REPRESENTASI NILAI PEREMPUAN DALAM
ISLAM PADA NOVEL RATU YANG BERSUJUD
(Analisis Semiotika Roland Barthes)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu komunikasi pada Konsetrasi Public Relation Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
Bayu Teja Kusuma
NIM. 6662121351
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
MOTTO
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu mencintai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kamu. Allah
Maha mengetahui sedangkan kamu tidak
mengetahui”
(Al-Baqarah: 216)
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, keluarga dan mereka yang telah memberikan motivasi
Abstrak
Bayu Teja Kusuma. 6662121351. SKRIPSI. Representasi Nilai Perempuan Dalam Islam Pada Novel Ratu yang Bersujud (Analisis Semiotika Roland Barthes). Program Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2016. Uliviana Restu, S.Sos.,M.Si. husnan Nurjuman S.Ag, M.Si
Novel Ratu yang Bersujud nerupakan medium komunikasi yang mengangkat
fenomena yang terjadi di masyarakat. Cerita yang disampaikan mengandung suatu pesan yang diharapkan dapat mempengaruhi tidak hanya pemikiran, tapi juga sikap dan perilaku pembacanya, novel ini menggambarkan bagaimana seharusnya perempuan dalam Islam bertindak sesuai dengan syariat agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu yang Bersujud dengan berdasarkan pada teori semiotika Roland Barthes yaitu, makna denotatif, konotatif dan mitos nilai perempuan dalam Islam. Penelitian menunjukan bahwa, makna denotatif nilai perempuan dalam Islam, perempuan digambarkan sebagai hamba yang taat kepada Tuhannya. Makna konotatif nilai perempuan dalam Islam, perempuan digambarkan sebagai seseorang yang taat beragama serta mengikuti nilai dan norma yang berlaku. Mitos nilai perempuan dalam Islam adalah, dibangun sesuai dengan tujuan penulis yaitu membuat perspektif tentang perempuan dalam Islam yang sesungguhnya yang bukan berasal dari berbagai propaganda melainkan dari Alquran dan Hadits. Novel ini dapat dijadikan contoh bagaimana perempuan muslim bertindak, karena saat ini banyak perempuan beragama Islam yang tidak tahu nilai perempuan dalam Islam. Tidak luput dari semuanya, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memberikan sumbangan pemikiran, serta dapat bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu komunikasi
Abstract
Bayu Teja Kusuma. 6662121351. THESIS. Representation women values in Islam at Novel Ratu yang Bersujud (Analysis of Semiotics Roland Barthes). Communication Studies program. Faculty of Social and Political Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa. 2016. Uliviana Restu, S.Sos., M.Si. Husnan Nurjuman S.Ag, M.Si
Novel Ratu yang Bersujud is communication medium lifted a phenomenon that occurs in society. The story submitted contains a message that is expected to afford not only idea, but also attiude and behavior of readers, the novel illustrates how women in islam should act in conform with the Islamic laws. This research aim to know representation of the women value in Islam from Novel Ratu yang Bersujud with based on semiotics theory of Roland Barthes is denotative, connotative and myth women value in islam. The research shows that in denotative women are described as obedient servant to his Lord. Connotative women are described as someone who are religious people and follow values and norms. Myth from women value in Islam is built conform with the author‟s purpose to make a perspective real women in Islam that‟s not derived from variety propaganda but from the Qur‟an and Hadith. This novel can used as example how muslim wopmen should act. From it all, this research expected to add and contribute and can be benefit to development of communication study.
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi guna
memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan strata (S1) pada
program studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Public Relations di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Skripsi berjudul
“Representasi Nilai Perempuan dalam Islam pada Novel Ratu yang Bersujud
(Analisis Semiotika Roland Barthes)”. Skripsi ini mengangkat masalah nilai
perempuan dalam Islam pada novel Ratu yang Bersujud menggunakan analisis
semiotika.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih atas segala rahmat serta doa, dukungan,
motivasi, bimbingan, dan bantuan yang tak terhingga dalam proses penelitian
serta penyusunan skripsi ini kepada :
1. Kedua inspirator nyata yang aroma nafas tubuhnya mengalir mengisi laju
darah dalam kehidupan penulis yaitu Ibunda Titik Sukarti dan Ayahanda
Sutarjo yang selalu setia memberikan semangat dan motivasi dalam segala
bentuk yang belum dapat penulis balas.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si. selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Dra. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku ketua prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Bapak Darwis Sagita, S.IKom Selaku Sekertaris prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Ibu Uliviana Restu H, S.Sos.,M.Si selaku pembimbing I yang telah
menyediakan waktu untuk selalu memberikan arahan, dukungan dan motivasi
untuk penulis.
6. Bapak Husnan Nurjuman S.Ag, M.Si selaku dosen pembimbing II skripsi
yang juga sidah menyediakan waktu untuk membantu memberikan saran serta
masukan dalam proses menyelesaikan skripsi ini
7. Ibu Isti Nursih, S.I.P., M.I.K. selaku dosen pembimbing akademik.
8. Adik penulis Maulina Joti Masitoh, yang terkadang memberikan inspirasi
ketika sedang dalam keadaan yang baik
9. Lale bagi penulis, yang selalu bisa memberikan canda dan hiburan kedua
setelah orang tua dalam kondisi apapun
10.Geng Wakwaw Revan, Juhendi, Arya dan Hari yaang selalu bersama dari
semmester 1 hingga 7 selalu di kelas yang sama pula dan saling berjuang
untuk mendapatkan gelar S.
11.Rekan-rekan Himabe 2012, Abdul, Irma, Erlin, Deni, Rizon, Siti Julaeha, Eri,
Egi, Yesi, Putri, Siti Nurfaizah, Indah, Annisa, Asyil, Diah Fitri, Ayu, Lita,
Damar, Gangan, Ersyad, Delia, Renggaanis dan Mitha yang gokil dan seru
12.Rekan-Rekan llmu Komunikasi 2012 Ratu, Jannah, Nina, Mutia, Aci, Rahel,
Ayel, Bani, Tio, Mahda, Risky, Gian, Rengga, Putri Dwi, Hardi, Ardi, Awal,
Cici, Bella, Disa, Emil, Juan, Fikri, Azi, Juan, Roy, Nida, Mety, Nissa, Dania,
Putri, Hasti, Rezza, Rahmat, daan Dwi yang berjuaang untuk lulus dari
Untirta secepat mungkin
13.Fosmai angkatan 2010 - 2014, Bang Hen, Teh Nur, Bang Nayev, Bang
Katno, Bang Cahyo, Teh Lulu, Teh Mpes, Raidhil, Bang Dindin, Muyas,
Ririn, Ida, Nadia, Mike, Yanah, Azmi, Imam, Ali, Yandi, Mirza, Vina,
Dhika, Farkhi, Adhi, Alif, Agus, dan teman - teman fosmai yang lain yang
selalu mengingatkan agar tidak lupa bersyukur kepada Allah SWT
14.Teman dan kerabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Kiranya tidak ada balasan yang lebih baik kecuali yang datang dari
Allah SWT, terimakasih untuk segalanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
semua, khususnya bagi penulis dan pihak yang berkepentingan lainnya.
Wassalamualikum Wr. Wb.
