• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gejala semiotik pada fashion secara lugas dibahas oleh Dick Hebdige di dalam Subculture: The Meaning of Style, memuat satu kajian semiotik, tentang fenomena fashion pada subcultur. la mengemukakan bahwa fashion yang dikembangkan oleh subkultur (hippies, Teddy Boys,

punk, dan sebagainya) merupakan satu bentuk penggunaan tanda-tanda secara subversif dan ironik, yaitu melalui pencurian citraan yang sudah mapan. Sebagai tanda, fashion pada subkultur mempunyai dua fungsi semiotik, yaitu sebagai upaya diferensi atau membangun identitas diri, dan sebagai satu bentuk daur ulang citra-citra. Fashion subkultur, menurut Hebdiger, merupakan satu upaya menentang alam, dan mengganggu sesuatu yang normal.

Roland Barthes adalah salah seorang pelopor fashion, melalui sebuah buku fashion system tahun 1983 dalam bahasa Prancis. Dalam buku tersebut Barthes mengkategorikan fashion dari segi busana, yaitu : 1) Image clothing adalah busana yang ditampilkan sebagai fotografi atau gambar. 2)

Written clothing adalah busana yang dideskripsikan ke dalam bahasa. 3)

Real clothing adalah busana aktual yang dapat dikenakan pada tubuh manusia. Merujuk kepada teori fashion system dari Roland Barthes (1990),

fashion adalah sebuah sistem tanda (signs). Di mana cara berpakaian tidak dilihat sebagai cara untuk menutup tubuh dengan pakaian guna menghindari udara dingin atau dari terik matahari. Cara kita berpakaian adalah sebuah tanda untuk menunjukkan siapa diri kita, nilai budaya apa yang kita anut. Maka cara berpakaian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang lumrah (Barthes, 1990;14).

Fashion dapat dikatakan sebagai suatu wacana sosial, dimana status sosial seseorang dapat kita lihat hanya dengan memaknai barang-barang yang melekat ditubuhnya. Barthes tidak berurusan di sini dengan fashion

nyata, tapi dengan mode seperti yang dijelaskan dalam majalah. Garmen ini benar-benar dikonversi ke dalam bahasa, sehingga perkembangannya sangat cepat dan tidak terkontrol lagi. Bahkan gambar hanya digunakan untuk dapat dialihkan ke kata-kata. Maka fashion merupakan objek. Melalui pendekatan semiotik ini, ada harapan untuk lebih dapat memahami bagaimana busana menjadi pengaruh sosial, baik sebagai image clothing, written clothing, ataupun real clothing, dapat berfungsi sebagai tanda-tanda di dalam proses produksi dan konstruksi makna, dan bagaimana makna-makna dapat diproduksi didalamnya.

Pelajaran Barthes yang dengan demikian melampaui semiologi yang sebenarnya, adalah fashion yang hanya ada melalui teknologi aparat, dan

sistem komunikasi yang membangun maknanya. Konteks pasca-modern membuat jelas bahwa seluruh rangkaian wacana sosial dari film musik, media baru dan iklan, adalah tempat di mana fashion ada sebagai suatu sistem, sinkretis intertekstual, sebagai referensi retikuler antara tanda-tanda tubuh berpakaian dan sebagai konstruksi konstan dan dekonstruksi dari mata pelajaran yang bernegosiasi, menafsirkan atau menerima maknanya.

Konsep fashion sendiri, menurut Baudrillard tidak dapat dipisahkan dari konsep daur ulang. Sistem fashion pada kenyataannya tidak mengikuti hukum kemajuan. Sebagaimana yang dikemukakannya dalam Mass Media Culture, istilah daur ulang menerangkan tentang siklus fashion. Setiap orang merasa perlu memperbarui diri mereka setiap tahun, setiap bulan atau setiap musim lewat pakaian, barang barang dan mobil mereka. Bila mereka tidak melakukan ini, mereka merasa tidak dapat menjadi anggota sejati masyarakat konsumer. Akan tetapi, dalam hal ini fashion tidak bisa diartikan sebagai kemajuan, karena ia bersifat berulang-ulang dan fashion

mendaur ulang tanda-tanda dan simbol-simbol tanpa ada akhirnya. Di dalam masyarakat konsumer, model semiotik fashion ini merupakan paradigma dalam produksi tanda-tanda, dan produksi komoditi sebagai tanda. Estetika posmodernisme adalah estetika yang dibangun mengikuti paradigma fashion

ini. Prinsip semiotika posmodernisme adalah bahwa semua pertandaan dapat didaur ulang.

Bagaimana fashion system mengkonstruksikan nilai-nilai budaya juga dapat kita lihat dalam fenomena Harajuku. Nama Harajuku sendiri

diambil dari nama wilayah yang terletak di Distrik Shibuya, Tokyo yang menjadi pusat berekspresi kaum urban Jepang. Fenomena Harajuku di Indonesia misalnya dapat kita lihat dari maraknya festival ‘jepang-jepangan’ di berbagai kesempatan.

