• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Kajian Pustaka

2.1.12 Perempuan dalam Iklan

Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan banyak digunakan dalam iklan. Keterlibatan tersebut didasari dua faktor utama, yaitu ; pertama bahwa perempuan adalah pasar yang sangat besar dalam industri. Faktanya lebih banyak produk industri diciptakan bagi manusia berjenis kelamin ini. Faktor kedua adalah bahwa perempuan

luas dipercaya mampu menguatkan pesan iklan. Perempuan merupakan elemen agar iklan mempunyai unsur menjual. Karena mampu sebagai unsur menjual sehingga menghasilkan keuntungan, maka penggunaan perempuan dalam iklan tampaknya merupakan sesuatu yang sejalan dengan ideology kapitalisme. (Rendra,2007:42).

Penggunaan perempuan dalam iklan setidaknya akan menambah daya tarik khalayak untuk menikmati pesan iklan. Perempuan adalah bumbu sebuah iklan. Menurut penelitian, ternyata perempuan lebih senang melihat (wajah) perempuan cantik dibanding (wajah) laki-laki sekalipun berwajah gagah. Oleh karena itu, dapat kita maklumi bila majalah perempuan ternyata lebih sering menampilkan model perempuan pada halaman sampulnya dibanding model laki-laki. Apalagi majalah laki-laki, hampir dipastikan selalu menampilkan perempuan. Tampaknya fakta-fakta tersebut menguatkan kesimpulan bahwa iklan dipercaya akan mampu mendapatkan pengaruh bila menggunakan perempuan sebagai salah satu ilustrasi atau modelnya, bahkan sekalipun produk tersebut bukan dimaksudkan untuk digunakan oleh perempuan. (Rendra,2002:42)

Tidak saja pada iklan media cetak, tetapi juga semua media iklan yang ada ; mulai dari media audiovisual yaitu televisi, film, media audio yaitu radio, media interaktif internet, sampai pada media luar ruang, misalnya poster, baliho, dan sebagainya. Sebagaimana dituliskan Hervert Rittlinger dalam buku Rendra, secara fisik wanita dalam seluruh bagian tubuhnya, mulai dari bagian rambut, wajah, leher

hingga ujung kaki mempunyai keindahan tersendiri sehingga menumbuhkan daya tarik luar biasa. (Rendra,2007 : 43-45)

Adanya pencitraan negatif (stigma) perempuan yang terepresentasi dalam iklan secara operasional yang paling menyolok, terutama yang berbasis pada akumulasi patologi ideology gender dan sistem kapitalisme di masyarakat, adalah terkait dengan tiga hal pokok. Pertama, adalah persoalan eksploitasi stereotip daya tarik seksualitas perempuan. Kedua, terkait dengan eksploitasi stereotip seksualitas perempuan tersebut, maka sebagai konsekuensinya adalah memunculkan adanya stereotip turunan yang terkait dengannya, yakni eksploitasi stereotip segenap organ tubuh yang sangat berlebiihan. Ketiga, yang tidak kalah menonjolnya adalah eksploitasi stereotip domestikisasi atau pengiburumahtanggaan perempuan.(Kasiyan,2008 : 237)

2.1.13 Pornografi

Pornografi berasal dari bahasa Yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukkan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Dalam konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk penggambara tingkah laku secra erotis dengan lukisan untuk

membangkitkan nafsu birahi atau bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.(Lutfan,2006 :11)

Tepat kiranya apa yang dikemukakan oleh Johan Suban dalam buku Lutfan. Menurutnya, pornografi dapat dipahami sebagai suatu penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, video kaset, pertunjukkan dan kata-kata ucapan dengan maksud untuk merangsang nafsu birahi.(2006:13)

Pornografi selalu berkaitan dengan persoalan seksual, lebih dari itu, disebut pornografi jika tampilan tersebut bertujuan untuk merangsang nafsu birahi. Lesmana memberikan beberapa kriteria untuk dapat memasukkan suatu gambar, tulisan, gerakan, atau apapun dalam kategori pornografi atau tidak, yaitu,(Lutfan,2006 :39) :

