• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dibandingkan dengan Thailand, Indonesia belum mampu mendorong udang olahan sebagai prioritas ekspor. Dengan upah tenaga kerja yang relatif lebih murah, Indonesia berpeluang untuk mengembangkan udang olahan. Kelemahan yang dimiliki Indonesia antara lain teknologi, kualitas sumberdaya manusia, dan bahan pendukung misalnya kebutuhan tepung untuk udang (breaded) masih impor. Hasil estimasi pada persamaan harga udang olahan dunia disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Dunia Udang Olahan

Variabel Parameter

Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]

Endogen Eksogen Jangka

Pendek Pendek Jangka Harga udang

olahan dunia (POUD)

Intersep 2.518293 0.1156

Selisih total ekspor udang

olahan dunia -0.00581 -0.0125 -0.0881 0.1294

Total impor udang olahan

dunia 0.00647 0.2072 1.4583 0.1947

Tren waktu -0.28768 0.1055

Harga udang olahan dunia

beda kala 0.857932 0.0001

Berdasarkan data pada Tabel 33, total impor udang olahan lebih responsif dibandingkan dengan ekspor, artinya peran importir lebih besar dalam mempengaruhi harga udang olahan dunia. Harga udang olahan dunia secara signifikan dipengaruhi oleh selisih jumlah total ekspor udang olahan dunia. Dari tren waktu, terjadi kecenderungan penurunan harga udang dunia karena kelebihan penawaran. Dalam jangka panjang, nilai elastisitas impor lebih reponsif dibandingkan ekspor, artinya, importir lebih berperan dalam menentukan harga udang olahan dunia.

6.5.1. Pasar Jepang

Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga ekspor disajikan pada Tabel 34. Berdasarkan Tabel 34 dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pengaruh harga ekspor terhadap penawaran udang olahan Indonesia ke Jepang mempunyai nilai elastisitas jangka pendek 0.3613, sedangkan pengaruh dari harga ekspor Thailand bernilai -0.4632. Artinya, rata-rata peningkatan harga ekspor 1% akan direspons oleh eksportir Thailand dalam menawarkan udang olahan lebih besar dibandingkan dengan respons oleh eksportir Indonesia sehingga pada akhirnya akan menurunkan jumlah ekspor Indonesia sebanyak 0.4632%. Kondisi tersebut diduga disebabkan mutu udang yang ditawarkan Thailand lebih baik. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai dugaan parameter penerapan dummy LAW Thailand lebih tinggi dibandingkan dugaan parameter untuk Indonesia.

Kedua, pengaruh ketersediaan bahan baku (produksi udang olahan) terhadap jumlah ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang juga signifikan pada

tingkat kepercayaan 20%. Ketersediaan udang olahan tersebut masih terbatas karena mayoritas diekspor dalam bentuk udang beku.

Tabel 34. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Olahan Jepang

Variabel Parameter

Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]

Endogen Eksogen Jangka

Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke Jepang (QXOIJ) Intersep 1.168163 0.3834

Harga ekspor udang olahan

Indonesia ke Jepang 0.154982 0.3613 0.1177

Harga ekspor udang olahan

Thailand ke Jepang -0.21694 -0.4632 0.2606

Produksi udang olahan

Indonesia 0.125793 0.3682 0.0910

Dummy penerapan LAW 4.192671 0.0016

R2 = 87.94% Fhitung < 0.0001 DW = 0.785053 Jumlah ekspor udang Olahan Thailand ke Jepang (QXOTJ) Intersep 10.32847 0.0975

Selisih harga ekspor udang

olahan Thailand ke Jepang 2.467604 0.0469 0.1077

Harga ekspor udang olahan

Indonesia ke Jepang -0.12891 -0.0820 0.3934

Dummy penerapan LAW 16.88329 0.0008

R2 = 75.27% Fhitung < 0.0001 DW = 0.921712 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (PXOIJ) Intersep 2.336897 0.4179

Harga udang olahan dunia 1.810531 1.6877 2.3020 0.1226

Harga udang beku dunia -0.88052 -0.7824 -1.0672 0.2529

Tren waktu -0.38633 0.1179

Harga ekspor udang olahan

Indonesia ke Jepang beda kala 0.266854 0.1857 R2 = 82.89% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat = tidak terdefinisikan Harga ekspor udang olahan Thailand ke Jepang (PXOTJ) Intersep -1.39772 0.3165

