) oleh karena pengobatan
dirasakan tidak berpotensi lagi, sehingga dokter menghentikannya dan
pasien atau keluarganya menyetujuinya.
30
kemungkinan untuk sembuh sangat tipis, sehingga usaha-usaha yang
akan di tempuh akan menjurus kearah sia-sia belaka.
Pasien berkeyakinan bahwa hal semacam itu telah pernah terjadi,
hanya saja penerapan hukum terhadap peristiwa semacam itu sulit di
lakukan. Sulitnya melakukan penuntutan terhadap perbuatan dokter
tersebut di atas di tinjau dari KUHPidana, yaitu harus adanya unsur
pemerintah yang dinyatakan dengan kesungguhan hati oleh si pasien itu
sendiri. Bagaimana kalau penghentian pengobatan/perawatan tersebut
terjadi atas anjuran atau usul dari dokter dan kemudian disetujui oleh
pasien atau keluarganya. Tentu saja hal ini bukan lagi termasuk ketentuan
yang di atur Pasal 344 KUHPidana.
Kemudian delik euthanasia sebagai delik biasa (bukan delik aduan)
adalah sulit dibuktikan serta sulit dilakukan penuntutan, terutama apabila
pihak pasien/dokter menghentikan perawatan/pengobatan yang dapat
mengakibatkan kematian segera bagi si pasien. Pihak korban maupun
keluarganya dan dokter tersebut tidak mungkin mengungkit atau
mempermasalahkan tindakan yang telah di tempuh oleh dokter tersebut,
oleh karena tindakan tersebut telah mereka kehendaki antara kedua belah
pihak. Lalu sejauh manakah tindakan euthanasia itu perlu mendapat
Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang oleh karena
euthanasia tersebut menyangkut perampasan nyawa orang lain, dan oleh
karenanya usaha-usaha perlindungan hukum terhadap perbuatan
euthanasia tersebut akan berbenturan dengan prinsip-prinsip dasar,
hukum dasar dan hak-hak azasi, terutama dengan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, serta dengan perUndang-undang-Undang-undangan positif yang
berlaku sekarang ini di Indonesia.
Perampasan nyawa orang lain adalah dengan perampasan hak
untuk hidup dari orang lain, sedangkan hak untuk hidup tersebut adalah
hak yang paling azasi dari pada hak untuk hidup tersebut adalah hak yang
paling azasi dari pada suatu makhluk hidup (terutama manusia sebagai
makhluk yang tinggi tingkatannya). Dan nyawa manusia adalah sama nilai
dan tingkat keluhurannya antara yang satu dengan yang lain, serta
dihargai dan selalu dipertahankan akan kelangsungannya.
Namun akan halnya dengan euthanasia, perampasan nyawa
tersebut hal ini punya latar belakang yang berbeda dengan perampasan
nyawa yang kita kenal secara umum. euthanasia, pemikiran untuk
mengakhiri hidup (merampas nyawa) orang lain dapat timbul dengan
sebagai berikut:
a. Penderitaan yang tak tertahankan lagi
c. Cacat yang tak dapat diperbaiki lagi yang membawa si penderita kepada invalid berat.
d. Cacat yang dibawa lahir yang tak rnungkin dinormalkan, dan lain-lain.31
Dari berbagai pendapat tersebut dapatlah kita ketahui bahwa
prinsip-prinsip euthanasia tersebut telah dapat diterima dari berbagai
kasus yang terjadi di luar negeri, walaupun demikian masih berlangsung
pro dan kontra antara para sarjana mengenai diterimanya prinsip-prinsip
euthanasia tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Yang tidak menyetujui tindakan euthanasia
Golongan ini berpendapat behwa euthanasia adalah suatu
pembunuhan yang terselubung, karenanya tindakan ini secara
langsung bertentangan dengan kehendak Tuhan.
2. Yang menyetujui euthanasia.
Golongan ini menyatakan euthanasia baik yang positif maupun
yang negatif boleh dilakukan dengan pertimbangan tersebut
disetujui oleh pasien, keluarga dan dokternya.32
Masyarakat juga berbeda-beda anggapannya mengenai euthanasia
tersebut. Sebagian besar mereka menganggap bahwa euthanasia
menghilangkan kesamaan hak manusia. Semua manusia sama-sama
31
Ibid., hal. 10
32
berhak menikmati hidupnya. Euthanasia dapat diartikan manusia telah
menghilangkan hak manusia lain, yaitu hak untuk hidup.
Bagi kelompok yang menyetujui adanya euthanasia itu disertai
dengan argumentasi bahwa perbuatan demikian terpaksa di lakukan atas
dasar prikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang
dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepada mereka
(dokternya) agar penderitaannya itu diakhiri saja. Dr. R. Soerarjo, Direktur
Rumah Sakit Dr. Kariadi, di Semarang memberikan contoh sebagai
berikut:
1. Seorang wanita yang telah hamil tua, kemudian mengalami suatu kecelakaan yang sangat parah, sehingga lehernya putus. Dengan demikian wanita tersebut mati masalahnya sekarang bagaimana dengan bayi yang masih berada di kandungan perut sang ibu itu, yang menurut pemeriksaan dokter diperkirakan masih hidup. Bagaimana sikap dokter menghadapi sikap yang demikian? sedangkan dokter dituntut untuk bertindak. Apakah harus membuka perut si wanita tadi, dan mengambil bayinya, ataukah membiarkannya begitu saja, jadi merupakan suatu yang sangat dilematis. Di antara para dokter, yang menyatakan:
a. Harus dibuka demi keselamatan dan kelangsungan hidup si bayi itu.
b. Biarkan saja, biar Tuhan sendiri yang melahirkannya.
