VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENAWARAN, PERMINTAAN, DAN DAYA SAING
Identifikasi pola keunggulan komparatif, seperti disajikan pada Bab V, hanya merupakan langkah awal, yang lebih penting adalah mengerti faktor pendorong dibalik itu (Gonarsyah, 2007; Cai dan Leung, 2006). Oleh karena itu, pada Bab 6 melalui persamaan simultan, dianalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang Indonesia terkait dengan produktivitas dan upaya peningkatan mutu sesuai tujuan penelitian kedua. Pembahasan pada Bab VI ini dilengkapi dengan hasil konfirmasi pada tingkat lapangan mengenai produktivitas udang tambak (Bab VII) dan mutu pada rantai pasokan (Bab VIII).
6.1. Keragaan Umum Model Daya Saing Udang Indonesia
Model Daya Saing Udang Indonesia yang dirumuskan pada Bab IV memperlihatkan keterkaitan sejak produksi sampai dengan perdagangan. Model Daya Saing Udang Indonesia diestimasi menggunakan motode 2SLS (Two-Stage Least Square). Setelah dilakukan respesifikasi terhadap Model, diperoleh 85 persamaan yang terdiri atas 57 persamaan struktural dan 28 persamaan identitas. Respesifikasi dilakukan agar diperoleh model yang baik menurut kriteria ekonomi, statistika, dan ekonometrika.
Berdasarkan hasil estimasi setiap parameter dan variabel-variabel yang terpilih telah memenuhi kriteria ekonomi yaitu memiliki tanda (sign) serta besaran (size) sesuai dengan harapan dan memenuhi logika ekonomi. Nilai koefisien determinasi (R2) cukup tinggi dengan kisaran 20% sampai dengan 99%. Terdapat 68.5% mempunyai koefisien determinasi lebih dari 70%.
Artinya peubah-peubah penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman peubah endogen (secara bersama-sama variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel penjelas).
Menurut kriteria statistik 64.83% mempunyai nilai statistik t berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata λ = 0.20. Hal ini berarti bahwa sebagian besar variabel penjelas berpengaruh secara signifikan terhadap masing-masing variabel endogennya.
Berdasarkan kriteria ekonometrika, diperoleh nilai Durbin-Watson (Dw) berkisar 0.73 sampai dengan 2.73 dan hasil uji statistik Durbin-h (dh) diperoleh kisaran nilai -3.39 sampai dengan 2.279. Terdapat beberapa persamaan yang mengandung autokorelasi. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1991) masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Dengan demikian, hasil pendugaan Model dalam penelitian dapat dinyatakan cukup representatif. Berikut disajikan hasil estimasi untuk keempat blok yang dianalisis yaitu Blok Produksi, Blok Perdagangan Udang Segar, Blok Perdagangan Udang Beku, dan Blok Perdagangan Udang Olahan.
6.2. Blok Produksi
Persamaan perilaku pada Blok Produksi mencakup persamaan permintaan faktor produksi (pakan dan benur), pertumbuhan produktivitas (TFP), produksi udang tambak, produksi udang hasil tangkapan, permintaan udang domestik, harga udang segar domestik, harga udang beku domestik, produksi udang beku, produksi udang olahan, permintaan udang segar oleh industri udang beku, dan permintaan udang beku oleh industri udang olahan.
6.2.1. Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak Indonesia
Hasil estimasi pada persamaan permintaan faktor produksi (penggunaan pakan dan benur) disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Estimasi pada Persamaan Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Jumlah pakan yang digunakan (QPAKN) Intersep 454.8623 <0.0001 Harga pakan -75.7553 -2.1594 0.0002
Selisih harga udang
segar domestik 2.782065 0.0176 0.0146 Tren waktu 15.76608 <0.0001 R2 = 88.28% Fhitung < 0.0001 DW= 0.739925 Jumlah benur yang digunakan (QBENR) Intersep 3.26316 0.4580 Harga benur -0.20077 -0.1318 -0.1548 0.2807 Harga pakan -2.31852 -0.5598 -0.6573 0.3514
Harga udang segar
domestik 0.378539 0.5933 0.6966 0.1500
Trend waktu 1.911489 0.0769
Jumlah benur beda kala 0.148305 0.2940 R2 = 74.50% Fhitung < 0.0015 Durbin-h stat tidak ada kesimpulan
Berdasarkan Tabel 21, jumlah pakan yang digunakan dipengaruhi secara nyata dan responsif oleh harga pakan. Rata-rata tiap peningkatan harga pakan 1% akan menurunkan penggunaan pakan sebesar 2.1594%, ceteris
paribus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa harga pakan yang berlaku
dewasa ini relatif mahal sehingga kurang mendukung pengembangan usaha budidaya. Kenaikan harga pakan tersebut akan menurunkan penggunaan pakan, dan pada akhirnya menurunkan produksi udang tambak.
Tingginya harga pakan tersebut antara lain disebabkan sebagian besar bahan baku masih impor. Prosentase bahan baku impor tersebut yaitu tepung ikan/Meat and Bone Meal/MBM 100%, bungkil kedelai/SBM 100%, Rape Seed meal 100% Corn Gluten Meal/CGM 100%, Calcium phosphate 100%,
Feed additive 100%, dan Vitamin 100%. Selain itu, beberapa bahan baku masih dikenakan tarif bea masuk seperti untuk fish oil 5%, rape seed 5%, Lysine 5%, dan DDGS 5%.
Selain itu, lokasi tambak yang umumnya di daerah remote area menyebabkan tingginya biaya transaksi. Jumlah perusahaan pakan udang pada tahun 2010 mencapai 27 perusahaan, akan tetapi masih didominasi oleh beberapa perusahaan besar yang tergabung dengan perusahaan ternak. Implikasi dari kondisi di atas, perbaikan infrastruktur yang akan mengurangi biaya produksi dan upaya penurunan harga pakan udang merupakan hal penting dalam rangka peningkatan daya saing.
Kedua, pengaruh harga pakan terhadap jumlah penggunaan benur tidak responsif, akan tetapi pengaruh harga pakan lebih besar dibandingkan dengan pengaruh harga benur. Rata-rata peningkatan harga benur 1% menurunkan penggunaan benur sebesar 0.1318%, sedangkan peningkatan harga pakan 1% akan menurunkan penggunaan benur 0.5598%, ceteris paribus. Pakan dan benur merupakan barang komplementer. Kondisi di atas juga sejalan dengan fenomena di tingkat lapang, bahwa pabrik pakan cenderung meningkatkan harga jual pakan jika terjadi kenaikan harga udang, dibandingkan pengusaha pembenihan/ hatchery.
Ketiga, pengaruh harga udang segar domestik terhadap penggunaan benur nilainya lebih besar dibandingkan terhadap penggunaan pakan. Artinya bahwa kenaikan harga output tersebut lebih mendorong penggunaan benur dibandingkan penggunaan pakan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak yang ada dikelola secara non-intensif. Hal tersebut diduga
karena risiko kegagalan pada budidaya intensif udang masih tinggi. Implikasinya pemerintah perlu meyakinkan pembudidaya udang apabila akan melakukan intensifikasi. Meskipun demikian, perlu kehati-hatian apabila akan melakukan intensifikasi karena berisiko tinggi terhadap agroekologis.
6.2.2. Pertumbuhan Total Factor Productivity
Kemajuan teknologi merupakan pendorong peningkatan produksi. Dalam analisis ini kemajuan teknologi diproxy oleh pertumbuhan TFP dan dihitung menggunakan angka indeks Tornqvist Theil. Berdasarkan definisi, TFP merupakan pertumbuhan output yang tidak disebabkan oleh pertumbuhan faktor produksi atau dikenal dengan pengaruh residual. Pada Model yang dibangun, TFP diduga dipengaruhi oleh variabel produktivitas tenaga kerja yang diproxy dari tingkat pendidikan dan anggaran irigasi melalui APBN untuk menambah ketersediaan air. Variabel lain seperti anggaran riset tidak diamsukan ke dalam model karena keterbatasan data. Hasil estimasi selengkapnya disajikan pada Tabel 22.
Berdasarkan data pada Tabel 22, pengaruh tingkat pendidikan bersifat responsif dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan TFP dibandingkan peningkatan anggaran irigasi melaui APBN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka ruang untuk peningkatan kualitas SDM dalam rangka meningkatkan produktivitas. Hasil survey Sosek Perikanan Tahun 2005 menunjukkan bahwa secara umum mayoritas pembudidaya udang berpendidikan dibawah SLTA yaitu tidak tamat sekolah sebanyak 3.2%, tamatan SD sebanyak 43.6% dan hanya 7.7% yang merupakan lulusan perguruan tinggi (DJPB, 2005). Kondisi tersebut jauh berbeda dengan di
Thailand, Sriwichailamphan (2007) melakukan studi mencakup 350 orang pembudidaya udang menemukan 28.7% responden berpendidikan S-1 dan sebanyak 2.6% berpendidikan S-2.
