BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER YANG
B. Perlindungan Hukum
Walaupun euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang diancam pidana seperti diatur Pasal 344 KUHPidana, namun pencantuman larangan ini didasarkan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus ke Pengadilan.
Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya, penulis ingin mengetengahkan dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KHUPidana ataukah menyertakan bahwa perbutan
mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai Decreminalisasi. Apabila yang ditempuh adalah tetap mempertahankan autensif segala bentuknya sebagai perbuatan yang terlarang, maka perumusan Pasal 344 KUHPidana perlu ditinjau kembali hal ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran kepada penuntut agar lebih memudahkan mengadakan pembuktian terhadap kasus yang terjadi.34
Akan tetapi dengan kemajuan dan perkembangan yang selalu meningkat ini tidak mustahil euthanasia di lakukan secara diam-diam karena jelas bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun IDl sesuai dengan kode etik kedokteran Indonesia (KEKI) menganut faham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak dari pada manusia, melainkan hak dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu para dokter Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia sebab di samping masalah mati itu
Selama ini mungkin saja euthanasia ini, terjadi di Indonesia apakah dengan terjadinya euthanasia itu kemudian penuntut umum dapat rnembuktikannya? sulit rasanya untuk dipecahkan sepanjang apa yang pernah oleh penulis kepada dokter, memenang euthanasia di Indonesia ini belum pernah terjadi.
34
merupakan hak dari pada Tuhan Yang Maha Esa juga melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para dokter.
Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia adalah merupakan perbuatan yang tidak terlarang dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini misalnya:
1. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya.
2. Usaha penyembuhan yang di lakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi.
3. Pasien kedaan ini In a Persistent VegelativeStale.
Bagi pasien yang keadaan seperti ini sebaiknya euthanasia dapat di lakukan. Di samping syarat-syarat yang limitatif tersebut, dapat ditambahkan lagi misalnya dengan disertai permohonan tertulis dari pasien atau keluarganya, dengan membubuhkan tanda tangannya, dan pada surat permohonan tersebut ditanda tangani pula oleh saksi-saksi.
Euthanasia dapat dijalankan, dengan menyatakan pelakunya mempunyai
kekebalan terhadap civil liability maupun criminal liability. Jadi euthanasia syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap orang yang masih sehat, dan tidak mernenuhi syarat-syarat beratnya. Ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia, agar tidak dimaksudkan
dengan dibolehkannya euthanasia agar tidak disalah gunakan pengetahuannya. Apabila dokter merasa takut akan melanggar sumpah Hipocrated yang telah pernah diucapkannya, maka masih ada jalan yang dapat ditempuh yaitu dengan memberikan tugas kepada mantri atau perawat yang lain yang tidak pernah mengucapkan surnpah dokter.35
1. Mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHPidana.
Apabila kita simpulkan apa yang dikemukakan tersebut di atas, maka mengenai euthanasia tersebut dapat diusulkan beberapa kemungkinan, yaitu:
2. Menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagal suatu perbuatan yang tidak dilarang, dengan mancanturnkan syarat- syarat tertentu sehingga terjadilah decriminalisasi.
Terhadap dua kemungkinan tersebut di atas, masih dapat diusulkan kemungkinan lain sebagai kemungkinan ketiga yaitu apa yang disebut sebagai depenalisasi. Peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHPidana tersebut, agar supaya Pasal 344 tersebut dapat diterapkan dalam pratek, maka sebaiknya dalam rangka ius contituandum hukum pidana, rumusan Pasal 344 KUHPidana yang ada sekarang ini perlu untuk
35
dirumuskan kembali sehingga Pasal 344 KUHPidana ini terasa lebih hidup dan dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam pembuktiannya.
Apabila rumusan yang sekarang ini dilarang secara mutlak dilakukannya euthanasia yang aktif maka perumusan yang akan datang larangan secara mutlak ini masih dapat diterobos, sebagai suatu misal: pasal tersebut dapat dirumuskan dalam Pasal 344 KUHP, menyebutkan: 1. Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri
atau keluarganya, di ancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Apabila perbuatan sebagaimana tersebut ayat pertama dilakukan terhadap seorang penderita yang tidak menentu nasibnya, dan sudah tidak dapat diharapkan lagi penyernbuhannya yang dinyatakan oleh lebih dari seorang dokter, perbuatan ini tidak dipidana.
