• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Tata Ruang Partisipatif

DAFTAR TABEL LAMPIRAN

2.5 Perencanaan Tata Ruang Partisipatif

Dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007, penataan ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut (Rustiadi et al. 2009), penataan ruang

adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan baru yang "lebih baik". Sebagai proses perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara formal adalah bagian dari proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan.

Penataan ruang dibutuhkan karena pentingnya intervensi publik terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Adanya intervensi publik akan mencegah degradasi lingkungan (sebagai kegagalan pasar) seperti terjadinya kerusakan sumberdaya. Penataan ruang perlu dilakukan untuk: 1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktivitas, 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan 3) menjaga keberlanjutan pembangunan (Rustiadi et al. 2009).

Pada dasarnya penataan ruang merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu perencanaan, pemanfaatan (implementasi rencana), dan pengendalian (Rustiadi et al. 2009). Sistem penataan ruang sendiri merupakan

bagian penting dari penyelenggaraan penataan ruang, yaitu berupa pelaksanaan penataan ruang. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang yang kuat, hanya akan dimungkinkan bila sub-sistem perencanaan tata ruang telah dilakukan dengan baik. Secara sederhana sistem penataan ruang disajikan pada Gambar 8, dan secara struktural, penyelenggaraan penataan ruang disajikan pada Gambar 9.

Sub-sistem perencanaan tata ruang merupakan bagian penting yang memerlukan berbagai tahapan yang didasari oleh pendekatan-pendekatan tertentu, namun pada kenyataannya seringkali perencanaan tata ruang menjadi titik lemah dalam penataan ruang. Secara umum terdapat dua tahap dalam proses perencanaan yang harus dilakukan secara objektif dan rasional, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) analisis data. Kedua tahap tersebut akan sangat menentukan dalam tahapan

berikutnya, yaitu: (3) menetapkan kebijakan, (4) implementasi, dan (5)

monitoring. Bila kedua tahapan proses yang pertama tidak dapat dilakukan secara objektif dan rasional, maka tahapan berikutnya akan menjadi bias dan menghasilkan kebijakan yang salah (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996; Taussik 2004; Rustiadi et al. 2009).

Diketahui bahwa selama ini data merupakan titik lemah dalam perencanaan, dimana sangat sulit untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat (Fedra 2004; Håkanson dan Duarte 2008; Martin dan Hall-Arber 2008). Sistem informasi yang handal seharusnya dapat memberikan data yang berkualitas bagi proses perencanaan, namun sayangnya justru sistem informasi tersebut belum tersedia. Data yang ada umumnya hanya bersifat “resmi” seperti yang dikeluarkan oleh BPS, namun kelengkapan dan kualitasnya sering diragukan. Ketidaktersediaan data dan informasi yang memadai tersebut merupakan salah Gambar 8 Sistem Penataan Ruang (Rustiadi et al. 2009)

satu permasalahan mendasar yang menjadikan proses perencanaan tata ruang selama ini menjadi titik lemah dalam penataan ruang.

Di sisi lain proses perencanaan selama ini dilakukan adalah melalui pendekatan perencanaan rasional, yang didasari pada logika rasional dan teori-teori. Pendekatan rasional pada dasarnya sangat bersifat ilmiah dan lintas disiplin, sehingga sangat dipercaya akan mampu menghasilkan suatu perencanaan yang baik dan komprehensif. Namun demikian, pendekatan rasional membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang lengkap untuk dapat membuat keputusan-keputusan yang logis dalam menelaah semua alternatif. Pendekatan rasional yang

juga disebut sebagai pendekatan komprehensif, menjadi tidak berarti tanpa ketersediaan pengetahuan (data dan informasi) yang lengkap, dan akan sulit menghasilkan suatu perencanaan yang baik. Pada kenyataannya, justru prasyarat harus tersedianya data dan informasi yang lengkap tersebut tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu penekanan pada pendekatan rasional semata, juga memberikan sumbangan signifikan, sehingga menjadikan ” proses” sebagai titik lemah dalam perencanaan tata ruang. Pada gilirannya, perencanaan yang dihasilkan berkualitas buruk dan tidak dapat diimplementasikan.

Untuk menanggulangi lemahnya proses perencanaan tata ruang, maka harus disediakan data dan informasi yang lengkap dan handal dengan cara menggalinya secara langsung dari pemangku kepentingan. Untuk mengakses data dan informasi dari pemangku kepentingan, maka pendekatan perencanaan rasional

harus dimodifikasi menjadi lebih bersifat partisipatif dengan melibatkan

pemangku kepentingan, sehingga membentuk suatu perencanaan konsensus.