Serang, November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1Perempuan ... 14
2.2 Perempuan dalam Islam ... 18
2.2.1 Hakikat penciptaan perempuan ... 19
2.2.2 Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Islam ... 21
2.2.2 Hak - hak Perempuan dalam Berbagai Bidang ... 24
2.3 Varian Pemikiran Islam tentang Perempuan ... 33
2.3.1 Perempuan dalam Pemikiran Islam Fundamentalis ... 33
2.3.2 Perempuan dalam Pemikiran Islam liberal ... 39
2.3.3 Perempuan dalam Pemikiran Islam Moderat ... 42
2.4 Representasi ... 46
2.5 Novel ... 47
2.6 Semiotika ... 49
2.7 Semiotika Roland Barthes ... 51
2.8 Kerangka Berpikir ... 59
2.9 Penelitian Terdahulu ... 61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 68
3.1Metode Penelitian ... 68
3.2 Fokus Penelitian ... 70
3.3 Teknik Pengumpulan data ... 70
3.3.1 Studi Pustaka ... 70
3.3.2 Dokumentasi ... 71
3.4 Teknik Analisis Data ... 72
3.5 Lokasi dan Jadwal Penelitian ... 74
BAB IV ANALISIS ... 75
4.1 Objek Penelitian ... 75
4.1.1 Novel ... 75
4.1.2 Perempuan dalam Novel ... 76
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 82
4.2.1 Analisis Semiotika ... 98
4.4.2 Pemikiran Islam Moderat dan
Perempuan dalam Novel Ratu yang Bersujud ... 109
BAB V PENUTUP ... 117
5.1 Kesimpulan ... 117
5.2 Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 121
LAMPIRAN ... 123
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 128
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 58
Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu 63
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian 74
Tabel 4.1 Orasi Pembebasan perempuan dari moral agama dan
pemakaian hijab 82
Tabel 4.2 Peta Tanda Roland Barthes pada Kalimat Pembebasan
perempuan dari moral agama dan pemakaian hijab 83
Tabel 4.3 Penggolongan Tanda 84
Tabel 4.4 Kewajiban beribadah bagi muslim 85
Tabel 4.5 Peta Tanda Roland Barthes pada Kewajiban beribadah
bagi muslim 86
Tabel 4.6 Penggolongan Tanda 87
Tabel 4.7 Hubungan laki – laki dan perempuan dalam Islam 88
Tabel 4.8 Peta Tanda Roland Barthes pada hubungan antara laki – laki
dan perempuan dalam Islam 89
Tabel 4.9 Penggolongan Tanda 90
Tabel 4.10 Peran perempuan dalam rumah tangga 92
Tabel 4.11 Peta Tanda Roland Barthes pada Pertanyaan Charlotte
seputar peran perempuan dalam rumah tangga 93
Tabel 4.12 Penggolongan Tanda 93
Tabel 4.13 Hak mendapatkan ilmu dan pendidikan serta
hak dasar politik 95
Tabel 4.14 Peta Tanda Roland Barthes pada Hak mendapatkan ilmu
dan pendidikan serta hak dasar politik 96
Tabel 4.15 Penggolongan Tanda 97
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes 53
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 58
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir 72
Gambar 4.1 Cover Novel Ratu yang Bersujud 75
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada anggapan dari masyarakat bahwa perempuan cenderung emosional,
irasional dalam berpikir, tidak dapat mengambil keputusan sehingga perempuan
selalu ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan strategis dalam masyarakat
atau dianggap sebagai “second person”1. Pandangan ini pada akhirnya
juga memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dipandang
kurang mampu sehingga diberi tugas yang ringan dan mudah. Bagi perempuan
sendiri, tersubordinasi dalam kehidupan membuat mereka merasa seperti seorang
pembantu bagi laki-laki2. Bentuk subordinasi akibat perbedaan jender ini
bermacam-macam, berbeda menurut tempat dan waktu. Praktik subordinasi
sendiri sebenarnya bermula dari kesadaran gender yang tidak adil dalam
masyarakat.
Bersamaan dengan marginalisasi dan stereotip yang diderita oleh kaum
perempuan, mereka juga masih mengalami subordinasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Perempuan tidak diberikan hak untuk terlibat dalam
1
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengatar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007). hlm.274
2
Muniarti Nunuk ,Getar Gender 1, (Yogyakarta : Yayasan indonesiatera, 2004), hlm.xxiii
keputusan penting masyarakat atau bahkan kehidupan pribadinya. Perempuan
dianggap tidak cakap dalam memimpin masyarakat. Perempuan hanya harus
mengurus anak dan suaminya, terlepas dari terlibat atau tidaknya mereka dalam
mencari nafkah keluarga mereka wajib dan mutlak bertugas untuk mengurus
anak-anak, suami dan keluarganya3
Perempuan dicitrakan sebagai makhluk lemah dan menempati peran yang
tidak membahagiakan (dari aspek fisik), serta lebih rendah daripada laki-laki jika
dilihat dari pandangan laki-laki dan lingkungan masyarakat. Citra perempuan itu
berada dalam masyarakat patriarki yang memiliki ideologi gender. Ironisnya,
perempuan menerima hal itu sebagai sesuatu yang semestinya terjadi4
Perempuan dengan segala posisi dan keadaannya selalu menjadi obyek
pembahasan menarik bagi banyak kalangan. Persepsi masyarakat bahwa
perempuan lebih rendah statusnya dari laki laki dapat memicu munculnya
diskriminasi jenis kelamin yang menyebabkan perempuan termajinalkan,
meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan ketidakadilan gender5.
Munculnya berbagai ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan di atas,
disebabkan oleh banyak faktor yaitu salah satunya karena adanya sifat - sifat
tertentu (stereotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan,
3
Dyah Purbasari Kusumaning Putri, Sri Lestari, “PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA
PADA PASANGAN SUAMI ISTRI”, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16, No. 1, Februari 2015: 72-85 4Faninda Zenitsa “Representasi Perempuan (Studi Semiotika Tentang Representasi Perempuan
Dalam Novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , UPN, 2010, hlm 1
5
misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang
mengedepankan nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di
dalam rumah, dan sebagainya. Berdasarkan pelebelan sifat-sifat manusia kelas dua
inilah ketidakadilan terjadi atas mereka.
Kepercayaan agama juga membentuk sikap terhadap perempuan.
Interpretasi umum ajaran agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia
adalah bahwa laki-laki merupakan pemimpin. Sistem nilai dan budaya selanjutnya
berkontribusi terhadap langgengnya patriarki yang telah melekat dari generasi ke
generasi, yang membuat posisi perempuan dibawah superioritas laki-laki, Istilah
patriarki sendiri digunakan untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas
perempuan di dalam keluarga dan pada akhirnya berlanjut pada dominasi laki-laki
dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.
Islam menempatkan Laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang
memiliki posisi seimbang dan sama6. Islam juga tidak membuat perempuan
merasa berdosa ketika harus terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Hanya saja,
Islam mewarnainya dengan adab-adab syar‟i sebagaimana berbagai aktivitas lain.
Islam meletakkan panduan bagi perempuan yang dapat menjaga diri berikut
masyarakatnya, misalnya menutup aurat, larangan berduaan (berkhalwat),
pemberian batas-batas ikhtilath dan hal lain yang terkait dengan keterlibatan
perempuan dalam aktivitas sosial.
6
Maslamah dan Suprapti Muzani, “KONSEP-KONSEP TENTANG GENDER PERSPEKTIF ISLAM”,
Islam telah menerapkan persamaan hak antara kaum perempuan dan pria.
Setiap orang muslim berhak mendapatkan pendidikan yang tinggi. Hasilnya
banyak muslimah (perempuan muslim) yang berhasil menjadi dokter, guru, dosen,
insinyur, dan lain-lain. Dalam rumah tangga perempuan bukan menjadi pelayan
atau budak suaminya tetapi perempuan menjadi mitra laki-laki dan mempunyai
peranan penting dalam menjaga dan memelihara keutuhan rumah tangganya.
