• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Proksimat dessert berbasis surimi ikan lele

Bahan kadar protein kadar lemak kadar karbohidrat Cendol surimi 25% 4.13 1.35 22.05 Cendol surimi 30% 4.74 1.36 23.49 Cendol surimi 35% 5.47 2.15 19.37 Cendol komersial 1.24 0.76 6.72

Berdasarkan total kebutuhan kalori total 2000kkal/hari, berikut adalah rinciannnya :

Karbohidrat : 50-60% dari total kalori Protein : 10-20% dari total kalori

Lemak : kurang dari sama dengan 30% dari total kalori Kebutuhan kalori karbohidrat = X 2000kkal = 1000 kkal Kebutuhan karbohidrat perhari = = 250 gram/hari Kebutuhan kalori protein = X 2000kkal = 400kkal Kebutuhan protein perhari = = 100 gram/hari Kebutuhan kalori lemak = X 2000kkal = 600 kkal Kebutuhan karbohidrat perhari = = 66,67 gram/hari

Persentasi AKG untuk dessert dengan penggunaan surimi 30% beryang mengacu pada hasil uji proksimat adalah sebagai berikut ;

% AKG karbohidrat = X 100 = 9.396% ∞ 9% % AKG protein = X 100 = 4.74% ∞ 5% % AKG lemak = X 100 = 2,02% ∞ 2%

Total energi yang dihasilkan = (4 kkal x 9,396) + (4 kkal x 4.74) + (9 kkal x 2,02) = 74,724 kkal

RINGKASAN

PATMAWATI C34063200. Pengembangan Dessert Berbasis Isolat Protein Basah Ikan Lele (Clarias sp.) dengan Pewarna Alami. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.

Sumbangan protein ikan terhadap angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 18%. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan. Penambahan surimi lele diharapkan meningkatkan kandungan protein hewani cendol (dessert) yang merupakan salah satu makanan tradisional, tanpa mengubah penerimaannya secara signifikan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formula cendol berbasis isolat protein basah (surimi) ikan lele dan melakukan karakterisasi fisik, kimia serta menganalisis pengaruh penyimpanan pada suhu 6oC terhadap kemunduran mutu produk. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap produk cendol berbasis surimi ikan lele. Hasil uji hedonik produk kemudian dilakukan pengambilan keputusan menggunakan metode Bayes. Konsentrasi surimi yang digunakan pada penelitian pendahuluan bervariasi 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 60%. Hasil terbaik pada penelitian pendahuluan dikembangkan sebagai perlakuan pada penelitian lanjutan (utama). Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi surimi ikan terhadap karakteristik fisik, mikrobiologi dan kimia. Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan dua kali ulangan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi surimi terhadap parameter subjektif dan objektif.

Hasil uji hedonik produk yang dilanjutkan dengan uji Bayes menunjukkan bahwa penambahan surimi 30% pada cendol menghasilkan nilai terbaik yang dapat diterima panelis. Cendol tersebut dibuat dari 30% surimi ikan lele, 11,6% rumput laut halus, 5,8% air daun suji, 29% santan, dan 23,3% tepung tapioka. Cendol surimi 30% mempunyai penampakan utuh, warna hijau menarik, tekstur lembut agak kaku dan padat, rasa yang netral (tidak ada rasa ikan), bau khas santan dan daun suji. Hasil uji proksimat kadar protein cendol surimi 30% sebesar 4,74% dan cendol komersial sebesar 1,24%. Selama 8 hari penyimpanan pada suhu ±6oC terjadi kemunduran mutu produk. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya daya penerimaan panelis secara organoleptik, peningkatan nilai TBA dan TPC. Selama penyimpanan cendol surimi 25%, 30% dan 35% memiliki tingkat kemunduran mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan cendol komersial. Pada hari ke-8 nilai organoleptik cendol surimi 30% untuk parameter penampakan (6), bau (6), rasa (5,2) dan tekstur (6,3), nilai TBA cendol surimi sebesar 0,1515 mg malonaldehid/kg bahan. Nilai TPC cendol komersial pada hari

ke-8 (2,1x108 koloni/g) lebih tinggi dibandingkan nilai TPC cendol surimi 30% (2,5x103 koloni/g). Cendol komersial mempunyai umur simpan relatif lebih

singkat dibandingkan dengan cendol berbasis surimi yaitu 4 hari, sedangkan cendol berbasis surimi ikan lele masih memiliki kondisi yang baik untuk dikonsumsi hingga penyimpanan pada hari ke-8.

