• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS JURIDIS PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

(Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUDHISTIRA FRANDANA NIM : 090200427

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

(2)

ANALISIS JURIDIS PENERAPAN PIDANA BERSYARAT

DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

(Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUDHISTIRA FRANDANA 090200427

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, SH. M.H NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, SH.M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum NIP. 196209071988112001 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur terhadap karunia Allah SWT, karena kasih dan

ridho-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis

Juridis Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi

Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012) ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini

Penulis menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh

sebab itu, dengan segala kerendahan hati Penulis akan menerima kritik dan saran

yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian demi

kesempurnaan skripsi ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi

ini, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

ikhlas dan tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga skripsi

ini dapat terselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan

kepada yang terhormat:  

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H, M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum sebagai Pembantu

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.Hum, DFM Dekan II Fakultas

(4)

4. Bapak Dr. O.K Saidin S.H, M.Hum Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. dr. Syahrial Pasaribu D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M),

Sp.A.(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan

dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan program sarjana ini.

6. Dr. H. M. Hamdan, SH, MH., sebagai Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Liza Erwina, SH., M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan

pembuatan skripsi ini.

9. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum sebagai Dosen Pembimbing

II yang telah meluangkan waktu, dan saran serta memberikan ilmunya

dan mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi ini baik secara

materi maupun moril.

10.Seluruh dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing Penulis selama

menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para

(5)

12.Kepada Orangtua terkasih, Edi Purwanto dan Yuni Subekti, S.Pd yang

selalu memberikan restu dukungan moral dan materiil, dan motivasi

serta doa dan kasih sayang yang tiada hentinya sedari kecil diberikan

sampai saat ini . Tanpa cinta, dukungan, doa serta kasih sayangnya

sangat sulit bagi Penulis untuk mencapai cita – citanya.

13.Untuk saudara tercinta, Muhammad Dwiki Nugraha, Dimas Anjasmara,

Shella Febri Aldina, dan Aprilia Putri Nabila yang selalu mendukung,

dan memberikan semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Serta kepada seluruh keluarga besar penulis baik dari bapak maupun ibu

yang penulis sayangi dan tidak dapat disebutkan satu persatu.

15.Kepada kakek sardi yang telah memberikan wejangan serta pandangan

baik secara moril maupun materil yang memotivasi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

16.Kepada sahabat dan rekan seperjuangan yang selalu setia dan

memberikan masukan saran dan motivasi penulis : M. Iqbal Hrp, Dian

Sasmita Hsb, Mulkan Balya, Dewi Ratih, Mhd. Subhi Solih, Dhirgan

Afrianda Segara, Raja Karsito Purba, Rizky Ridwan Matondang, Surya

Pardamen lingga, Taufik Nuariansyah, Abangda Mayorudin Febri dan

Nurpanca Sitorus yang memberikan saran yang sangat membantu

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

17.Serta teman-teman stambuk 2009 yang tidak bisa penulis ucapkan satu

persatu penulis ucapkan terima kasih yang sebesarnya selama

(6)

18.Spesial terima kasih penulis utarakan kepada Putri Arini yang tiada

hentinya memberikan motivasi dan terus menyemangati dengan penuh

kesabaran dan kesetiaan kepada penulis baik secara moril dan materil

sehingga memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

19.Kepada rekan kerja di Gym: Kahar, Ray, dan Eko yang memberikan

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan studi dibangku

perkuliahan.

20.Berbagai pihak yang telah memberikan doa serta dukungan kepada penulis

selama ini yang juga tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

tidak mungkin disebutkan satu persatu dan kiranya diharapkan oleh Penulis

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, terutama kepada

para pengajar dibidang hukum sebagai bahan pertimbangan dalam penerapan dan

pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia. Dan semoga dengan skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi penulis serta berguna bagi Nusa dan Bangsa.

Medan, 25 April 2014

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Tinjauan Kepustakaan ... 11

1. Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana ... 11

2. Tindak Pidana Perpajakan ... 15

3. Sanksi Pidana Bersyarat ... 18

G. Metode Penulisan ... 22

H. Sistematika Penulisan ………. 27

BAB II : PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN ... 28

(8)

B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Perpajakan Dalam Hukum

Pidana ... 33

C. Sanksi Pidana Perpajakan Dalam Hukum Pidana ... 55

BAB III : ANALISIS JURIDIS PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2239 K/PID.SUS/2012 ... 58

A. Posisi Kasus ... 58

1. Kronologis Perkara ... 58

2. Dakwaan dan Tuntutan ... 67

3. Alasan Pengajuan Kasasi ... 69

4. Amar Putusan ... 80

B. Analisis Kasus ... 82

1. Pertimbangan Hakim ... 82

2. Ana;isis Putusan ... 97

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... ... 100

B. Saran ... ... 102

(9)

ABSTRAK

Yudhistira Frandana Nurmalawaty Mahmud Mulyadi

Tindak pidana perpajakan dewasa ini lagi semarak dikalangan pemerintahan maupun perusahaan baik dalam skala lingkup yang kecil maupun yang besar, dikarenakan lemahnya pengawasan dibidang perpajakan sehingga sering kali terjadi kecurangan-kecurangan dibidang perpajakan. Saat ini pemerintah sangat ekstra menjaga dan mengawasi dibidang perpajakan, dimana dampak tindak pidana perpajakan sangat dirasakan selain dapat menggangu pemasukan uang ke kas negara yang sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan dan juga menghambat kesejahteraan masyarakat. Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di Indonesia dan bagaimana penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan pada Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012.

Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan penerapan pidana pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan menelaah Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 atas nama terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui sebagai Tax Manager Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur. Adapun Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier agar dapat menjawab setiap permasalahan.

Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan. Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan pelanggaran dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni, pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang, bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila pelanggaran yang dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja. Penerapan pidana bersyarat dalam amar putusan kasus tindak pidana perpajakan ini hakim lebih menitikberatkan pada alasan dimana dalam hal menyangkut denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa.

Kata Kunci: Pidana Bersyarat, Tindak Pidana Perpajakan

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tindak pidana perpajakan dewasa ini lagi semarak dikalangan pemerintahan

maupun perusahaan baik dalam skala lingkup yang kecil maupun yang besar,

dikarenakan lemahnya pengawasan dibidang perpajakan sehingga sering kali

terjadi kecurangan-kecurangan dibidang perpajakan. Saat ini pemerintah sangat

ekstra menjaga dan mengawasi dibidang perpajakan, dimana dampak tindak

pidana perpajakan sangat dirasakan selain dapat menggangu pemasukan uang ke

Kas Negara yang sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan dan juga

menghambat kesejahteraan masyarakat.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan

tidak mendapatkan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1

Pajak dalam prakteknya sering kali dinilai sebagai peluang untuk

memperkaya diri sendiri atau oranglain dengan cara memanipulasi hasil

penghitungan pajak terutang yang harus dibayarkan kepada Negara. Tindak

pidana perpajakan tidak hanya berdampak buruk terhadap pendapatan Negara

tetapi juga berdampak buruk kepada kemakmuran masyarakat.

Langkah pemerintah untuk memperkecil atau menanggulangi kecurangan

dibidang perpajakan yakni dengan cara melakukan perbaikan di dalam

Undang-       1

(11)

undang perpajakan serta penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana

perpajakan tersebut. Sehingga sanksi atau hukuman untuk tindak pidana

perpajakan lebih efektif dan memberikan efek jerah terhadap pelakunya.

Pengaturan tindak pidana perpajakan diatur dalam Pasal 38 huruf b jo. Pasal

43 ayat (1) undang RI No. 6 Tahun 1983 (selanjutnya disebut

Undang-undang Perpajakan) tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 jo, Pasal 64 ayat (1)

KUHP bahwa setiap orang yang karena kealpaannya:

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;atau

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dengan

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali

jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.2

Adapun jenis-jenis perbuatan yang terdapat di dalam tindak pidana

perpajakan melihat dari pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perpajakan yakni :

“ setiap orang yang dengan sengaja :

a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak

Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena pajak.

b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak

benar atau tidak lengkap.

       2

(12)

d. Menolak untuk melakukan pemeriksaan

e. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar

f. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memeperlihatkan

atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau

g. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana

dengn pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4

(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar3

Tindak pidana perpajakan tidak hanya dilakukan untuk kepentingan kekayaan

memperkaya diri sendiri, tetapi juga dapat dilakukan secara korporasi. Hukum

tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum. Dengan demikian,

disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif yang kemudian

diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia memberikan perlindungan

terhadap manusia. Konstruksi yang demikian itu disebut korporasi.4

Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan

perdagangan, terlebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang

terorganisasi, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia

tetapi juga mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang/atau

kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan

       3

Ibid, hal. 21 4

(13)

hukum. Dalam hal ini korporasi juga dapat dijadikan sarana untuk melakukan

tindak pidana (crimes for corporation). 5

Menurut Konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai

kedudukan fungsional6 dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk

dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan

kerja atau berdasar hubungan lain, bersama-sama. Jika tindak pidana dilakukan

oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi atau

pengurusnya.

Pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perpajakan RI sebagai upaya untuk

mengatasi dan meminimalisasi kasus-kasus perpajakan serta mengawasi

pihak-pihak yang terkait dalam sistem perpajakan itu sendiri baik di dalam ruang

lingkup kantor-kantor pemerintahan, maupun perusahaan-perusahaan yang ada di

Indonesia.

Direktorat Jenderal Pajak diberikan wewenang oleh pemerintah untuk

memungut pajak dengan cara-cara yang telah ditentukan, yang mana pajak

merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh masyarakat kepada Negara tanpa

mengharapkannya suatu imbalan.

Pengaturan hukum pidana dalam suatu tindak pidana tidak hanya sebagai

dampak penderitaan saja terhadap pelakunya, tetapi seringkali juga berisi nilai

       5

Penjelasan Buku Kesatu angka 4 Konsep KUHP Baru. 6

(14)

positif.7 Dalam perkembangannya terlihat antara lain dengan dimasukkannya

pasal-pasal 14a-14f ke dalam W.v.S 1915 pada tahun 1926 (S.1926-251 jo. 486)

beserta ordonansi pelaksanaannya (S.1926-487) tentang pidana bersyarat

(voorwaardelijke veroordeling). Pidana bersyarat bukanlah merupakan pidana

pokok sebagaimana pidana pokok yang lain, melainkan merupakan cara

penerapaan pidana, sebagaimana pidana yang tidak bersyarat.