Tabel 22. Hasil Estimasi pada Persamaan Pertumbuhan Produktivitas (TFP) Udang Tambak
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Pertumbuhan Produktivitas Faktor Total (TFPIN) Intersep -0.44853 0.3900 Tingkat pendidikan pembudidaya 0.152959 1.3921 0.1933 Jumlah anggaran
irigasi dari Pemerintah 5.89E-07 0.0173 0.2303 R2 = 14.08% Fhitung 0.2969 DW = 2.696481
Kedua, infrastruktur berupa pembangunan irigasi juga penting dalam mendukung ketersediaan air sehingga mendorong pembudidaya untuk meningkatkan padat tebar (intensifikasi). Namun demikian, hasil studi ini menunjukkan bahwa pengaruh anggaran irigasi APBN tersebut tidak responsif terhadap pertumbuhan TFP. Hal tersebut diduga karena anggaran untuk infrastruktur melalui APBN selama ini terbatas.
6.2.3. Produksi Udang Tambak Indonesia
Hasil estimasi pada persamaan produksi udang tambak disajikan pada Tabel 23. Berdasarkan Tabel 23 dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, penggunaan pakan bersifat responsif dan signifikan pada taraf 1%. Setiap kenaikan penggunaan pakan udang rata-rata 1% akan meningkatan produksi udang tambak 1.0035%, ceteris paribus. Berdasarkan nilai elastisitas tersebut, berarti untuk memproduksi satu kg udang diperlukan jumlah pakan sebanyak 0.99 kg atau Feed Convertion Ratio (FCR) mencapai 0.99. Nilai FCR
dibawah satu tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak dikelola secara non-intensif (semi-intensif dan ekstensif). Budidaya udang menggunakan teknologi intensif umumnya mempunyai nilai FCR sekitar 1.7 sampai dengan 2.5.
Tabel 23. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Tambak
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Produksi udang tambak Indonesia (QTAMB) Intersep -6.30814 0.2921 Harga udang segar domestik 0.001025 0.0002 0.4958 Selisih harga BBM -0.002400 -0.0015 0.1663 Jumlah pakan 0.990892 1.0035 <.0001 Selisih jumlah benur 0.087033 0.0009 0.1742 Selisih tingkat suku bunga -0.01254 -0.0003 0.4502 Dummy serangan penyakit -1.80744 0.1863 Pertumbuhan TFP 5.599316 0.0290 0.2980 R2 = 99.91% Fhitung < 0.0001 Dw= 1.802372
Kedua, hasil dugaan parameter harga BBM (energi) terhadap produksi udang tambak bernilai negatif. Peningkatan harga BBM akan menurunkan produksi udang tambak yang pada gilirannya berpengaruh negatif terhadap daya saing. Kontribusi BBM terhadap biaya produksi pada tambak intensif dan semi-intensif sekitar 13%. Penggunaan BBM terutama untuk kincir, pompa, dan penerangan. Intensitas penggunaan BBM akan meningkat dengan meningkatnya padat penebaran. Pembudidaya di beberapa daerah seperti di Jawa Timur memperoleh solar dengan harga subsidi, sedangkan daerah lain seperti Lampung, menggunakan solar harga industri. Implikasinya, pemerintah perlu memperhatikan harga BBM agar industri udang dapat berkembang.
Ketiga, faktor lain yang berperan penting dalam rangka meningkatkan daya saing dari sisi biaya yaitu tingkat suku bunga pinjaman karena usaha tambak udang termasuk padat modal. Hasil estimasi tingkat suku bunga pinjaman berpengaruh negatif, namun tidak signifikan dan tidak responsif. Hal tersebut sejalan dengan studi Raharjo (2001) yang memperoleh nilai elastisitas untuk tingkat suku bunga terhadap produksi 0.0678. Studi Irwan (1997) untuk periode pengamatan 1974-1995 menunjukkan bahwa produksi udang dipengaruhi oleh harga udang domestik, tingkat suku bunga, dan jumlah produksi beda kala.
Keempat, hal lain yang tidak bisa diabaikan dan merupakan salah satu kendala terbesar dalam budidaya udang adalah terjadinya serangan penyakit (Devi dan Prasad, 2006). Hasil dugaan parameter dari dummy serangan penyakit yang bernilai negatif dan signifikan pada tarf 20%. Serangan penyakit akan menurunkan kuantitas produksi udang dibandingkan dengan periode tidak adanya serangan penyakit. Upaya mengatasi serangan penyakit melalui penggunaan varietas udang vaname yang relatif tahan penyakit belum berhasil. Namun demikian, penggunaan udang vaname telah mendukung capaian produksi udang nasional sehingga pangsa ekspor Indonesia di tingkat dunia relatif tetap.
Serangan penyakit berdampak pada pembudidaya yang menggunakan teknologi intensif, tetapi juga non intensif, serta tidak hanya pada tingkat usaha skala kecil juga terhadap perusahaan terintegrasi. Salah satu perusahaan terintegrasi di Lampung terkendala juga serangan penyakit IMNV. Produktivitas per kolam menurun bahkan ada yang mencapai 72.71% antara
lain produktivitas per kolam (ukuran 5 000 m) menurun dari 8 405 ton/ kolam atau 16 810 ton/ha pada tahun 2008 menjadi 2 294 kg/kolam atau 4 586 ton/ha pada kuartal kedua tahun 2010 (Gambar 26). Perusahaan tersebut telah mengupayakan pengendalian yaitu dilaksanakannya Standard Operating
Procedure (SOP) yang baru menyangkut polyculture udang dengan ikan,
pengurangan padat tebar, peningkatan frekuensi pergantian air, dan penambahan kincir untuk meningkatkan sirkulasi oksigen.
6798 8405 6819 2407 2063 2370 1922 2294 6209 7136 6486 5892 6691 7170 5790 5316 335 533 2393 1253 1458 2080 1845 1529 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 2007 2008 2009 (Q.1) (Q.2)2009 (Q.3)2009 (Q.4)2009 2010(Q.1) (Q.2)2010 CPB WM AWS
Gambar 26. Dampak Serangan Penyakit terhadap Produktivitas Udang PT XYZ di Lampung Periode 2007-2010
Data lain terkait penyakit yaitu hasil survey oleh Global Aquaculture
Alliance (GAA) tahun 2001 yang menemukan bahwa diperkirakan 22% dari
produksi udang tahun 2001 hilang akibat penyakit. Sebanyak 60% penyakit disebabkan virus dan 40% oleh bakteri. Kerugian ditaksir mencapai US$ 1 milyar, dan mencapai US$ 6 milyar untuk periode 2001 sampai dengan 2008.
Kelima, peningkatan daya saing dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas. Akan tetapi, produktivitas yang diukur dengan pertumbuhan TFP sebagai proxy dari kemajuan teknologi pada studi ini tidak berpengaruh signifikan meningkatkan produksi. Artinya, penambahan produksi terutama lebih karena penambahan faktor produksi. Pembahasan mengenai faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan TFP disajikan pada Bab VII.
6.2.4. Produksi Udang Hasil Tangkapan
Udang hasil tangkapan berperan penting dalam menambah ketersediaan bahan baku. Hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi udang hasil tangkapan disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan kriteria statistik, produksi udang hasil tangkapan secara signifikan pada taraf 5% dipengaruhi harga output (udang segar domestik) dan jumlah penggunaan alat tangkap pukat udang. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa dalam jangka pendek rata-rata peningkatan harga BBM 1% akan menurunkan produksi sekitar 0.0005%, ceteris paribus. Artinya penting juga upaya pengurangan biaya BBM. Tabel 24. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Hasil Tangkapan
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ] Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka
Produksi udang Hasil Tangkapan (QTNKP)
Intersep 109.5602 0.0166
Harga riil udang segar
domestik 2.296985 0.3998 0.0079
Jumlah Alat Tangkap Pukat
Udang 0.005401 0.1057 0.0142
Harga BBM beda kala -0.00401 -0.0005 0.3980
R2 = 39.68% Fhitung 0.0499 DW = 1.226172
6.2.5. Harga Udang Domestik dan Permintaan Bahan Baku
Hasil estimasi pada persamaan harga udang segar, harga udang beku domestik, permintaan udang segar oleh industri udang beku, dan permintaan
udang beku oleh industri udang segar disajikan pada Tabel 25. Pertama, Berdasarkan data pada Tabel 25, harga udang segar domestik secara signifikan lebih dipengaruhi oleh jumlah ekspor dibandingkan pengaruh dari permintaan udang segar domestik. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena udang merupakan komoditas ekspor, dan relatif mahal bagi konsumen domestik.
Kedua, pada Model Daya Saing Udang Indonesia ini, permintaan udang domestik merupakan persamaan identitas sehingga perilakunya tidak diamati. Akan tetapi berdasarkan data Susenas terjadi peningkatan konsumsi udang domestik. Peningkatan konsumsi udang segar domestik dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, hal tersebut merupakan keberhasilan kampanye Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) untuk mengkonsumsi udang. Kedua, kemungkinan lain adalah karena ukuran udang yang dihasilkan kurang layak ekspor.
Terkait dengan kemungkinan kedua, mengacu pada pengalaman di Philipina, menurut Salayo (2000) udang lebih banyak dijual ke pasar domestik disebabkan produk tersebut tidak memenuhi persyaratan ekspor dalam hal ukuran dan kualitas produk karena udang terserang penyakit. Akibatnya industri pengolahan dalam kondisi problematik. Demikian halnya di Thailand, 55% produk udang Thailand tahun 1987 dikonsumsi domestik, dan setelah dilakukan peningkatan mutu, maka pada tahun 1997 konsumsi domestik menurun menjadi 35%. Sebanyak 90% udang hasil budidaya diekspor, sisanya dikonsumsi domestik dan umumnya berukuran kecil. Rendahnya konsumsi udang domestik di Thailand disebabkan harga udang lebih mahal dibandingkan harga daging ayam dan daging babi.