PENGEMBANGAN DESSERT BERBASIS ISOLAT PROTEIN

BASAH IKAN LELE (Clarias sp.) DENGAN PEWARNA ALAMI

PATMAWATI

SKRIPSI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Konsumsi gizi protein masyarakat Indonesia baik di pedesaan maupun perkotaan masih belum mencapai angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal ini diindikasikan oleh tingkat konsumsi yang belum mencapai 100% angka kecukupan gizi dan sangat berhubungan dengan terjadinya fluktuasi tingkat konsumsi energi dan protein yang cukup tajam, terutama selama periode terjadinya krisis ekonomi dan multidimensi pada tahun 1996-1999. Belum memadainya kualitas konsumsi pangan masyarakat juga diindikasikan oleh masih rendahnya kontribusi protein hewani dalam menu makanan sehari-hari. Bahkan beras, yang merupakan pangan sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih merupakan penyumbang protein terbesar (Martianto & Soekirman 2006). Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30,17 kg/kapita/tahun lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mencapai 45 kg/kapita/tahun (Martani 2010). Sumbangan protein ikan terhadap angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, masih sangat rendah dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 18% dari angka kecukupan gizi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan.

Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Disamping itu juga terdapat potensi perikanan lainnya yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu budidaya air tawar, laut dan umum (DKP 2005). Pada tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ditargetkan menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia dan telah ditetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombaknya. Produksi perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16,89 juta ton pada tahun 2014 atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 sebesar 4,78 juta ton (KKP 2010). Salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk

dikembangkan dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele.

Ikan lele mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau oleh lapisan masyarakat bawah. Perkembangan produksi lele dumbo secara nasional mengalami kenaikan 18,3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi 57.740 ton pada tahun 2003. Berdasarkan data terbaru produksi lele nasional, terjadi peningkatan 60.000 ton tahun 2004 menjadi 79.000 pada tahun 2005 (Mahyudin 2008). Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan target pasarnya, seperti pasar retail (supermarket), restoran, dan industri olahan (processing), pada negara-negara tertentu. Untuk ikan lele ukuran konsumsi (8-12 ekor per kilogram) penjualannya tidak menemui permasalahan karena tingginya permintaan pasar. Permasalahan yang dihadapi adalah pemasaran ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize).

Ikan lele oversize memiliki ukuran 6 ekor per kilogram atau bahkan mencapai 1-2 ekor per kilogram. Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam tiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tak laku dijual (Trobos 2008). Ikan lele oversize tersebut sejauh ini pemanfaatannya masih kurang. Hal ini disebabkan masih banyak masyarakat yang kurang menyukai bentuknya yang besar serta bau khas yang disebabkan oleh kandungan geosmin. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya diversifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele yang berukuran besar, misalnya digunakan dalam pembuatan surimi untuk bahan baku berbagai macam kamaboko dan dapat dipertimbangkan sebagai bahan pembuatan dessert salah satunya cendol.

Salah satu keunggulan daging ikan lele untuk bahan baku dalam pembuatan surimi yaitu sebagai sumber protein yang mudah dicerna. Pada daging ikan lele pun mengandung kalsium, besi, dan mineral yang baik untuk kesehatan serta rendah sodium yang dapat menghindari atau mengurangi penyakit tekanan darah tinggi (Ladewig & Donna 1992). Ikan ini memiliki daging yang putih dan rendah lemak sehingga merupakan

Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat

menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi bermacam- macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992).

Diversifikasi pangan sesuai kekayaan lokal merupakan bagian amat penting dari strategi pangan. Cendol merupakan salah satu jenis makanan tradisional Indonesia yang bahan baku utamanya berupa padi-padian dan kacang-kacangan, serta sudah dikenal dan digemari secara luas di Indonesia. Permintaan cendol meningkat terutama pada bulan Ramadhan. Cendol memiliki tekstur yang kenyal dan umumnya berwarna hijau (Cendraningsih 1997 & Anonim 2010). Cendol dibuat dengan cara mencampurkan beberapa jenis tepung, yang memiliki sifat yang berbeda-beda, tergantung pada jenis tepung yang digunakan. Cendol yang umum dijumpai mempunyai berbagai sifat fisik yaitu kenyal-lunak, kenyal, kenyal agak keras dan agak keras (Anggraeni 2002). Mempertimbangkan komposisi cendol yang sebagian besar berasal dari tepung-tepungan dan sifat surimi yang mampu membentuk gel yang odor less maka dengan penambahan surimi ikan diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein hewani dari cendol yang merupakan salah satu makanan tradisional, tanpa mengubah daya terimanya secara signifikan.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

1) Menentukan formula dessert (cendol) berbasis isolat protein basah (surimi) ikan lele

2) Menganalisis karakteristik fisik, kimia dan pengaruh penyimpanan pada suhu 6oC terhadap kemunduran mutu produk dessert (cendol) berbasis isolat protein basah (surimi) ikan lele.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.)