Bahkan seorang perempuan akan menjadi ibu yang melahirkan dan membentuk
sebuah generasi yang dapat menentukan sebuah masyarakat7.
Islam sudah lebih dulu menyamakan derajat perempuan dan laki-laki, dan
yang membedakan hanyalah kadar ketakwaan mereka. Sebagaimana Firman Allah
dalam Surat Al-Hujarat ayat 13;
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam tafsir ibnu katsir pada surat Ali imraan ayat 195 disebutkan
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
7
La Jamaa, “ADVOKASI HAK-HAK ISTRI DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”,
bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran: 195).8
Secara umum, perempuan di Indonesia saat ini mengalami kemajuan
bukan hanya lagi sekedar penghuni rumah tangga saja tetapi juga menyatakan
fungsinya dalam pembangunan. Di era globalisasi ini perempuan tidak hanya
bekerja di lingkungan rumah ataupun melayani suami akan tetapi, peempuan juga
dapat beperan di dalam ranah politik, ekonomi dan sosial. Bisa kita lihat dari
banyaknya perempuan karir di Indonesia dan juga banyaknya perempuan yang
menenpati posisi strategis di Indonesia seperti menteri menteri dan juga gubernur
serta adanya 30% keterwakilan perempuan dalam parlemen9. Ini merupakan bukti
bahwa perempuan memiliki kesempatan yang seluas - luasnya untuk berkiprah
baik dalam keluarga maupun masyarakat. Artinya, Islam telah memosisikan
perempuan di tempat mulia sesuai dengan kodratnya. Dr. Yusuf Qardhawi pernah
mengatakan, “Perempuan memegang peranan penting dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat. Jadi, mana mungkin keluarga dan masyarakat itu baik jika
perempuannya tidak baik”10
Melihat fenomena tersebut, semua ini sangat jauh berbeda dengan realitas
kehidupan perempuan di dunia barat, baik di negara Eropa maupun Amerika.
Perempuan lebih diidentikkan sebagai makhluk yang lemah. Karena itu, muncul
8
AlQuranMulia, Tafsir ibnu katsir Surah Ali Imraan 195, diakses dari
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/03/20/tafsir-ibnu-katsir-surah-ali-imraan-ayat-195/ pada tanggal 28 Februari 2016 pukul 17.07
9
Yenti Afrida, “KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM”, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, h.241
10
gerakan kesetaraan gender dan feminisme. Mereka menuntut persamaan hak
antara kaum laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran perempuan dalam konsep
Islam dan sekuler memang sangat signifikan, karena konsep dasar yang saling
bertolak belakang.
Peran perempuan dalam konsep sekuler selalu berorientasikan pada apa
yang bisa dihasilkan dalam bentuk materi, seperti pendapatan, keterwakilan
perempuan dalam parlemen, dan lain sebagainya. Padahal, Islam sangat
menghormati perempuan baik sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat.
Sebagai keluarga, seorang perempuan memiliki peranan penting, yakni
melahirkan, mengasuh, dan mendidik anak. Tidak heran ada yang mengatakan,
“Ibu merupakan sekolah pertama. jika anda mempersiapkan perempuan dengan
baik, maka anda telah mempersiapkan masa depan bangsa dengan baik.” Menurut
Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA., Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), perempuan sebenarnya tidak dilarang agama untuk menjadi
pintar11. Justru seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Seorang anak biasanya selalu melihat sosok ibu sebagai idola dan teladan, karena
frekuensi kebersamaan ibu dengan anak cenderung lebih banyak daripada dengan
sang ayah. Islam sangat menganjurkan perempuan untuk menuntut ilmu. Seorang
perempuan pandai sangat diperlukan keluarga untuk mendidik dan mengajarkan
ilmunya kepada sang anak, bahkan Islam tidak melarang perempuan menjadi
pemimpin, sebagaimana Ratu Balqis yang berhasil memimpin negaranya. Ini
11Kompasiana, “Peran ibu bagi anak menurut Islam”,
diakses dari
merupakan bukti bahwa perempuan pun bisa memimpin. Islam memperbolehkan
perempuan memimpin di luar rumah, tapi tidak untuk di dalam rumah tangga.,
karena sudah kodratnya bahwa lelaki (suami) adalah pemimpin bagi perempuan
(istri) dan keluarganya tanpa terkecuali.
Saat ini banyak penulis di Indonesia yang menggunakan novel sebagai
media mereka untuk menyampaikan protes atas ketidakadilan gender yang dialami
kaum perempuan. Sebagai salah satu jenis buku yang merupakan bentuk dari
media massa, melalui novel seseorang dapat menyampaikan pemikiran dan
pendapatnya kepada khalayak luas. Novel merupakan sebuah teks naratif kisah
yang merepresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan
nyata atau untuk memancing imajinasi seseorang (Danesi, 2010 : 75). Novel
merupakan bentuk karya sastra yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat
karena daya komunikasinya yang luas dan daya imajinasinya yang menarik.
Melalui novel penulis mencoba menyampaikan pesan kepada pembaca melalui isi
cerita dalam novel, pesan yang disampaikan oleh penulis bisa berupa ide-ide atau
pandangan sang penulis mengenai keadaan sosial lingkungan sekitarnya, kritikan
tentang sesuatu, maupun gagasan mengenai sesuatu hal yang baru.
Novel sebagai salah satu bagian dari media massa memiliki peranan
penting dalam penyebaran informasi dan wacana, termasuk informasi dan wacana
tentang perempuan. Dewasa ini banyak penulis novel Indonesia yang
menyuarakan gerakan feminisme lewat karyanya, Kehadiran para penulis dalam
dalam menempatkan posisi dan peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat
melalui karya - karyanya. Tema yang diangkat dalam sejumlah karya para penulis
tentang perempuan pada masa ini adalah kebanyakan mengangkat tema mengenai
gerakan feminism yang bertujuan untuk melawan nilai – nilai perempuan dalam
Islam yang bertentangan dengan kaum feminisme dan ketidaksetaraan terhadap
perempuan.
Dari semua penjelasan di atas, lewat salah satu novel “Ratu yang Bersujud
” penulis menemukan banyaknya pertanyaan pada bagaimana pandangan Islam
menilai perempuan untuk mengetahui derajat kaum perempuan di tengah
maraknya isu gender seperti, Mengapa perempuan harus memakai jilbab?
Mengapa perempuan harus mengurusi rumah tangga? Bagaimana kedudukan
perempuan di dalam Islam? Dan bagaimana lainnya menjadi pertanyaan yang
lumrah dipertanyakan oleh kaum feminism, sebagian kaum non muslim bahkan
umat muslim sendiri. Ada beberapa kalimat yang dinyatakan dalam novel ini yang
sangat terlihat bagaimana penggambaran perempuan dalam Islam.