2. Seorang yang menderita penyakit kanker yang ganas, pada stadium permulaan memang tidak terasa sakit, namun pada stadium terakhir sakitnya bukan main dan hampir mendekati dosis kematian. Hal demikian, ada sebagian dokter yang beranggapan sebaiknya diberikan obat penghilang kesadaran dosis tinggi, sehingga orang tersebut akhirnya mati, juga untuk menghindari agar jangan supaya terjadi penular penyakit ini. Dipihak lain menghendaki agar jangan diberi obat itu, dan jika terpaksa diberinya, maka setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakitnya saja, dan dokter tetap melindungi kehidupan pasien ini.33
33
Apabila kita tinjau dari segi Kitab Undang-undang Hukum Pidana
yang berlaku sekarang ini, maka perbuatan euthanasia tersebut jelas di
larang dan diancam dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun
(Pasal 344 KUHPidana). Namun apa yang diatur Pasal 344 KUHPidana
tersebut hanyalah mengenai euthanasia tersebut. Lalu bagaimana halnya
dengan euthanasia pusif? Apakah secara diam-diam euthanasia pusif
diterima, dalam arti tidak dilarang oleh Undang-undang. Oleh karena
itulah, apabila timbul kasus yang menganggap euthanasia pasif'selama
masih berlakunya Pasal 344 KUHPidana yang mengatur tentang
euthanasia, maka apabila kasus tersebut sampai ke Pengadilan, si pelaku
euthanasia tersebut harus dilindungi, , manakala terdapat alasan dari
pihak korban/pasien untuk mengajukan si pelaku euthanasia tersebut (hal
ini dokter) ke sidang Pengadilan.
Namun, mengenai euthanasia pasif tersebut harus ditinjau juga
mengenai latar belakangnya, alasan-alasannya serta indikasi-indikasi
yang ada pada diri si pasien serta standart profesi medis, yang membawa
pemikiran dokter maupun pasien atau keluarganya hingga sampai kepada
keputusan diambilnya tindakan euthanasia pasif tersebut.
Tindakan sepihak dari dokter saja tidak cukup dan malah wajar bila
pengobatan oleh dokter tanpa persetujuan pasien berarti dokter telah
melanggar kewajibannya sebagai dokter dan juga telah melanggar
sumpahnya, dan dari segi perdata dokter tersebut telah melakukan
wanprestasi terhadap pasien/keluarganya.
Sedangkan mengenai euthanasia aktif, sampai sekarang masih
dianggap sebagai suatu pembunuhan, sebagai suatu delik yang harus
dihukum. Namun perkembangan hukum sekarang ini ditambah dengan
perkembangan dibidang ilmu pengetahuan kedokteran yang sangat pesat
maka penerimaan terhadap prinsip-prinsip euthanasia tersebut disebut
juga mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup hangat
dibicarakan, terutama oleh karena perkembangan yang terjadi dibeberapa
negara maju yang sedikit banyak pasti membawa pengaruh terhadap
perkembangan-perkembangan hukum di negara-negara lainnya.
Negara Belanda sebagaimana telah disebutkan pada uraian
sebelumnya bahwa euthanasia tersebut khusus dilakukan untuk
kepentingan pasien itu sendiri atas atau tidak atas permintaannya. Sekitar
35 persen dari masyarakat di negeri Belanda berpendapat bahwa
Yussieve Euthanasia dapat diterima.
Pada pasien yang sakitnya tidak dapat disembuhkan pase
malahan diharuskan, yaitu jika pasien mengalami penderitaan yang tidak
tertahankan lagi di mana pengobatan untuk penyembuhan sudah tidak
memadai lagi. Sedangkan euthanasia aktif adalah suatu bentuk perbuatan
yang melanggar hukum. Di dalam KEKI dan KUHPidana kita euthanasia
pasif tidak dikenal. Malahan euthanasia belum pernah terjadi di Indonesia,
karena jelas para dokter di Indonesia yang terhimpun IDI sesuai dengan
KEKI manganut faham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak
manusia melainkan hak dari Tuhan yang maha Esa.
B. Perlindungan Hukum
Walaupun euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang
diancam pidana seperti diatur Pasal 344 KUHPidana, namun
pencantuman larangan ini didasarkan kurang efisien, karena sampai
sejauh ini belum ada kasus ke Pengadilan.
Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut: oleh sebab itu, untuk perkembangan
selanjutnya, penulis ingin mengetengahkan dua kemungkinan terhadap
masalah euthanasia dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap
perumusan Pasal 344 KHUPidana ataukah menyertakan bahwa perbutan
mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah apa yang
disebut sebagai Decreminalisasi. Apabila yang ditempuh adalah tetap
mempertahankan autensif segala bentuknya sebagai perbuatan yang
terlarang, maka perumusan Pasal 344 KUHPidana perlu ditinjau kembali
hal ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran kepada penuntut agar
lebih memudahkan mengadakan pembuktian terhadap kasus yang
terjadi.34
Akan tetapi dengan kemajuan dan perkembangan yang selalu
meningkat ini tidak mustahil euthanasia di lakukan secara diam-diam
karena jelas bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun IDl sesuai
dengan kode etik kedokteran Indonesia (KEKI) menganut faham bahwa
hidup dan mati tidak merupakan hak dari pada manusia, melainkan hak
dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu para dokter Indonesia tidak
menganut prinsip euthanasia sebab di samping masalah mati itu Selama ini mungkin saja euthanasia ini, terjadi di Indonesia apakah
dengan terjadinya euthanasia itu kemudian penuntut umum dapat
rnembuktikannya? sulit rasanya untuk dipecahkan sepanjang apa yang
pernah oleh penulis kepada dokter, memenang euthanasia di Indonesia ini
belum pernah terjadi.
34