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat. Ikan lele merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar tinggi dalam lahan terbatas (hemat lahan) di kawasan marginal dan hemat air (Mahyudin 2008). Adapun sistematika dan klasifikasi ikan lele adalah sebagai berikut (Saanin 1984):

Filum : Chordata Kelas : Pisces Subkelas : Telestoi Ordo : Ostariophysi Subordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias Sp.esies : Clarias sp.

Gambar 1 Ikan lele (Clarias sp.)

Lele dumbo memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir dan tidak bersisik. Jika terkena sinar matahari warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya otomatis menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Mulut ikan lele relatif besar yaitu ± ¼ dari panjang total tubuhnya. Tanda sp.esifik lainnya dari ikan lele dumbo adalah adanya kumis di sekitar mulut sebanyak 8 buah yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau ketika mencari makan (Khairuman dan Khirul 2002). Morfologi ikan lele dapat dilihat pada Gambar 1.

2.2 Komposisi Kimia Ikan Lele

Ikan yang tergolong lemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, lemak sedang 3-5% dan lemak tinggi lebih dari 7%. Ikan yang berprotein tinggi mempunyai kisaran protein 15-20% (Venugoval 2008, Stansby & Olcott 1963). Ikan lele termasuk dalam bahan pangan berprotein tinggi-lemak rendah. Komposisi kimia ikan lele dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Komponen Jumlah (%) Air 79,73 Abu 1,47 Lemak 0,95 Protein 17,71 Karbohidrat (by difference) 0,14 Sumber: Nurilmala et al. (2009)

2.2Surimi (Isolat Protein Basah)

Surimi merupakan protein miofibril hasil dari pemisahan tulang secara mekanis kemudian mendapat perlakuan pencucian dengan air dan ditambahkan

cryoprotectant sebagai penstabil. (Park & Morrissey 2000). Produksi komersial surimi dibuat dengan memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang diikuti proses pencucian 1-3 kali menggunakan air atau larutan garam. Kemudian dilakukan pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectant untuk mencegah denaturasi protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku (Xiong 2000). Pencucian pada dasarnya untuk mengurangi protein yang larut dalam air, diantaranya protein sarkoplasma, yang dapat mengganggu pembentukan gel surimi, dan komponen lain yang dapat menurunkan kualitas produk. Protein sarkoplasma berada dalam cairan dan diantara serat otot, termasuk banyak enzim metabolik yang dapat mengurangi kesetabilan sifat fungsional protein selama penyimpanan (Park & Lin 2005)

Sifat fungsional dan komposisi surimi bervariasi tergantung sp.esies ikan yang digunakan (Park & Morrissey 2000). Secara teknis semua jenis ikan bisa digunakan menjadi bahan baku surimi. Meskipun demikian, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil surimi yang lebih baik. Ikan

air tawar seperti ikan lele, tawes, nilam, dan lainnya juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya, untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi (Peranginangin et al. 1999).

Tingkat kesegaran ikan terutama tergantung pada waktu dan suhu. Perubahan biokimia dan biofisika ikan selama fase rigor mortis secara signifikan akan merubah sifat fungsional protein ikan. Ikan sebaiknya diproses segera setelah memasuki fase rigor (Pigott 1986 diacu dalam Park & Morrissey 2000). Penggunaan ikan beku sebaiknya dihindari untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik karena elastisitas terbaik hanya didapat dari ikan segar. Dengan kata lain kualitas surimi menjadi rendah apabila digunakan ikan yang sudah dibekukan (Keay 1986).

Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang diperhatikan adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air yang hilang selama proses pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15oC akan lebih banyak melarutkan protein yang larut air. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15oC (Suzuki 1981).

Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan paling penting, khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah, serta pada ikan berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Nielsen dan Pigott 1984).

Frekuensi pencucian yang diperlukan untuk menghasilkan surimi berkualitas baik tergantung pada tipe serta komposisi dan kesegaran ikan. Jumlah pencucian dan perbandingan air dengan daging dalam proses pencucian bervariasi diantara pengolah surimi. Perbandingan air dan daging lumat dalam pencucian surimi yang dilakukan di darat biasanya berkisar dari 4;1 sampai 8:1. Proses pencucian ini sering diulang sebanyak 3-4 kali agar dapat menghilangkan protein sarkoplasma. Sedangkan para pengolah dilaut akan melakukan pencucian menggunakan perbandingan air dan daging yang lebih rendah (1:1 sampai 3:1) dan jumlah pencucian sebanyak satu atau dua kali karena keterbatasan air tawar

(Park & Morrissey 2000). Pencucian yang efisien dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya perbandingan air dan daging, umur ikan, kondisi dalam tangki pencucian, kecepatan dan kondisi dalam pengadukan, serta suhu air (Park & Lin 2005).

