• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seorang Baudillard memandang bahwa komoditi bukanlah tentang nilai tukar (penanda palsu), yang berseberangan dengan nilai guna (petanda) yang benar, akan tetapi teralienasi. Nilai guna (petanda) dan kebutuhan (referensi) saling silang dan melebur satu sama lain. Kombinasi antara nilai guna plus kebutuhan dan petanda dan referensi (Piliang, 2003:106).

Banyak yang berpendapat bahwa citra perempuan dalam dunia

fashion, iklan, media populer dan majalah gosip ikut mempengaruhi para wanita dan perempuan dalam meyakini sejumlah mitos tentang tubuh yang ideal, tubuh yang didamba, tubuh yang sempurna tetapi tetap cantik dan alami, dan bagaimana perilaku para model dalam dunia fashion dan bintang yang menghiasi sampul majalah gadis dan wanita. Kontruksi aura dan citra tubuh dalam teks-teks budaya populer ikut mengubah dan membentuk cita rasa budaya anak muda tentang tubuh yang ideal secara budaya populer. Dengan cara demikian pula, kita bisa memahami bahwa teks budaya populer tentang tubuh dan citra diri hampir tak bisa dilepaskan bila kita berbicara tentang penampilan perempuan dan laki-laki yang diidealkan di pentas budaya populer yang terkomersialkan.

“Wanita-wanita itu sendiri memang sensual karena mereka memiliki kecantikan yang istimewa. Mereka memperlihatkan kecantikan mereka sehingga tubuh mereka yang indah dapat diperhatikan dan dihargai.” (Helen Gurley Brown, 1997).

“Tubuh muncul sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk menjual komoditi dan jasa sekaligus sebagai suatu objek yang dengan sendirinya dikonsumsi. Agar bisa digunakan sebagai objek untuk menjual berbagai hal, tubuh harus ‘direka ulang’ oleh ‘pemiliknya’ dan dilihat secara marsistik ketimbang secara fungsional” (Jean Baudrillard, 1998).

Keberadaan media iklan, baik media massa ataupun media elektronik (televisi, internet) merupakan element yang penting bagi sarana promosi komoditi suatu produk dari industri. Dalam perjalanannya, ternyata keberadaan media yang lebih banyak dikemudikan oleh “mesin kapitalis” telah memberikan andil yang sangat besar terhadap proses dehumanisasi dan penindasan terhadap kaum perempuan. Memang tidak dinafikkan juga bahwa eksistensi media, disisi yang lain juga telah memblow up dan memberikan kontribusi bagi dekonstruksi wacana perempuan selama ini. Atau dengan kata lain, adanya media memberikan wacana kepada publik, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran yang cukup tajam akan peran perempuan. Yakni dari ranah domestik ke ranah publik. Ini berarti bahwa keberadaan perempuan dalam dunia publik sudah harus menjadi sesuatu yang diperhitungkan. Dalam perkembangannya, keberadaan perempuan dalam dunia publik, dalam konteks ini adalah media iklan (massa, elektronik).

Relevansinya dengan proses humanisasi dalam kerangka menuju pemberdayaan perempuan di era kapitalis ini, maka keberadaan akan cara pandang yang sensitive gender menjadi sebuah keniscayaan. Sayangnya,

kesadaran seperti ini belum dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Tidak sedikit warga masyarakat yang bersikap menerima apa adanya, bahkan sebagian tanpa sadar justru ikut beranggapan seolah paradigma pembangunan yang diterapkan misalnya sudah benar dan karena itu harus didukung. Hal yang sama berlaku atas nilai-nilai yang dianut masyarakat tentang keberadaan kaum perempuan. Karena itu muncul pemikiran bahwa kepekaan setiap lapisan masayarakat agar dapat menangkap fenomena sosial yang tengah berkembang melalui perspektif gender perlu untuk ditumbuhkan. Dengan kata lain, ada upaya untuk mendesak berbagai komponen dalam masyarakat untuk menggunakan perspektif gender dalam melihat masalah sosial. Langkah ini sekaligus dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya demokratisasi kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik serta terbebas dari struktur yang hegemonik (Fakih, 1996;79)