3. Ketentuan dalam ayat kedua harus di sertai pula permohonan secara tertulis dari penderita dan atau keluarganya, dengan di tanda tangani oleh saksi-saksi.
Dengan perurnusan yang baru itu akan terjadi dua kemungkinan yaitu dilarangnya euthanasia Pasal 344 KUHPidana tersebut dapat dengan mudah untuk diterapkan seperti perumusan yang sekarang bersifat pasif
Kemungkinan kedua sebagaimana telah disebutkan di atas adalah
decriminalisasi perbuatan euthanasia berasal dari criminalisasi, dengan
awalan de yang menyatakan tidak dan bukan.
Dengan criminalisasi dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses diakhiri terbentuknya Undang-undang di mana perbuatan itu diancarn dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuklah suatu peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan.
Sedangkan decriminalisasi berarti sudah proses di mana dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan. Dengan kata lain Decriminalisasi dimaksudkan untuk menghapus suatu ketentuan pidana perundang-undangan yang merupakan larangan Hukum Pidana itu.
Decriminalisasi euthanasia berarti menghilangkan sama sekali sifat
dapat dipidananya perbuatan euthanasia, atau dihapusnya perbuatan
euthanasia dari Undang-undang. Apa yang ingin peneliti kemukakan di
sini bukanlah decriminalisasi euthanasia secara mutlak, arti bahwa seluruh permasalahan euthanasia d1hapuskan dari undang-undang, tetapi yang peneliti maksudkan adalah decriminulisusi euthanasia dengan syarat-
syarat tertentu. Jadi, euthanasia tidak dilarang dengan syarat-syarat tertentu, misalnya:
1. Pasien tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya dan pendapat para dokter lainnya.
2. Usaha penyembuhan sudah tidak dapat berpotensi lagi.
3. Pasien keadaan In a Persistent Vegetative Stale (mati tidak, hidup pun tidak), dan lain-lain.
Selebihnya apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, maka perbuatan euthanasia tersebut dinyatakan dilarang dan diancam dengan hukuman. Kemungkinan ke tiga terhadap delik euthanasia yang ada perundang-undangan sekarang ini adalah Depenalisasi euthanasia tersebut.
Depenalisusi adalah suatu proses, di mana perbuatan yang semula
diancam hukum pidana, ancaman pidana dihilangkan akan tetapi masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain dengan melalui hukum perdata ataupun hukum administrasi.36
Sedangkan Depenalisasi mengalihkan, mengadakan konversi pelanggaran Hukum Pidana pada ketentuan-ketentuan pada badan-badan
36
administratif lainnya dengan sanksi pidana menjadi sanksi yang sifatnya adalah non pidana dan terletak di luar sistem peradilan pidana.
Apabila decriminalisasi dihapuskan perbuatan euthanasia tersebut dari perundang-undangan, atau dihilangkan sama sekali sifat dipidananya perbuatan euthanasia tersebut dalam Depenalisasi, perbuatan euthanasia tersebut tetap di atur perundang-undangan, namun ancaman pidananya dihilangkan, dan kemungkinan menuntutnya dapat di lakukan dengan cara lain, misalnya dengan melalui Hukum Perdata dan Hukum Administrasi.
Sebagai contoh dari Depenalisasi euthanasia tersebut misalnya: apabila seorang melakukan euthanasia menurut Pasal 344 KUHPidana, maka dokter tersebut bukan dari segi pidananya: jadi ancaman pidananya berupa penjara (paling lama dua belas tahun), tidak akan dijalankan maka dokter tersebut dituntut dari segi hukum lain, misalnya dengan memberi ganti rugi kepada pihak korban maupun keluarga yang ditinggalkan korban (perdata), ataupun dari segi hukum administrasi, misalnya dengan melakukan/menjalankan skorsing atau pemecatan (ontslay) terhadap dokter yang melakukan euthanasia tersebut.