• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Varian Pemikiran Islam tentang Perempuan

2.3.1 Perempuan dalam Pemikiran Islam Fundamentalis

Istilah „fundamentalisme agama‟ sebenarnya bukanlah hal baru dalam perbincangan tentang Islam, gender, dan hak hak perempuan. Namun, terminologi ini sejatinya bukanlah khas terkait dengan Islam. Istilah fundamentalisme pada mulanya muncul dalam kaitan dengan Protestanisme Amerika awal abad kedua puluh. Istilah itu dimaksudkan untuk menunjuk suatu gerakan keagamaan di AS yang, antara lain, menolak kritik terhadap Bibel, gagasan evolusi, otoritas dan moralitas patriarkis yang ketat, dan seterusnya.

Ahmad Gaus AF. mendefinisikan ”fundamentalisme” sebagai suatu pola pikir yang menempatkan teks agama sebagai rujukan utama yang bersifat absolut dan final. Tidak hanya itu, perujukan tersebut juga dilakukan secara harfiah, dan menerapkan pemahaman harfiah itu dalam realitas kekinian secara apa adanya tanpa mempertimbangkan dinamika dan perubahan. Dalam Concise Oxford Dictionary of Current English, fundamentalisme diartikan sebagai upaya kembali kepada ajaran orisinal guna mempertahankan kebenaran absolut (strict maintenance of ancient or fundamental doctrines of any religion). Kesimpulannya, fundamendalisme adalah upaya untuk “kembali” dan “mempertahankan” akar keagamaan.

Ciri ciri fundamentalisme pada umumnya adalah rigid dan literalis. Dua ciri ini berimplikasi pada sikap yang tidak toleran, radikal, militan, dan berpikir sempit, bersemangat secara berlebih lebihan atau cenderung ingin mencapai

tujuan dengan cara kekerasan. Sebagai sebuah fenomena, fundamentalisme keagamaan muncul di Indonesia dengan bentuk yang beragam. Dalam konteks dimana muslim adalah mayoritas penduduk, maka kesan yang nampak tentang fundamentalisme di Indonesia, tentulah yang terkait dengan Islam. Gerakan fundamentalisme Islam sendiri dapat dimaknai sebagai gerakan keagamaan (Islam) yang mempunyai agenda yang menjadikan Islam sebagai entitas politik, Islam sebagai sistem politik yang berujung pada pembentukan aldaulah alIslamiyyah. Gerakan ini menerapkan gaya generasi salafusshaleh, yang muncul sekitar 400 tahun setelah Rasul wafat, untuk meniru segala aspek kehidupan untuk kiranya mengopi peradaban yang lalu.

Fundamentalisme keagamaan sebenarnya merupakan potret kekuasaan patriarki yang beroperasi dengan menggunakan doktrin doktrin agama. Di antara doktrin yang mereka bangun adalah kepemimpinan lakilaki, ketaatan mutlak seorang istri pada suami, kebolehan laki laki berpoligami. Bagi mereka yang tak sepaham, mereka seringkali melakukan klaim „sesat‟ pada orang lain, bahkan melakukan caracara kekerasan seperti sweeping, penyegelan rumah ibadah, dan sebagainya.

Kontrol atas tubuh perempuan juga merupakan contoh nyata dalam praktik fundamentalisme. Doktrin kembali pada ajaran Islam yang benar (back to Sharia) maupun implementasi menuju Islam yang kaffah seringkali ditandai tentang aturan berbusana bagi perempuan, dengan mewajibkan pemakaian cadar bagi perempuan. Di Iran, perempuan yang tidak mengenakan cadar dengan benar (bad hijab) akan dikenakan hukuman keras, di Aljazair perempuan