Tabel 25. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Segar Domestik, Harga Udang Beku Domestik, Permintaan Udang Segar oleh Industri Udang Beku, dan Permintaan Udang Beku oleh Industri Udang Olahan
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ] Endogen Eksogen Jangka
Pendek Jangka Panjang
Harga udang segar domestik (PUSDOM) Intersep 16.47634 0.2245 Permintaan udang segar domestik beda kala 0.039417 0.4056 0.7530 0.2880 Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke AS 38.02945 0.2737 0.5081 0.0149 Tren waktu -2.00702 0.0342
Harga riil udang
domestik beda kala 0.461299 0.0286
R2 = 73.123% Fhitung= 0.0006 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
Harga udang beku domestik (PUBDOM)
Intersep 6.045446 0.0502
Harga udang beku
dunia 0.142017 0.1274 0.1881 0.1305 Permintaan udang
beku domestik 0.003386 0.0101 0.0150 0.4468
Tren Waktu -0.00116 0.4930
Harga udang beku
domestik beda kala 0.322836 0.1110
R2 = 58.73% Fhitung= 0.0104 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
Permintaan udang segar oleh industri udang beku (QDUSB)
Intersep 30.22418 0.4653
Selisih harga udang
segar domestik -0.14723 -0.0004 0.4538 Harga riil udang
beku domestik 6.985118 0.3461 0.4055
Trend waktu 10.71337 0.0001
R2 = 75.96% Fhitung=0.0001 DW=2.620788
Permintaan udang beku oleh industri udang olahan
(QDUBO)
Intersep -0.24292 0.0821
Selisih harga udang
beku domestik -0.00035 0.0000007 0.4959 Produksi udang Olahan Indonesia 2.00169 1.0021 <.0001 Harga udang olahan dunia 0.017416 0.0065 0.0948 R2 = 99.99% Fhitung= 0.0001 DW = 2.073017 Produki udang Olahan Indonesia (PruOI) Intersep 9.561422 0.3175 Harga udang olahan dunia 0.574953 0.4269 0.2007 Harga udang beku
domestik -1.42308 -1.1228 0.2137 Jumlah ekspor udang olahan Indonesia ke dunia 1.251376 1.1091 <.0001 Tingkat suku bunga 0.003228 0.0010 0.4779 R2 = 94.00% Fhitung= 0.0001 DW = 2.262889
Ketiga, bahwa pengaruh harga output lebih besar dibandingkan pengaruh harga input untuk persamaan permintaan udang segar oleh industri udang beku. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh UPI dalam menentukan harga lebih dominan. Kasusnya berbeda untuk udang olahan, produksi udang olahan Indonesia dipengaruhi secara responsif oleh harga input (udang beku). Dengan demikian bahwa ketersediaan bahan baku menjadi penting. Fluktuasi harga yang tinggi menurut Suryana (1989) menunjukkan bahwa sistem pemasaran yang ada tidak mampu mengendalikan sumber interdependensi seperti surplus produksi. Fluktuasi harga antara lain disebabkan ekspor terkonsentrasi ke negara tertentu dan exportir sebagai pembeli membentuk suatu kekuatan yang monopolistik.
Keempat, mengingat tidak tersedianya data harga udang olahan domestik, maka dalam Model ini dipilih penggunaan produksi udang olahan dipilih daripada penggunaan harga udang olahan domestik. Permintaan udang beku oleh industri udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh produksi udang olahan. Produksi udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh harga udang beku domestik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa udang segar untuk industri udang beku, dan udang beku untuk industri udang olahan berperan penting.
Terkait bahan baku, apabila hasil budidaya dengan hasil tangkapan ditambahkan maka jumlahnya cukup memadai. Diduga yang menjadi permasalahan adalah akibat penawaran yang tergantung musim maka pada musim-musim tertentu melimpah dan pada musim lainnya kekurangan. Akibatnya disatu sisi, UPI mengalami kekurangan bahan baku sehingga
diperlukan impor, dilain pihak pembudidaya udang yang diwakili oleh Shrimp
Club Indonesia (SCI) menyatakan bahwa bahan baku mencukupi sehingga
impor tidak diperlukan. Implikasi dari hal tersebut adalah perlunya keakuratan mengenai data perikanan.
Salah satu strategi yang dilakukan UPI dalam menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku yaitu dengan memiliki tambak sendiri. Akan tetapi, ketika udang terkena serangan penyakit, kondisi tersebut akan mempengaruhi keberlanjutan usaha. Menurut Adriyadi (2009), hanya beberapa UPI yang dikelola dengan baik. Beberapa penyebab tutupnya UPI adalah: over
investment yaitu kapasitas besar kemampuan penawaran udang kurang
memadai, terjebak dalam kebijakan pembelian/ penjualan udang yaitu beli mahal jual murah, dan modal kerja pembelian udang ekspor digunakan untuk membiayai tambak yang gagal panen.
Kelima, pada studi ini, pengaruh tingkat suku bunga pinjaman terhadap produksi udang olahan relatif kecil. Dengan demikian disamping penurunan tingkat suku bunga perlu juga upaya lain untuk mendorong industri pengolahan. Upaya tersebut antara lain kemudahan investasi, pembangunan infrastruktur, dan memberikan insentif pada perusahaan yang membuat produk udang bernilai tambah. Selain itu, perlu mengupayakan agar industri udang olahan lebih dekat dengan penyediaan bahan baku. Pengaruh hal-hal tersebut tidak tertangkap pada Model yang dibangun.
6.2.6. Perbandingan dengan Thailand
Perbandingan dengan Thailand pada aspek produksi hanya didasarkan studi pustaka. Secara umum, Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan
Thailand. Pengembangan udang di Thailand dengan di Indonesia relatif sama, akan tetapi Thailand lebih maju. Nilai industri udang Thailand mencapai 1,1% dari GDP Thailand pada tahun 2006, memberi lapangan pekerjaan bagi lebih dari 1 juta orang dengan devisa sekitar US$ 2 milyar. Dari jumlah tersebut sebanyak 90% berasal dari input lokal (Institute for Management Education for Thailand Foundation, 2002).
Berikut disajikan beberapa hal terkait biaya produksi, penyakit, dan lainnya yang menyebabkan Thailand lebih maju dibandingkan negara lain. Dalam upaya mempertahankan daya saing perhatian utama yang dilakukan Thailand adalah terhadap kualitas produk dan keamanan pangan. Thailand menjadi pemimpin dalam ekspor udang dan memperoleh keunggulan kompetitif melalui tingginya produktivitas tambak (Wyban, 2007a).
Pertama, key success faktors usaha tambak di Thailand yaitu penerapan teknologi pada semua level mulai hatchery, tambak, pabrik pakan, UPI, dan perusahaan pemasaran internasional. Dukungan dari sisi keuangan tidak lepas dari peran dari Charoen Pokphan Feed, dan Thai Union Frozen Food. Pemerintah dan universitas mendukung melalui riset dan penyuluhan. Thailand’s Mahachai Shrimp Auction juga menyediakan kesempatan pembudidaya melakukan lelang yang kompetitif. Selain itu, perusahaan Thailand juga mempunyai perusahaan pemasaran di Jepang, EU, dan AS.
Dilain pihak, biaya produksi untuk beberapa komponen relatif sama. Hasil studi Ling et al., (1999) yang meneliti perbandingan biaya produksi berdasarkan survey tahun 1994/1995 pada berbagai tingkat teknologi, mengungkapkan bahwa pada biaya tetap Indonesia lebih mahal untuk tingkat
suku bunga yaitu US$ 0.16/kg atau mencapai 3.6% dibandingkan Thailand yang hanya US$ 0.11 atau 2.6% (Gambar 27).
Sumber: Ling et al., (1991)
Gambar 27. Perbandingan Biaya Produksi Udang Tambak Indonesia dengan Thailand
Berbeda dengan di Indonesia, Thailand relatif lebih berhasil dalam mengatasi serangan penyakit hasil dari program bioteknologi melalui National
Center for Genetic Engineering and Biotechnology (BIOTEC). Hasilnya,
tingkat kerugian akibat penyakit hanya 29% pada tahun 1990, sementara negara lain mengalami kerugian sampai dengan 80% (China merugi 120.000 ton senilai US$ 400 M dan Equador merugi senilai US$ 350 milyar). Waktu pemulihan dari serangan penyakit juga lebih cepat (Tanticharoen et al., 2008). Menurut Szuster (2003) dalam Sriwichailamphan (2007), kunci keberhasilan dalam mengatasi permasalahan penyakit adalah pelaksanaan biosecurity (Wyban, 2007a). Upaya yang dilakukan antara lain deteksi pathogen pada benur sebelum ditebar menggunakan Polymere Chain Reaction (PCR) dan
penggunaan metode diagnostik penyakit yang mudah dikerjakan oleh pembudidaya, penggunaan probiotik, dan imunostimulan.