Dengan demikian, data dan informasi primer yang diperlukan bagi proses perencanaan akan dapat dipenuhi (Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Fedra 2004; Taussik 2004; Walz et al. 2007; Martin dan Hall-Arber 2008;

Rustiadi et al. 2009; Schumann 2010).

Filosofi dibalik perencanaan tata ruang yang umum dipraktekkan adalah sangat mengarah pada konsep perencanaan induk tetap (fixed master plan). Dalam

filosofi tersebut perencanaan dipandang sebagai kegiatan produksi rencana-rencana yang ditunjukkan dengan pernyataan detil kondisi masa depan yang disusun dalam urutan sekuen yang sederhana, dan akan dicapai dalam waktu tertentu. Pada kenyataannya pendekatan tersebut dalam banyak hal menemui kegagalan, karena tingginya kompleksitas masing-masing komponen dan interaksi yang terlibat di antaranya, sehingga harus selalu direvisi dan disesuaikan dengan kenyataan (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996).

Pendekatan sistem dalam perencanaan diturunkan dari konsep sibernetika yang dikembangkan oleh Wiener (1948 in Hall 1996). Dalam pendekatan ini,

fenomena sosial, ekonomi, biologi, dan fisik, dipandang sebagai sistem kompleks yang saling berinteraksi (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Hall 1996; O’Connor dan McDermott 1997; Taussik 2004), dengan demikian semua bagian

sistem dan interaksinya tersebut dapat dipelajari secara tegas sekaligus menyeluruh. Cara pandang tersebut membuka peluang untuk mengubah prilaku sistem ke arah tujuan yang diinginkan, melalui mekanisme kontrol tertentu.

Dalam cara pandang sistem, wilayah akan “ mengembangkan” diri sesuai dengan wujud respon dari beragam pengaruh perencanaan tata ruang yang dibuat (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Walz et al. 2007). Konsep dari perencanaan

dengan pendekatan sistem adalah ide dasar interaksi antara dua sistem paralel yaitu sistem perencanaan itu sendiri, dan sistem yang ‘akan’ mengontrol perencanaan yang dibuat (Hall 1996). Keberadaan dua sistem paralel tersebut membentuk lingkaran (loop), oleh karena itu perencanaan tata ruang dalam

pandangan sistem merupakan suatu proses siklikal (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Hall 1996).

Melalui pendekatan sistem, wilayah pesisir yang kompleks dengan paduan daratan dan perairan, dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh, dengan komponen utama terdiri atas populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan penggunaan ruang (tata ruang). Perilaku sistem dapat dipelajari secara komprehensif melalui pemodelan sistem, dan dilakukan intervensi yang mendasari penyusunan perencanaan (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan

ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010). Dengan demikian,

pendekatan sistem diajukan sebagai suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan secara komprehensif.

2.6 Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan sistem perangkat keras dan lunak berbasis komputer, yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi tentang area di permukaan bumi (ESRI 1995; Chrisman 1997). Pada dasarnya SIG merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: sistem, informasi, dan geografis. Dengan penggabungan ketiga unsur pokok tersebut, SIG akan memberikan “ informasi geografis” (Prahasta 2001).

Informasi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai

keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Chrisman 1997; Prahasta 2001). Sistem informasi geografis memerlukan data masukan agar dapat berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya (Blaschke 2001).

Menurut Prahasta (2001), terdapat tiga komponen yang dapat diperoleh dari informasi kenampakan geografis yaitu posisi geografis, atribut, dan hubungan keruangan. Kekuatan utama dari SIG terletak pada kemampuannya memadukan berbagai jenis data, baik data spasial (yang berkaitan dengan keruangan/posisi/lokasi) maupun data tekstual/atribut (non-geografis), menjadi suatu informasi yang dapat membantu memecahkan masalah secara terorganisasi dalam kaitan keruangan (posisi/lokasi). Adanya SIG memungkinkan beberapa keperluan yang kompleks dapat dilakukan menjadi lebih mudah dan cepat, dibandingkan jika dilakukan dengan cara konvensional. Ada tiga tugas utama yang diharapkan dapat dilakukan oleh SIG yaitu (ESRI 1995; Prahasta 2001):

1) penyimpanan, manajemen dan integrasi data spasial dalam jumlah besar; 2) analisis yang berhubungan secara spesifik dengan komponen data

geografis;

3) mengorganisasikan dan mengatur data dalam jumlah besar, sehingga informasi tersebut dapat digunakan pemakainya.

Kemampuan SIG dapat ditunjukkan dalam lima bentuk kemampuan analisis spasial sebagai berikut (ESRI 1995; Prahasta 2001):

1) Menyajikan apa yang terdapat pada suatu wilayah dalam beragam cara, dilengkapi dengan referensi geografis seperti garis lintang dan bujur. 2) Menyajikan letak suatu aktivitas dalam wilayah sebagai hasil analisis

ruang, misalnya lokasi yang memenuhi kriteria yang diinginkan.