Pasal 14a KUHP menyatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan

bilamana memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih

dari satu tahun, pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan

pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari

satu tahun. Yang menentukan bukanlah pidana yang dilakukan, tetapi pidana

yang akan dijatuhkan.

2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan,

dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai

pidana kurungan ini idak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana

kurungan adalah satu tahun.

3. Dalam hal menyangkut denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan,

dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda

betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa.

Selanjutnya dalam pasal 14b KUHP ditentukan masa percobaan selama tiga

tahun bagi kejahatan dan bagi pelanggaran lainnya dua tahun. Dalam pasal 14c

       7

(15)

KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum bahwa terpidana tidak akan

melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa

terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus

mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan

pidananya.

Disamping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah

laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian

dari masa percobaan. Syarat-syarat diatas tersebut tidak boleh mengurangi

kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana. Bilamana syarat

umum atau khusus tersebut tidak dipenuhi, maka berdasar pasal 14f ayat (1)

hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat

memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas

namanya diberikan peringatan pada terpidana.8

Sehubungan dengan asas-asas penerapan pidana bersyarat, tercakup satu hal

yang sangat penting yakni manfaat yang diharapkan dari sanksi pidana bersyarat.

Pidana bersyarat diharapkan dapat menjadi suatu kemungkinan pilihan yang

sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak

pidana pemula. Kontak-kontak yang teratur terhadap masyarakat akan sangat

bermanfaat dan menghindarkan pelaku tindak pidana dari proses prisonisasi yang

sangat berbahaya bagi kepribadian seseorang.

Manfaat ini tidak hanya akan dirasakan baik oleh penguasa maupun

masyarakat. Manfaat lain yang dapat disebut adalah dari segi ekonomi, yakni

       8

(16)

sepanjang menyangkut pembiayaan, maka pembiayaan bagi pelaksanaan pidana

bersyarat akan jauh lebih murah dibandingkan dengan sanksi pidana perampasan

kemerdekaan, sekalipun misalnya saja sanksi pidana bersyarat tersebut akan

dijalankan secara efektif. Manfaat selanjutnya adalah, bahwa pidana bersyarat

akan mengurangi penderitaan anggota-anggota keluarga lain yang hidupnya

tergantung kepada pelaku tindak pidana, sebab dengan pidana perampasan

kemerdekaan jelas akan meniadakan sumber utama kehidupan suatu keluarga.9

Pidana bersyarat sebagai salah satu pidana alternatif daripada pidana

perampasan kemerdekaan yang mempunyai keunggulan-keunggulan tersendiri

disbanding pidana perampasan kemerdekaan lainnya, karena dalam hal ini

pembinaan pelaku tindak pidana dilakukan di dalam masyarakat, sehingga

kerugian-kerugian yang mungkin terjadi akibat penerapan pidana perampasan

kemerdekaan dapat dihindari. 10

Skripsi ini akan membahas dan menganalisa secara yuridis terkait dengan

penerapan hukum pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan studi

kasus Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012. Dengan Terdakwa

Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak yang bertindak sebagai Tax Manager

Asian Agri Group (AAG) bertanggung jawab membuat Laporan Keuangan

Konsolidasi (Neraca dan Laporan Rugi Laba) dan mempersiapkan, mengisi dan

menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahuhan Pajak Penghasilan (PPh)

Wajib Pajak (WP) Badan untuk seluruh perusahaan yang tergabung dalam Asian

Agri Group, pada tanggal 29 Maret 2003 sampai dengan tanggal 14 November

       9

Ibid, hal. 193 10

(17)

2006 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dari tahun 2003 sampai dengan

tahun 2006. Kesemuanya itu akan dirangkum dalam penulisan skripsi ini.

Kasus tindak pidana perpajakan dalam Putusan Mahkamah Agung No: 2239

K/Pid.Sus/2012. Dengan terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak yang

bertindak sebagai Tax Manager Asian Agri Group (AAG) Terdakwa melakukan

beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau

pelanggaran ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan

berlanjut, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh

melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu

melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, dengan sengaja menyampaikan

Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak

lengkap atas nama PT. Dasa Anugrah Sejati, PT. Raja Garuda Mas Sejaati, PT.

Saudara Sejati Luhur, PT. Indo Sepadan Jaya, PT. Nusa Pusaka Kencana, PT.

Andalas Intiagro Lestari, PT. Tunggal Yunus Estate, PT. Rigunas Agri Utama,

PT. Rantau Sinar Karsa, PT. Sispra Matra Abadi, PT. Mitra Unggul Pusaka, PT.

Hari Sawit Jaya, PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Gunung Melayu yang

tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) sehingga dapat menimbulkan kerugian

pada pendapatan Negara sebesar Rp. 1.259.977.695.652,- (satu trilyun dua ratus

lima puluh sembilan milyar sembilan ratus tujuh puluh tujuh juta enam ratus

sembilan puluh lima ribu enam ratus lima puluh dua rupiah).11

Jaksa Pununtut Umum dalam dakwaannya pada Kejaksaan Negeri Jakarta

Pusat tanggal 19 Desember 2011 menuntut Terdakwa dipidana penajara selama 3

       11

(18)

(tiga) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan

perintah agar Terdakwa segera ditahan, ditambah dengan denda sebesar

Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan12.