Thailand sukses mempertahankan sebagai eksportir udang utama karena: berubahnya peran pemerintah, kebijakan publik, dan dukungan lainnya, khususnya melalui pendekatan kluster. Pemerintah mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua aktifitas industri, termasuk aspek ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang dan mengembangkan produksi dan pemasaran. Beberapa studi menyarankan bahwa “a cooperative cluster” merupakan pendekatan terbaik untuk pengembangan industri. Semua pihak ada perwakilan baik dari pemerintah, pembudidaya sampai dengan eksportir. Pemerintah memperkuat kelembagaan koperasi. Manfaatnya terasa yaitu makin efektifnya pengelolaan budidaya melalui sistem manajemen terpadu.
Pemerintah Thailand berubah peran dari “strong” regulator menjadi fasilitator dalam membantu industri udang menciptakan peluang pasar dan meningkatkan daya saing melalui penelitian dan pengembangan.
Selain itu, Thailand mampu bersaing dengan China dan Vietnam karena pengolah udang memiliki peralatan tercanggih dan kualitas SDM yang tinggi. Termasuk didalamnya berupa transfer teknologi dari Jepang. Pembudidaya di daerah memiliki asosiasi dan umumnya adalah koperasi. Asosiasi ditingkat pengolah berfungsi untuk tukar menukar informasi, bantuan dari konsultan independen perusahaan, dan the Thai Industrial Standards Institute mendukung pengembangan produk (Sriwichailampan, 2007).
Pemerintah Thailand juga telah berupaya mengembangkan udang windu, namun kurang berhasil. Guna mengurangi penurunan produksi akibat
lambatnya pertumbuhan udang windu yang menyebabkan capaian produksi hanya 260 ribu dari 300 ribu ton, maka dilakukan impor induk dan domestikasi
P. monodon. Pertimbangannya, udang tersebut mempunyai pasar khusus,
kurang tersaingi, dan mempunyai harga tinggi. Pada periode 2003-2007 tersebut kebutuhan dana mencapai sekitar US$ 18 juta.
Menurut Lebel et al, (2010) industri udang Thailand diuntungkan dengan pergantian dari udang windu ke udang vaname. Selain itu, dukungan dari perusahaan multi-nasional (PT CP), izin untuk impor induk, penanganan penyakit melalui penyiapan benur Specific Pathogen Free (SPF) dan biaya produksi lebih rendah. Pengaruh udang vaname terhadap lingkungan yaitu membutuhkan lebih sedikit sumberdaya dan menghasilkan lebih sedikit limbah. Sebagai contoh, untuk menghasilkan satu ton udang vaname hanya dibutuhkan 51 000 benur udang putih, sedangkan udang windu 128 000 ekor, air yang dibutuhkan sebanyak 2 540 m3, sedangkan udang windu sebanyak 9 240 m3, udang putih membutuhkan energi 4 610 kWh, sedangkan udang windu 8 100 kWh, kebutuhan pakan udang vaname 1 620 kg, sedangkan windu sebanyak 2 420 kg.
Kunci sukses Thailand dengan vannamei adalah dengan mengontrol induk udang impor untuk menjamin kecukupan suplai dari induk vaname yang benar-benar SPF. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan ijin dari Departemen Perikanan dengan dua tahun tahun perkembangan benur yang dihasilkan SPF, dan memerlukan sertifikasi dari pemerintah AS yaitu berasal dari Oceanic Institute di Hawaii (Otoshi et al., 2007).
Kunci sukses usaha budidaya berada pada induk udang dan benur bersertifikat. Revolusi budidaya udang Thailand terutama diuntungkan oleh domestikasi dan breeeding P. vannamei SPF oleh perusahaan AS. Perusahaan Thailand (Thai Union Feed Mill/TFM) produsen pakan terbesar yang merupakan bagian dari Thai Union Frozen Food Ltd (TUF) bekerjasama dengan High Health Aquaculture (HHA). Join venture tersebut diberi nama High Health Thailand dengan biaya US$ 11 juta mulai tahun 2005. Hatchery dibangun di pantai Khao Pilai di Phang Nga mulai tahun 2006 dan selesai April tahun 2007. Kapasitas produksi 300 juta PL/bulan menggunakan induk GxTVR tm (bebas penyakit, cepat tumbuh, dan resisten terhadap Taura Virus Syndrome) yang berasal dari HHA di Hawaii dan ditangani oleh personil dari HHA.
Kebijakan Pemerintah Thailand lainnya termasuk subsidi, infrastruktur dan riset merupakan faktor penting tumbuhnya industri (Goss et al., 2009; Sagheer et al., 2007). Keberhasilan blue revolution atau intensifikasi budidaya ikan, tidak terlepas karena impor udang putih di Thailand secara ilegal dari China pada tahun 1998. Udang putih yang dibudidayakan tersebut sebagian berhasil panen dan sebagian terkena penyakit. Pada tahun 2001 banyak perusahaan melakukan impor sehinggga pada tahun 2002 Pemerintah Thailand mulai memberi izin dan mendata perusahaan yang diperbolehkan mengimpor induk vananme SPF (Sitimung, 2004). Izin impor makin mudah setelah terjadinya penyakit MSG (Monodon Slow Growth) dengan importir utamanya yaitu Charoen Pokphan (CP). Dengan kondisi tersebut, CP memperoleh kesempatan strategi baru yaitu untuk menjual pakan udang dan benur sekaligus.
Pemerintah Thailand juga memberikan dukungan terutama riset bidang penyakit. Ketergantungan pada komponen impor dikurangi, semula sekitar 25-50% berkurang menjadi 25% untuk komponen pakan, peralatan tambak, dan BBM. Pengalaman pembudidaya juga ditingkatkan melalui training secara langsung, penyuluhan melalui CD, dan penyuluhan melalui internet dan kelembagaan (CORIN, 2000). Dari sisi SDM, produktivitas tenaga kerja dan produktivitas bahan baku Thailand lebih baik dari China danVietnam karena pengalaman dan keahlian tenaga kerja Thailand, termasuk transfer teknologi dari Jepang. Akan tetapi, industri udang di Vietnam dan China mempunyai pertumbuhan yang tinggi karena rendahnya biaya produksi, baik upah tenaga kerja maupun bahan baku.
Pemerintah Thailand juga membuat tambak percontohan (dempond), dan Code of Conduct dikembangkan ke 22 provinsi. Pemerintah melakukan sertifikasi hatchery, distributor, dan unit pengolah ikan. Promosi ekspor dilakukan untuk mempersepsikan bahwa produk udang Thailand bermutu tinggi, aman, dan ramah lingkungan. Unit Pengolah Ikan menerapkan HACCP, dan traceability dilaksanakan. Pemerintah pusat bekerjasama dengan daerah, perusahaan swasta utama seperti CP Group dan universitas Kasetsart, Mahidol and Sri Nakarindharaviroj (Tanticharoen, 2002).
Terkait peran swasta, CP Grup mempunyai 14 pusat penyuluhan (technical extension center) yang dilengkapi dengan fasilitas laboratorium kimia dan biologi, serta menyediakan pelatihan secara bebas, analisis kualitas air. Untuk daerah yang padat budidaya disediakan juga laboratorium keliling.
Thailand juga concern dengan pembangunan tambak berkelanjutan. Kriteria usaha budidaya berkelanjutan sebagai tambak yang mempunyai produktivitas tinggi, low problem cost, berdampak rendah terhadap lingkungan. Hasilnya adalah tambak yang mempunyai luas kecil, usaha keluarga dengan dengan tandon, kolam pemeliharaan dengan kedalaman 1.5 m - 1.7 m dan kolam pengolah limbah. Pembudidaya menggunakan pakan komersial buatan Thailand, penggunaan kapur sebelum ditanam, rendah FCR, ada periode pengeringan kolam, menerima penyuluhan dari petugas penyuluh. Berlokasi di daerah mangrove, sehingga permasalahan dengan sedimen, salinitas, dan air relatif rendah.
6.3. Blok Perdagangan Udang Segar
Hasil studi Keefe (2002) menunjukkan bahwa dalam perdagangan udang dunia terjadi substitusi antar satu produk (segar, beku, olahan) dengan produk lainnya pada tingkat substitusi berbeda-beda. Udang segar umumnya diperdagangkan untuk diekspor kembali. Belanda, contohnya, mere-ekspor udang segar dalam rangka memperoleh nilai tambah. Dari total impor senilai US$ 459 juta pada tahun 2010. Belanda merupakan importir utama dunia dengan nilai US$ 52 juta, disusul Belgia US$ 45 juta, dan Perancis US$ 35 juta. Di Asia, importir utama yaitu Singapura dengan nilai US$ 46 juta. Eksportir utama juga diduduki oleh Belanda dengan nilai US$ 133 juta, disusul China US$ 110 juta, dan Malaysia US$ 47 juta.
Salah satu bentuk udang segar yang diekspor yaitu udang organik yang dikembangkan di beberapa daerah seperti di Sidoarjo dan di sekitar Delta Mahakam Kalimantan Timur dengan tujuan ekspor ke Jepang. Dewasa ini,
pengembangan udang organik masih belum optimal. Berikut disajikan pembahasan kondisi penawaran dan permintaan berdasarkan tujuan ekspor yaitu pasar Jepang, AS, dan UE-27.