Rasio harga udang olahan dunia terhadap harga udang

beku dunia 5.182608 0.5242 2.1280 0.0290

Nilai tukar Baht/US$ 0.006507 0.0230 0.0932 0.4199

Tren waktu -0.18651 0.0126

Harga ekspor udang olahan

Thailand ke Jepang beda kala 0.75368 0.0001 R2 = 94.00% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat = -1.01688

Jumlah total impor udang olahan Jepang dari dunia (QMOJD) Intersep -610.819 0.1430

Harga udang olahan dunia -0.57891 -0.1838 -0.8340 0.3093

GDP Jepang 0.346849 1.0445 4.7388 0.3157

Populasi Jepang 4.99108 18.9800 86.1068 0.1358

Tarif bea masuk udang olahan

ke Jepang beda kala -5.3053 -0.8325 -3.7768 0.3333

Tren waktu -1.01232 0.3405

Jumlah impor udang olahan

Jepang dari dunia beda kala 0.779576 0.0517 R2 = 98.71% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan

Menurut Adriyadi (2009), pengolahan dan pemasaran udang umumnya berdasarkan permintaan pasar ekspor (market oriented). Udang besar (black tiger) size 4/6 sampai dengan 31/40 ekor/kg diolah menjadi raw Head On Shell

On (HOSO) dan Head Less Shell On (HLSO). Udang ukuran medium 30-50

ekor/kg diolah dalam bentuk frozen cooked atau breaded yang mempunyai nilai tambah lebih besar. Udang kecil umumnya diolah dalam bentuk Peeled

Undefined (PUD), Peeled Defined (PD), dan Cooked Peeled Tail On (CPTO).

Ketiga, harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang responsif terhadap harga udang olahan dunia. Dalam hal ini Indonesia hanya market

follower karena jumlah udang olahan yang diekspor ke pasar Jepang relatif

terbatas. Selain itu, tren harga ekspor Indonesia ke Jepang juga menurun. Menurut Manarungsan et al. (2005) Thailand beralih ke produk bernilai tambah karena tingginya tingkat upah. Pada tahun 1996 perbandingan ekspor ke Jepang antara udang olahan dengan udang beku hanya sekitar 1:3, namun pada tahun 2002 kondisinya sudah hampir sebanding. Unit Pengolah Ikan di Thailand memanfaatkan keahlian dan pengalaman SDM Thailand untuk memperoleh keunggulan kompetitif. Pergeseran dari udang beku ke udang olahan tersebut telah membawa Thailand selangkah lebih maju dibandingkan pesaing lainnya.

Hasil studi Keefe (2002) menunjukkan bahwa kurangnya permintaan terhadap udang kaleng terutama karena harga udang segar dan kaleng di Jepang sangat tergantung pada harga udang beku. Implikasinya beberapa pengolah dapat mempunyai pengaruh yang besar. Permintaan udang beku meningkat seiring peningkatan kapasitas coldstorage di Jepang dan AS. Di

masa mendatang udang olahan akan sangat terpengaruh oleh perubahan harga sehingga info harga menjadi penting.

Dari aspek permintaan, terjadi tren penurunan jumlah impor oleh Jepang. Konsumsi udang per kapita Jepang sudah mencapai 3.3 kg/kapita, dibandingkan AS yang hanya 1.3 kg/kapita. Impor Jepang lebih responsif terhadap GDP dan populasi. Di lain pihak populasi Jepang relatif stagnan, bahkan menurun. Hal tersebut diduga menjadi penyebab indeks daya saing Indonesia menurun di pasar Jepang dan nilainya lebih rendah dibandingkan Thailand.

6.5.2. Pasar AS

Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga ekspor, dan permintaan udang olahan di pasar AS disajikan pada Tabel 35. Dari aspek penawaran ketersediaan bahan baku dan harga ekspor Indonesia ke AS bersifat responsif dalam jangka panjang. Nilai dummy penerapan HACCP yang positif diduga karena FDA secara rutin melakukan inspeksi mutu. Harga ekspor cenderung menurun dan responsif dipengaruhi oleh harga udang beku dunia baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Udang kaleng (udang olahan) di AS merupakan barang inferior dan hal tersebut disebabkan besarnya permintaan akan udang beku dan udang siap saji (Keefe, 2002). Udang kaleng tidak signifikan di pasar AS (Traesupap et al. 1999 dalam Keefe, 2002). Permintaan udang olahan oleh AS secara responsif lebih dipengaruhi jumlah penduduk dibandingkan pengaruh pendapatan, ceteris