dihadapkan pada pilihan ‟mengenakan cadar‟ atau ‟mati‟, di Sudan aturan tentang cadar diberlakukan setelah jatuhnya Presiden Numeiri oleh mereka yang mengangkat dirinya sebagai ‟penjaga moral‟, dan oleh mereka perempuan perempuan karir dipersoalkan statusnya karena keberadaan mereka di muka umum maupun hubungan kerja dengan laki laki di perusahaan mereka. Sementara di Tepi Barat dan Jalur Gaza, kaum Hamas memaksa perempuan untuk bercadar dan mengidentifikasi perempuan yang menolak berkerudung sebagai sekutu Israel. Di Indonesia, fenomena serupa nampak dengan hadirnya berbagai peraturan daerah dan kebijakan diskriminatif atas dasar agama (yang dikenal dengan Perda Syariah) yang kebanyakan isinya mengatur tata cara perempuan berpakaian, larangan keluar malam, segregasi di ruang publik, maupun larangan pelacuran yang rumusannya sangat mendiskreditkan perempuan. Seringkali, kita lupa bahwa undang undang (UU) kita pun diwarnai oleh pemahaman keagamaan yang bercorak literal. Salah satu contoh pada UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang dalam salah satu pasalnya menyebut soal laki laki sebagai pemimpin keluarga. Selama ini, masyarakat sering merujuk pada penggalan teks QS. An Nisa‟ ayat 34: “Ar rijaalu qawwamuuna ala alnisaa” yang dijadikan dasar untuk mengukuhkan laki laki sebagai kepala keluarga. Ternyata teks ini tak hanya dijumpai di kalangan muslim tetapi juga di kalangan Nasrani dengan menggunakan teks Alkitab (Bible) yang punya doktrin serupa. “Wives, submit to your husbands as to the Lord. For the husband is the head of the wife as Christ is the head of the church, his body, of which he is the Savior. Now as the church submits to Christ, so also wives should submit to their

husbands in everything. (Ephesians 5:22, New International Version). Artinya, “Wahai para istri, taatilah para suamimu sebagaimana ketaatan kepada Tuhan karena suami adalah pemimpin bagi istri sebagaimana Kristus menjadi pemimpin gereja, dirinya adalah Juru Selamat. Kini, sebagaimana gereja mentaati Yesus Kristus, kaum perempuan juga harus taat pada suaminya dalam segala hal. Contoh di atas sekedar menunjukkan betapa doktrin keagamaan yang dipakai dalam kelompok kelompok yang memiliki gagasan fundamentalisme ini seringkali mensubordinasikan perempuan. Celakanya, UU Perkawinan tersebut oleh sebagian orang dianggap tak perlu dipersoalkan dan tak bisa diubah, meskipun sejatinya merendahkan perempuan dan menjadi penyebab munculnya kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah keluarga.

Kaum perempuan seringkali jadi korban atas proses Islamisasi yang bersifat fundamentalis. Selain mereka dijadikan sebagai simbol kesalehan, ada semacam pengalihan tanggung jawab atas kerusakan moral ini ke pundak mereka. Oleh karena itu, berbagai aturan yang ada cenderung mengatur, membatasi, bahkan mengekang kaum perempuan. Dan seringkali aturan yang sebenarnya membatasi itu telah dianggap sebagai kebenaran yang harus dilaksanakan. Aturan aturan itu, secara lebih jauh juga membatasi hakhak reproduksi kaum perempuan.

Dalam komunitas fundamentalis, perempuan seringkali tak berdaya menentukan pasangan hidupnya sendiri maupun melakukan kontrol atas tubuhnya. Salah satunya adalah Sri Pulung, aktivis Persaudaraan Muslimah (SALIMAH) yang memutuskan menikah setelah sang Murabbi (pembimbing

spiritualnya) menjodohkan dirinya dengan seorang lelaki yang dipandang memiliki prinsip ghadhul bashar (menutup pandangan dari aurat perempuan perempuan yang bukan mahram), namun akhirnya juga melakukan poligami. Sri

merasa harus turut bertanggung jawab atas ulah suami yang menurutnya ”sempat

tergelincir berpacaran dengan perempuan lain”, sehingga perempuan itu harus dinikahinya. Pada usianya yang ke 42 tahun, Sri dianugerahkan 6 orang anak dari perkawinannya. Ia sempat menggunakan KB hormonal, namun karena tidak cocok akhirnya ia tidak menggunakan alat kontrasepsi sama sekali sehingga ia pernah mengurus tiga balita sekaligus. Yaitu saat anak keenamnya baru lahir, anak kelima berumur 15 bulan, dan anak keempatnya berumur 3 tahun. Sang suami mendukung aktivitasnya dalam kondisi memiliki banyak anak, karena bercitacita memiliki banyak keturunan demi memperkuat umat Islam di masa depan. Suami Sri, memiliki 9 orang anak kandung yaitu 6 dari Sri dan 3 dari madunya. Ditambahkan dengan anak tirinya yang 4 orang, berarti suaminya memiliki 13 orang anak.