6.3.1. Pasar Jepang
Hasil pembahasan pada Bab V, Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor udang segar ke pasar Jepang pada periode 2004-2008. Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga, dan permintaan impor udang segar dicantumkan pada Tabel 26. Berdasarkan Tabel 26 hal tersebut diindikasikan oleh penurunan jumlah ekspor, penurunan harga ekspor, dan penurunan permintaan. Terjadi tren penurunan jumlah ekspor dan signifikan pada selang kepercayaan 7%. Harga ekspor juga menurun yang nilainya lebih besar dibandingkan tren penurunan harga ekspor udang segar Thailand. Pengaruh harga ekspor Indonesia kurang responsif dibandingkan dengan pengaruh harga ekspor Thailand ke Jepang. Indonesia hanya market follower dalam perdagangan udang segar sehingga eksportir perlu memantau perkembangan harga dunia.
Pertama, pengaruh harga ekspor udang segar Indonesia (jangka pendek dan jangka panjang) tidak responsif terhadap jumlah ekspor. Jumlah ekspor udang segar Indonesia juga dipengaruhi oleh selisih harga udang segar Thailand di pasar Jepang.
Tabel 26. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Segar Jepang
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (QXSIJ) Intersep 0.689240 0.0837
Harga ekspor udang segar
Indonesia ke Jepang 0.015461 0.2992 0.3426 0.2383
Selisih harga ekspor
Thailand ke Jepang -0.00444 -0.0031 -0.0036 0.4137
Produksi udang segar
Indonesia 0.000342 0.2798 0.3204 0.4093
Dummy D_LAW 0.098432 0.3408
Trend waktu -0.054890 0.0734
Jumlah ekspor udang segar
Indonesia beda kala 0.126892 0.3146 R2 = 79.79% Fhitung= 0.0013 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Jumlah ekspor udang segar Thailand ke Jepang (QXSTJ) Intersep 0.321829 0.0972
Harga udang segar Thailand
ke Jepang beda kala 0.000585 0.0217 0.4839
Harga ekspor udang beku
Thailand ke Jepang -0.00177 -0.0657 0.4507
Dummy penerapan LAW -0.37324 0.0016
Tren waktu 0.018058 0.0542 R2 = 61.20% Fhitung= 0.0070 DW = 2.655282 Harga ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (PXSIJ) Intersep 1.298599 0.4473
Rasio harga udang segar dunia terhadap harga beku
dunia 2.751579 0.3562 0.6452 0.2964
Nilai tukar Rp/US$ 0.000372 0.2605 0.4718 0.2247
Permintaan udang segar
domestik 0.002523 0.1041 0.1886 0.4435
Tren waktu -0.27234 0.1886
Harga ekspor udang segar Indonesia ke Jepang beda
kala 0.447904 0.0377
R2 = 49.01% Fhitung= 0.0852 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga ekspor udang segar Thailand ke Jepang (PXSTJ) Intersep 13.51359 0.0011
Rasio harga udang segar dunia terhadap harga beku
dunia 1.158349 0.1370 0.3632
Selisih nilai tukar Baht//US$ 0.048442 0.0036 0.2694
Trend waktu -0.40212 0.0010 R2 = 54.902% Fhitung= 0.0064 DW = 1.4630808 Jumlah impor udang segar Jepang dari Dunia (QMSJD) Intersep -9.43254 0.2264
Harga udang beku dunia terhadap harga udang segar
dunia 1.751793 0.4953 0.7890 0.2050
Jumlah GDP Jepang 0.11496 4.0462 6.4451 0.1931
Tren waktu -0.15842 0.1345
Jumlah impor udang segar
Jepang dari dunia beda kala 0.372196 0.0906 R2 = 50.07% Fhitung= 0.0349 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
Peningkatan selisih harga udang segar Thailand tahun berjalan dibandingkan tahun sebelumnya, menurunkan kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke pasar Jepang. Kondisi tersebut diduga karena udang segar merupakan porsi kecil dari ekspor udang Indonesia dan Thailand. Indonesia dan Thailand kurang berperan dalam perdagangan udang segar dunia.
Kedua, pengaruh ketersediaan bahan baku juga tidak responsif. Kondisi tersebut diduga karena udang segar ke Jepang relatif terbatas. Berdasarkan data UNComtrade tahun 2010, udang segar yang diimpor oleh Jepang mayoritas berasal dari China dan Philipina.
Ketiga, dari sisi permintaan, udang segar Jepang dipengaruhi secara responsif oleh pendapatan yang diproxy oleh GDP. Peningkatan 1% pendapatan akan meningkatkan permintaan udang segar 4.04% dalam jangka pendek dan 6.44% jangka panjang. Hal tersebut sejalan dengan studi Keefe (2002), udang segar di Jepang elastis terhadap pendapatan.
Pemenuhan akan persyaratan mutu untuk Indonesia bernilai positif. Hal tersebut diduga karena importir sering melakukan pengecekan langsung. Dengan demikian, penurunan harga dan penurunan kuantitas eskpor diduga karena pengaruh komposisi produk. Semula mayoritas ekspor udang segar adalah windu menjadi vaname yang relatif berukuran lebih kecil. Menurut Suryana (1989) harga yang rata-rata lebih tinggi di pasar Jepang disebabkan kualitas lebih tinggi antara lain ukuran udangnya lebih besar.
6.3.2. Pasar AS
Hasil estimasi pada persamaan jumlah, harga ekspor, permintaan udang segar dari Indonesia dan Thailand ke pasar AS disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Segar AS
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke AS (QXSIA) Intersep 0.313205 0.2169
Harga ekspor udang segar
Indonesia ke AS beda kala 0.010356 0.3096 0.2287
Harga ekspor udang segar
Thailand ke AS -0.03318 -1.1398 0.1164
Produksi udang segar
Indonesia beda kala 0.000379 0.5490 0.3932
Dummy penerapan HACCP 0.162817 0.1478
Tren waktu -0.00798 0.4141 R2 = 66.19% Fhitung < 0.0084 DW=2.248408 Jumlah ekspor udang segar Thailand ke AS (QXSTA) Intersep -0.23229 0.2075
Harga ekspor udang segar
Thailand ke AS 0.061312 1.5366 0.0041
Selisih harga ekspor udang
beku Thailand ke AS -0.0353 -0.0397 0.1025
Dummy penerapan HACCP -0.15523 0.0895
Tren waktu 0.011926 0.1581 R2 = 70.10% Fhitung < 0.00130 DW = 2.461712 Harga ekspor udang segar Indonesia ke AS (PXSIA) Intersep -19.2216 0.0542
Harga udang segar dunia 0.464413 0.7265 0.1647
Nilai tukar Rp/US$ 0.001664 1.3992 0.0033
Permintaan udang segar
domestik 0.050524 2.5041 0.0172 Trend waktu -0.89197 0.0241 R2 = 52.60% Fhitung < 0.0252 DW = 2.093277 Harga ekspor udang segar Thailand ke AS (PXSTA) Intersep 8.153858 0.0011
Rasio harga udang segar dunia terhadap harga udang
beku dunia 5.085056 0.7007 0.0102
Selisih nilai tukar Baht/US$ 0.049712 0.0043 0.1511
Tren waktu -0.49973 <.0001 R2 = 81.13% Fhitung < 0.0001 DW=2.671223 Jumlah impor udang segar AS dari Dunia (QMSAD) Intersep 3.270071 0.2477
Harga udang segar dunia
beda kala -0.09349 -0.4031 0.2964
Harga udang beku dunia 0.26262 0.8963 0.2203
Trend waktu -0.16159 0.1180
R2 = 59.58% Fhitung= 0.0029 DW = 1.083267
Pertama, pengaruh harga ekspor udang segar Thailand ke AS lebih responsif dibandingkan dengan pengaruh harga ekspor udang segar Indonesia. Peningkatan 1% harga ekspor udang segar Indonesia beda kala meningkatkan jumlah ekspor 0.03096%, dan setiap peningkatan harga ekspor udang segar
Thailand 1% akan menurunkan jumlah ekspor Indonesia sebesar 1.1398%. Sebaliknya, jumlah ekspor Thailand ke AS secara responsif dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga ekspor riil Thailand dengan nilai elastisitas 1.5366. Dengan demikian, Thailand dapat menggunakan harga jual untuk meningkatkan pangsa pasar, sedangkan harga ekspor Indonesia kurang responsif sehingga untuk meningkatkan pangsa pasar diperlukan diferensiasi produk.
Kedua, harga ekspor Indonesia responsif terhadap permintaan udang segar domestik. Artinya bahwa ketersediaan bahan baku menjadi penting untuk ekspor ke AS. Menurut Keefe (2002), secara umum ketersediaan bahan baku menjadi penting karena penurunan 30% penawaran akan meningkatkan harga udang dunia 29.2%.
Ketiga, dummy persyaratan mutu Indonesia ke AS bernilai positif, artinya Indonesia dapat beradaptasi dengan persyaratan mutu oleh pasar AS. Hal tersebut diduga karena HACCP telah diterapkan relatif lama yaitu sejak tahun 1996. Upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia antara lain dengan membentuk otoritas kompeten yang mensinergikan mutu dan keamanan hasil produk perikanan sejak kegiatan primer sampai dengan pengolahan. Pada tingkat pembudidaya, kegiatan yang dilakukan antara lain penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik. Namun demikian, hasilnya belum optimal. Sampai dengan tahun 2011 baru sekitar 800-an dari ribuan pembudidaya baik untuk perikanan tawar, payau, maupun laut yang memperoleh sertifikat CBIB.