Tabel 35. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Olahan AS

Variabel Parameter

Dugaan Elastisitas Prob > [ t ] Endogen Eksogen Jangka

Pendek Panjang Jangka

Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke AS (QXOIA)

Intersep -2.41869 0.0575

Harga ekspor udang olahan

Indonesia ke AS 0.229591 0.5259 1.5198 0.1022 Produksi udang olahan

Indonesia beda kala 0.168499 0.7321 2.1155 0.0080

Dummy penerapan HACCP 0.056843 0.4727

Jumlah ekspor udang Olahan

Indonesia ke AS beda kala 0.653938 0.0002

R2 = 95.06% Fhitung < 0.0001 Durbin-h =1.668926 Jumlah ekspor udang Olahan Thailand ke AS (QXOTA) Intersep 18.17521 0.0218

Selisih harga ekspor udang

olahan Thailand ke AS 0.030382 0.0001 0.4959

Dummy penerapan HACCP 44.55636 0.0003

R2 = 68.43% Fhitung 0.0005 DW = 0.761458 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke AS (PXOIA) Intersep 14.89799 0.0035

Selisih harga udang olahan

dunia 0.385917 0.0062 0.0123 0.1140 Harga udang beku dunia -0.77564 -1.1774 -2.3469 0.0052 Selisih nilai tukar Rp/US$ 0.00017 0.0020 0.0039 0.1328

Trend waktu -0.34482 0.0066

Harga ekspor udang olahan

Indonesia ke AS beda kala 0.498321 0.0088

R2 = 82.73% Fhitung = 0.0001 Durbin-h = -0.96175 Harga ekspor udang Olahan Thailand ke AS (PXOTA) Intersep 0.16951 0.4912

Rasio harga udang olahan dunia terhadap harga udang beku

dunia 11.90468 1.1937 0.0539

Nilai tukar Baht/US$ 0.114683 0.4011 0.0925

Tren waktu -0.59674 0.0002 R2 = 68.43% Fhitung = < 0.0001 DW = 0.761458 Jumlah impor udang olahan AS dari dunia (QMOAD) Intersep -171.517 0.3559

Selisih harga udang olahan

dunia -0.79039 -0.0012 -0.0041 0.4325

GDP AS 0.055526 0.0776 0.2578 0.4930

Jumlah penduduk AS 0.732611 3.0466 10.1242 0.3877

Tarif bea masuk udang

olahan ke AS -4.24354 -0.2207 -0.7333 0.3492

Jumlah impor udang olahan

AS dari dunia beda kala 0.699078 0.0039 R2 = 96.02% Fhitung < 0.0001 Durbin-h -3.3923

Permintaan udang olahan AS berkorelasi positif dengan jumlah GDP dan jumlah penduduk. Berdasarkan besaran nilai elastisitas, GDP lebih responsif pengaruh dari jumlah penduduk. Jumlah impor pada jangka panjang lebih responsif dipengaruhi oleh impor beda kala.

Kondisi di atas diduga menjadi penyebab terjadinya peningkatan indeks daya saing Indonesia ke pasar AS, sedangkan mengapa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Thailand diduga karena komposisi produk ekspor Thailand lebih beragam dan kuantitas juga jauh lebih tinggi. Hasil analisa terkait komposisi produk berdasarkan kode HS-10 digit dalam periode 2005-2011 ternyata mayoritas ekspor udang olahan Indonesia dalam bentuk udang kupas (HS 1605201030) (Tabel 36).

Tabel 36. Nilai Ekspor Udang Olahan Indonesia dan Thailand ke AS Berdasarkan Kode HS-10 Digit, Tahun 2005-2011

Negara/HS 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* % Indonesia 1605200510 0 12 0 263 207 0 0 1605200590 0 350 425 236 76 0 0 1605201010 97 0 441 603 2 446 1 973 1 387 1605201020 6 078 7 631 12 539 16 647 16 159 18 048 9 810 3 1605201030 38 966 62 829 49 955 64 369 59 594 41 346 38 436 69 1605201040 3 806 5 736 4 086 3 888 5 593 5 204 2 144 5 1605201050 25 978 100 770 405 205 335 320 Thailand 1605200510 76 101 935 637 1 812 2 079 147 -93 1605200590 2 412 1 587 2 315 6 027 12 380 6 304 2 254 -55 1605201010 5 552 6 035 6 469 6 918 7 395 8 342 2 575 -7 1605201020 39 946 41 270 47 628 64 009 70 598 87 198 54 898 34 1605201030 349 692 496 918 439 445 445 219 492 378 505 876 220 777 7 1605201040 909 2 387 1 440 1 918 2 489 2 700 678 -39 1605201050 2 761 2 907 2 954 1 845 1 236 2 652 3 071 382 Sumber data: NMFS (2011) Keterangan: 1605201030: Shrimp/Prawn P/F (Peeled/kupas) 1605201020: Shrimp/prawn b/f 1605201040: Shrimp/prawn cnd (kaleng) 1605201050: Shrimp/prawn p/p 1605201010: Shrimp/prawn frz 1605200510: Shrimp prawn at ct 1605200590: Shrimp prawn other

