• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK

A. Perbuatan Pidana Perpajakan Dalam Undang-undang

aturan untuk menjatuhi dan menjalankan pidana tersebut.43

Berdasarkan asas legalitas bahwa seseorang hanya dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut oleh hakim telah dinyatakan terbukti bersalah telah memenuhi unsur-unsur daripada tindak pidana yang bersangkutan seperti telah dirumuskan dalam undang-undang.44

Hal ini sejalan dengan tindak pidana perpajakan maupun tindak pidana lainnya yang mana harus terlebih dahulu tercipta regulasi yang melegalkan atau tidak melegalkan suatu perbuatan sehingga jelas suatu perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana atau bukan.

Pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah mereka yang telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan, sedangkan pelaku menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam KUHP, sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku. 45

Suatu perbuatan yang dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, perbuatan itu harus sesuai dengan perumusan yang tercantum dalam ketentuan daripada undang-undang tersebut dan termasuk meliputi pertanggungjawaban pidananya.

A. Perbuatan Pidana Perpajakan Dalam Undang-undang Perpajakan        43 Ibid, hal. 8 44 Ibid, hal. 3 45

Mohammad Eka Putra & Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan (Medan, USU press, 2009), hal. 4

Moeljatno mengemukakan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai oleh ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa saja yang melanggar larangan tersebut46. Dalam kata lain bahwa segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan daripada undang-undang akan dijatuhi hukuman (sanksi) sesuai yang terdapat dalam ketentuan undang-undang itu sendiri.

Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan. 1. Pelanggaran.

Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan pelanggaran dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni, pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang, bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila pelanggaran yang dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja (penjelasaan pasal 38 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983).

Penjelasan pasal 38 Undang-undang Perpajakan menyebutkan kualifikasi daripada kealpaan itu sendiri adalah tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, dan tidak memperdulikan kewajibannya sehingga perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Perihal tindak pidana pelangaran tersebut yang dimaksudkan dalam pasal 38 ayat (1) Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang

       46

telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 yakni;

Barang siapa karena kealpaannya :

a. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau

b. menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang.47

2. Kejahatan.

Jika pelanggaran merupakan kejahatan yang ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat dikarenakan ancaman pidananya jauh lebih berat dbandingkan dengan ancaman pelanggaran, yakni penjara selama- lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali dari jumlah pajak terhutang. Dan bagi pelaku pengulangan kejahatan (residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat setahun.

Seperti yang tercantum dalam bunyi pasal 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 menegaskan bahwa :

(1). Barang siapa dengan sengaja :

       47

Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), hal. 96

a. tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; atau

b. tidak menyampaikan SPT; dan atau

c. menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; dan

d. memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; dan

e. tidak memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lainnya ; dan

f. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya sebesar 4 (empat) kali dari pajak terhutang.

Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukannya lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.48

Perbedaan antara pelaku pelanggaran dengan kejahatan disini adalah ada atau tidaknya niat untuk melakukan suatu pelanggaran. Apabila secara nyata mempunyai niat untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakan maka termasuk

       48

kejahatan, dan apabila dilakukan berkali-kali maka pelaku dapat dikatakan resedivis.

Pengenaan sanksi perpajakan kepada wajib pajak seperti yang diatur dalam pasal 38 dan 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007, ternyata mempunyai jangkauan disamping untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (residive) dibidang perpajakan, juga merupakan upaya pencegahan (preventy) bagi wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, demi menumbuhkan rasa disiplin dan kesadaran hukum untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban Negara. 49

B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Perpajakan dalam Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di lakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkannya atas atau jenis perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.

       49

Namun setelah revolusi prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mashab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.

Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction.”50 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggung jawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukannya itu.51

       50

Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, ( Bandung:Mandar Maju,2000),hlm.65

51

S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, ( Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996),hlm .245

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatannya.52

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.53

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.54 Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.

Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan

       52

Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,hlm.75

53

Ibid. 54

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia ( Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1997) hlm.31

mengenai hakikat kejahatan,55 yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.

Kemampuan dalam hal bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.56

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran- ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

       55

Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870) ,hlm.41-42

56

Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah(ed.), Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana ( Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986), hlm. 78

1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.

3. Yang ditentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu : (1) dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan, (2) dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.57

Unsur-unsur pertanggungjawaban Pidana dimana pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kemampuan bertanggung jawab.

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

       57

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)

2. Kesengajaan (dolus)

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana ( Criminal wetboek) tahun 1809 di cantumkan : “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.” Dalam memorie Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia 1915), di jelaskan : “sengaja “ diartikan : “ dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.”

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will ( kehendak ) dapat tujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang di larang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendakai suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapakan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang di timbulkan karena suatu tindakan di bayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan di

lakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah di buat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah “sengaja” apabila benar-benar menghendaki kematian B.

Menurut Van Hattum opzet ( sengaja) secara ilmu bahasa berarti oogemark

(maksud), dalam arti tujuan dan kehendak menurut istilah undang-undang,

opzetelijk (dengan sengaja) diganti dengan willens en watens (menghendaki dan mengetahui).