“apakah kalian puas dengan keadaan kalian saat ini wahai kaum perempuan?!” matanya begitu tajam dalam menyampaikan orasinya tersebut. “kami berjuang untuk emansipasi, kesetaraan! Kami ingin suara kami didengar, kami tidak ingin direndahkan sebagai perempuan! Tempat kami bukan hanya didapur. Tugas kami bukan hanya mengurus suami dan anak. Lebih dari itu semua, kami ingin keadilan. Tempat yang sama dan sejajar dengan kaum pria! hapuskan semua bentuk poligami yang menyengsarakan kaum perempuan, bebaskan perempuan dari hijab dan tradisi kolot! Bebaskan kaum perempuan dari moral – moral agama yang mengekang!12”
12
Inilah yang memang sedang banyak disuarakan oleh kaum perempuan
yang membenci Islam di seluruh dunia, perempuan melihat adanya pengekangan
dan ketidakadilan gender dengan kaum laki – laki dikarenakan adanya subordinasi
(penomorduaan) anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mau memimpin,
cengeng, mengakibatkan perempuan menjadi nomor dua setelah laki – laki, lalu
pada kalimat selanjutnya
“Islam hadir dengan membawa harapan bagi tegaknya keadilan. Perempuan bukan lagi dianggap sebagai benda, tapi lebih jauh. Ia adalah mitra kaum lelaki. Perempuan telah menjadi subjek hukum. Rasulullah bersabda, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Ini bukti bahwa perempuan memiliki hak untuk mencari ilmu dan kesempatan meraih pendidikan yang sama dengan kaum laki – laki. “Kemudian Allah berfirman dalam Alqur‟an. Bismillahirrahmanirrahim. Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan – perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak – anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada – adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat tersebut menjadi bukti perempuan dalam Islam benar – benar telah menjadi subjek hukum dan dapat menentukan pilihannya sendiri. Mereka memiliki hak dasar politik13.”
Ini sesuai dengan realitas masyarakat pada saat ini contohnya adanya peran
perempuan dalam ranah politik dan Negara dengan adanya menteri – menteri
perempuan dan juga gubernur perempuan bahkan presiden perempuan, ini terlihat
sekali bahwa Indonesia dengan mayoritas orang beragama Islam, telah
menerapkan konsep Islam yang melihat tidak adanya perbedaan antara laki – laki
dan perempuan.
13
Lebih lanjut Charlotte ingin mengetahui secara mendalam bagaimana nilai
– nilai perempuan dalam agama Islam yang selama ini selalu dianggap tidak adil
oleh kalangan kaum feminism. Ia ingin keluar dari komunitas feminis, ia merasa
jenuh banyak hal yang ia perjuangkan atas nama perempuan justru memiliki
tujuan yang tidak jelas, tidak memiliki substansi sama sekali. Ada susupan
ideology yang begitu dendam terhadap ajaran agama, terutama agama Islam. Dan
selama ini ia secara tidak sadartelah menjadi seorang agen dalam permainan
konspirasi tersebut. Ia tidak memahami Islam, belum mengenal Islamsaat
bergabung dengan kaum feminis, tapi dia tanpa ragu menentang Islam dan
bagaimana nilai perempuan dalam ajaran Islam dan memposisikan dirinya sebagai
musuh nomor satu kaum perempuan. Kemudian Lale hadir. Datang, penuh dengan
persahabatan dan rasa keakraban persaudaraan. Ia berhijab, ya, ia berhijab. Ia
seorang muslimah dan taat melaksanakan shalat. Penjelasaan tentang hijab, shalat
dan nilai – nilai perempuan dalam Islam yang membuat ikatan emosionalnya
dengan agama Islam telah tumbuh menghujam jiwanya
Isi dalam novel ini memperlihatkan adanya bagaimana penggambaran
perempuan dari sudut pandang Islam yang selama ini salah diartikan dan banyak
yang tidak mengetahuinya. Penulis novel berusaha untuk menggambarkan sosok
perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai perempuan yang ingin
mendapatkan emansipasi, kesetaraan dan juga derajat yang sama dengan laki –
laki Menurut Mary Wollstonecraft dalam buku A Vidication of the Rights of
dengan laki-laki14. Dengan demikian secara nonverbal, perempuan dalam novel
tersebut direpresentasikan atau digambarkan seperti perempuan yang memiliki
pandangan feminis dan menginginkan kesetaraan gender.
Lebih jauh, Mahdavi sepertinya ingin menunjukkan sisi lain dari
kehidupan perempuan, sebuah fenomena yang jarang terjadi ketika sosok
perempuan yang sudah membulatkan tekadnya dari awal untuk menjadi seorang
feminis dengan tekad dan kegigihannya berusaha keluar dari kondisi tersebut
untuk memeluk agama Islam. Novel “Ratu yang Bersujud” juga menyuarakan
resistensi kaum perempuan melalui tokoh Charlotte.
Karya ini juga menampilkan permasalahan dan resistensi perempuan yang
dikenal dengan women issues. Permasalahan yang dianggap sebagai sesuatu yang
aktual, yang sering dibicarakan dan dibahas. Dalam seminar, gerakan-gerakan
perempuan, dunia pendidikan dan juga di media massa. Ini karena women issue
dianggap berkaitan dengan pandangan masyarakat yang secara tidak langsung
merugikan kaum perempuan.
Penulis tertarik untuk meneliti bukan karena kualitas novel yang hendak
peneliti teliti, melainkan karena tema yang diangkat novel tersebut menemukan
beberapa fenomena komunikasi yang dinilai cukup menarik jika dibahas dengan
menggunakan perspektif ilmu komunikasi, karena komunikasi pada dasarnya
merupakan interaksi antara pribadi yang menggunakan system symbol linguistic,
14Faninda Zenitsa “
misalnya meliputi verbal, kata-kata, para verbal, dan non verbal. Sehingga novel
ini menarik untuk diteliti dalam kajian penelitian semiotik Roland Barthes,
metode semiotik Roland Barthes menitikberatkan pada hubungan penanda dan
petanda, denotative, konotatif, mitos dan sistem sosial yang ada pada novel,
melalui kata dan kalimat yang bersifat atomistis.
Pada penelitian ini yang mendasari penulis untuk menganalisa konsep nilai
perempuan dalam Islam dari 2 tokoh perempuan yang terdapat dalam novel ”Ratu
yang Bersujud ” karena 2 tokoh perempuan ini memiliki peran yang sentral dan
dapat menimbulkan tanda tanya besar dimana dalam feminisme barat tujuan
utamanya adalah ingin melepaskan diri dari cengkeraman kaum laki – laki dan
Islam yang ternyata diturunkan untuk mengatasi permasalan tentang ketidakadilan
gender yang selama ini menjadi permasalahan kaum feminisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana Representasi Nilai Perempuan dalam Islam yang terdapat pada
novel Ratu yang Bersujud ?
1.3 Identifkasi Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat di identifikasikan
1. Bagaimana makna denotasi nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu
yang Bersujud?
2. Bagaimana makna konotasi nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu
yang Bersujud?
3. Bagaimana makna mitos nilai perempuan dalam Islam pada novel Ratu
yang Bersujud?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah representasi nilai
perempuan dalam Islam pada novel Ratu yang Bersujud
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberi gambaran bagaimana perempuan dalam novel Ratu yang
Bersujud digambarkan untuk bacaan di masyarakat dan untuk memperkaya
wawasan tentang persoalan perempuan di masyarakat serta penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan dokumentasi ilmiah
untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai dasar bagi studi - studi
selanjutnya mengenai analisis semiotika dalam novel
1.4.2 Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Perempuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perempuan adalah jenis kelamin,
yakni orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil,
melahirkan anak, dan menyusui. Perempuan merupakan makhluk lemah lembut
dan penuh kasih saying karena perasaannya yang halus. Secara umum sifat
perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati dan memelihara.
Demikianlah gambaran perempuan yang sering terdengar di sekitar kita.
Perbedaan secara anatomis dan fisiologis menyebabkan pula perbedaan pada
tingkah lakunya, dan timbul juga perbedaan dalam hal kemampuan, selektif
terhadap kegiatan – kegiatan intensional yang bertujuan dan terarah dengan kodrat
perempuan.