Selanjutnya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tanggal 23 Juli 2012

menerima permohonan banding Jaksa Penuntut Umum yang menguatkan Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian sebagai upaya hukum luar biasa kasus

ini di putus oleh Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua)

tahun dengan masa percobaan 3 (tiga) tahun dengan syarat khusus selama 1 (satu)

tahun 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group yang

pengisian SPT tahunan diwakili Terdakwa membayar 2 (dua) kali pajak terhutang

yakni sebesar Rp. 2.519.955.391.304,- (dua trilyun lima ratus sembilan belas

milyar sembilan ratus lima puluh juta tiga ratus Sembilan puluh satu ribu tiga

ratus empat rupiah) secara tunai.

Kasus-kasus seperti ini penting untuk disoroti oleh kacamata publik

dikarenakan sangat meresahkan masyarakat, dan merugikan Negara. Mengingat

tindak pidana perpajakan secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem

perekonomian nasional dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Negara.

Disamping itu juga menarik untuk ditelaah berbagai peraturan yang terkait dengan

tindak pidana perpajakan, maupun tindak pidana yang berkaitan dengan tindak

pidana itu sendiri.

       12

(19)

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di

Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan

pada Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan

sebelumnya, maka yang menjaadi tujuan penelitian ini antara lain :

1. Menganalisa dan mengkaji ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana

perpajakan yang dapat menjerat pelaku pidana perpajakan tersebut.

2. Menganalisa dan mengkaji penerapan hukum pidana bersyarat dalam tindak

pidana perpajakan yang dilakukan oleh para pelaku pidana perpajakan dengan

melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara

dengan Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara

teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan

ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan

tindak pidana perpajakan sehingga kemungkinan untuk terjadinya

(20)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan

penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana

penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugasnya memperjuangkan

keadilan yang sebenarnya serta mewujudkan tujuan hukum yang di cita-citakan.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat

Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung No: 2239

K/Pid.Sus/2012) berdasarkan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.

Penulisan Skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran penulis

secara pribadi tanpa ada penipuan, penjiplakan, atau dengan cara lain yang dapat

merugikan pihak tertentu. Oleh karena itu skripsi ini adalah hasil dari karya

penulis sendiri yang disusun dengan cara mempelajari, membaca, mengutip

data-data yang ada pada buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan

perundang-undangan dan pihak lain yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Dengan

demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli

adanya.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah

(21)

Tidak ditemukannya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit

di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha

untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada

keseragaman pendapat13.

Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur

yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi

patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang tersebut

merupakan tindak pidana atau tidak. 14

Barda Nawawi Arief menyebutkan,15 bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya

ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk

menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “starfbaar feit” tidak

dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian maupun batasan yuridis tentang tindak

pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau

pendapat para sarjana. Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah

dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun

adakalanya pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang.

Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif )

itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu

rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Pompe mengatakan, bahwa menurut teori (defenisi menurut teori) strafbaar feit

       13

C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nasional, (Jakarta, Jala Permata Aksara. 2009) hal. 1

14

Mohammad Eka Putra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Medan, USU Press. 2010) hal. 73-74

15

(22)

itu adalah perbuatan, yang bersifat melaean hukum (wederrechtelijkheid) dan

kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar

feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup, dengan adanya tindak pidana, akan

tetapi selain itu harus ada orang yang dapat dipidana. 16

Pembentuk Undang-undang menggunakan kata “strafbaar feit” untuk

menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana, di dalam KUHP tanpa

memberikan suatu penjelasan tentang “strafbaar feit”. Oleh karena itu muncul di

dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud

dengan “strafbaar feit”. 17 Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus

memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang

bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya.

Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus

merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban

(toerekeningwatbaar) atau schuldfahig.

Penjelasan Pasal 37 Konsep KUHP Baru menyebutkan bahwa dalam

pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana.18 Tindak

pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan sebagaimana ditetapkan

dalam suatu peraturan perundangan saja. Apakah pembuat tindak pidana yang

telah melakukan perbuatan yang dilarang dan kemudian dijatuhi pidana, sangat

tergantung pada persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pembuat

tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, apakah pembuat

       16

Ibid, hal. 81 17

Ibid, hal. 78 18

(23)

tindak pidana mempunyai kesalahan. Kesalahan terdiri dari kemampuan

bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alas an pemaaf.

Menurut Konsep KUHP Baru, tindak pidana pada hakikatnya adalah

perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materil. Pasal

11 Konsep KUHP Baru menyebutkan :

1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana.

2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang

dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat

melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat.

3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada

alasan pembenar.

Penjelasan Pasal 11 Konsep KUHP Baru menyebutkan bahwa hukum pidana

Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya

(daad-dader-strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan.