Pompe mengatakan, bahwa apabila orang mengartikan maksud (oogemark) sebagai tujuan (bedoeling) seperti rencana keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud (oogemark) dan sengaja (opzet). Apabila maksud (oogemark) di batasi sampai tujuan terdekat (naaste doel) dari pembuat, berarti pengertian maksud (oogemark) selalu juga berarti sengaja (opzet). Lebih lanjut ia memberi contoh: seseorang bermaksud membunuh menteri dan melempar bom ke mobil yang di tumpangi oleh menteri itu. Di samping itu duduk pula raja. Jadi, pembuat bermaksud membunuh menteri itu yang berarti sengaja. Jika ia mengetahui bahwa menteri tidak akan mati dengan perbuatannya itu, maka ia tidak akan melempar bom. Sedangkan kematian raja sama sekali tidak di perdulikan. Ia tidak bermaksud membunuh raja tetapi dalam hal ini perbuatan

melempar bom ke mobil yang di tumpangi juga oleh raja merupakan perbuatan sengaja karena ia tahu perbuatanya itu dapat mendatangkan akibat kematian raja.

Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat”(voorhomen) dan dengan rencana lebih dahulu (met voorberachterade). Dalam pasal 35 KUHP tentang percobaan di katakan. “percobaan melakukan kejahatan di pidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan iu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” (ayat 1). Maka dipersoalkanlah apakah ada perbedaan anatra niat dan kesengajaan.Van Bemmellen tidak melihat adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya pada percobaan pembunuhan, apabila pembunuh menembak korbannya tetapi meleset , maka niat dan kesengajaan jatuh bersamaan. Karena niat katanya harus dinyatakan dengan tindak pelaksanaan, maka tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara niat dan kesengajaan. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga jenis, yaitu:

1. Sengaja sebagai maksud ( Opzet als oogemark),

Yang dimaksud dengan sengaja sebagai maksud adalah, apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak pernah mengetahui perbuatannya. Contoh: A menghendaki kematian B, dan oleh sebab itu ia mengarahkan pistolnya kepada B. Selanjutnya, ia menembak mati B. Akibat penembakan yaitu kematian B tersebut adalah benar dikehendaki A. Kesengajaan dengan maksud merupakan bentuk sengaja yang paling

sederhana. Menurut teori kehendak, maka sengaja dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut yakni sengaja dengan maksud adalah jika apa yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut teori membayangkan, sengaja dengan maksud adalah jika akibat yang dimaksudkan telah mendorong pembuat melakukan perbuatannya yang bersangkutan.

2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (Opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid),

Yang dimaksud sengaja dengan kesadaran tentang kepastian adalah, pembuat sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga. Maksudnya untuk mencapai tujuan pembuat maka si pembuat harus terlebih dahulu melakukan suatu pelanggaran sebelum melakukan apa yang ia tujukan. Contoh: agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membunuh B, maka A sebelumnya harus membunuh C, karena C menjadi pengawal B. Antara A dan C sama sekali tidak ada permusuhan, hanya kebetulan C pengawak B. A terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu membunuh C dan kemudian membunuh B. Pembunuhan B berarti maksud A tercapai, A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah terlebih dahulu membunuh C, walaupun pembunuhan C itu pada permulaannya tidak dimaksudkannya. A yakin bahwa jika ia tidak terlebih dahulu membunuh C, maka tentu ia tak pernah akan dapat membunuh B.

3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (Opzet met waarschlijkheidbewustzijn),

Yang dimaksud dengan sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi adalah, perbuatan si pembuat mengakibatkan timbulnya suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Maksudnya dengan perbuatan si pembuat ada kemungkinan terjadi akibat dari perbuatannya yang melanggar suatu perlanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Sebagai contoh: keputusan Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911, kasusnya A hendak membalas dendam terhadap B. A mengirimkan sebuah kue tart kealamat B, dalam tart tersebut telah dimasukkan racun. A sadar akan kemungkinan besar bahwa istri B turut serta makan kue tart tersebut. Walaupun ia tahu, tapi ia tidak menghiraukan . Oleh hakim ditentukan bahwa perbuatan A terhadap istri B juga dilakukan dengan sengaja, yaitu sengaja dengan kemungkinan.

Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga di ikuti dalam praktek peradilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusanya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Jadi dalam praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

Dari uraian tersebut, pembuktian terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan di terima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur dan perbuatan yang dilakukannya saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan

pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi atau mengerti perbutannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

3.Kealpaan (culpa)

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oeh hokum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas 2 (dua) yaitu:

1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu. 2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak

disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai

perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut. (Sofyan Sastrawidjaja)

Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari :

1. Kealpaan berat (culpa lata) Kealpaan berta dalam bahasa belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal: 188, 359, 360 KUHP

2. Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP

4. Tidak adanya Alasan Pemaaf.

. Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana

Memorie van Toelichting (M.v.T) mengemukakan apa yang disebut alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan

b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu.

Di samping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri terhadap alasan penghapus pidana, yaitu:

a. Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum untuk tiap- tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP.

b. Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku untuk delik- delik tertentu saja, missal Pasal 221 ayat (2) KUHP, menyimpan orang yang

Dokumen terkait