• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS ATAS BENTUK-

B. Perbuatan Hukum Terhadap Tanggung Jawab Notaris

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, bahwa akta otentik itu dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:

(1). Akta yang dibuat “oleh” Notaris, yang biasa disebut dengan istilah “Akta Relaas” (relaas acta) atau “Akta Pejabat” (ambtelijke akten) atau “Akta Berita Acara”.

Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihatnya, atau apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain,

(2). Akta yang dibuat “di hadapan” Notaris, yang biasa disebut dengan istilah “AktaPartij” (partij acta) atau “Akta Pihak” (partij acten).

Isi dari akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan-keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan.

Dari 2 (dua) macam akta tersebut, maka dapat dilihatlah bahwa Notaris tidak berada di dalamnya, tetapi yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan. Inisiatif dalam pembuatan akta notaris atau akta otentik itu ada pada para pihak. Dengan demikian, akta notaris atau akta otentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak tersebut benar, tetapi yang dijamin oleh akta otentik adalah para pihak yang benar-benar berkata atau melakukan perbuatan hukum, seperti yang termuat dalam akta tersebut. Kemudian, mengenai kedua macam bentuk akta tersebut di atas, apabila dilihat dari segi bentuknya dan pertanggungjawabannya terhadap

partij akta dan relaas akta itu, maka seorang Notaris mempunyai tanggung jawab

yang berbeda dalam membuat kedua macam bentuk akta itu.

Perbuatan hukum yang tertuang dalam akta notaris, bukanlah perbuatan hukum dari Notaris dihadapan atau oleh siapa akta itu dibuat. Suatu akta notaris memuat perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang meminta kepada notaris untuk menghendaki perbuatan hukum pihak-pihak tersebut yang dituangkan ke dalam suatu akta notaris untuk mendapat stempel otentisitas berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, sehingga pihak-pihak yang ada dalam akta itulah yang terikat dengan isi dari akta otentik tersebut. Jika terjadi sengketa, di antara pihak-pihak tersebut yang berkaitan dengan pelaksanaan terhadap akta yang telah dibuat oleh notaris, maka notaris tidak terlibat sama sekali dalam pelaksanaan kewajiban atau dalam hal menuntut suatu hak, dimana notaris berada di luar hukum pihak-pihak.85

150

Segala hal yang dilakukan oleh setiap individu yang merupakan bagian dalam suatu tatanan masyarakat sosial, siapa dan di mana saja keberadaannya, baik yang akan, sedang, maupun telah dilakukan tidak lepas dari tanggung jawab. Pada hal setiap yang dikerjakan oleh seseorang, baik disengaja atau tanpa sengaja harus dapat dimintakan pertanggungjawabannya, terlebih lagi yang berkaitan dengan etika profesi dari profesi hukum. Di dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban notaris, yang khususnya dalam rangka pembuatan akta, maka sebaiknya perlu ditinjau terlebih dahulu antara hubungan notaris dengan kliennya untuk mengetahui kapan dan dalam hal mana terjadi tuntutan terhadap notaris karena adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang dilakukan oleh notaris.

Tanggung jawab yang melekat pada notaris lahir dari Undang-Undang. Sehubungan dengan kedudukan notaris sebagai pejabat umum yang melaksanakan tugas publik. Artinya, memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata dan notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai Undang-Undang serta akibat hukum kepada pihak-pihak yang akan membuat akta atau meminta bantuan dalam pembuatan suatu akta notaris.

Namun hal ini, sebaiknya perlu dipahami oleh para notaris dalam mengupayakan peningktan profesionalisme, ialah mengenai tanggung jawab notaris. Tetapi hal ini menjadi sangat penting, karena adanya pemahaman yang mendalam mengenai tanggung jawab yang diharapkan oleh notaris dalam menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara tidak terlepas dari tanggung jawab secara perdata, yang dalam hal ini tetap berpedoman pada KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris. Pertanggungjawaban yang diminta kepada notaris, bukan hanya dalam pengertian sempit atau terbatas hanya masalah pembuatan akta saja, namun pertanggungjawaban yang dimintakan kepada notaris, baik pertanggungjawaban pada saat akta itu belum dibuat, atau pada saat akta sedang dibuat, maupun juga pada saat pasca penandatanganan akta.