Dengan demikian maka tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana

memperoleh kontur yang jelas. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan sebagai

ukuran untuk menentukan suatu perbuatan yang disebut tindak pidana. Perbuatan

yang dimaksudkan meliputi baik perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak

melakukan (pasif) yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang oleh

(24)

tindak pidana pada dasarnya merupakan kewajiban menurut hukum, kecuali

terdapat alasan yang meyakinkan dan diterima berdasarkan pertimbangan akal

yang wajar. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan

kepastian hukum, maka seemakin besar pula kemungkinan aspek keadilan

terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktek dapat diatasi

dengan memberikan penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam

penerapannya pada kejadian-kejadian kongkrit. Apabila dalam penerapan dalam

kejadian kongkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim

sejauh mungkin mengutamakan keadilan mengutamakan keadilan diatas kepastian

hukum.19

2. Tindak Pidana Perpajakan

Tindak pidana ialah perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan

dalam ketentuan pidana. Perlu dipahami bahwa ketentuan pidana tidak

semata-mata terdapat dalam KUHP saja, melainkan dapat juga dijumpai dalam

undang-undang lain seperti Undang-undang-undang Pajak, Undang-undang-undang Bea dan Cukai, dan

sebagainya. Agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana,

perbuatan tersebut harus sesuai dengan perumusan yang diberikan dalam

ketentuan undang-undang. 20

Kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak

untuk mengarahkan pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain

agar mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini

didasarkan bahwa hukum pajak tidak dapat memberikan suatu kegunaan bila

       19

Ibid, hal. 88 20

(25)

pihak-pihak dalam kedudukan sebagai stakeholder tidak memilki rasa keadilan

dalam menunaikan atau melaksanakan tugas maupun kewajiban hukum

masing-masing. 21

Pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perpajakan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 jo, Pasal

64 ayat (1) KUHP merumuskan bahwa :

“ setiap orang yang karena kealpaannya :

a.) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;atau

b.) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dengan pidana

kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah

pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.22

Secara yuridis, kejahatan dibidang perpajakan menunjukkan bahwa kejahatan

ini merupakan substansi hukum pajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak.

Kejahatan dibidang perpajakan dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak

melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor

untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau

       21

Muhammad Djafar Saidi, Kejahatan dibidang perpajakan. (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada 2012), hal. 1

22

(26)

tidak melakukan dibidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang

perpajakan karena memenuhi rumusan kaidah hukum pajak. 23

Tindak pidana lazimnya dikelompokkan dalam :

a) Pelanggaran

Pelanggaran adalah tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan (culpoos)

artinya bahwa tindak pidana itu dilakukan tidak dengan sengaja, melainkan

terjadi karena pelakunya alpa, kurang memerhatikan keadaan atau khilaf (pasal

38 KUP, dan pasal 24 UU PBB. UU No. 12 Tahun 1994).

b) Kejahatan

Kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan

dilakukan dengan sadar dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

yang merugikan oranglain atau masyarakat.

Suatu perbuatan itu termasuk “pelanggaran” atau “kejahatan” ditentukan oleh

undang-undang. Dalam pasal 38 dan 39 UU No. 28 Tahun 2007. Sanksi tindak

pidana “kejahatan” adalah lebih dari sanksi “pelanggaran”. Sanksi pidana untuk

tindak pidana dibidang perpajakan dalam Undang-undang Perpajakan tidak ada

yang berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup, tetapi hanya hukuman

penjara yang tidak lebih dari 6 (enam) tahun. Perlu diperhatikan bahwa ketentuan

hukum pidana umum yang tercantum dalam pasal 1 sampai dengan 85 berlaku

juga untuk fakta tindak pidana yang diatur dalam UU lain (seperti UU Pajak, Bea

dan Cukai, dan Imgrasi).

       23

(27)

Dengan demikian, ketentuan (perumusan dan sanksi) tentang percobaan

(poging Pasal 53-54 KUHP) turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum

(medeplichtig, deelneming, Pasal 55-62 KUHP), tentang gabungan perbuatan yang

dapat dihukum (samenloop starfbare feiten Pasal 63 KUHP dan seterusnya.),

berlaku juga untuk tindak pidana yang diatur dalam undang-undang perpajakan. 24

3. Sanksi Pidana Bersyarat

Muladi mengemukakan bahwa pidana bersyarat adalah suatu pidana,

dimana terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama

masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang

telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili

perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan

syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila

terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat merupakan

penundaan terhadap pelaksanaan pidana.25

Sanksi pidana bersyarat dan bentuk-bentuk pemidanaan lain yang bersifat

non-institusional merupakan hasil perkembangan yang sangat menonjol di dalam

administrasi peradilan pidana. Perkembangan ini seharusnya mendapatkan

tanggapan yang responsif dari perundang-undangan, dalam bentuk pelembagaan

sanksi pidana bersyarat dalam peraturan-peraturan tentang standar pelaksanaan

pidana bersyarat, sesuai dengan kondisi perkembangan zaman, berdasarkan

pendekatan teoritis dan praktis. Hal ini berarti bahwa harus selalu dihindari

semaksimal mungkin pidana perampasan kemerdekaan yang secara tidak alamiah

       24

T.N. Syamsah, Opcit, hal. 27-30 25

(28)

mengisolasi narapidana dari masyarakat yang terbukti akan berakibat fatal, baik

bagi dirinya maupun bagi masyarakat.26

Pengaruh pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan berupa perlindungan

masyarakat terlihat pada tujuan negatif pidana bersyarat, yakni untuk

menyelamatkan terpidana dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan

khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya. Alasan ini sangat

penting bilamana benar-benar tidak perlu dikhawatirkan bahwa yang bersalah

akan mengulangi suatu tindak pidana yang agak berat. Dengan menghindarkan

terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan, maka masyarakat

akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat, dengan

memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di

masyarakat, yang secara fakultatif dapat dbantu oleh lembaga kemasyarakatan. 27

Pidana bersyarat dalam hukum pidana Indonesia merupakan salah satu

alternatif yang sangat penting dari pidana perampasan kemerdekaan, karena

penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa keutungan, yakni :

a. Memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam

masyarakat.

b. Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan sehari-hari sebagai

manusia, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

c. Mencegah terjadinya stigma.

d. Memberikan kesempatan bagi terpidana untuk berpartisipasi dalam

pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarganya.

       26

Muladi, Opcit.hal. 191 27

(29)

e. Biaya efektif lebih murah dibandingkan dengan pidana perampasan

kemerdekaan.

f. Dengan pembinaan diluar lembaga, maka para petugas Pembina dapat

menggunakan segala fasilitas yang ada dimasyarakat untuk mengadakan

rehabilitasi terpidana.28

Fungsi-fungsi pemidanaan berupa pencegahan umum dan pengimbalan

hanya dapat terpenuhi, apabila tindak pidana terasa begitu berat, sehingga pidana

dapat ditentukan sebagian bersyarat dan tidak bersyarat. 29

Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan,

dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai

pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam Pasal 18 ayat 1

KUHP menayatakan, bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa

paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan tidak

dapat dikenakan pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah

menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak

mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat

dari pidana pokok yang dijatuhkan. Dalam menyangkut pidana denda, maka

pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin

bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terpidana.30

Syarat umum daripada pidana bersyarat yakni, terpidana bersyarat tidak boleh

melakukan pelanggaran hukum selama masa percobaan. Disamping itu pengadilan

dapat membebankan syarat-syarat khusus yang berkaitan dengan keadaan

(30)

masing perkara. Adapun syarat-syarat khusus ini adalah bahwa terpidana dalam

waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya harus mengganti segala

atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Disamping itu juga

dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang

harus dipenuhi selama masa percobaannya. Adapun syarat yang dijatuhkan oleh

pengadilan tersebut diarahkan untuk membantu terpidana bersyarat menaati

hukum, dalam kerangka rehabilitasi dan tidak terlalu membatasi kemerdekaannya

aatau bertentangan dengan kebebasannya beragama dan berpolitik, dan juga

persyaratan tersebut tidak boleh terlalu samar-amar sehingga tidak jelas.31

Pidana bersyarat secara otomatis berhenti dengan berhasilnya terpidana

bersyarat melampaui jangka waktu percobaan yang telah ditentukan oleh

pengadilan dengan mengeluarkan surat keterangan tentang penghentian tersebut,

dan sebuah turunan surat keterangan tersebut harus diberikan kepada berkas

terpidana bersyarat. Pengadilan yang menjatuhkan pidana bersyarat memiliki

wewenang untuk menghentikan pidana bersyarat setiap saat, wewenang yang

dilakukan mendahului jangka waktu berakhirnya pidana bersyarat, sebagaimana

yang telah ditentukan dalam keputusan pengadilan ini harus didasarkan atas

kenyataan bahwa terpidana bersyarat telah dapat melakukan penyesuaian dengan

baik dan bahwa pengawasan serta pengenaan syarat-syarat lain tidak lagi

diperlukan.32

       31

Muladi, Opcit, hal. 249-250 32

(31)

G. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum

normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan

penerapan pidana pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan

menelaah Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 atas nama

terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui sebagai Tax Manager Asian Agri Group

dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur.

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.

Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis

dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang

dianggap pantas.33

Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normative bertujuan

untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan

dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus

sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi

focus penelitian. 34

       33

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2004) hal. 118

34

(32)

2. Sumber Data

Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka

(data sekunder).35 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data

sekunder saja.36 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan

hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.37

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari;

1.Norma Kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar Republik

Indonesia 1945;

2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang

Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah di ubah dengan

Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2000, dan telah di ubah dan menjadi Perubahan Terakhir Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009;

4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan sebagaimana telah di ubah dan terakhir dengan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak

Penghasilan;

5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 Tentang pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasadan Pajak Penjualan Atas Barang

       35

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2009) hal. 12

36

Amiruddin dan Zainal Asikin, Opcit, hal. 31 37

(33)

Mewah, sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir menjadi

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Ketiga Undang-undang Pajak Pertambahan 1984;

6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah;

7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak;

8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung awab Keuangan Negara;

9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang

keuangan Negara;

10.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001;

11.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1998 tentang Hukum

Acara Pidana;

12.Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

13.Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 Tanggal 18 Desember

2012 atas nama terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui.

14.Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian

ini.

b)Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

(34)

1. Buku-buku yang terkait dengan hukum;

2. Artikel di jurnal hukum;

3. Komentar-komentar atas putusan Mahkamah Agung;

4. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum;

5. Karya dari kalangan praktisi hukum, maupun akademisi yang yang ada

hubungannya dengan penelitian ini.

c)Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hokum primer dan sekunder, diantaranya;

1. Kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia;

2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;

3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana perpajakan.

