• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL LAMPIRAN

2.1 Wilayah dan Wilayah Pesisir

Pada dasarnya pengertian wilayah mengacu pada unit geografis, dan dapat didefinisikan dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponennya memiliki arti di dalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tidak ada batasan spesifik dari luas suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat "meaningful" untuk perencanaan,

pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah), dengan komponen-komponen yang mencakup biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia, serta bentuk-bentuk kelembagaannya. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Salah satu kerangka klasifikasi yang cukup mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah adalah (Rustiadi et al. 2009): (1) wilayah homogen (uniform), (2)

wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region); seperti disajikan pada Gambar 5.

Wilayah pesisir dapat dimasukkan dalam konsep wilayah sistem kompleks, memiliki beberapa sub-sistem penyusun yang meliputi sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial, dan sistem ekonomi. Secara sederhana, wilayah pesisir dipahami sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan laut. Pada dasarnya pemahaman mengenai wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (laut) telah diterima secara luas, namun demikian masih belum ada definisi wilayah pesisir yang bersifat baku dan dapat diterima semua pihak.

Dalam konteks pesisir, pengertian wilayah dapat dirunut pada dua istilah yang bermiripan yaitu zone dan area, dan dikenal adanya coastal zone dan coastal area. Perbedaan keduanya terletak pada implikasi yang mengikutinya, yaitu coastal zone berimplikasi pada adanya proses pengelolaan yang dibatasi secara

artifisial; sedangkan coastal area lebih bersifat alami. Perbedaan tersebut masih

menjadi fokus perdebatan dalam konteks pengelolaan pesisir, terutama di negara-negara sedang berkembang, dimana masih terdapat banyak bagian pesisir yang

belum termasuk dalam suatu zona pengelolaan tertentu. Oleh karena itu, penggunaan istilah coastal area dalam pembicaraan dan pembahasan mengenai

pesisir, menjadi pilihan yang lebih netral dan konsisten (Kay dan Alder 1999).

Merujuk pada Kay dan Alder (1999), secara umum dalam disertasi ini istilah wilayah pesisir diasosiasikan dengan coastal area, kecuali dari

sumber-sumber yang dikutip atau dirujuk memang menunjuk pada coastal zone. Dengan

kata lain, istilah zone dan area dalam disertasi ini akan dirujuk secara sama

menjadi “wilayah”. Dengan demikian “wilayah pesisir” menjadi padanan bagi

coastal area bila berbicara dalam batas-batas alami; dan menjadi padanan bagi coastal zone bila berbicara dalam batas-batas artifisial pengelolaan.

Terdapat banyak definisi wilayah pesisir yang berbeda antar berbagai negara; atau antar disiplin seperti perikanan, biologi laut, tenik pantai, hukum, dan militer. Keragaman definisi tersebut bersumber dari penentuan seberapa jauh batas definitif wilayah pesisir ke arah laut dan ke arah darat.

Wilayah Homogen Sistem Fungsional Sistem Sederhana Sistem Kompleks

Nodal (Pusat – Hinterland)

Sistem Ekonomi: Kawasan Produksi, Kawasan Industri Budidaya – Lindung Desa – Kota

Sistem Ekologi: DAS, Hutan, Pesisir

Sistem Sosial Politik: Kawasan Adat, Wilayah Etnik Konsep Alamiah / Deskriptif

Perencanaan /Pengelolaan

Perencanaan Khusus: Jabodetabekjur, KAPET

Wilayah Administratif Politik: Provinsi, Kabupaten, Kota

Konsep Non-Alamiah

Dahuri et al. (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah

peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak arbitrer dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide) dan batas ke arah

laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara.