Selain perempuan perempuan dalam kelompok fundamentalis yang terpinggirkan dari ruang publik maupun tak kuasa melakukan kontrol atas hak hak reproduksinya sendiri akibat aturan aturan dan pandangan fundamentalisme keagamaan yang berkembang ini, perempuan awam juga menjadi korban akibat masuknya fundamentalisme di ranah negara. Di Padang, beberapa siswi non muslim terpaksa harus mengenakan jilbab demi beradaptasi dengan teman temannya di sekolah karena adanya aturan yang mewajibkan para siswi untuk berjilbab. Sementara di Bulukumba, aturan berjilbab telah membuat banyak

perempuan warga sipil yang tak berjilbab kehilangan hakhak dasarnya dalam pelayanan publik akibat adanya stiker di kantor pemerintahan yang menyebutkan ”perempuanyang tidak berjilbab tidak akan dilayani”.

Qanun - qanun terkait penerapan Syariat Islam di Aceh yang seringkali dijadikan rujukan dan diambil secara copy paste bagi daerah daerah lain yang hendak menerapkannya melalui perda maupun kebijakan lokal. Dua di antaranya adalah Qanun Pokok Pokok Syariat Islam dan Qanun tentang Hukum Jinayat. Qanun yang berisi tentang pidana Islam yang mengatur soal Khalwat (berduaduaan antara laki laki dan perempuan di satu ruangan) dan Ikhtilat (bercampurnya sekelompok laki laki dan perempuan baik di dalam maupun di luar ruangan) itu berpotensi pada munculnya fitnah atas dasar prasangka atas tubuh perempuan sebagai isu moralitas, dan berakibat membatasi ruang gerak perempuan di ruang publik. Keberadaan Qanun itu memicu tindakan sewenang wenang aparat penegak hukum seperti Wilayatul Hisbah (WH) kepada masyarakat karena perbedaan antara norma objektif (yang tertera di atas kertas) dengan norma subjektif (apa yang dipahami oleh anggota WH) misalnya tentang khalwat, karena batasan yang tidak begitu jelas dan mengandung multi interpretasi. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan keberadaan Qanun ini rentan menimbulkan perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan. Hukum cambuk merupakan salah satu bentuk hukuman yang diperkenalkan oleh Qanun Jinayat, sebuah bentuk Hukum Pidana Islam yang rumusannya lebih banyak berupa pelanggaran atas moralitas yang dirumuskan dalam kerangka pikir lakilaki. Seorang perempuan di Aceh yang menjadi korban pemerkosaan massal beberapa

waktu yang lalu sempat terancam menerima hukuman cambuk karena dituduh melakukan perbuatan mesum. Y, seorang janda berusia 25 tahun, dan pasangannya, W (40), digerebek oleh sekelompok pemuda di sebuah desa di Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa, karena dituduh membawa masuk seorang lelaki bernama W di rumahnya.Setelah memukul W dan mengikatnya di dalam kamar, delapan pemuda itu menyeret Y ke kamar lain dan memperkosa korban secara bergiliran. Sekelompok pemuda yang melakukan tindak perkosaan ini beralasan bahwa Y dan W telah melakukan khalwat, yaitu berada dalam satu ruangan antara laki laki dan perempuan yang bukan mahram. Alih alih memberikan hukuman kepada kedelapan pemuda yang melakukan tindak perkosaan, Wilayatul Hisbah malah berencana untuk merajam pasangan tersebut yang meskipun menurut penuturan Ibrahim Latif, kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa mereka belum sempat melakukan hubungan layaknya suami istri tetapi mereka diketemukan sedang berada dalam satu rumah.

Dokumen terkait