1. Terdapat unsur kesengajaan untuk membangkitkan nafsu birahi orang lain.

2. Bertujuan atau mengandung maksud untuk merangsang nafsu birahi (artinya, sejak semula memang sudah ada rencana/maksud di benak pembuat atau pelaku untuk merangsang nafsu birahi khalayak atau setidaknya dia mestinya tahu kalau hasilnya dapat menimbulkan rangsangan di pihak lain).

3. Produk tersebut tidak mempunyai nilai lain kecuali sebagai sexual

4. Berdasarkan standar kontemporer masyarakat setempat, termasuk sesuatu yang tidak pantas diperlihatkan atau diperagakan secara umum.

Dari berbagai kenyataan empiris dan melalui pertimbangan yang matang, serta merujuk pada rumusan-rumusan pengertian yang sudah ada sebelumnya.

Menurut Lutfan Muntaqo, pornografi dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Pornografi adalah pengungkapan permasalahan seksual yang erotis dan sensual melalui suatu media yang bertujuan atau dapat mengakibatkan bangkitnya nafsu birahi atau timbulnya rasa muak, malu, jijik bgi orang yang melihat, mendengar atau menyentuhnya, yang bertentangan dengan agama dan atau adat istiadat setempat.” (2006:40-41).

Kebutuhan tubuh akan seks mempunyai keunikan dan sekaligus persoalan tersendiri, ia dihujat tetapi juga dibutuhkan, ia ingin mengekspresikan (norma/adat), keyakinan (agama) dan seterusnya yang selama ini terbentuk dan menjadi acuan teologis-normatif bagi setiap komunitas. (Lutfan,2006 : 159)

Teks pornografi mendefinisikan hasrat-hasrat erotik dengan mengasingkannya dari konteks makna alamiahnya, selain terluput juga dari analisis estetika. Sebagai teks, pornografi biasanya memanfaatkan dan mereduksi tubuh perempuan sebagai tanda. Menurut Thelma McCormack dalam buku Kasiyan bahwa ada beberapa ciri menonjol dari teks pornografi, diantaranya adalah pertama, pornografi melakukan pelanggaran atas kaidah-kaidah sosial baku, karena ia menampilkan bentuk-bentuk perilaku seksual yang tak diterima bagi masyarakatnya. Kedua, pelanggaran atas

kaidah-kaidah sosial baku di dalam pornografi ditampilkan seolah-olah ia merupakan bagian alamiah dari kehidupan sehari-hari, seakan-akan ia memang diperbolehkan dan dipraktikkan secara luas oleh masyarakat.(2008:258-259).

Dalam hal erotisme pornografi, kebutuhan dapat berarti mendua. Pertama, objek pornografi (pemilik tubuh dalam gambar porno) atau pencipta pornografi, umumnya memperoleh bayaran yang cukup besar atas pemuatan gambar porno miliknya yang dimuat di suatu media massa. Artinya, objek pornografi menghasilkan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi. Kedua, erotisme-pornografi dibutuhkan masyarakat, karena itu masyarakat memiliki andil yang besar terhadap munculnya erotisme di media massa. Alasan kedua ini merupakan persoalan substansi yang menjadikan erotisme media massa sebagai benang kusut yang sulit ditanggulangi dari masa ke masa. Substansi ini pula yang menyebabkan kontrol sosial masyarakat terhadap pemberitaan erotisme di media massa menjadi sangat longgar, sementara pemerintah (penguasa) sendiri tidak mampu berbuat lebih banyak karena kesulitan piranti hukum. Inilah persoalannya, sehingga erotisme media massa menjadi sisi gelap media massa dan eksploitasi perempuan terbesar oleh media massa sepanjang masa. (Burhan,2005:109)

Dokumen terkait