3.Pengumpulan Data

Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian

kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang

meliputi bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. 38 Studi kepustakaan

yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan

menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan

tindak pidana perpajakan beserta penerapan hukumnya, termasuk juga

bahan-bahan lainnya yang ada kaitannt\ya dan dibahas dalam skripsi ini.

       38

(35)

4.Analisis Data

Patton mengemukakan, analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.39

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari

berbagai sumber. 40 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi

ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan

metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik,

sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka persentase

sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang

diteliti.

H. Sistematika Penulisan.

Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4 (empat)

bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan

pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain.

Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut:

BAB I : Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang

mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan pengertian dari istilah

yang terkait dengan judul untuk memberi batasan dan pembahasan

mengenai istilah-istilah tersebut sebagai gambaran umum dari skripsi

       39

Patton membedakan proses analisis data dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencar pola hubungan antar dimensi-dimensi uraian. (Lexy J. Moeloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal.103)`

40

(36)

ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika

penulisan skripsi.

BAB II : Menguraikan tentang pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di Indonesia. Bab ini secara khusus menguraikan

perbuatan pidana perpajakan dalam undang-undang perpajakan

berikut dengan pertanggungjawaban tindak pidana perpajakan dalam

hukum pidana. Bab ini juga memuat sanksi pidana perpajakan dalam

hukum pidana di Indonesia.

BAB III : Merupakan pembahasan mengenai analisis juridis penerapan pidana besyarat dalam tindak pidana perpajakan dalam kasus dengan Putusan

Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012. Pada bab ini akan

diuraikan bagaimana posisi kasus dari perkara ini, dakwaan, tuntutan

pidana, alasan pengajuan kasasi, amar putusan, dan pertimbangan

hakim yang selanjutya akan dianalisa dan dikaji secara mendalam

terhadap putusan yang di berikan majelis hakim terhadap terdakwa

dalam perkara ini.

(37)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA

Hukum pidana adalah suatu kumpulan aturan yang mengandung larangan

dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi

dalam hukum pidana jauh lebih keras dibanding dengan akibat sanksi hukum yang

lainnya.41

Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan

untuk:42

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar

larangan tersebut dan dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara yang bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

Menurut Simons, hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan

larangan-larangan yang diadakan oleh Negara dan yang diancam dengan suatu

nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemua aturan-aturan

       41

Marlina, Opcit, hal. 15 42

(38)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA

Hukum pidana adalah suatu kumpulan aturan yang mengandung larangan

dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi

dalam hukum pidana jauh lebih keras dibanding dengan akibat sanksi hukum yang

lainnya.41

Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan

untuk:42

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar

larangan tersebut dan dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara yang bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

Menurut Simons, hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan

larangan-larangan yang diadakan oleh Negara dan yang diancam dengan suatu

nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemua aturan-aturan

       41

Marlina, Opcit, hal. 15 42

(39)

yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya

aturan-aturan untuk menjatuhi dan menjalankan pidana tersebut.43

Berdasarkan asas legalitas bahwa seseorang hanya dapat dipersalahkan

sebagai telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut oleh hakim telah

dinyatakan terbukti bersalah telah memenuhi unsur-unsur daripada tindak pidana

yang bersangkutan seperti telah dirumuskan dalam undang-undang.44

Hal ini sejalan dengan tindak pidana perpajakan maupun tindak pidana

lainnya yang mana harus terlebih dahulu tercipta regulasi yang melegalkan atau

tidak melegalkan suatu perbuatan sehingga jelas suatu perbuatan tersebut

termasuk dalam tindak pidana atau bukan.

Pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku

menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah mereka yang telah

memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan, sedangkan pelaku

menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam KUHP,

sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak

pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku. 45

Suatu perbuatan yang dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, perbuatan

itu harus sesuai dengan perumusan yang tercantum dalam ketentuan daripada

undang-undang tersebut dan termasuk meliputi pertanggungjawaban pidananya.

A. Perbuatan Pidana Perpajakan Dalam Undang-undang Perpajakan       

43

Ibid, hal. 8 44

Ibid, hal. 3 45

(40)

Moeljatno mengemukakan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai oleh ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa saja yang melanggar

larangan tersebut46. Dalam kata lain bahwa segala perbuatan yang bertentangan

dengan ketentuan daripada undang-undang akan dijatuhi hukuman (sanksi) sesuai

yang terdapat dalam ketentuan undang-undang itu sendiri.

Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh

wajib pajak dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan.

1. Pelanggaran.

Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan dengan

kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan pelanggaran

dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni, pidana kurungan

selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang,

bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila pelanggaran yang

dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja (penjelasaan pasal 38

Undang-undang Nomor 6 tahun 1983).