Kay dan Alder (1999) memberikan tiga elemen bagi definisi ilmiah wilayah pesisir, yaitu bahwa wilayah pesisir harus mengandung: 1) komponen daratan dan perairan; 2) batas antara daratan dan perairan harus ditentukan berdasarkan tingkat pengaruh daratan terhadap perairan, dan pengaruh perairan terhadap daratan; dan 3) batas wilayah tidaklah seragam dalam dimensi lebar, kedalaman, maupun ketinggian. Adapun untuk orientasi kebijakan, Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa terdapat empat cara yang mungkin dalam mendefinisikan wilayah pesisir, yaitu: 1) batasan jarak yang tetap; 2) batasan jarak variabel; 3) batasan yang disesuaikan dengan penggunaannya; dan 4) merupakan kombinasi (hibrid) atara ketiga cara tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara formal wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sebelum adanya Undang-undang tersebut, DKP (2002) telah mendefinsikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut yang memiliki empat karaketristik khas yaitu:

1) Merupakan wilayah pertemuan antara berbagai aspek yang ada di darat, laut dan udara. Bentuk wilayah ini merupakan hasil keseimbangan dinamis dari suatu proses penghancuran dan pembangunan dari ketiga unsur tersebut;

2) Memiliki fungsi sebagai zona penyangga dan habitat dari berbagai jenis burung yang bermigrasi serta merupakan tempat pembesaran, pemijahan dan mencari makan bagi berbagai jenis biota.

3) Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada skala yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan;

4) Memiliki tingkat kesuburan yang tinggi yang menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan laut.

Chua (2006) mendeskripsikan wilayah pesisir dengan memasukkan pentingnya aspek aktivitas manusia, karena sebagian besar wilayah pesisir telah dimanfaatkan oleh manusia. Deskripsi tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 6. Dengan adanya aktivitas manusia, pembicaraan wilayah pesisir menjadi lebih penting karena merupakan suatu sistem sumberdaya yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan wilayah pesisir haruslah memasukkan aspek aktivitas manusia, yaitu aspek ekonomi dan sosial.

Dengan adanya beragam definisi mengenai wilayah pesisir, perlu dibuat suatu definisi khusus sebagai acuan dalam penelitian yang dilakukan. Perumusan definisi wilayah pesisir yang diacu dalam penelitian ini didasarkan pada aspek penentu definisi wilayah pesisir yaitu batas ke arah darat dan laut, dan tujuan penelitian yaitu perencanaan wilayah. Pertimbangan dalam perumusan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) Sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Lampung adalah sungai-sungai kecil dengan daerah aliran sungai (DAS) yang sempit (Wiryawan et al.

Gambar 6 Wilayah Pesisir dan Sistem Sumberdaya Pesisir (Chua 2006)

Wilayah pesisir

Sistem sumberdaya pesisir

Aktivitas manusia Lingkungan daratan Lingkungan perairan

1999), sehingga secara ekologis batas ke arah darat berdasarkan DAS hanya beberapa km saja dari garis pantai (maksimal 20 km).

2) Secara administratif, perairan Teluk Lampung dibatasi langsung oleh kecamatan-kecamatan pesisir di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran. Dengan pertimbangan ketersediaan data dan satuan wilayah terkecil, secara administratif batas ke arah darat dapat ditetapkan sebagai batas administratif kecamatan pesisir di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung. 3) Secara ekologis, Perairan Teluk Lampung merupakan suatu kesatuan,

karena relatif tertutup dan hanya dipengaruhi oleh perairan laut lepas melalui Selat Sunda (CRMP 1998a dan 1998b); sehingga kondisi oseanografis fisik dan biologis perairan ini relatif seragam. Kondisi tersebut merupakan indikasi bahwa Teluk Lampung merupakan suatu bioekoregion, yaitu bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang dibatasi oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai dan perairan teluk. Dengan demikian, secara ekologis dapat ditetapkan batas ke arah laut wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi keseluruhan perairan Teluk Lampung, dengan luas sekitar 1.600 km2.

4) Secara administratif berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, batas kewenangan pengelolaan perairan laut adalah 12 mil laut untuk provinsi dan 1/3-nya (4 mil laut) untuk kabupaten/kota, yang diukur tegak lurus garis pantai. Pada perairan Teluk Lampung, jarak tegak lurus dari garis pantai yang terjauh adalah 18,01 km atau 9,73 mil laut (Wiryawan et al.