Surimi dijaga kesetabilannya menggunakan cryoprotectants selama penyimpanan. Cryoprotectants yang umum digunakan pada surimi beku adalah 5% sorbitol, 4% gula, dan 0.3% natrium polifosfat. Akan tetapi surimi yang bahan bakunya berasal dari perairan tropis akan menggunakan cryoprotectants yang mengandung 6% gula dan 0.3% natrium polifosfat. Sorbitol adalah bahan kimia yang bersifat stabil dan tidak bereaksi dengan protein (Charles & Mankoo 2005).

Surimi sebagai bahan baku dipasarkan dalam bentuk beku. Surimi yang ditambahkan dalam makanan laut berfungsi meningkatkan cita rasa produk. Untuk meningkatkan cita rasa biasanya ditambahkan anggur mirin dan agen penutup lainnya yang membantu meningkatkan aroma atau menutupi aroma amis. Besar kecilnya aroma amis yang ditimbulkan tergantung pada tipe ikan dan proses pembuatan surimi (Charles & Mankoo 2005).

2.3Protein Ikan

Secara umum, daging ikan memiliki komposisi protein 15-25%. Protein daging ikan terbagi menjadi 3 macam, yakni protein sarkoplasma, miofibril dan stroma. Protein sarkoplasma meliputi 30% dari total protein otot, kadar protein miofibril 65-75% dan protein stroma 3-5% dari total protein otot (Okada 1992).

2.3.1 Sarkoplasma

Protein sarkoplasma meliputi sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolisme energi dan glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma memiliki bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karaktristik fisik ini mungkin menyebabkan daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (Nakai dan Modler 2000).

Protein sarkoplasma larut dalam air (larut dalam ion yang berkekuatan rendah). Protein sarkoplasma sebagian besar terbuang pada saat pencucian surimi secara konvensional. Pada awalnya, protein sarkoplasma jika tidak dibuang akan mengganggu proses pembentukan gel pada protein myofibril dan mempengaruhi gelasi surimi. Hal ini terjadi apabila konsentrasi protein sarkoplasma tinggi ketika

protein miofibril dipanaskan selama proses pembuatan makanan, yang akan merubah fungsi dan memotong protein miofibril sehingga berpotensi menghalangi interaksi myofibril dan juga akan berpengaruh pada kemampuan pembentukan gel dari surimi. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa protein sarkoplasma tidak mengganggu sifat pembentukan gel protein miofibril (Lanier & Carjaval 2005).

Miogen merupakan bagian dari protein sarkoplasma yang larut air. Kandungan miogen dalam otot ikan tergantung sp.esiesnya. Umumnya ikan pelagis mempunyai jumlah miogen lebih tinggi dibandingkan ikan demersal. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah mioglobin, yang terdiri dari 2 komponen yaitu fraksi protein yang disebut globin, dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Protein tersebut bertanggung jawab dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).

2.3.2 Miofibril

Protein miofibril berperan penting dalam proses penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Penyusun utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin (50-60% dari total protein miofibril) (Suzuki 1981).

Protein miofibril akan mengalami denaturasi pada kisaran nilai pH kurang

dari 6,5 sehingga berdampak pada kemampuan pembentukan gel (MacDonald et al. 2000). Pembentukan gel protein miofibril dari surimi

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan seperti

cryoprotectants (Lee 1990 diacu dalam Lee et al. 1992).

2.3.3 Stroma

Protein stroma merupakan bagian protein paling sedikit, membentuk jaringan ikat yang bersifat tidak larut air, larut asam, alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi 0.01-0.1 M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot (Suzuki 1981). Protein stroma terdiri dari protein ekstraseluler, yaitu kolagen, retikulin, dan elastin serta komponen pendukung lainnya (Nakai & Modler 2000). Bila jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen berubah menjadi gelatin. Ikan yang berdaging

gelap memiliki stroma lebih banyak dibandingkan ikan berdaging putih (Hashimoto et al. 1979 diacu dalam Suzuki 1981).