6.5.3. Pasar UE

Hasil estimasi penawaran dan harga udang olahan disajikan pada Tabel 38. Berdasarkan data pada Tabel 38, ketersediaan bahan baku mempengaruhi jumlah udang ekspor dan bersifat responsif baik dalam jangka pendek maupun panjang dan berpengaruh signifikan.

Permintaan udang olahan oleh UE-27 responsif dengan GDP/populasi dan tarif bea masuk udang olahan ke UE bersifat inelastis pada jangka pendek. Harga udang olahan dunia secara signifikan dipengaruhi oleh selisih jumlah total ekspor udang olahan dunia. Dari tren waktu, terjadi kecenderungan penurunan harga udang dunia karena kelebihan penawaran.

Lord et al. (2010) menyarankan agar Indonesia memperbaiki dari sisi suplai. Kelemahan dari sisi penawaran, terutama terkait mutu. Rekomendasinya: (1) perlu perbaikan kinerja bagi otoritas yang melakukan pengujian, surveilance terhadap mutu sebelum diterbitkan sertifikat kesehatan ikan, (2) traceability pada rantai pasokan, (3) mendukung pelaku usaha skala kecil dan menengah dalam menerapakan CBIB dan GHP, (4) meningkatkan dukungan pada KKP, dan (5) meningkatkan dukungan dari Asosiasi.

Rendahnya daya saing udang olahan Indonesia juga disebabkan faktor lainnya yang merupakan variabel eksogen dalam Model yaitu nilai total ekspor barang lainnya ke tujuan ekspor. Di lain pihak, nilai ekspor untuk produk lainnya selain udang olahan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga akan menurunkan daya saing udang olahan.

Tabel 37. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Olahan UE-27

Variabel Parameter

Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]

Endogen Eksogen Jangka

Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke UE-27 (QXOIU) Intersep -0.71757 0.0467

Harga ekspor udang olahan

Indonesia ke UE-27 beda kala 0.113951 0.2929 0.6377 0.0950

Selisih harga ekspor udang

olahan Thailand ke UE-27 -0.07201 -0.0041 -0.0089 0.2285

Produksi udang olahan

Indonesia 0.094922 0.5811 1.2653 0.0317

Dummy penerapan MRL -0.1441 0.3935

Jumlah ekspor udang Olahan

Indonesia ke UE-27 beda kala 0.540707 0.0648 R2 = 96.90% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Jumlah ekspor udang Olahan Thailand ke UE-27 (QXOTU) Intersep -1.1025 0.2284

Selisih harga ekspor udang

olahan Thailand ke UE-27 0.387933 0.0068 0.2984 0.1940

Selisih harga ekspor udang

olahan Indonesia ke UE-27 -0.06546 -0.0018 -0.0781 0.4209

Dummy penerapan MRL -0.4484 0.4011

Tren waktu 0.171108 0.1521

Jumlah ekspor udang Olahan

Thailand ke UE-27 beda kala 0.977127 0.0002 R2 = 74.69% Fhitung < 0.0015 Durbin-h stat = 2.4048

Harga ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (PXOIU) Intersep 5.902538 0.0889

Harga udang olahan dunia

beda kala 0.30096 0.5197 0.5270 0.1096

Harga udang beku dunia -0.44337 -0.7225 -0.7326 0.1377

Selisih nilai tukar Rp/US$ 0.000325 0.0040 0.0041 0.0463

Tren waktu 0.101098 0.2375

Harga ekspor udang olahan

Indonesia ke UE-27 beda kala 0.01381 0.4780 R2 = 68.61% Fhitung < 0.0054 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga ekspor udang Olahan Thailand ke UE-27 (PXOTU) Intersep 1.420847 0.3503