Adapun tanggung jawab tersebut, dapat bersumber dari :86 1. Hukum Perdata ;

2. Hukum Fiskal ; 3. Hukum Pidana ; dan 4. Hukum Notariat.

Sedangkan, menurut Hermien Hadiati Koeswadji,87 tanggung jawab seorang notaris dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu : (1). segi yuridis; dan (2). segi etis. Dalam tanggung jawab dari segi yuridis, dapat dibagi ke dalam 2 (dua) segi, yaitu : (1). segi hukum perdata; dan (2). segi hukum pidana.

86Liliana Tedjosaputro,Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, CV. Agung, Semarang, 1991, hal. 42.

87Hermien Hadiati Koeswadji,Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari Notaris dan Hubungannya

dengan KUHAP, Media Notariat Edisi Januari - Oktober, Nomor 22-25, Tahun VII, INI, 1992, hal. 122-126.

152

Masalah tanggung jawab dari segi hukum perdata ini timbul, karena adanya perjanjian pekerjaan antara notaris dan klien, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang secara khusus pelaksanaannya itu diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, serta Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata.

Dalam kaitannya dengan tanggung jawab pidana, pelanggaran secara formil yang peraturan hukum pidana saja tidak cukup dijadikan alasan untuk menjatuhkan pidana. Tetapi, pelanggar tersebut juga harus dalam keadaan mampu untuk bertanggung jawab atau mempunyai kesalahan. Sedangkan, tanggung jawab notaris dari segi etis, meliputi : ketaatan terhadap sumpah jabatan notaris, dan hal ini merupakan landasan bagi Kode Etik Notaris.

Notaris adalah pejabat umum, akan tetapi akta notaris berbeda dengan keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual, dan final, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir ke-3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang : Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga terhadap akta notaris, tidak dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, apabila terjadi sengketa.88

Namun, notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas akta yang dibuatnya, dimana dalam hal ini pertanggungjawabannya tersebut dapat terbagi dalam 2 (dua) jenis : yaitu: (1). secara perdata dan (2). secara pidana.

88Irfan Fachruddin,Kedudukan Notaris dan Akta-Aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, Varia Peradilan Nomor 111, (Juni, Tahun 1997), hal. 151.

Dalam pertanggungjawaban secara perdata, apabila dalam pembuatan akta itu menimbulkan kerugian bagi para pihak yang termuat di dalam akta maupun pihak ketiga yang berkepentingan dengan akta tersebut. Sedangkan, pertanggungjawaban secara pidana, apabila akta yang dibuatnya itu dinyatakan palsu atau dinyatakan bahwa apa yang diterangkan dalam akta tersebut adalah tidak benar. Namun, dalam kasus tersebut perlu dipertanyakan, apakah di dalam perbuatan yang dapat dihukum itu notaris mempunyai peran serta, akan tetapi jika ada, sampai seberapa jauh keterlibatan notaris dalam hal tersebut.

Adanya peran serta dari notaris yang bersangkutan di dalam perbuatan yang dapat dihukum itu harus dibuktikan, maka terhadap notaris yang bersangkutan, hanya dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris.

Notaris berwenang untuk membuat akta otentik dalam lapangan hukum perdata, akan tetapi Notaris tidak dapat mengambil inisiatif sendiri untuk membuat akta otentik tersebut tanpa adanya permintaan dari para pihak yang menghendaki perbuatan hukum mereka untuk dituangkan ke dalam suatu akta otentik.