6.3.3. Pasar UE-27
Hasil estimasi pada persamaan jumlah dan harga ekspor udang segar Indonesia dan Thailand ke UE-27 disajikan pada Tabel 28. Berdasarkan Tabel 28, pengaruh harga ekspor Indonesia terhadap jumlah ekspor ke UE tidak responsif. Permintaan udang segar oleh UE dalam jangka panjang dipengaruhi oleh harga udang segar beda kala.
Pengaruh dummy penerapan mutu bernilai negatif untuk Indonesia di pasar UE-27. Pada periode 1999-2002, daftar peringatan dini untuk pangan dan pakan (Rapid Alert Sistem for Food and Feed/RASFF) asal Indonesia ke pasar UE meningkat dari 79 menjadi 94, 112, dan 217 kasus. Pada periode 2004-2008 terjadi penurunan berturut-turut dari 59 kasus menjadi 49, 34, 17, dan 3 kasus. Khusus untuk udang, RASFF periode 2003-2006 berturut-turut adalah 12, 16, 8, dan 4 kasus (Simangunsong, 2008).
Kondisi tersebut diduga karena faktor jarak mempengaruhi dan ketidaksiapan infrastruktur pendukung. Terkait infrastruktur, contohnya, menurut
Chiang dan Liao (1985) dalam Ling et al., (1996) pada periode 1989-1991 Taiwan mempunyai keunggulan komparatif mengekspor udang bermutu (seperti udang hidup) ke Jepang dengan nilai RCA 17.2 - 19.1 dan bentuk
peeled fresh ke AS karena memadainya jaringan pengapalan/pengiriman,
kemasan, dan transportasi. Dengan lama perjalanan sampai 15 jam, tingkat kelangsungan hidup udang mencapai di atas 80%. Di Indonesia penggunaan kapal pengangkut khusus, masih terbatas pada ekspor ikan hidup terutama ikan kerapu dan lobster. Australia mempunyai keunggulan dalam menjual udang lobster hidup karena menggunakan pesawat (Goodrick et al. 1993).
Tabel 28. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Segar UE-27
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (QXSIU) Intersep 0.331714 0.0060
Selisih harga ekspor udang
segar Indonesia ke UE-27 0.046655 0.0054 0.0829
Dummy penerapan MRL -0.00946 0.4616
Tren waktu -0.01012 0.4479
Produksi udang segar
Indonesia 0.000051 0.46155 0.2041 R2 = 49.97% Fhitung= < 0.0358 DW= 2.731438 Jumlah ekspor udang segar Thailand ke UE-27 (QXSTU) Intersep 0.043619 0.4104
Rasio harga ekspor udang segar Thailand terhadap harga ekspor udang segar
Indonesia ke UE-27 0.048374 0.4346 0.6865 0.2416
Dummy penerapan MRL 0.030801 0.3464
Tren waktu -0.00237 0.3909
Jumlah ekspor udang segar Thailand ke UE-27 beda
kala 0.366888 0.1027
R2 = 23.49% Fhitung < 0.4057 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (PXSIU) Intersep -0.86622 0.3462
Harga udang segar dunia
beda kala 0.111618 0.2887 0.8507 0.1004
Nilai tukar riil Rp/US$ beda
kala 0.000064 0.0886 0.2610 0.2707
Permintaan udang segar
domestik beda kala 0.001859 0.1421 0.4187 0.2080
Harga udang segar Indonesia
ke UE-27 beda kala 0.66058 0.0011
R2 = 59.32% Fhitung < 0.0095 Durbin-h = 2.668498 Harga ekspor udang segar Thailand ke UE-27 (PXSTU) Intersep 9.320629 0.0013
Rasio harga udang segar dunia terhadap harga udang
beku 0.102881 0.0165 0.4826
Selisih nilai tukar Baht/US$ 0.014955 0.0015 0.3943
Tren waktu -0.15331 0.0323 R2 = 27.06% Fhitung < 0.1807 DW = 1.706386 Jumlah impor udang segar UE-27 dari Dunia (QMSUD) Intersep 7.622035 0.2969
Selisih harga udang segar dunia terhadap harga beku
dunia -2.99104 -0.3771 -1.0305 0.3862
Jumlah impor udang segar
UE-27 dari dunia, beda kala 0.634033 0.0038 R2 = 45.65% Fhitung= 0.0076 Durbin-h = -0.085062
Dummy persyaratan mutu ekspor Thailand ke UE bernilai positif atau
udangnya sudah memenuhi persyaratan mutu. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand pada tingkat pembudidaya jauh lebih maju, CBIB atau GAP sampai dengan tahun 2006 telah menjangkau sekitar 34 000 petambak, dan yang memiliki sertifikat Code of Conduct (CoC) sebanyak 491 petambak. Selain itu, menurut Manarungsan et al., (2005), pada periode 1998-2002 Thailand juga mengeluarkan biaya rata-rata US$ 9.95/ton untuk pengujian antibitotika (chloramphenicol dan nitrofurans) di laboratorium, dan US$ 4.3 juta untuk pembelian alat-alat laboratorium.
Dalam rangka mengatasi permasalahan mutu, menurut Simangunsong (2008) pendekatan end process saat ini sudah tidak mencukupi, tetapi memerlukan pendekatan in process. Pengujian pada produk akhir kurang mencegah terjadinya kontaminan pada produk pangan dibandingkan program
in process. Akan tetapi, penerapan HACCP/PMMT tidak mudah diaplikasikan
pada tiap tahapan kegiatan, khususnya ditingkat produksi primer. Agar terjadi keefektifan penggunaan Program tersebut ditiap rantai pasokan, maka perlu kombinasi dengan program lainnya. Selain itu, kontrol keamanan hasil produk perikanan tidak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah dan pihak swasta.
Faktor lainnya yang diduga berpengaruh terhadap daya saing adalah jumlah total ekspor seluruh barang Indonesia ke pasar tertentu dan jumlah ekspor dari seluruh negara ke pasar tersebut. Faktor tersebut merupakan variabel eksogen dalam Model. Dalam kasus udang segar ini, pertumbuhan ekspor total seluruh barang asal Indonesia ke Jepang lebih besar dibandingkan periode sebelumnya sehingga RCA menjadi lebih rendah. Artinya udang segar
tersebut tidak menjadi spesialisasi untuk diperdagangkan, atau kurang diprioritaskan. Kondisi di atas cukup menjelaskan mengapa terjadi penurunan keunggulan komparatif untuk udang segar Indonesia
6.4. Blok Perdagangan Udang Beku
Udang beku merupakan produk yang mayoritas diperdagangkan di dunia. Ekspor udang Indonesia juga didominasi oleh udang dalam bentuk beku. Hasil estimasi pada persamaan Blok Perdagangan Udang Beku disajikan pada Tabel 29 sampai dengan Tabel 32. Berdasarkan Tabel 29, harga udang dunia secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang beku dunia beda kala, artinya pengaruh penawaran udang lebih besar.
Tabel 29. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Beku Dunia
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Harga udang
beku dunia Intersep Total ekspor udang 3.196957 0.2021 beku dunia beda kala -0.00194 -0.2004 -0.8855 0.1914
Total impor udang beku
dunia 0.000698 0.0821 0.3629 0.3925
Harga udang beku
dunia beda kala 0.773665 0.0012
R2 = 88.81% Fhitung= 0.0001 Durbin-h = -0.26316
6.4.1. Pasar Jepang
Jepang merupakan pasar utama udang beku Indonesia. Udang beku mencapai 97% dari seluruh impor Jepang. Hasil estimasi disajikan pada Tabel 30. Berdasarkan Tabel 30, pengaruh harga ekspor terhadap penawaran ekspor udang beku Indonesia ke Jepang bersifat inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang sejalan dengan studi Retnowati (1990) yang memperoleh elastisitas harga rataan sebesar 0.07089.