Rasio harga udang olahan dunia terhadap harga udang

beku dunia 5.052522 0.7249 0.0751

Nilai tukar Baht/US$ 0.047923 0.2399 0.1220

Tren waktu -0.11235 0.0451 R2 = 24.19% Fhitung = 0.2323 DW = 1.302674 Jumlah impor udang olahan UE-27 dari dunia (QMOUD) Intersep -411.531 <.0001

Selisih harga udang olahan

dunia -7.51631 -0.0105 0.0602

Rasio GDP UE-27 terhadap

jumlah populasi UE-27 361.6946 6.5435 <.0001

Tarif bea masuk udang olahan

ke UE-27 -0.56893 -0.1558 0.2265

Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan yaitu jumlah ekspor udang olahan ke masing-masing negara importir dipengaruhi oleh harga ekspor beda kala signifikan pada taraf 10%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjalin kerjasama yang cukup lama antara eksportir dengan importirnya.

Selain itu, banyak negara berkembang beralih ke produk bernilai tambah karena berkurangnya stok dan dalam rangka bertahan di dalam bisnis udang. Produk bernilai tambah meningkatkan willingness to pay karena meningkatkan kualitas produk yang akan dimakan dan memudahkan penyajian sehingga menggeser kurva permintaan. Terkait dengan hal tersebut dibutuhkan investasi yang besar untuk riset pemasaran, modal kerja, dan membangun sumber daya manusia berkualitas.

Menurut Manarungsan et al., (2005) pada tahun 1996 Thailand tidak mendapat Generalizes System of Prefferences (GSP) sehingga tarif udang beku Thailand meningkat dari 4.5% menjadi 14.5%, dan udang olahan dari 6% menjadi 20%. Ekspor ke EU turun 52% dari US$ 251 juta di tahun 1996 menjadi US$ 129 juta di tahun 2000. EU lebih ketat terhadap mutu dan ketatnya persyaratan mutu menyebabkan perubahan terhadap pola fikir pembudidaya di Thailand, yaitu lebih mengenal untuk menggunakan probiotik, beralih ke udang yang lebih resisten penyakit (vaname), dan pembudidaya lebih sadar akan penggunaan benur SPF dan alat PCR makin umum digunakan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan udang merupakan fungsi dari beberapa hal antara lain:perubahan harga udang relatif terhadap produk kompetitif, harga udang beku di pasar alternatif, populasi, pendapatan riil, dan preferensi konsumen. Karakteristik pasar sebagai berikut Jepang jangka

panjang menurun tetapi konsumsi udang tinggi, pada pasar AS, tumbuh dalam jangka panjang karena meningkatnya populasi dan konsumsi 24 kg/kapita, sedangkan UE-27 karena meningkatnya populasi dan konsumsi stabil 20 kg/kapita.

Pada masa mendatang, perkembangan udang dari sisi penawaran akan terkonsentrasi pada beberapa species. Fokus pada penurunan biaya, economies

of scale, pemasaran dan distribusi, pasar dan produk yang tersegmentasi.

Permintaan akan lebih terkonsentrasi pada ritel. Udang budidaya mempunyai kelebihan dibandingkan udang hasil penangkapan dalam hal ukuran produk lebih seragam, traceability, dan produksi lebih dapat diprediksi.

Salah satu kelemahan dari agregasi produk olahan, seperti yang dilakukan pada studi ini, yaitu kurang dapat menggali permasalahan mengapa udang olahan kurang berkembang di Indonesia. Berdasarkan pengalaman Philipina, hasil studi Salayo (2003) dapat dikemukakan bahwa marjin yang diterima dari pembuatan produk bernilai tambah tersebut berbeda-beda seperti disajikan pada Tabel 38.

Udang olahan yang mempunyai total surplus cukup besar yaitu bentuk

Head On Shell On (HOSO)/udang utuh lengkap dengan kepala dan ekornya, ke headless peeled frozen, breaded frozen, dan headless peeled dried. Untuk itu

disarankan agar Pemerintah Philipina mendorong produk bernilai tambah yang intensif tenaga kerja dan teknologi mengingat upah tenaga kerja rendah. Terkait dengan hal tersebut, maka pemilihan produk bernilai tambah juga perlu dikaji antara lain terkait dengan ketersediaan teknologi, SDM, bahan baku, dan

lain-lain. Hal-hal tersebut penting apabila akan mengembangkan udang olahan di Indonesia.