2.4Dessert

Dessert merupakan hidangan penutup dan biasanya mempunyai rasa manis. Salah satu produk dessert yang cukup terkenal di Jawa Barat adalah cendol atau dawet di Jawa Tengah. Cendol adalah jenis minuman yang dibuat dari tepung beras, tepung tapioka, tepung hunkwe atau campuran dari beberapa jenis tepung dan terbentuk menjadi bentuk tertantu akibat gelatinisasi pati. Dalam 100 gram cendol yang terbuat dari tepung beras dan tepung tapioka mengandung energi 95.80 kkal, karbohidrat 8.25 g, protein 1.21 g, dan lipid 6.44 g (Anonim 2001).

Cendol siap pakai dijual dengan cara direndam dalam air, agar setiap butiran cendol tidak lengket satu dan lainnya, dikemas dalam kemasan plastik dan disimpan di lemari pendingin. Cendol pada umumnya memiliki aroma segar yang berasal dari aroma daun suji atau daun pandan serta memiliki tekstur yang halus. Ada dua jenis cendol di pasaran yaitu cendol tepung hunkwe dan cendol tepung beras. Cendol tepung hunkwe berwarna hijau terang dan kenyal sedangkan cendol tepung beras berwarna hijau gelap dan kenyal. Pada proses pembuatan cendol, tepung hunkwe atau tepung beras ditambahkan pewarna hijau dan air, kemudian dimasak sampai kekentalan tertentu, setelah itu dicetak dengan cetakan cendol (Santoso 2000).

2.5Tepung Tapioka

Tepung tapioka dibuat dengan cara mengekstrak ketela segar, selanjutnya dikeringkan, dan dihaluskan hingga menjadi tepung tapioka. Tepung tapioka merupakan bahan baku dalam pembuatan kerupuk, lem dekstrin, gula cair, biskuit/kue kering dan biji mutiara. Tapioka mengandung amilosa 17% dan 83 % amilopektin. Bentuk granula pati tapioka hampir sama dengan pati kentang yaitu bulat telur dengan ujung terpotong. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.

Pati (tapioka) umumnya ditambahkan ke dalam emulsi daging sebagai pengental dengan proporsi 5-10 % dari berat emulsi daging ikan tersebut. Penerimaan terhadap campuran daging dengan tepung tapioka akan lebih tinggi

dibandingkan campuran tepung tapioka dengan tepung lainnya. Penggunaan tepung tapioka dalam industri makanan dimungkinkan karena daya penahan airnya yang tinggi serta pengaruhnya yang kecil pada citarasa. Selain itu, harga tepung tapioka lebih murah dan memberikan citarasa netral dan warna yang terang pada produk (Radley 1976).

Tabel 2. Komposisi ubi kayu (per 100 gram bahan)

Komponen Kadar Kalori 146,00 kal Air 62,50 gram Phosp.hor 40,00 mg Karbohidrat 34,00 gram Kalsium 33,00 mg Vitamin C 30,00 mg Protein 1,20 gram Besi 0,70 mg Lemak 0,30 gram Vitamin B1 0,06 mg

Berat dapat dimakan 75% Sumber : Rahadiyati dan Agusto (1992)

2.6Daun suji

Sejak zaman dahulu orang telah menggunakan zat warna alami sebagai pewarna bahan makanan, misalnya zat warna hijau dari daun suji, zat warna kuning dari kunyit dan sebagainya. Pewarna makanan ini digunakan untuk memperoleh beberapa keuntungan yaitu, memperbaiki penampakan makanan sehingga meningkatkan daya tarik dan memberi informasi yang lebih baik kepada konsumen tentang karakteristik makanan (Caunsell 1991). Daun suji pada umumnya diekstrak secara tradisional dengan cara ditumbuk sampai halus hingga keluar zat warna hijaunya. Bentuk daun suji dapat dilihat pada Gambar 2.

Daun suji banyak digunakan sebagai bahan pewarna hijau makanan, kue- kue tradisional dan minuman seperti untuk pewarna hijau pada cendol. Daun suji adalah tanaman perdu yang dapat mencapai tinggi 8 m. Bentuk daunnya memanjang dan tersusun melingkar, tanaman ini sesekali berbunga. Keindahan bentuk daunnya menyebabkan tanaman ini seringkali digunakan sebagai salah satu tanaman hias (Boga 2008).

Gambar 2 Daun suji (Pleomale angustifolia)

Selain berfungsi sebagai pewarna hijau, daun suji juga memberikan aroma harum yang khas, meskipun tidak seharum daun pandan. Dalam penggunaannya, daun suji seringkali dicampur daun pandan agar aroma makanan, kue, dan minuman yang dihasilkan menjadi lebih harum. Cara penggunaannya cairan campuran hasil perasan daun suji dan daun pandan ditambahkan ke dalam bahan kue atau makanan yang diinginkan (Boga 2008).

Tumbuhan daun suji memiliki rasa yang tidak pahit, berbau harum dan

Dokumen terkait