3) Menyajikan perubahan ruang secara temporal atau kecenderungan (trend). 4) Menyajikan hasil analisis spasial yang lebih rumit, seperti dampak spasial

suatu kegiatan tertentu.

5) Menyajikan hasil analisis spasial yang lebih rumit lagi, yaitu berupa pemodelan yang dapat memadukan informasi spasial dan informasi lainnya termasuk sosial budaya dan hukum.

Dengan kemampuan yang tinggi, maka sebagai alat SIG sangat bermanfaat dalam perencanaan tata ruang wilayah. Informasi yang didapatkan dari pendekatan sistem dan pemodelan akan dapat diintegrasikan dengan SIG. Peranan SIG adalah sebagai alat analisis spasial bagi informasi yang dihasilkan dari pemodelan yang dibangun (Blaschke 2001; Shui-sen et al. 2005; Martin dan

Hall-Arber 2008). Dengan demikian pendekatan sistem dinamik dan pemodelan akan dapat menyajikan informasi spasial yang diperlukan bagi perencanaan tata ruang Teluk Lampung.

2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pendekatan penelitian yang menggunakan sistem dinamik semakin berkembang dan telah banyak dilakukan (Fedra dan Feoli 1998; Deal dan Schunk 2004). Publikasi penelitian kewilayahan yang menggunakan pendekatan sistem dinamik sudah cukup banyak ditemukan, terutama dalam studi dinamika dan perencanaan wilayah. Namun demikian penerapan sistem dinamik dalam perencanaan wilayah di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal perencanaan wilayah memerlukan suatu metodologi yang komprehensif untuk merangkum kompleksitas wilayah yang tinggi. Penelitian ini pada dasarnya terinspirasi oleh kondisi tersebut, dan dengan mengacu pada beberapa penelitian terdahulu dicoba untuk menerapkan metodologi sistem dalam suatu proses perencanaan tata ruang wilayah. Secara singkat, penelitian terdahulu yang dan berkaitan dengan rencana penelitian ini, disajikan pada Gambar 10.

Studi mengenai dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS) telah dilakukan oleh Haie dan Cabecinha (2003), Aurambout et al. (2005), dan

Elshorbagy et al. (2005). Dalam kajiannya, Haie dan Cabecinha (2003)

menggunakan perangkat lunak STELLA 5.0 untuk mengembangkan dan mensimulasikan model kondisi ekosistem pada DAS di Portugal. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa model dinamik yang dikembangkan dapat menggambarkan ekosistem DAS tersebut secara memuaskan, dan dapat teruji secara statistik dengan data empiris selama 10 tahun.

Aurambout et al. (2005) mengkaji model spasial dan dinamik

perangkat lunak STELLA 7.0.1 dan yang diintegrasikan dengan program sistem informasi geografis yaitu pemodelan spasial lingkungan (SME). Mereka mendapatkan bahwa penerapan metode tersebut sangat memuaskan untuk merumuskan kebijakan lingkungan dalam upaya maksimalisasi kehidupan liar baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil kajian tersebut dapat diterapkan dalam perancangan perlindungan alam, misalnya detil peletakan koridor satwa.

Elshorbagy et al. (2005) mengkaji keberlanjutan upaya reklamasi suatu

sistem DAS yang telah rusak pasca kegiatan penambangan, dengan menerapkan sistem dinamik model DAS (SDWM). Dalam kajian tersebut didapatkan bahwa sistem dinamik dapat sangat membantu dalam menyusun strategi reklamasi untuk pemulihan kondisi hidrologi, serta penyusunan skenario pengelolaan DAS yang rusak akibat kegiatan penambangan.

Studi mengenai perencanaan kota dan wilayah dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik telah dilakukan oleh White dan Engelen (2000), Deal dan Schunk (2004), dan Yufeng dan ShuSong (2005).

White dan Engelen (2000), mengkaji pemodelan sistem dinamik perencanaan kota dan wilayah dengan menerapkan otomata selular (cellular automata, CA). Mereka menyatakan bahwa model kota dan wilayah berbasis CA

dapat menghadirkan suatu dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik. Dalam perencanaan kota dan wilayah, sistem tersebut akan sangat membantu.

Deal dan Schunk (2004), mengkaji pemodelan spasial dinamik transformasi penggunaan lahan dalam kawasan perkotaan kota. Mereka menunjukkan bahwa sistem dinamik memiliki kemampuan efektif dalam memodelkan kawasan perkotaan, dan memberikan manfaat yang besar dalam pemahaman transformasi penggunaan lahan yang membentuk perkembangan kawasan perkotaan ke perdesaan (urban sprawl).