Kata perempuan dalam tinjauan etimologis, berasal dari kata empu yang
berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang
paling besar' maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang
mahir mencipta tembang'15. Kata perempuan berhubungan dengan kata ampu
'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata
15
Sudarwati, D Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan:Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik diakses dari http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html pada 6 Maret 2016 pukul 13.23
mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh';
kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan,
penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan, kata ini mengalami
pemendekan menjadi puan yang artinya „sapaan hormat pada perempuan‟, sebagai
pasangan kata tuan „sapaan hormat pada lelaki‟ (Sudarwati dan Jupriono, 2000).
Nah pada konteks itulah maka perempuan mendapat tempat kehormatan, lebih
bermartabat dan tidak diposisikan di lapisan bawah. Persepsi terdahulu yang
dilandasi kultur feodalisme konvensional tidak lagi mendapatkan tempat, karena
keberadaan perempuan sebagai kaum feminin semakin dihormati, di junjung
tinggi dan berperan sejajar dengan laki – laki.
Pemahaman kebudayaan menyangkut persoalan perempuan, status dan
perannya dalam kehidupan sosial sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan
keadaan dan waktu. Juga tergantung pada bagaimana pemahaman-pemahaman
tersebut berhubungan dengan posisi kaum perempuan di berbagai komunitas. Para
antropolog sekalipun, yang tengah menyelidiki posisi perempuan dalam
perkembangan masyarakat secara tidak sadar ikut dalam perdebatan menyangkut
asal-usul dan universalitas keterpinggiran kaum perempuan. Dengan begitu kajian
terhadap hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan menjadi penting.
Laki-laki dan perempuan secara alamiah, bilogis dan genetis berbeda,
adalah sebuah kenyataan, sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat diubah. Akan
alamiah ini lalu kemudian menimbulkan pemahaman yang beragam pada tiap
orang dan kelompok masyarakat. Perbedaan pemahaman ini selanjutnya dikenal
dengan konsep gender, yaitu beberapa sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural(Fakih, 1997:8).
Misalnya stereotype perempuan yang dikenal lemah lembut, keibuan, emosional
atau lebih sabar. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan
sebagainya. Stereotype seperti ini dapat dipertukarkan dan bisa jadi berbeda pada
masing-masing masyarakat, tergantung pada budaya dan sistem nilai yang
dibangun.
Ketertindasan perempuan, secara antropologis, dipandang oleh Sherry
Ortner(dalam Moore, 1998:30) disebabkan oleh sebuah sistem nilai yang
diberikan makna tertentu secara kultural16. Ortner menempatkan ketertinggalan
perempuan pada tataran ideologi dan simbol kebudayaan. Dalam budaya
universal, ketertindasan perempuan, menurut Ortner merupakan manivestasi dari
pemahaman antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi
laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan
memberikan pembedaan antara masyarakat manusia dan alam. Kebudayaan
berupaya mengendalikan dan menguasai alam yang selanjutnya dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan. Oleh sebab itu kebudayaan berada pada posisi
superior dan alam dipihak inferior. Kebudayaan diciptakan untuk menguasai,
mengelola dan mengendalikan alam untuk mempertahankan kelangsungan
16
perempuan dalam perspektif budaya, diakses dari
kehidupan masyarakat. Dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan,
maka perempuan selalu diasosiasikan dengan alam, dan laki-laki diasosiasikan
dengan kebudayaan. Oleh karenanya merupakan suatu hal yang alami jika
perempuan berada pada posisi yang dikontrol, dikendalikan dan dikuasai. Konsep
ini ada kesamaan dengan konsep orang Turki tentang perempuan, bahwa
perempuan diasosiasikan dengan tanah dan laki-laki diasosiasikan dengan
benih(padi) sebagai pemahaman atas reproduksi(Robbins, 1997:11)
Pendekatan lain yang bisa dipakai untuk memahami penindasan terhadap
perempuan adalah analisis Karl Marx(dalam Heilbroner, 1991:34) tentang
kekuasaan kelas. Marx melihat bahwa politik ekonomi kapitalisme sebagai biang
keladi kehancuran dan ketertindasan sebagian besar warga masyarakat.
Kapitalisme menciptakan kelas, dalam arti kelas yang memiliki modal, kelas kaya
dan kelas miskin, majikan dan buruh. Untuk menjelaskan posisi perempuan dalam
analisis Marx ini tentang kelas, memang perempuan tidak dapat dikategorikan
sebagai satu kelas saja. Artinya ia datang dari golongan buruh(proletar) saja atau
golongan borjuis saja. Tetapi perempuan yang bekerja di bidang domestik dapat
dikatakan sebagai satu kelas. Mereka sesungguhnya bekerja, memiliki pekerjaan
yang kurang lebih sama tanggung jawabnya dengan pekerjaan di bidang lain.
Namun lagi-lagi hasil kerja mereka dinilai rendah atau tidak dihargai sama sekali.
Maka jadilah perempuan sebagai kelas yang dikuasai karena dianggap tidak
Friedrick Engels (1972;103), seorang filsuf Jerman, menerangkan
bagaimana perubahan kondisi material mempengaruhi hubungan keluarga,
hubungan laki-laki dan perempuan17. Ia menjelaskan bahwa pada awalnya
laki-laki dan perempuan tidak mengenal perkawinan18. Mereka sama-sama bebas
untuk menentukan kepada siapa mereka ingin berhubungan seks. Atau dapat
dikatakan semua menikah dengan semua, sehingga mereka sering berganti-ganti
pasangan. Sampai pada suatu kondisi dimana populasi perempuan lebih sedikit
daripada laki-laki, dan karenanya banyak laki-laki yang tidak ingin melepaskan
perempuannya. Mulai saat itulah terbentuk tradisi perkawinan dengan pasangan
hidup.
2.2 Perempuan dalam Islam
Manusia, baik itu laki laki maupun perempuan adalah ciptaan Allah yang
menduduki kemuliaan tertinggi di muka bumi ini yang dibekali dengan akal dan
intuisi pada segala macam keadaan. Kehadiran manusia merupakan puncak
ciptaan Tuhan. Dia adalah wakil Tuhan atau khalifah di muka bumi ini. Menurut
fitrah kejadiannya, manusia diciptakan bebas dan merdeka, dalam pengertian
bahwa kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni
untuk mencapai keridlaan Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan supaya
bagaimana mereka dapat berperan dalam masyarakat.
17
Ibid 18
Kedudukan laki laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama dalam
AlQuran Sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam. Keduanya diciptakan
dengan tidak memiliki keunggulan satu terhadap yang lain. Atas dasar itu, prinsip
AlQuran terhadap hak kaum laki laki dan perempuan adalah sama, dimana hak
istri adalah diakui secara adil dengan hak suami. Laki laki memiliki hak dan
kewajiban atas perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan
kewajiban terhadap laki laki.
Ajaran AlQuran tentang perempuan merupakan bagian dari usaha untuk
menguatkan dan juga memperbaiki posisi lemah perempuan dalam kehidupan
masyarakat Arab praIslam. Ajaran Islam memberikan porsi perhatian yang besar
dan kedudukan yang terhormat kepada perempuan, dapat dilihat dari segi asal
penciptaannya dan bisa juga dilihat dari segi hakhak atau peran sertanya dalam
berbagai bidang.
2.2.1 Hakikat Penciptaan Perempuan
Prinsip pokok dalam ajaran agama Islam adalah persamaan antara
manusia. Perbedaan yang patut digaris bawahi dan yang kemudian
meninggikan atau merendahkan seseorang di mata Tuhannnya hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
firmanNya disebutkan, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu
sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa”
(QS AlHujuraat : 13).