Tabel 38. Perbandingan Total Surplus Hasil Memproduksi Produk Udang Bernilai Tambah di Philipina

No. Produk Awal Produk akhir Total surplus (peso) Kategori

1 HO live 674 A

2 HOSO HOSO dried (D) 151 A

3 HOSO Headless peeled cooked (H) 2350 A 4 HOSO Headless peeled frozen (I) 2273 A 5 HOSO Headless peeled dried (J) 3227 A

6 HOSO Breaded cooked (K) 1531 A

7 HOSO Breaded frozen (L) 1604 A

8 HOSO frozen Headless frozen (M) 514 A 9 HOSO frozen Headless peeled frozen (N) 4516 A 10 HOSO frozen Breaded frozen (O) 3593 A

11 HOSO HOSO cooked 277 B

12 HOSO HOSO frozen 2 B

13 HOSO Headless cooked -351 C

14 HOSO Headless frozen -435 C

15 HOSO Headless dried -580 C

Sumber: Salayo (2003)

Keterangan:

HOSO = head on shell on (udang yang masih memiliki kepala dan ekor) A. Intensif tenaga kerja dan teknologi

B. Teknologi moderat, dan kurang tenaga kerja C. Kurang tenaga kerja dan teknologi

6.6. Rangkuman

1. Harga pakan dan serangan penyakit merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat produksi yang berpengaruh terhadap penawaran dan akhirnya berpengaruh terhadap daya saing.

2. Pengaruh produktivitas belum signifikan karena mayoritas tambak dikelola secara tradisional dengan produktivitas rendah.

3. Thailand lebih memfokuskankan pada upaya memproduksi udang bermutu. Pemernitah Thailand berubah dari “strong regulator” menjadi fasilitator,

dan pendekatan kluster yang digunakan merupakan key success factors keberhasilan industri udang Thailand.

4. Pada perdagangan udang segar, penurunan daya saing udang Indonesia di pasar Jepang diduga karena kurangnya pemenuhan akan persyaratan mutu, menurunnya permintaan, dan ketidaksiapan infrastruktur dalam mendukung ekspor udang dalam bentuk segar. Penurunan di ketiga pasar diduga karena udang segar merupakan bagian kecil dari porsi dan untuk menumbuhkannya dibutuhkan sarana infrastruktur lengkap dan porsi yang makin besar dari ekspor produk lainnya selain udang.

5. Penurunan daya saing udang beku Indonesia di pasar Jepang diduga karena pengaruh komposisi produk yang didominasi udang vaname dari sebelumnya udang windu. Peningkatan daya saing di pasar AS dan UE-27 diduga karena ketersediaan bahan baku. Sebaiknya Thailand menurun diduga karena tingkat persaingan yang semakin ketat.

6. Penurunan daya saing ekspor udang olahan Indonesia di pasar Jepang diduga karena pengaruh komposisi produk yang didominasi udang vaname dari sebelumnya udang windu. Peningkatan daya saing di pasar AS diduga karena persyaratan mutu, harga ekspor, dan komposisi produk.

7. Penggunaan dummy penerapan mutu sebagai indikator mutu memberikan hasil yang tidak konsisten untuk produk udang yang berbeda. Akan tetapi memberikan tanda yang sama baik untuk Thailand maupun Indonesia yaitu bernilai negatif untuk pasar UE-27.

8. Terkait sanksi penerapan mutu, UE-27 menekankan pada negara pengekspor, AS menekankan pada perusahaan eksportir, sedangkan

Jepang menekankan pada importir. Dengan demikian, ketatnya atau pelarangang ekspor ke suatu negara, misalnya ke UE-27 memungkinkan eksportir tersebut mengekspor ke tujuan lainnya seperti AS.

9. Thailand beralih ke produk bernilai tambah karena tingginya tingkat upah. Unit Pengolah Ikan di Thailand memanfaatkan keahlian dan pengalaman SDM Thailand untuk memperoleh keunggulan kompetitif.

10. Kunci utama peningkatan ekspor berasal dari mutu hasil perikanan yang memenuhi standar keamanan pangan dan permintaan pasar. Hal tersebut akan membangun kepercayaan konsumen dan memelihara citra produk sehingga pasar ekspor semakin komprehensif. Citra yang baik akan memudahkan peningkatan akses pasar melalui negosiasi pengurangan hambatan perdagangan secara bilateral antar pemerintah.

11. Biaya transaksi pada industri udang, misalnya untuk pakan relatif masih tinggi. Biaya menjadi tinggi antara lain karena infrastruktur yang belum baik.

Dokumen terkait