Tabel 30. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Beku Jepang
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (QXBIJ) Intersep 49.57301 0.0197
Selisih harga ekspor udang
beku Indonesia ke Jepang 0.351757 0.0010 0.0015 0.4274
Selisih harga ekspor udang
olahan Indonesia ke Jepang -1.79196 -0.0031 -0.0047 0.0559
Selisih produksi udang beku
Indonesia 0.057745 0.0031 0.0046 0.2004
Dummy penerapan LAW 13.59891 0.0530
Tren waktu -2.02894 0.0155
Jumlah ekspor udang beku
Indonesia ke Jepang beda kala 0.326136 0.1526 R2 = 82.03% Fhitung= 0.0007 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Jumlah ekspor udang beku Thailand ke Jepang (QXBTJ) Intersep 52.19446 0.0037
Selisih harga udang beku
dunia 0.891015 0.0092 0.0361 0.3280
Harga udang olahan dunia
beda kala -2.86458 -0.8824 -3.4750 0.0108
Dummy penerapan LAW 0.763894 0.4630
Tren waktu -1.24465 0.0223
Jumlah ekspor udang beku
Thailand ke Jepang beda kala 0.746079 0.0039 R2 = 87.93% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (PXBIJ) Intersep -5.22761 0.1851
Harga udang beku dunia 1.326728 1.3546 0.0020
Selisih nilai tukar Rp/US$ 0.000041 0.0003 0.4340
Tren waktu 0.158062 0.1686 R2 = 77.42% Fhitung < 0.0001 DW = 2.378983 Harga ekspor udang beku Thailand ke Jepang (PXBTJ) Intersep -5.47598 0.1952
Harga udang beku dunia 1.105253 1.0240 0.0069
Nilai tukar Baht/US$ 0.136942 0.4614 0.0199
Tren waktu 0.018801 0.4556 R2 = 80.11% Fhitung < 0.0001 DW = 2.340566 Jumlah impor udang beku Jepang dari dunia (QMBJD) Intersep -7298.24 0.0400
Harga udang beku dunia beda
kala -7.6213 -0.3136 0.2408
Harga udang olahan dunia
beda kala 0.970753 0.0409 0.4560
GDP Jepang 4.356753 1.7224 0.1393
Jumlah populasi Jepang 59.27902 29.5927 0.0322
Tren waktu -28.0142 0.0110
Harga ekspor Indonesia dan Thailand secara signifikan dan responsif dipengaruhi oleh harga udang beku dunia. Artinya bahwa harga udang internasional telah terintegrasi dengan harga domestik di masing-masing negara. Hasil penelitian Vinuya (2006) menggunakan teknik kointegrasi menunjukkan bahwa harga udang di AS, UE, dan Jepang terintegrasi dan berlaku “the law of one price”. Pengaruh barang substitusi yaitu udang olahan juga tidak elastis. Menurut Keefe (2002) terjadi persaingan antara udang beku dan segar di pasar Jepang
Dari sisi permintaan, jumlah permintaan impor Jepang tidak responsif terhadap harga udang beku dunia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa produk udang beku merupakan kebutuhan pokok. Tingginya permintaan terhadap udang beku dapat dimengerti karena bentuk ini lebih tahan dibandingkan udang segar. Permintaan udang beku di pasar Jepang kurang terpengaruh oleh perubahan harga udang beku dunia, dibandingkan udang segar dunia. Permintaan dipengaruhi oleh populasi baik jangka pendek dan jangka panjang, oleh harga dunia beda kala, dan oleh GDP dalam jangka panjang.
Menurut Keefe (2002), permintaan Jepang akan udang beku sangat responsif terhadap perubahan harga antara Thailand dan Indonesia, dibandingkan dengan harga udang beku dari China dan Vietnam. Penurunan harga impor Indonesia 1% akan menurunkan permintaan udang beku dari Thailand 1.60%. Thailand dan Indonesia merupakan eksportir besar yang menyuplai udang beku ke Jepang. Dugaan penurunan daya saing ekspor udang beku Indonesia di pasar Jepang, berdasarkan Tabel 30 ditunjukkan oleh
kecenderungan menurunya tren jumlah ekspor Indonesia dan Thailand dengan nilai yang lebih besar bagi Indonesia. Dari sisi persyaratan mutu, Indonesia dan Thailand dapat memenuhinya, ditunjukkan dengan dummy LAW yang positif. Dengan demikian, terdapat faktor lain yang diduga mempengaruhi penurunan tersebut.
Berdasarkan Tabel, nilai elastisitas ketersediaan bahan baku untuk ekspor Indonesia ke Jepang mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan ekspor udang beku Indonesia ke AS dan UE-27. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jenis/ukuran udang beku yang diekspor menjadi penting. Hal tersebut diduga karena komposisi dari produk udang beku yang diekspor mengalami perubahan. Ekspor udang Indonesia dan Thailand lebih didominasi udang vaname yang berukuran lebih kecil, sedangkan masyarakat Jepang lebih menyukai udang windu yang berukuran relatif lebih besar. Menurut Hutagalung (Kontan, 2011) pada tahun 2011 ditargetkan nilai ekspor naik 27.92% karena tingginya permintaan China dan Jepang. Permintaan oleh pasar Jepang, terutama jenis udang windu. Hasil survey oleh NACA (2010) di Indonesia udang windu yang diperdagangkan mengalami penurunan. FAO Globefish (2011) menambahkan bahwa permintaan ke Jepang terutama terfokus pada udang berukuran besar yaitu size 30 dan 35 ekor/kg. Hal tersebut didukung oleh Tanticharoen et al., (2008) bahwa Jepang lebih tertarik dengan udang besar dan produk olahan.
Secara ringkas, dari sisi mutu dan sisi harga yang diterima juga sudah cukup baik, permasalahan di komposisi produk. Hal tersebut diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan keunggulan komparatif untuk udang beku
Indonesia dan Thailand di pasar Jepang dan nilai keunggulan komparatif udang beku Indonesia lebih rendah dibandingkan Thailand.
6.4.2. Pasar AS
Berdasarkan data pada Tabel 31 nampak bahwa persaingan antara Thailand dengan Indonesia di pasar AS ketat. Dari sisi produsen di Thailand, peningkatan harga ekspor udang beku ke AS 1% akan menurunkan permintaan udang beku Indonesia oleh AS sebesar 2.023%. Kondisi tersebut seiring dengan meningkatnya ekspor udang vaname yang relatif berukuran lebih kecil dibandingkan udang windu. Menurut FAO Globefish (2009) situasi perekonomian yang memburuk menyebabkan restoran di AS menawarkan menu udang berukuran kecil dalam rangka mengurangi biaya dan harga.
PT. CPP Lampung mempunyai harga jual lebih tinggi karena 80% dari konsumen adalah mitra dalam jangka panjang. Kontraknya jangka panjang antara 3-12 bulan. Pada tahun 2008/2009, perusahaan yang tergabung dalam CP Prima Grup tersebut memasok sekitar 3-4% kebutuhan pasar dunia.
Harga udang beku dunia responsif mempengaruhi harga ekspor udang Indonesia dalam jangka panjang, dan mempengaruhi harga ekspor Thailand baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, harga dunia udang beku memiliki pengaruh yang signifikan terhadap impor udang beku AS.
Harga dunia yang volatil merupakan sesuatu yang umum dalam produk perikanan karena peanwaran terkait dengan kondisi iklim dan terjadinya penyakit. Salah satu upaya melalui kontrak berjangka belum berhasil. Kontark berjangka udang putih di Mineapolis Grain Exchange yang sudah berjalan selama 5 tahun sejak Juli 1993 dengan rata-rata 87 kontrak per bulan bukan
termasuk kategori yang berhasil, jika dikaitkan antara biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh.
Tabel 31. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Beku AS
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor
udang beku Indonesia ke AS (QXBIA)
Intersep 52.25685 0.0069
Selisih harga ekspor udang beku
Indonesia ke AS 2.770384 0.0228 0.0161
Harga ekspor udang beku
Thailand ke AS -4.08843 -1.9385 0.0003
Produksi udang beku Indonesia 0.091275 0.6315 0.1489
Dummy penerapan HACCP -7.37931 0.0543
R2 = 86.78% Fhitung < 0.0001 DW=0.938502 Jumlah ekspor udang beku Thailand ke AS (QXBTA) Intersep 9.667216 0.3880
Harga ekspor udang beku
Thailand ke AS 0.382055 0.0651 0.0730 0.4341
Tren waktu 4.376754 0.8571 0.9613 0.0554
Dummy penerapan HACCP -15.9855 0.0846
Jumlah ekspor udang beku
Thailand ke AS beda kala 0.108451 0.3652 R2 = 83.05% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
Harga ekspor udang beku Indonesia ke AS (PXBIA)
Intersep -3.15102 0.1569
Harga udang beku dunia 0.913879 0.9857 1.2358 0.0011
Nilai tukar Rp/US$ 0.0002 0.1442 0.1808 0.0954
Tren waktu 0.001148 0.4949
Harga ekspor udang beku
Indonesia ke AS beda kala 0.2024 0.1000 R2 = 93.62% Fhitung < 0.0001 Durbin-h =1.232189 Harga ekspor udang beku Thailand ke AS (PXBTA) Intersep -4.65705 0.0821
Harga udang beku dunia 1.186037 1.2475 1.3872 0.0003
Nilai tukar Baht/US$ 0.036599 0.1400 0.1557 0.1402
Tren waktu -0.00484 0.4777
Harga ekspor udang beku
Thailand ke AS beda kala 0.10073 0.2812 R2 = 95.55% Fhitung< 0.0001 Durbin-h = 0.501282 Jumlah impor udang beku AS dari dunia (QMBAD) Intersep -4798.46 0.1382
Rasio harga udang beku dunia terhadap harga udang olahan
dunia -264.58 -0.8175 -1.0682 0.0859
Jumlah populasi AS 20.8228 19.0341 24.8705 0.1278
Tren waktu -52.8954 0.1576
Jumlah impor udang beku
Amerika dari dunia beda kala 0.234669 0.1706 R2 =91.07% Fhitung < 0.0001 Durbin-h = 0.501282
Dibandingkan dengan Thailand, dari segi jenis/komposisi produk dan kuantitas Indonesia lebih rendah. Berdasarkan data dari National Marine
Fisheries and Service (NMFS) pada periode 1989-2010 jenis udang beku yang
diekspor ke AS berkisar antara 6-17 jenis, sedangkan Thailand relatif stabil dengan 19 jenis produk dari tahun ke tahunnya. Mayoritas ekspor Indonesia tahun 2010 adalah shrimp peeled frozen senilai US$ 31 juta, shrimp frozen
other preparation senilai US$ 5.3 juta, shrimp breaded frozen US$ 2.7 juta.