Konsep penciptaan perempuan merupakan hal yang sangat
mendasar untuk dibahas. Berangkat dari hal ini, maka dapat ditarik benang
merah konsep kesetaraan antara laki laki dan perempuan. AlQuran tidak
menyebutkan secara rinci tentang asal usul penciptaan perempuan, tetapi
AlQuran menolak berbagai persepsi yang membedakan diantaranya. AlQuran
surat AnNisa‟ ayat pertama menyebutkan : “Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang
sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki dan perempuan yang banyak.”
Pemahaman tentang kesamaan antara lakilaki dan perempuan dapat
dipertegas dalam surat Ali „Imron ayat 195 yang menyebutkan bahwa,
“Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain”. Maksudnya, bahwa
sebagaimana laki laki berasal dari laki laki dan perempuan, maka demikian
pula halnya perempuan berasal dari laki laki dan perempuan. Kedua duanya
sama sama manusia, tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang
penilaian iman dan amalnya. Dipertegas pula dalam ayat “Sesungguhnya Allah
tidak menyianyiakan amal orang orang yang beramal, baik lelaki maupun
perempuan”(QS. AliImron : 195). Melalui ayat tersebut di atas, AlQuran telah
mengikis pandangan masyarakat yang membedakan antara lelaki dan
AlQuran yang juga menerangkan bahwa baik lelaki maupun perempuan dapat
tergoda oleh bujuk rayu Iblis seperti yang telah tersebut pada kisah
kebersamaan antara Adam dan Hawa. Artinya, baik laki laki maupun
perempuan, sama sama mendapat kesempatan untuk menentukan nasib mereka
sendiri. Laki laki bertindak sebagai pemimpin ada pada hubungannya pada
isterinya, yang berarti ia bertanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi
pasangannya dan menghormati apa yang menjadi fitrahnya. Demikian terlihat
bahwa AlQuran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya dan
meluruskan pandangan yang salah terkait dengan posisi ataupun asal
kejadiannya.
2.2.2 Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Islam
Perempuan sesungguhnya memiliki kedudukan yang tinggi dalam
Islam dan sangat berpengaruh pada kehidupan setiap manusia. Diantara
kedudukan tertinggi tersebut adalah :
1. Perempuan Sebagai Hamba Allah
Seorang perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama
dengan laki-laki delam kedudukannya sebgai hamba Allah, yakni
sama-sama mempunyai kewajiban untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Dalam firmanNya dikatakan, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan untuk beribadah” (QS Adz Dzariat : 56). Hakikat hidup
manusia, termasuk di dalamnya adalah seorang perempuan adalah untuk
ritual-ritual khusus seperti salat, puasa, zakat, dan haji, namun juga ibadah yang
yang sifatnya mencakup seluruh aktivitas kebaikan hidup di seluruh aspek.
Hal tersebut dapat terlaksana melalui adanya keterikatan pribadinya sendiri
dengan peraturan-peraturan dari yang telah Allah tetapkan.
2. Perempuan Sebagai Istri
Kedudukan posisi seorang istri dan pengaruhnya terhadap
ketenangan jiwa seorang suami. Allah berfirman, "Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari
jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian." (QS.
Ar- Rum: 21).Laki-laki menjadikan seorang permpuan sebagia istrinya
dapat karena memang cintanya kepada perempuan tersebut, yang
selanjutnya cinta dan kasih sayangnya tersebut membuahkan putera dan
puteri yang salih. Seorang istri adalah sahabat bagi suaminya. Di dalamnya
melekat segala kewajiban yang harus dilaksanakan kepada suaminya.
Seorang istri harus mampu menjaga rahasia dan harta benda suaminya
sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan
Allah. Seorang istri seyogyanya harus mempunyai keahlian dan
ketrampilan, seperti memasak, penataan rumah, menata penampilan, dan
cerdas dalam ilmu pengetahuan masalah kesehatan dan pengaturan
3. Perempuan Sebagai Ibu
Dijelaskan dalam Al-Quran betapa pentingnya peran perempuan
sebagai ibu, istri, saudara perempuan, maupun sebagai anak yang berbakti.
Demikian juga dengan hak-hak dan kewajibannya. Peran permpuan
adakalanya sangat berat, bahkan bisa sampai semisal harus menanggung
beban-beban yang semestinya dipikul oleh laki-laki. Oleh karena itu,
menjadi suatu keharusan bagi kita untuk selalu berterimasih kepada ibu,
berbakti, dan bersikap baik padanya. Posisi ibu terhadap anak-anaknya
ebih didahulukan dari ayah. Disebutkan dalam firman Allah, "Dan Kami
perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.
" (QS. Luqman: 14).
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, siapa orang
yang paling berhak untuk aku untuk berlaku bajik kepadanya?" Nabi
menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya lagi, "Kemudian setelah dia siapa?
"Nabi menjawab," Ibumu. "Orang itu bertanya lagi," Kemudian setelah dia
siapa? "Nabi menjawab," Ibumu. "Orang itu bertanya lagi," Kemudian setelah
dia siapa? "Nabi menjawab," Ayahmu. " (HR. Bukhari-Muslim). Besarnya
bakti kepada ayahnya. “Al-ummu madrosatul uulaa”, ibu adalah madrasah
pertama. Peran tersebut adalah dalam kapasitasnya membangun keluarga dan
masyarakat yang shalih selama dia berada pada jalan Al-Quran dan sunnah
Nabi yang akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan segala
hal. Ibu adalah pembuka ilmu pertama bagi anaknya. Darinya, anak pertama
kali belajar, sehingga dia mempunyai pengaruh yang besar dalam tumbuh
kembang dan pola pikir anak-anaknya dalam membina generasi masa depan
yang baik. Perempuan adalah tiang negara.
2.2.3 Hak - hak Perempuan dalam Berbagai Bidang
Al-Quran yang menerangkan perempuan dalam berbagai ayatnya.
Keterangan tersebut meliputi berbagai sisi kehidupan, seperti tentang kisah
penokohan perempuan muslim, akhlak, keistimewaannya dalam agama, fiqh
keperempuanan, warisan, kewajibannya pada Allah, suami, dan sekitarnya,
sampai pada hak hak perempuan yang dapat ia perjuangkan. Secara umum surat
An Nisa ayat 32 menerangkan, “Untuk lelaki hak (bagian) dari apa yang
dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang
dianugerahkan kepadanya”. Ayat inilah yang menjadi simbol bahwa
dipersilahkan bagi perempuan mendapatkan hakhaknya di hadapan manusia lain.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan
1. Hak - hak Kemanusiaan
Diantara hak - hak kemanusiaan antara lain;
Hak hidup,
Hak mendapat kemuliaan,
Hak kesetaraan dengan laki laki, dan
Hak mengemukakan pendapat dan musyawarah.
Sejak awal, Islam telah memberikan hak kepada perempuan untuk
berpendapat dan disertakan dalam musyawarah. Hak itu sebelumnya
dibelenggu di era jahiliyah.
2. Hak - hak Ekonomi
Hak - hak ekonomi perempuan meliputi hak kepemilikan dan
pengelolaan. Islam memberikan kebebasan terhadap perempuan dalam hal
pengelolaan dan urusannya dalam harta, perdagangan, akad jual beli,
persewaan, perserikatan, dan sebagainya. Perempuan juga diperbolehkan
untuk menetapkan mahar yang akan diterima dari calon suaminya.