Suatu akta melahirkan hak dan kewajiban, maka suatu pihak wajib memenuhi materi dari yang diperjanjikan dan pihak lain berhak untuk menuntut. Notaris hanya merupakan media untuk “lahirnya” suatu akta yang otentik berdasarkan kewenangannya sebagai pejabat umum. Tanpa adanya bantuan Notaris, akta tersebut tidak akan pernah lahir. Notaris tidak terlibat dalam pelaksanaan suatu kewajiban atau

154

dalam hal menuntut suatu hak dari yang diperjanjikan atau yang berkaitan dengan materi dari suatu akta notaris, tetapi notaris berada di luar hukum para pihak dalam akta tersebut.89

Akta notaris berbeda dengan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, meskipun dikeluarkan oleh Notaris yang merupakan pejabat umum. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara itu bersifat konkrit, individual, dan final, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir ke-3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang : Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, surat keputusannya itu memuat tindakan Pejabat Tata Usaha Negara sendiri, serta dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat yang bersangkutan atau atasannya secara hierarki perundang-undangan. Hal tersebut berbeda dengan akta notaris, di mana Notaris tidak berwenang untuk membatalkan akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris tersebut, karena tidak berisi tindakannya sendiri dan hanya dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan melalui gugatan perdata.90

Kebatalan suatu akta notaris dapat menimbulkan akibat yang bervariasi kepada para pihak yang ada dalam akta, yaitu :

1. Akta notaris batal (hilangnya otentisitas akta) dan tindakan hukum yang tertuang di dalamnya ikut batal. Hal ini terjadi pada perbuatan hukum yang oleh Undang-Undang diharuskan dituangkan ke dalam akta otentik;

89

Ibid.

90

2. Akta notaris batal (hilangnya otentisitas akta), akan tetapi tindakan hukum yang tertuang di dalamnya tidak ikut batal. Hal ini terjadi pada perbuatan hukum yang tidak diwajibkan oleh Undang-Undang untuk dituangkan ke dalam akta otentik, namun para pihak menghendaki perbuatan hukum mereka untuk dibuktikan dengan akta otentik supaya diperoleh pembuktian yang kuat;

3. Akta notaris tidak batal (tetap otentik), akan tetapi tindakan hukum yang tertuang di dalamnya batal. Hal ini terjadi, jika syarat-syarat perjanjian tidak dipenuhi.91

Apabila terjadi sengketa, maka akta notaris tersebut tidak dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun Notaris dapat diminta pertanggungjawabannya secara perdata dengan menggugatnya di Pengadilan atas akta yang dibuatnya. Tetapi, jika terdapat dugaan yang kuat atas kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Notaris terhadap pembuatan aktanya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak yang ada dalam akta itu, maupun juga bagi pihak ketiga yang berkepentingan.

Tanggung jawab yang melekat pada Notaris itu lahir dari Undang-Undang, sehubungan dengan kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang melaksanakan tugas publik, yang dalam pengertiannya itu memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata.

91

Mudofir Hadi, Pembatalan Isi Akta Notaris dengan Putusan Hakim, Varia Peradilan 72, (September, 1991), hal. 144.

156

Apabila akta yang dibuat oleh notaris telah memenuhi ketentuan-ketentuan tentang pembuatan akta, dimana syarat formalitas telah terpenuhi, dan isinya tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, serta dapat memenuhi rasa keadilan para pihak atau mereka yang memperoleh hak daripadanya, maka notaris tidak dapat diminta pertanggungjawabannya terhadap akta yang telah dibuatnya. Notaris hanya bertanggung jawab terhadap bentuk akta yang dibuatnya. Apabila pengadilan ternyata membatalkan suatu akta notaris, yang disebabkan karena ketidaksesuaian bentuk akta yang dibuat oleh notaris, maka notaris dapat diminta pertanggungjawabannya.

Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum dapat dikenai hukuman, apabila perbuatan yang dilakukan oleh Notaris, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan prosedur-prosedur ataupun ketentuan-ketentuan yang ditentukan menurut peraturan perundang-undangan maupun hukum yang berlaku, maka dengan itu Notaris yang membuat akta yang tidak sesuai dengan prosedur yang menjadi ketentuan sebagaimana mestinya, dapat dikenai sanksi, misalnya : Sanksi untuk memberikan penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris, seperti yang terdapat dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris, itu dikategorikan sebagai Sanksi Perdata. Sedangkan, Sanksi untuk memberikan teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak hormat, yang terdapat dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris, itu dikategorikan sebagai Sanksi Administratif. Sanksi yang terdapat dalam Pasal 84 dan Pasal 85

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris ini, merupakan sanksi terhadap Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan dan oleh Notaris. Artinya, ada persyaratan tertentu atau tindakan tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berupa kewajiban dan larangan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, serta perilaku Notaris yang dapat merendahkan kehormatan dan martabat Notaris.