Penjelasan pasal 38 Undang-undang Perpajakan menyebutkan kualifikasi

daripada kealpaan itu sendiri adalah tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, dan tidak

memperdulikan kewajibannya sehingga perbuatannya mengakibatkan kerugian

bagi Negara. Perihal tindak pidana pelangaran tersebut yang dimaksudkan dalam

pasal 38 ayat (1) Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang

       46

(41)

telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28

Tahun 2007 yakni;

Barang siapa karena kealpaannya :

a. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau

b. menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan

selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali

pajak terhutang.47

2. Kejahatan.

Jika pelanggaran merupakan kejahatan yang ringan maka kejahatan dapat

dipadankan sebagai pelanggaran yang berat dikarenakan ancaman pidananya jauh

lebih berat dbandingkan dengan ancaman pelanggaran, yakni penjara

selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali dari jumlah

pajak terhutang. Dan bagi pelaku pengulangan kejahatan (residive) ancaman

pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat setahun.

Seperti yang tercantum dalam bunyi pasal 39 Undang-undang KUP Nomor

6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang

KUP Nomor 28 Tahun 2007 menegaskan bahwa :

(1). Barang siapa dengan sengaja :

       47

(42)

a. tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan atau

menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud

dalam pasal 2; atau

b. tidak menyampaikan SPT; dan atau

c. menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak

lengkap; dan

d. memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar; dan

e. tidak memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan, pencatatan atau

dokumen lainnya ; dan

f. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya sebesar 4 (empat) kali

dari pajak terhutang.

Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua

apabila seseorang melakukannya lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum

lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh

pidana penjara yang dijatuhkan.48

Perbedaan antara pelaku pelanggaran dengan kejahatan disini adalah ada

atau tidaknya niat untuk melakukan suatu pelanggaran. Apabila secara nyata

mempunyai niat untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakan maka termasuk

       48

(43)

kejahatan, dan apabila dilakukan berkali-kali maka pelaku dapat dikatakan

resedivis.

Pengenaan sanksi perpajakan kepada wajib pajak seperti yang diatur dalam

pasal 38 dan 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah

atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007,

ternyata mempunyai jangkauan disamping untuk mencegah terjadinya

pengulangan tindak pidana (residive) dibidang perpajakan, juga merupakan upaya

pencegahan (preventy) bagi wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang

dilarang tersebut, demi menumbuhkan rasa disiplin dan kesadaran hukum untuk

melaksanakan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban Negara. 49

B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Perpajakan dalam Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis,

pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana

bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak

pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di

lakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan

karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi

juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka

tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkannya atas atau jenis

perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak

dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.

       49

(44)

Namun setelah revolusi prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan

atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori

tradisionalisme (mashab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa

seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan

pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan

dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.

Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam

segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan

bahwa : I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact

legally and other is legally subjeced to the exaction.”50 Pertangungjawaban pidana

di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan

yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, menurutnya juga

bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut

masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral

ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai

“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggung

jawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut

dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang

di lakukannya itu.51

       50

Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, ( Bandung:Mandar Maju,2000),hlm.65

51

(45)

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada

tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat

yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena

perbuatannya.52

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk

pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang

yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan

dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan,

“tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di

pidananya si pembuat.53

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada

waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.54 Dengan

demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal,

yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata

lain, harus ada unsur melawan hukum. Jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2)

terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau

kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di

pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.

Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi

pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan

       52

Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,hlm.75

53

Ibid. 54

(46)

mengenai hakikat kejahatan,55 yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan

sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya.

Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan

pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua pendekatan ini

berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan

yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai

perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja,

melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan

tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.

Kemampuan dalam hal bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin

orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan

bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya

kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana

haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang

yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan

ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.56

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka

ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan

pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4

KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

       55

Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870) ,hlm.41-42

56

(47)

1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di

pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena

sakit berubah akal tidak boleh di hukum

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya

karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh

memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu

tahun untuk di periksa.

3. Yang ditentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah

Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara

terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa

pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang

mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu : (1)

dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan, (2) dapat

menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan

masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap

perbuatan tadi.57

Unsur-unsur pertanggungjawaban Pidana dimana pertanggungjawaban

pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kemampuan bertanggung jawab.

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung

jawab harus ada:

       57

(48)

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)

2. Kesengajaan (dolus)

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana ( Criminal wetboek) tahun

1809 di cantumkan : “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak

melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.”

Dalam memorie Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan

criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-undang Hukum

Pidana Indonesia 1915), di jelaskan : “sengaja “ diartikan : “ dengan sadar dari

kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.”

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan,

kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (

kehendak ) dapat tujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang di

larang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori

kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak

mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat

menghendakai suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan,

mengharapakan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja”

apabila suatu akibat yang di timbulkan karena suatu tindakan di bayangkan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan kadar hemoglobin metode cyanmethemoglobin pada mahasiswa semester IV Prodi DIII Analis kesehatan STIKes ICMe Jombang sejumlah 20

Two Bayesian estimators of µ using two different priors are derived, one by using conjugate prior by applying gamma distribution, and the other using

Hasil yang diperoleh saat pengujian tegangan kondisi darah menggumpal berada pada rentang nilai 2,32V sampai 2,80V (>2V) dan saat darah tidak menggumpal 1,48V hingga

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah sediaan yang mengandung ekstrak Ginkgo bi/oba dengan kadar 60 mg mempunyai pengaruh terhadap peningkatan daya

[r]

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

[r]

[r]