3. Hak – hak Sosial
Diantara hak - hak tersebut antara lain:
a. Mendapatkan perlakuan baik
Perempuan dalam suatu lingkaran tertentu berhak mendapatkan
perlakuan baik dari manusia lain, baik posisinya dia sebagai saudari, anak,
b. Memilih suami
Dalam menerima pinangan seorang laki laki, maka perempuan
memiliki hak untuk menerima dan menolak khitbah tersebut.
c. Mendapatkan nafkah
Merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi para suami dan
seorang ayah untuk menafkahi keluarganya, bagi istrinya, bagi anak
lakilaki dan perempuannya. Nafkah tersebut harus bersumber dari segala
pekerjaan dan usaha yang halal.
d. Mendapatkan warisan
Secara garis besar, teori hukum warisan untuk perempuan separuh
dari lelaki bukan merupakan suatu bentuk diskriminasi Islam terhadap
perempuan, sudah sangat adil jika dalam konteks arab pra Islam yang
mana perempuan sama sekali tidak mendapatkan warisan, bahkan
perempuan menjadi barang yang diwariskan kepada anaknya. hukum
warisan adalah salah satu hukum yang diturunkan secara detail langsung
dari Allah. Jika perintah shalat, zakat, puasa dan naik haji hanya dijelaskan
secara global, peraturan pembagian warisan telah terperinci langsung dari
sumbernya. Memang, dalam AlQur‟an terdapat ayat yang menerangkan
bahwa hak perempuan adalah separuh dari hak lelaki, “Allah mewasiatkan
kepadamu tentang anak anakmu, yang lelaki hendaklah mendapatkan dua
kali dari hak perempuan” (QS. AnNisa : 11), namun itu bukanlah sebuah
warisan. Konsep ini hanya berlaku ketika ada ahli waris lelaki dan
perempuan yang memiliki derajat (generasi) yang sama, seperti anak
pewaris lelaki dan perempuan, atau saudara kandung pewaris yang lelaki
dan perempuan.
Perbedaan hak pembagian warisan dalam Islam tidak berpatok
pada perbedaan jenis kelamin. Perbedaan itu dipengaruhi oleh tiga hal;
Pertama, derajat kedekatan antara ahli waris dan pewaris. Semakin dekat
ahli waris dengan pewaris, maka semakin besar hak yang ia dapatkan.
Kedua, perbedaan generasi antara para ahli waris. Generasi yang muda
yang memiliki kemungkinan hidup lebih besar biasanya akan mendapatkan
hak lebih dari generasi yang telah hidup lebih dulu. Hal ini dikarenakan
generasi yang lebih muda akan lebih membutuhkan sokongan keuangan
dari pada generasi yang lama, karena ia dibebani untuk membiayai
generasi setelahnya yang belum mampu untuk mandiri. Contoh, seorang
anak perempuan akan mendapatkan hak lebih besar (1/2) dibanding suami
dari pewaris (1/4). Ketiga, perbedaan beban kehidupan antara para ahli
waris. Inilah satu hal yang membedakan antara lelaki dan perempuan.
Dalam Islam, seorang lelaki diwajibkan untuk menafkahi istri dan
keturunannya, sedangkan perempuan tidak dibebankan dengan hal itu.
e. Mendapatkan mahar
Mahar merupakan harta yang diberikan pihak calon suami kepada
suami boleh memberikan mahar berapapun asal pihak calon istri setuju.
Mahar ini menjadi hak calon istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai
mahar ini pun sangat dapat ditentukan oleh kehendak calon istri. Mahar
dapat berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung kesesuaian pihak
calon istri.
f. Meminta cerai
Hak untuk istri meminta cerai dibenarkan jika ada alasan yang
diizinkan syariat. Perceraian adalah hal halal yang paling dibenci oleh
Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja. Bila mempertahankan
pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar.
g. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
Berbicara tentang kewajiban belajar atau menuntut ilmu bagi laki
laki dan perempuan, telah banyak ayat AlQuran yang membeberkan
tentang hal tersebut. Salah satunya adalah wahyu pertama AlQuran surat
Al‟Alaq ayat 1 sampai 5 yang berisi perintah untuk membaca atau belajar.
“Bacalah demi nama Tuhanmu yang telah menciptakan ...”. Dalam surat
AlBaqarah ayat 31-34 diterangkan pula bahwa keistimewaan manusialah
yang menjadikan para malaikat diperintahkan oleh Allah sujud kepadanya
karena manusia memiliki pengetahuan.
Baik laki laki maupun perempuan diperintahkan untuk mencari
ilmu sebanyak mungkin demi kemaslahatan hidupnya. “Menuntut ilmu
Pendidikanlah yang berperan sebagai katalis untuk perubahan.
"Katakanlah: Apakah sama orang orang yang mengetahui dengan orang
orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang yang
mempergunakan akal sehat yang dapat menerima pelajaran "(QS.
AzZumar : 9).
Allah SWT berfirman dalam ayat yang lain, "Sesungguhnya Aku
tidak menyia nyiakan amal orang orang yang beramal di antara kamu,
baik lelaki maupun perempuan ..." (QS Al Imron: 195). Hal ini berarti
bahwa kaum perempuan mampu untuk berpikir, mempelajari, untuk
kemudian mengamalkan apa yang mereka dapatkan dalam proses
pembelajaran dan dari apa yang mereka peroleh dari alam raya ini.
Pengetahuan lam raya meliputi berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat
tersebut perempuan bebas untuk belajar bapa saja sesuai dengan minat dan
kecenderungan mereka.
h. Beraktifitas
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan
perempuan aktif dalam beraktivitas. Perempuan dapat bekerja di berbagai
bidang, baik secara mandiri atau relasi, di dalam atau di luar rumah, milik
pemerintah atau sasta, asalkan masih dalam koridor yang sopan, terhormat,
tidak menimbulkan fitnah, dan dapat memelihara agamanya. Perempuan
perempuan zaman Nabi pun ada yang sampai terlibat langsung dengan
AlGhaffariyah, dan Ummu Sinam AlAslamiyah. Mereka bahu membahu
dengan kaum pria dalam bekerja sama. Istri Nabi Muhammad SAW yang
pertama, Khadijah binti Khuwailid sendiri tercatat sebagai saudagar atau
pedagang yang sangat sukses. Perempuan dapat melakukan pekerjaan
apapun selama dia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya,
seperti bidan yang dapat membantu proses kelahiran bayi, asalkan sesuai
dengan norma agama dan asusila. Melalui pengetahuan dan
ketrampilannya, perempuan juga berhak menempati jabatan tertentu dalam
pekerjaannya.
4. Hak – hak Konstitusi
a. Bidang Politik
“Dan orangorang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”(At Taubah: 71). Ayat tersebut merupakan ayat yang
seringkali dikaitkan dengan hak – hak politik kaum perempuan sebagai
gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antar lelaki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilikiskan dengan
kalimat peintah menyuruh untuk mengerjakan perkara ma‟ruf dan
Kata auliya‟ dalam pengertiannya mencakup makna kerja sama
dalam bantuan dan penguasaan. Pengertian dari menyuruh untuk
mengerjakan yang ma‟ruf mencakup seluruh sendi kebaikan, termasuk
nasihat atau kritik terhadap penguasa. Berdasar hal tersebut, diharapkan
perempuan dapat mengikuti perkembangan masyarakat sekitar agar
mampu melihat dan berbagi kebaikan dan nasehat dalam berbagai segi
kehidupan. Keikutsertaan perempuan dan laki laki dalam konten di atas
jelas tidak dapat disangkal.