C. Tanggung Jawab Notaris Menurut Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris

Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, Notaris sebagai pejabat umum dituntut untuk bertanggung jawab, baik tanggung jawab Notaris berdasarkan hukum maupun tanggung jawab Notaris berdasarkan moral. Hal ini penting karena meskipun seorang Notaris telah memiliki ketrampilan hukum yang cukup, dan juga di dalam menjalankan profesi sebagai jabatannya, jika seorang Notaris itu tidak dilandasi dengan tanggung jawab dan juga tidak disertai dengan adanya penghayatan terhadap keluhuran dan martabat dalam jabatannya, serta nilai-nilai dalam ukuran etika, maka Notaris tidak akan dapat menjalankan jabatan dan profesinya sebagaimana yang dituntut oleh hukum dan kepentingan masyarakat.

Tanggung jawab Notaris berdasarkan hukum adalah sebagaimana pertanggungjawaban sebagai Notaris dalam menjalankan jabatan dan profesi, sesuai dengan kewenangan, kewajiban, dan larangan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris. Artinya, adalah :

158

bahwa Notaris di dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai pejabat umum dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya menurut Undang-Undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris, serta harus sesuai dan dilandasi dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, dan juga mematuhi dan memperhatikan larangan-larangan yang ditentukan di dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut, di dalamnya terdapat isi dari bunyi yang selengkapnya adalah sebagai berikut :

Pasal 15 menyatakan :

(1). Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2). Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; g. membuat akta risalah lelang.

(3). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 16 menyatakan :

(1). Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban :

a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris;

c. mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta;

d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf (h) atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap

akhir bulan;

k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;

m.menerima magang calon Notaris.

(2). Menyimpan minuta akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali. (3). Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:

a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun ; b. penawaran pembayaran tunai ;

c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga ; d. akta kuasa ;

e. keterangan kepemilikan ; atau

160

(4). Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua".

(5). Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.

(6). Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (k) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(7). Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (l) tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. (8). Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (l) dan ayat (7)

tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(9). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.

Pasal 17 menyatakan : Notaris dilarang :

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri; d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;

h. menjadi Notaris Pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Notaris hanya dapat dimintai pertanggungjawabannya, apabila Notaris dalam menjalankan jabatannya itu merugikan hak-hak dari para pihak yang berkepentingan. Apabila hal tersebut terjadi, maka Notaris dapat dikenakan sanksi.

Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk mentaati ketetapan yang telah ditentukan dalam peraturan atau perjanjian.92 Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa sebagai hukuman, jika tidak taat kepada perjanjian.

Menurut Philipus M. Hadjon, sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi. Dengan demikian, unsur-unsur sanksi, yaitu :93

a. sebagai alat kekuasaan, b. bersifat hukum publik, c. digunakan oleh penguasa,

d. sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan.

Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum94, dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pembebanan sanksi di Indonesia tidak hanya terdapat dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti keputusan menteri ataupun bentuk lain di bawah undang-undang. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Sanksi ini selalu ada pada aturan-aturan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang tercantum dalam aturan hukum,

92Habib Adjie,Op.Cit., hal. 89.

93

Philipus M. Hadjon, “Penegakan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan Ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No. 1 Tahun XI, Januari – Februari 1996, hal. 1.

162

mengakibatkan terjadinya ketidakaturan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakan hukum terhadap ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi suatu larangan atau yang mewajibkan.95

Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, serta juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris juga merupakan sebagai penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris, dan untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang : Jabatan Notaris, di samping dengan pemberian sanksi terhadap Notaris untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat akta

Dokumen terkait