Yufeng dan ShuSong (2005) mengkaji rencana pengembangan kota Hsinchu Science Park di Taiwan dengan menggunakan sistem dinamik. Dalam penelitian tersebut digunakan perangkat lunak STELLA yang diintegrasikan dengan metode fuzzy Delphi untuk mengakomodasi aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa pendekatan sistem dinamik mampu memberikan arahan kebijakan untuk pembangunan kota secara

berkelanjutan. Secara lebih tajam, hasil simulasi sistem dapat memberikan arahan strategi pengelolaan ekonomi, sosial, dan lingkungan kota.

Studi mengenai perencanaan wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan sistem dan analisis spasial telah dilakukan oleh Villa et al. (2002) dan

Ramos (2004). Agak berbeda dengan kajian dinamika wilayah serta perencanaan kota dan wilayah, perencanaan wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan sistem masih relatif sedikit, dan lebih terfokus pada perencanaan pengelolaan kawasan lindung.

Villa et al. (2002) melakukan penelitian perencanaan zonasi daerah

perlindungan laut di Pulau Asinara, Itali. Dalam penelitian tersebut, dilakukan analisis spasial kriteria ganda yang diintegrasikan dengan GIS. Penelitian menunjukkan bahwa metodologi spasial mempunyai kemampuan yang memuaskan dalam hal pengaturan ruang wilayah perlindungan laut, dengan tingkat perlindungan yang beragam. Hasil penelitian tersebut kemudian berhasil diterapkan secara operasional dalam zonasi wilayah perlindungan laut di Perlindungan Laut Nasional Pulau Asinara, Italia.

Ramos (2004) mengkaji pendekatan sistem spasial untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sebagai suatu ekoregional. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu penelitian jangka panjang, yang terintegrasi dengan pelaksanaan

the Sulu-Sulawesi marine ecoregion (SSME), sebuah program kegiatan World Wide Fund for Nature (WWF) di segi tiga Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Program ditunjang dengan pengembangan sistem the coastal and marine resource information system (CMARIS) yang mendukung suatu sistem pengambilan

keputusan secara spasial (spatial decision support system, SDSS). Dari hasil

kajian yang dilakukan, Ramos (2004) menyimpulkan bahwa pendekatan sistem sangat berperan dalam perencanaan wilayah laut dan pesisir, yaitu dalam hal koleksi, organisasi, akses, dan pengiriman informasi sumberdaya pesisir dan laut, sehingga secara spasial dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan khusus bagi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut.

Gangai dan Ramachandran (2010) mengkaji peran tata ruang dalam pengelolaan wilayah pesisir. Mereka menunjukkan bahwa tata ruang (sebagai instrumen hukum) dapat menyelamatkan wilayah pesisir dari penggunaan lahan

(ruang) eksisting yang tidak konsisten. Hal tersebut dapat menjamin suatu stabiltas bagi terlaksananya pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah ada, tampak bahwa pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah telah menjadi suatu kecenderungan, karena memiliki kemampuan menyajikan kompleksitas wilayah. Dengan karakteristik wilayah pesisir yang memilki kompleksitas tinggi, maka sangat beralasan untuk menerapkan pendekatan sistem dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaannya.

Dinamika wilayah ekologis:

1. Haie dan Cabecinha (2003) mengkaji pemodelan dinamik suatu sistem daerah aliran sungai (DAS). 2. Aurambout et al.

(2005) mengkaji model spasial dan dinamik

perkembangan wilayah dan tekanan terhadap ekologi 3. Elshorbagy et

al.(2005) mengkaji

keberlanjutan upaya reklamasi suatu sistem daerah aliran sungai (DAS) yang telah rusak, dengan menerapkan sistem dinamik.

Perencanaan kota dan wilayah:

1. White dan Engelen (2000), mengkaji pemodelan sistem dinamik perencanaan kota dan wilayah. 2. Deal dan Schunk. (2004) mengkaji pemodelan spasial dinamik transformasi penggunaan lahan dalam kawasan perkotaan kota. 3. Yufeng dan ShuSong

(2005) mengkaji rencana pengembangan kota menggunakan sistem dinamik Perencanaan wilayah pesisir: 1. Villa et al. (2002) menggunakan analisis multi kriteria dan pemodelan spasial untuk perencanaan wilayah perlindungan laut. 2. Ramos (2004) mengkaji pendekatan sistem spasial untuk perencanaan

pengelolaan wilayah pesisir sebagai suatu ekoregional.

3. Gangai dan Ramachandran (2010) mengkaji peran tata ruang dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Penelitian:

Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir: Studi Kasus Teluk Lampung

Gambar 10 Beberapa penelitian terdahulu yang dirujuk dan berkaitan dengan penelitian