Selain dalam urusan nasehat, perempuan juga berhak
mengeluarkan pendapat melalui musyawarah. “Sedang urusan mereka
diputuskan dengan musyawarah antar mereka”(Assyuuraa: 38). Ayat ini
menjadi dasar bahwa perempuan memiliki hak untuk berpolitik bagi laki
laki dan perempuan. Musyawarah sendiri merupakan salah satu prinsip
pengelolaan bidang bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan
berpolitik, dalam arti setiap warga masyarakat diharapkan untuk
memutuskan segala sesuatu dengan jalan musyawarah untuk kepentingan
bersama atau golongan.
Kesetaraan hak tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak melarang
keterlibatan perempuan dalam bermasyarakat. Tidak dipungkuri bahwa
AlQuran dalam ayat 34 surat AnNisa‟ memang menyebutkan “Lelaki
lelaki adalah pemimpin perempuan perempuan”. Sebagian orang
menjadikan dasar tersebut sebagai larangan bagi perempuan untuk
terhadap seluruh keluarganya dalam bidang rumah tangga. Kepemimpinan
itupun tidak lantas mencabut hak – hak perempuan (istri) dalam berbagai
segi, seperti dalam harta kepemilikan pribadi meski tanpa ada persetujuan
suami.
Yang dimaksud dengan hak – hak politik adalah yang ditetapkan
dan diakui oleh undang undang berdasarkan keanggotaan sebagai warga
negara. Biasanya ada korelasi antara hak hukum dan politik dengan
masalah kewarganegaraan. Artinya hak politik itu hanya dimiliki oleh
orang yang berada di wilayah hukum negara tertentu dan tidak berlaku
untuk orang asing
b. Bidang hukum
Islam memberikan perempuan hak sebagai saksi dalam proses
penyelesaian suatu masalah hukum. Perbedaan yang ada antara lakilaki
dan perempuan akibat fungsi dan tugastugas utama yang dibebankan oleh
Allah kepada masing masing jenis kelamin, tetapi perbedaan tersebut tidak
menjadikan yang satu mempunyai kelebihan atas yang lain. “Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki
ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi
perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan)
dan bermohonlah kepada Allah dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah
2.3 Varian Pemikiran Islam tentang Perempuan
2.3.1 Perempuan dalam pemikiran Islam Fundamentalis
Istilah „fundamentalisme agama‟ sebenarnya bukanlah hal baru
dalam perbincangan tentang Islam, gender, dan hak hak perempuan. Namun,
terminologi ini sejatinya bukanlah khas terkait dengan Islam. Istilah
fundamentalisme pada mulanya muncul dalam kaitan dengan Protestanisme
Amerika awal abad kedua puluh. Istilah itu dimaksudkan untuk menunjuk suatu
gerakan keagamaan di AS yang, antara lain, menolak kritik terhadap Bibel,
gagasan evolusi, otoritas dan moralitas patriarkis yang ketat, dan seterusnya.
Ahmad Gaus AF. mendefinisikan ”fundamentalisme” sebagai suatu pola
pikir yang menempatkan teks agama sebagai rujukan utama yang bersifat
absolut dan final. Tidak hanya itu, perujukan tersebut juga dilakukan secara
harfiah, dan menerapkan pemahaman harfiah itu dalam realitas kekinian secara
apa adanya tanpa mempertimbangkan dinamika dan perubahan. Dalam Concise
Oxford Dictionary of Current English, fundamentalisme diartikan sebagai upaya
kembali kepada ajaran orisinal guna mempertahankan kebenaran absolut (strict
maintenance of ancient or fundamental doctrines of any religion).
Kesimpulannya, fundamendalisme adalah upaya untuk “kembali” dan
“mempertahankan” akar keagamaan.
Ciri ciri fundamentalisme pada umumnya adalah rigid dan literalis. Dua
ciri ini berimplikasi pada sikap yang tidak toleran, radikal, militan, dan berpikir
tujuan dengan cara kekerasan. Sebagai sebuah fenomena, fundamentalisme
keagamaan muncul di Indonesia dengan bentuk yang beragam. Dalam konteks
dimana muslim adalah mayoritas penduduk, maka kesan yang nampak tentang
fundamentalisme di Indonesia, tentulah yang terkait dengan Islam. Gerakan
fundamentalisme Islam sendiri dapat dimaknai sebagai gerakan keagamaan
(Islam) yang mempunyai agenda yang menjadikan Islam sebagai entitas politik,
Islam sebagai sistem politik yang berujung pada pembentukan aldaulah
alIslamiyyah. Gerakan ini menerapkan gaya generasi salafusshaleh, yang
muncul sekitar 400 tahun setelah Rasul wafat, untuk meniru segala aspek
kehidupan untuk kiranya mengopi peradaban yang lalu.
Fundamentalisme keagamaan sebenarnya merupakan potret kekuasaan
patriarki yang beroperasi dengan menggunakan doktrin doktrin agama. Di antara
doktrin yang mereka bangun adalah kepemimpinan lakilaki, ketaatan mutlak
seorang istri pada suami, kebolehan laki laki berpoligami. Bagi mereka yang tak
sepaham, mereka seringkali melakukan klaim „sesat‟ pada orang lain, bahkan
melakukan caracara kekerasan seperti sweeping, penyegelan rumah ibadah, dan
sebagainya.
Kontrol atas tubuh perempuan juga merupakan contoh nyata dalam praktik
fundamentalisme. Doktrin kembali pada ajaran Islam yang benar (back to
Sharia) maupun implementasi menuju Islam yang kaffah seringkali ditandai
tentang aturan berbusana bagi perempuan, dengan mewajibkan pemakaian cadar
bagi perempuan. Di Iran, perempuan yang tidak mengenakan cadar dengan
dihadapkan pada pilihan ‟mengenakan cadar‟ atau ‟mati‟, di Sudan aturan
tentang cadar diberlakukan setelah jatuhnya Presiden Numeiri oleh mereka yang
mengangkat dirinya sebagai ‟penjaga moral‟, dan oleh mereka perempuan
perempuan karir dipersoalkan statusnya karena keberadaan mereka di muka
umum maupun hubungan kerja dengan laki laki di perusahaan mereka.
Sementara di Tepi Barat dan Jalur Gaza, kaum Hamas memaksa perempuan
untuk bercadar dan mengidentifikasi perempuan yang menolak berkerudung
sebagai sekutu Israel. Di Indonesia, fenomena serupa nampak dengan hadirnya
berbagai peraturan daerah dan kebijakan diskriminatif atas dasar agama (yang
dikenal dengan Perda Syariah) yang kebanyakan isinya mengatur tata cara
perempuan berpakaian, larangan keluar malam, segregasi di ruang publik,
maupun larangan pelacuran yang rumusannya sangat mendiskreditkan
perempuan. Seringkali, kita lupa bahwa undang undang (UU) kita pun diwarnai
oleh pemahaman keagamaan yang bercorak literal. Salah satu contoh pada UU
Perkawinan No 1 tahun 1974 yang dalam salah satu pasalnya menyebut soal laki
laki sebagai pemimpin keluarga. Selama ini, masyarakat sering merujuk pada
penggalan teks QS. An Nisa‟ ayat 34: “Ar rijaalu qawwamuuna ala alnisaa”
yang dijadikan dasar untuk mengukuhkan laki laki sebagai kepala keluarga.
Ternyata teks ini tak hanya dijumpai di kalangan muslim tetapi juga di kalangan
Nasrani dengan menggunakan teks Alkitab (Bible) yang punya doktrin serupa.
“Wives, submit to your husbands as to the Lord. For the husband is the head of
the wife as Christ is the head of the church, his body, of which he is the Savior.