Cultural studies melihat fenomena harajuku atau cosplay macam ini sebagaimana budaya Punk, pada dasarnya terkonstruksikan terutama oleh

fashion system. Mereka mengidentifikasikan budaya yang mereka anut melalui bagaimana cara mereka berpakaian. Dilihat dari perspektif semiotika, jika kita memaknai fashion anak Punk dan Harajuku secara denotatif mungkin akan muncul makna yang simplisistik. Punk itu kotor,

jorok, tidak rapih, pemberontak. Harajuku itu aneh, norak, kenakan-kanakan.

Sebuah contoh sederhana, misalnya kerah kemeja. Apabila dikenakan terbuka dan tanpa dasi, kerah kemeja merupakan sebuah penanda yang mengacu kepada ”informalitas” atau “ke-kasual-an” sebagai makna atau petandanya. Kerah kemeja yang yang sama, apabila dikancing rapat dan berdasi, dapat dianalisis sebagai sebuah penanda. Kerah kemeja jika digunakan oleh seseorang kini akan mempresentasikan “formalitas”, misalnya, sebagai makna dan petandanya (Barnard, 1996;79).

Dengan bertumpu pada teori Barthes, maka dapat terlihat bahwa semiotik memberikan tempat yang sentral pada tanda. Sebagai ilmu yang mengkaji tanda, semiotik juga melihat tanda sebagai gejala budaya. Menurut Danesi dan Perron semiotik melihat kebudayaan sebagai suatu

“sistem pemaknaan”. Bahkan Eco mengatakan bahwa makna tanda adalah hasil suatu konvensi, suatu prinsip dalam kehidupan berkebudayaan. Dengan kata lain, pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Dalam hal ini, teks dilihat sebagai tanda. Dengan demikian, apabila tanda mengalami proses pemaknaan, maka manusia dan lingkungan kulturalnya tidak secara khusus ditonjolkan dalam analisis semiotik.

Disamping pendekatan semiotik Barthes, juga mengemukakan pandangannya mengenai bahasa dan fenomena budaya. Bedanya, dalam pendekatan semiotik sosial, bahasa tidak lagi dilihat sebagai suatu identitas yang secara atomistis dirujuk sebagai hubungan antara yang ditandai dan yang menandai. Akan tetapi, pendekatan ini lebih melihat bahasa sebagai suatu realitas, realitas sosial, dan sekaligus sebagai realitas semiotik termasuk dalam semiotik busana atau semiotik fashion.

E.8.Representasi Perempuan dalam Media

Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika orang-orang yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi

kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengembangkan studi tanda dalam semiotika maka lengkaplah studi budaya untuk membaca baik bahasa logis atau pun bahasa tanda dalam semiotika. Semiotika sendiri oleh Saussure dipapar sebagai studi atau kajian mengenai sistem tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja di masyarakat. Studi tentang tanda semiotika ini melaju pesat di tangan Roland Barthes untuk mengkaji cara berpakaian, gaya hidup, cara komunikasi, cara sosialisasi yang kesemuanya mau mengomunikasikan diri kita dalam tanda-tanda yang disusun, yang disebut sebagai "kode".

Baudrillard menerima konsekuensi kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya. Di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi, inilah sebabnya kode bisa melalui sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality. (Lechte, 2001, hal. 352). Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran.

Dengan cara pandang seperti itu, dapat membagi sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representasi dan bahasa.

1. Mental representational individual atau disebut juga dengan representasi mental. Masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak.

2. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna, tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign).

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yaitu, dari mana suatu makna berasal, bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu image dari sesuatu. Teori pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan

sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara sesuatu, peta konseptual, dan bahasa simbol atau adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi (Sobur, 2006;271).

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

Representasi perempuan dalam sebuah media, perempuan diartikan sebagai simbol dari sekian banyak perempuan dengan berbagai golongan dan perbedaannya. Perempuan diwakilkan dengan satu perempuan yang mengartikan semua perempuan yang diwakilkan adalah sama. Namun dengan bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan individualnya yang dapat menyimpulkan makna yang berbeda-beda pula. Disini, representasi perempuan mengacu terhadap mitos perempuan yang telah ada (Muniarti;2004).

Dalam buku Rosemarie Putnam Tong, hiperealitas sangat berkaitan dengan kaum feminis yang memiliki eksistensialisme (Beauvoir:1989). Dengan mengatakan bahwa perempuan adalah ada untuk dirinya sebagaimana ia juga ada dalam dirinya, ada alasan tertentu diluar hal-hal yang diarahkan oleh biologi dan fisiologi perempuan, untuk menjelaskan mengapa perempuan untuk menjalankan peran. (Tong;264 dalam Sutrisno, 2005;313).