Pada jenis yang sama, ekspor Thailand adalah shrimp peeled frozen senilai US$ 230 juta, shrimp frozen other preparation senilai US$ 220 juta, shrimp
breaded frozen US$ 7 juta. Menurut FAO Globefish (2011), pada kuartal
pertama tahun 2011 impor AS mencapai 115 200 ton, meningkat 3.9%, sedangkan dari sisi nilai meningkat menjadi US$ 1 009 milyar atau meningkat 31.3%. Selain karena harga rata-rata meningkat sebesar 26.4%, juga disebabkan oleh beralihnya impor dari udang berukuran kecil ke udang bernilai tambah (terutama peeled frozen), dan jenis itu merupakan mayoritas yang diekspor oleh Thailand.
Menurut Hudson et al. (2003) impor udang AS dari ASEAN sensitif dengan perubahan pendapatan. Peningkatan 1% pendapatan akan meningkatkan impor udang sebesar 1.6%. Implikasinya adalah ketika terjadi resesi di AS atau UE-27 akan menghambat ekspor.
6.4.3. Pasar UE-27
Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga, dan permintaan udang beku ke UE-27 disajikan pada Tabel 32. Dalam jangka panjang pengaruh barang substitusi berupa udang olahan terhadap udang beku bersifat
responsif di pasar UE. Pengaruh harga udang beku dunia terhadap harga ekspor udang beku Indonesia dan Thailand ke UE juga bersifat responsif, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tabel 32. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Beku UE-27
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Panjang Jangka Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (QXBIU) Intersep 5.634452 0.2751
Selisih harga udang beku dunia 0.163417 0.0056 0.0488 0.4205
Harga udang olahan dunia -0.35039 -0.3556 -3.1054 0.3175
Selisih produksi udang beku
Indonesia 0.023013 0.0063 0.0548 0.1198
Dummy penerapan MRL -0.27297 0.4687
Jumlah ekspor udang beku
Indonesia ke UE-27 beda kala 0.885483 0.0016 R2 = 92.03% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
Jumlah ekspor udang beku Thailand ke UE-27 (QXBTU) Intersep 18.95414 0.0873
Harga ekspor udang beku
Thailand ke UE-27 0.162834 0.1979 0.4316
Harga ekspor udang beku
Thailand ke Jepang -1.18806 -1.7608 0.0477
Selisih nilai tukar Baht/US$ 0.067839 0.0072 0.3224
Dummy penerapan MRL -7.19481 0.0824 Tren waktu 0.262716 0.2042 R2 = 29.54% Fhitung < 0.4109 DW = 1.033102 Harga ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (PXBIU) Intersep -5.3776 0.0452
Harga udang beku dunia 0.986357 1.4324 1.5673 0.0011
Tren waktu 0.161935 0.0443
Harga ekspor udang beku
Indonesia ke UE-27 beda kala 0.086063 0.3096 R2 = 86.45% Fhitung < 0.0001 Durbin-h = 1.16833 Harga ekspor udang beku Thailand ke UE-27 (PXBTU) Intersep -2.81147 0.2217
Harga udang beku dunia 0.994453 1.1236 1.2127 0.0026
Nilai tukar Baht/US$ 0.014452 0.0594 0.0641 0.3502
Tren waktu 0.045716 0.3192
Harga ekspor udang beku
Thailand ke UE-27 beda kala 0.073424 0.3757 R2 = 89.76% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat = 1.592303
Jumlah impor udang beku UE-27 dari dunia (QMBUD) Intersep -34772.4 0.0405
Harga udang beku dunia beda
kala -11.3598 -0.3882 0.0710
Harga udang olahan dunia 2.974041 0.1030 0.3018
Jumlah populasi UE-27 502.7524 121.4116 0.0393
Trend waktu -167.474 0.0514
Meningkatnya daya saing Indonesia di pasar UE-27 diduga karena UE merupakan pasar prospektif (Ling et al, 1997). Namun peningkatan tersebut belum optimal karena pengaruh hambatan non tarif jika mengekspor ke UE-27 cukup besar. Aisya et al., (2006) menganalisis hambatan non tarif yang berasal dari internal berupa: (1) setiap eksportir harus sebagai produsen, artinya eksportir harus memiliki UPI, (2) UPI harus mempunyai ijin sebagai unit yang berkegiatan pengolahan (ijin UPI), (3) UPI harus memenuhi persyaratan kelayakan dasar (prerequisite) sebagai unit pengolah ikan dengan memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), (4) Harus menerapkan HACCP (tervalidasi) dan memiliki approvel number, (5) ke AS harus menerapakan HACCP, dan (6) produk harus memenuhi persyaratan mutu.
Selanjutnya, menurut Lord et al., (2010), upaya yang telah dilaksanakan oleh KKP terkait mutu cukup berhasil, tercermin dari berkurangnya RASFF oleh UE-27. Selain itu, nilai tukar tidak signifikan dalam menentukan harga. Meskipun demikian, terkait Export Quality Infrastructure
(EQI) masih menjadi hambatan non-harga yaitu berupa: (1) kurangnya
kompetensi laboratorum perikanan dan badan yang melakukan inspeksi untuk mencapai standard internasional; (2) kurangnya traceability pada tingkat pembudidaya dan nelayan, (3) kurangnya penerapan CBIB dan GHP untuk pembudidaya skala kecil dan menengah, (4) kelemahan manajemen di KKP terkait mutu dan keamanan pangan, dan (5) lemahnya informasi kepada perusahaan skala kecil dan menengah
Jumlah ekspor udang beku Thailand ke UE-27 dipengaruhi juga oleh harga ekspor udang beku Thailand ke Jepang dan bersifat responsif.
Peningkatan harga ekspor udang beku Thailand ke Jepang mengakibatkan penurunan jumlah udang beku Thailand ke UE 2.2081%. Hal tersebut diduga karena kedekatan lokasi geografis.
Berdasarkan uraian di atas, penurunan daya saing udang beku Indonesia di pasar Jepang diduga karena pengaruh komposisi produk yang didominasi udang vaname dari sebelumnya udang windu. Peningkatan daya saing di pasar AS dan UE-27 diduga karena permintaan masih positif, ketersediaan bahan baku, dan upaya peningkatan mutu. Sebaliknya indeks daya saing Thailand mengalami penurunan diduga karena tingkat persaingan yang semakin ketat.
6.5. Blok Perdagangan Udang Olahan
Dibandingkan dengan Thailand, Indonesia belum mampu mendorong udang olahan sebagai prioritas ekspor. Dengan upah tenaga kerja yang relatif lebih murah, Indonesia berpeluang untuk mengembangkan udang olahan. Kelemahan yang dimiliki Indonesia antara lain teknologi, kualitas sumberdaya manusia, dan bahan pendukung misalnya kebutuhan tepung untuk udang (breaded) masih impor. Hasil estimasi pada persamaan harga udang olahan dunia disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Dunia Udang Olahan
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas Prob > [ t ]
Endogen Eksogen Jangka
Pendek Pendek Jangka Harga udang
olahan dunia (POUD)
Intersep 2.518293 0.1156
Selisih total ekspor udang
olahan dunia -0.00581 -0.0125 -0.0881 0.1294
Total impor udang olahan
dunia 0.00647 0.2072 1.4583 0.1947
Tren waktu -0.28768 0.1055
Harga udang olahan dunia
beda kala 0.857932 0.0001
Berdasarkan data pada Tabel 33, total impor udang olahan lebih responsif dibandingkan dengan ekspor, artinya peran importir lebih besar dalam mempengaruhi harga udang olahan dunia. Harga udang olahan dunia secara signifikan dipengaruhi oleh selisih jumlah total ekspor udang olahan dunia. Dari tren waktu, terjadi kecenderungan penurunan harga udang dunia karena kelebihan penawaran. Dalam jangka panjang, nilai elastisitas impor lebih reponsif dibandingkan ekspor, artinya, importir lebih berperan dalam menentukan harga udang olahan dunia.
6.5.1. Pasar Jepang
Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga ekspor disajikan pada Tabel 34. Berdasarkan Tabel 34 dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pengaruh harga ekspor terhadap penawaran udang olahan Indonesia ke Jepang mempunyai nilai elastisitas jangka pendek 0.3613, sedangkan pengaruh dari harga ekspor Thailand bernilai -0.4632. Artinya, rata-rata peningkatan harga ekspor 1% akan direspons oleh eksportir Thailand dalam menawarkan udang olahan lebih besar dibandingkan dengan respons oleh eksportir Indonesia sehingga pada akhirnya akan menurunkan jumlah ekspor Indonesia sebanyak 0.4632%. Kondisi tersebut diduga disebabkan mutu udang yang ditawarkan Thailand lebih baik. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai dugaan parameter penerapan dummy LAW Thailand lebih tinggi dibandingkan dugaan parameter untuk Indonesia.
Kedua, pengaruh ketersediaan bahan baku (produksi udang olahan) terhadap jumlah ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang juga signifikan pada