1999). Dengan demikian, batas ke arah laut dari wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi keseluruhan perairan teluk, dan dapat dipandang sebagai kewenangan pengelolaan Provinsi Lampung karena bersifat lintas kabupaten dan kota, dan sebagian wilayah perairan berjarak lebih dari 4 mil laut.

5) Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk menyusun perencanaan wilayah pesisir Teluk Lampung yang komprehensif, wilayah perairan Teluk

Lampung harus dipandang sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan, bersama dengan wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan perairan teluk.

Berdasarkan pertimbangan di atas, definisi wilayah pesisir Teluk Lampung yang diacu dalam penelitian ini adalah: Wilayah yang meliputi perairan dan daratan, dengan batas ke arah laut adalah meliputi keseluruhan wilayah perairan Teluk Lampung, dan batas ke arah darat adalah mengikuti batas-batas administrasi kecamatan-kecamatan di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung.

2.2 Teori Sistem

Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan interpretasi beragam, tetapi tetap berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan “keutuhan” (Eriyatno 1999). Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forrester (1968) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. O’Connor dan McDermott (1997) mendefinisikan sistem sebagai suatu entitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya. Haaf et al. (2002) mendefinisikan sistem

sebagai koleksi dari elemen-elemen dalam suatu keseluruhan dengan hubungan di antaranya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004).

Dari beragam definisi yang ada terlihat bahwa sistem memiliki karakteristik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun sistem. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan sebagai berikut (Sushil 1993):

1) Dibangun oleh sekelompok komponen yang saling berinteraksi. 2) Memiliki sifat yang “utuh” dan “keutuhan” (wholeness).

3) Memiliki satu atau segugus tujuan.

5) Terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem.

Kajian mengenai teori sistem tidak terlepas dari tiga akar utama yang berkaitan dengan sistem dan kompleksitas, yaitu teori sistem umum, sibernetika, dan sistem dinamik. Ketiga akar tersebut berkembang relatif hampir bersamaan, dan sekarang dianggap sebagai pilar teori kompleksitas (complexity theory)

(Abraham 2002). Sepanjang abad 20, secara paralel telah berkembang teori sistem umum (general system theory), sibernetika (cybernetics), dan sistem dinamik

(system dynamics) (François 1999; Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al.

2002; Mindell 2002).

Teori sistem umum mulai mengemuka sejak publikasi artikel Ludwig von Bertalanffy yang berjudul General system theory pada tahun 1956, terutama

dalam bidang teknik dan sains. Teori sistem umum didasarkan pada ide biologi, dimana von Bertalanffy merumuskan formula abstrak yang dibahasakan secara matematis dan dapat menjelaskan kompleksitas yang terorganisir secara umum.

Ide utama dari teori sistem umum adalah keutuhan, pengorganisasian, dan sistem terbuka yang ada di dalam biologi, dan kemudian digeneralisasi oleh von Bertalanffy ke dalam berbagai disiplin termasuk sistem sosial dan budaya. Teori sistem umum dimaksudkannya dapat menjadi suatu teori universal, sebagai suatu kerangka analitik yang dapat memberikan penjelasan abstrak dari fenomena alam (Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002). Di penghujung abad 20 teori

dan pendekatan sistem umum telah berkembang pada berbagai disiplin (Haaf et al. 2002).

Sibernetika diperkenalkan oleh Norbert Wiener pada tahun 1946, yang intinya berkaitan dengan controlled feedback systems, yaitu sistem yang mampu

mempertahankan kondisi homeostatis melalui “perlawanan” (counteracting)

deviasi dari variabel kritis akibat adanya umpan balik negatif (negative feedback).

Kata cybernetics sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu kubernetes yang berarti

“teman” (mate) atau juga dapat berarti “pengatur” (governor). Dua konsep utama

dari sibernetika adalah kontrol (control) dan komunikasi (communication).

Pandangan sibernetika lebih kepada “software” dari suatu sistem, misalnya sistem

karena sifat-sifat mereka dalam mengendalikan entropi positif dengan adanya umpan balik negatif, meskipun ”hardwares” mereka dapat sangat berbeda

(Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002). Pandangan

tersebut telah menjadikan sibernetika sebagai pemacu perkembangan ilmu komputer seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) (François 1999 ;

Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002).