Peningkatan akses perempuan pada media dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counter balance) seleksi informasi oleh laki-laki yang diyakini pada kondisi terbaik, bukan untuk melayani kepentingan perempuan tetapi juga menghasilkan output media yang berbeda. Kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada perpekstif dan tafsir baru. Namun, akses perempuan dan partisipasi aktif perempuan dalam produksi pesan media dalam perkembangannya dianggap bukanlah satu-satunya cara untuk memperbaiki “nasib” perempuan dalam media dan ruang publik. Munculnya studi yang memandang “khalayak aktif” dalam menafsirkan pesan media, dianggap sebagai jalan untuk melakukan perlawanan atas mitos atau makna-makna dominan yang disebarkan lewat produk dan pesan media.

Selayaknya terbangun hubungan yang ekual antara laki-laki dan perempuan dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berkesenian, disini diambil contoh kehidupan adalah sebuah teater yang setiap manusia mempunyai peranannya sendiri-sendiri. Termasuk juga setiap perempuan

yang juga mempunyai peranan disetiap kemunculannya di teater. Kebudayaan manusia itulah yang hendaknya dijiwai hubungan manusiawi. Itulah yang diperjuangkan setiap gerakan penyadarannya termasuk dalam lingkup teater.

Dahulu teater masih didominasi oleh kaum laki-laki, berbahasa seni dengan persepsi laki-laki. Memang tidak bisa disalahkan situasi teater yang seperti ini karena secara praktis, membangun kreatifitas dalam teater identik dengan karya seni yang berkembang. Seni merupakan wujud dari ekspresi kultural tertentu, yang notabennya masih dikuasai oleh laki-laki mulai darei sutradara, pemain, penulis naskah, stage manager, hingga penata artistik. Fenomena ini yang menyebabkan perempuan senantiasa dijadikan obyek seks karena dianggap lemah. Seperti tearter yang bercerita tentang Putri Salju, Rapunzel, atau cerita putri-putri yang selalu tertindas dan hidup bahagia diakhir cerita dikarenakan diselamatkan oleh Pangeran. Laki-laki yang dicerita jaman dahulu selalu dicitrakan sebagai penolong bagi seorang perempuan dan perempuan sendiri selalu dicitrakan sebagai manusia yang lemah hingga saat ini. Di Barat, teater sudah berkembang sejak tiga abad yang lalu, baru belakangan ini diwarnai nuansa estetik perempuan.

Perempuan telah mengalami banyak perubahan secara bertahap. Bahkan media sering sekali menggambarkan perempuan dengan berbagai cara. Bahkan banyak sekali media yang memuat teks yang berisi seksualitas perempuan, dapat membantu perempuan untuk membuka kesadaran seksualitas dirinya yaitu kesadaran perempuan untuk membebaskan diri dari

pemahaman tradisi patriarkal. Tentu hal ini akan mengangkat perempuan sebagai subjek sekaligus objek tulisan, dan bisa menyelesaikan persoalannya sendiri, termasuk perasaan tentang tubuhnya. Kedekatan perempuan dengan tubuhnya dapat menjadi suatu wacana baru dalam perkembangan media. Maka, kebebasan perempuan dimunculkan dalam bentuk baru yang revolusioner. Kehadiran revolusioner tersebut telah terbukti dengan banyaknya media-media khusus perempuan yang isi dan pembuatnya adalah perempuan.

Perempuan sekarang lebih dikategorikan sama dengan atau sejajar dengan laki-laki. Terbukti dalam pemunculannya di media porsinya hampir sama dan juga image lemah tidak juga melekat pada perempuan saja. Dalam media juga mengenal kesetaraan gender, jika kita menelaah sejenak ada media yang dikhususkan pada perempuan atau laki-laki saja sebagai sasaran konsumennya. Jika kita sering melihat perempuan setengah telanjang dalam majalah maka sekarang kita pun dapat melihat laki-laki yang juga setengah telanjang tampil sebagai model dalam majalah. Inilah yang sering disebut kesetaraan gender. Tidak hanya perempuan yang sering dianggap objek atau simbol seks namun, laki-laki juga sama.

Dikarenakan perempuan kemunculannya di majalah sering dijadikan patokan oleh pembacanya, maka tiap media mempunyai pandangan tersendiri terhadap seorang perempuan. Ada yang menggambarkan perempuan sebagai simbol seks maka perempuan digambarkan dengan ciri busana minim, bahasa tubuh yang menggoda dan

sebagainya. Ada juga yang memang digambarkan perempuan sebagai penggerak emansipasi maka, digambarkan dengan busana yang elegan namun terlihat sangat berpendidikan. Banyak sekali media-media yang memrepresentasikan perempuan berbeda-beda, ini dikarenakan media tersebut menginginkan pesan-pesannya sampai sesuai dengan segmentasi yang mereka telah tetapkan.

Dokumen terkait