Adanya pemahaman atas perspektif gender diharapkan tidak saja mengubah cara pandang warga masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum perempuan termasuk perlakuan negatif yang dihadapi oleh kaum perempuan khususnya dan kelompok yang mengalamai marginalisasi umumnya. Lebih dari itu, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman dan cara pandang baru terhadap dinamika kehidupan yang ada. Perbedaan gender masih dianggap layk dipertanyakan karena secara umum masih banyak masalah yang menyangkut persoalan gender. Komoditas sangat erat hubungannya dengan kekuasaan yang tidak mungkin dipisahkan dengan

relasi antar gender, terutama bila kesetaraan adalah tujuannya sehingga pembebasan perempuan harus mempertimbangkan faktor kekuasaan (Evans, 1995). Dalam relasi kekuasaan antar gender, kekuasaaan menjelaskan kenestapaan perempuan sebagai korban asli supremasi kemahakuasaan laki-laki, tanpa harapan, dan tanpa pertolongan dalam hukum-hukum kekuasaan yang semestinya. Kekuasaan dikaitkan dengan dominasi, pengekangan, kontrol bahkan kekerasan (Clare, 1987 dalam Fakih, 1996;81).

Sejarah media menggambarkan dan merepresentasikan perempuan sejajar dengan sejarah penggambaran orang kulit berwarna. Perempuan dan kulit berwarna sering dimarjinalkan dalam semua bentuk media. Citra-citra stereotipe tentang perempuan yang menyolok mendominasi tahun-tahun awal media massa. Saat khalayak media dan industri media merasakan pengaruh gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, citra stereotipe ini meretas jalan ke arah keanekaragaman yang lebih luas dan peran bagi perempuan.

Citra media tentang perempuan dan laki-laki merefleksikan dan mereproduksi seluruh rangkaian stereotipe di samping perubahan peran gender. Citra media bisa “mengajarkan” banyak hal. Berbagai media menyajikan model yang kuat dan ideal. Media dianggap sebagai agen sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media mengungkapkan kepada kita tentang peran perempuan dan laki-laki dari sudut pandang tertentu. Media menentukan dan mengukuhkan ideologi, “sistem kepercayaan”, atau “pandangan dunia” tertentu. Media juga

menanamkan kesadaran dan mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos tertentu tentang gender, perempuan, dan laki-laki.

Berbagai mitos yang mendistorsi lewat penggambaran dan citra perempuan yang selama ini hidup dalam teks-teks budaya pop sudah lama memperoleh perhatian pengkaji gerakan wanita, terutama kaum feminis. Kaum feminis telah mengevaluasi kaum perempuan dan memperhatikan perlunya sesuatu yang sebelumnya dianggap tak berharga. Mereka mencoba mengerti bagaimana kaum perempuan membaca dan memahami berbagai teks budaya pop, juga mencari titik-titik perlawanan kaum perempuan terhadap makna-makna yang dominan (Rakow, 1991 dalam Ibrahim, 2007;58).

Peningkatan akses perempuan pada media dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counter balance) seleksi informasi oleh laki-laki yang diyakini pada kondisi terbaik, bukan untuk melayani kepentingan perempuan tetapi juga menghasilkan output media yang berbeda. Kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada perpekstif dan tafsir baru. Namun, akses perempuan dan partisipasi aktif perempuan dalam produksi pesan media dalam perkembangannya dianggap bukanlah satu-satunya cara untuk memperbaiki “nasib” perempuan dalam media dan ruang publik. Munculnya studi yang memandang “khalayak aktif” dalam menafsirkan pesan media, dianggap sebagai jalan untuk melakukan

perlawanan atas mitos atau makna-makna dominan yang disebarkan lewat produk dan pesan media.

Dokumen terkait