Perkembangan sistem dinamik (system dynamics) dimotori oleh Jay

Forrester bersama koleganya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) sejak tahun 1950-an (Abraham 2002). Sistem dinamik merupakan cara pemahaman sifat dinamis dari suatu sistem yang kompleks. Metode sistem dinamik berlandaskan pada cara pandang bahwa struktur suatu sistem (bentuk hubungan antar komponen seperti hubungan sirkular, saling tergantung, dan time-delayed adalah penentu dari sifat sistem. Menurut Forrester (1968) sistem dinamik

merupakan suatu metode dalam mempelajari sifat-sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interrelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur

dan delay, dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut.

Metodologi sistem dinamik telah berkembang, terutama dengan berkembangnya komputer digital berkemampuan tinggi, dan telah diterapkan pada berbagai bidang untuk menganalisis sifat-sifat sistem kompleks seperti masalah sosial-ekonomi dan teknologi. Salah satu kelebihan sistem dinamik adalah kemampuannya menggambarkan tingkah laku sistem menurut waktu. Kata dinamik (dynamics) memiliki arti perubahan atau variasi, dan suatu sistem yang

dinamik adalah sistem yang menunjukkan sifat bervariasi menurut waktu (François 1999; Sterman 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002; Forrester 2003).

Perkembangan ilmu sistem sampai di penghujung tahun 1960-an menunjukkan bahwa teori sistem umum (general system theory), sibernetika

(cybernetics), dan sistem dinamik (system dynamics), telah mengalami saling

keterkaitan. Kerja dari Kelompok Roma (The Club of Rome) pada akhir dekade

1960 dan awal 1970 yang mempublikasikan The Limits to Growth dan World Dynamics, pada dasarnya telah menggabungkan antara general system theory, cybernetics, dan system dynamics (Meadows et al. 1972; Abraham 2002; Smil

pencabangan teori kompleksitas seperti cellular automata, fractal geometry, dan chaos theory. Perkembangan ilmu sistem yang terpayungi dalam teori

kompleksitas di masa depan masih sangat mungkin akan bertambah (Abraham 2002), sebagaimana dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan perkembangan teori sistem, jelas bahwa terdapat upaya intelektual yang terus-menerus untuk memahami berbagai fenomena dunia nyata secara sistematis. Dari perkembangan yang ada, terlihat bahwa penerapan ilmu sistem merupakan metode baru dalam pemahaman dan pengelolaan sistem kompleks, yang sangat sulit dilakukan secara monodisiplin. Oleh karena itu, upaya penerapan ilmu sistem dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks seperti wilayah pesisir, tampaknya menjadi suatu keniscayaan.

Fenomena dunia nyata seperti wilayah pesisir, yang menunjukkan kompleksitas tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk mamahami fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno 1999). Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh (Forrester 1968), dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata.

Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno 1999). Dengan demikian kajian mengenai fenomena kompleks dapat dilakukan melalui pendekatan sistem (Nichols dan Monahan 1999; Sterman 2002), seperti membangun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung,

2.3 Sistem dan Model

Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem, yang dapat memiliki beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan (Forrester 1968; Sterman 2002). Dalam pengertian yang relatif sama, Eriyatno (1999) menyatakan bahwa model

merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat.

Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan (assumptions)

mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang bersifat aneka ragam (Meadows et al. 1972; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng

dan ShuSong 2005). Dalam mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variable) penting dan tepat, serta

hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya; namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno 1999) yaitu:

1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikontsruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik. 2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi

analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.

3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Contoh dari model matematis adalah

persamaan antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi.

Dalam pendekatan sistem, pengembangan model (modelling atau

pemodelan) merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mepelajari sistem secara keseluruhan (Sterman 2002). Melalui pemodelan akan diketahui karakteristik sistem, sehingga dapat dijadikan sebagai titik masuk (entry point) bagi intervensi terhadap sistem, sesuai dengan yang diinginkan. Pemodelan

akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model.

Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik dapat sangat membantu pemahaman terhahap sistem kompleks dalam rentang waktu tertentu. Dalam upaya mendapatkan skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat komprehensif, dapat digunakan metodologi sistem dinamik berdasarkan pertimbangan kemampuannya menyajikan keterkaitan antar variabel yang dikaji dan mensimulasikan prilaku sistem bila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Sistem dinamik cukup powerful digunakan dalam

mengkaji sistem alam yang kompleks (Forrester 1998; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan

ShuSong 2005), seperti wilayah pesisir. Selain itu, sistem dinamik memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi

sifat sistem. Dengan adanya pemahaman mengenai pengaruh dari kebijakan, pengambilan keputusan dapat lebih mudah dilakukan dalam selang waktu simulasi; dan jika didapatkan sifat sistem yang tidak diinginkan, maka dapat dengan mudah mudah diperbaiki (Forrester 1998 dan 2003).

Berbeda dengan banyak metode lain yang mengkaji permasalahan dengan pemilahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi, konsep utama sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain. Sistem dinamik merupakan metode untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks (Forrester 1998 dan 2003), seperti wilayah pesisir. Menurut Sushil (1993), sistem dinamik merupakan struktur metode yang dilatarbelakangi oleh prinsip ilmu manajerial tradisional, sibernetika, dan simulasi komputer. Ketiga prinsip tersebut saling bersinergi dan saling menutup kelemahannya masing-masing dalam memberikan suatu solusi permasalahan secara holistik. Oleh karena itu, sistem dinamik dapat berfungsi efektif sebagai metode kajian sistem kompleks seperti dinamika wilayah ekologis (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005;

Elshorbagy et al. 2005), kota dan wilayah (White dan Engelen 2000; Winz 2005;

juga aspek manajerial suatu pabrik (Rohmatulloh 2008). Sistem dinamik berkemampuan dalam mengkaji sistem yang berciri kompleks, dinamik, dan probabilistik (Sushil 1993; Forrester 1998; Sterman 2002).

Kemampuan sistem dinamik yang demikian, sangat membantu dalam penyusunan skenario kebijakan dan pengambilan keputusan dalam kajian sistem kompleks. Dengan demikian dapat dipelajari sifat sistem wilayah pesisir Teluk Lampung. Kemampuan tersebut memudahkan penyusunan skenario perencanaan sistem kompleks, yaitu perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung ditentukan oleh tiga komponen utama yaitu populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang. Upaya pemahaman yang utuh dan terpadu dari ketiga komponen adalah sangat penting untuk membangun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dalam penelitian ini, pendekatan sistem dinamik ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada untuk menyelesaikan masalah, dan (2) membuat model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Untuk itu, pendekatan sistem dinamik dilakukan dalam beberapa tahap proses yang terdiri dari penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu kesatuan kerja merupakan analisis sistem (Grant et al. 1997;

Eriyatno 1999).

Pemodelan sistem dinamik dilakukan secara determinsitik, untuk membatasi kompleksitas metodologi. Pilihan tersebut dilakukan sebagai kompromi ata keterbatasan ketersediaan data yang diperlukan dalam pemodelan sistem dinamik.

2.4 Penelitian Partisipatif

Terminologi partisipasi (paticipation) di dalam penelitian, aktivitas

perencanaan, dan pengambilan keputusan, semakin banyak digunakan pada berbagai artikel ilmiah. Partisipasi berkonotasi pada keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan (pemangku kepentingan) terhadap suatu objek. Namun demikian, makna yang dimaksudkan pada berbagai artikel, seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Keberbedaan tersebut bersumber dari sifat dan kedalaman

“keterlibatan” pemangku kepentingan dalam berbagai aktivitas seperti penelitian, perencanaan, ataupun pengambilan keputusan. Seperti dalam penelitian, terutama penelitian sosial, secara umum akan melibatkan pemangku kepentingan, baik sebagai responden, pengamat, ataupun pelaksana (Cornwall dan Jewkes 1995; Sutherland 1998; Wiber et al. 2004; Walz et al. 2007). Permasalahannya adalah

seberapa jauh keterlibatan pemangku kepentingan, sehingga suatu penelitian dapat